Oleh: Afifah Afra
Data-data perceraian yang dirilis oleh Pengadilan Agama Republik Indonesia benar-benar membuat saya tercengang. Sepanjang lima tahun terakhir ini, angka perceraian di negeri ini naik pesat. Dari sepuluh pernikahan yang terjadi, satu ternyata berakhir pada perceraian. Dan, dari semua gugatan perceraian, 70% dilakukan oleh pihak istri dengan alasan terbesar adalah ketidakharmonisan. Besarnya angka perceraian itu membuat Indonesia bertengger sebagai pemuncak, alias posisi pertama negara dengan perceraian tertinggi di Asia Pasifik.
Ya, saya benar-benar terkejut. Menjadi rangking pertama dalam hal prestasi tentu menyenangkan. Tetapi, menjadi yang terdepan dalam keburukan, sangat menyesakkan. Terlebih, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Artinya, kasus perceraian tersebut, tentunya kebanyakan terjadi pada kaum Muslimin.
Data itu membayangi saya, sampai-sampai, ketika saya mendatangi pesta-pesta pernikahan, sembari menatap pasangan yang tengah berbahagia di pelaminan, saya sibuk membatin dan berdoa, semoga pasangan ini awet. Maka, ketika satu per satu berita masuk ke memori saya, si A bercerai dengan si B, si C bercerai dengan si D, saya merasakan hati ini begitu sakit. Terlebih, jika kisah-kisah perceraian itu dahulu barangkali hanya menimpa orang-orang yang ‘jauh’, saat ini perceraian sudah terjadi di sekitar kita. Pada sahabat, famili, tetangga dan sebagainya.
Mayoritas Keluarga Tak Sakinah?
Fakta bahwa 70% gugatan dilakukan oleh pihak istri dengan alasan ketidakharmonisan juga membuat saya berpikir, ada apa dengan kaum perempuan kita? Tidak harmonis berarti karena ketidakstabilan. Tidak stabil berarti tidak mantap, tidak ‘cenderung’, alias goyah, yang berarti juga tidak sakinah. Saya kira, angka tersebut hanya fenomena gunung es. Artinya, pasangan yang memilih bertahan dalam ketidakharmonisan, hidup dalam ‘neraka dunia’, bahkan juga menerima perilaku tidak semestinya dari suami, jauh lebih tinggi lagi.
Seorang teman pernah mengajukan sebuah ulasan tentang kaitan semakin tingginya keterserapan tenaga kerja perempuan pada sektor-sektor strategis dengan tingginya angka perceraian. Teman saya mencontohkan sertifikasi guru. Para wanita yang rata-rata guru, memiliki penghasilan lebih tinggi, sementara sang suami yang pekerjaannya tak tetap, tersingkir dari posisi qowwam (pemimpin) yang mestinya memberi nafkah. Semakin tingginya tingkat pendidikan kalangan perempuan, membuat banyak perusahaan lebih memilih menerima tenaga kerja kalangan ini—yang konon lebih ‘menurut’ dan ‘tak banyak tingkah.’
Betulkah demikian? Ya, analisis teman saya bisa jadi ada benarnya. Tetapi, lepas dari itu, semua kembali pada visi dan komitmen dari sepasang lelaki dan perempuan saat memutuskan untuk menikah. Kita menikah untuk apa? Jika semata untuk pemenuhan (maaf) kebutuhan biologis, akan ada masa-masa kita mengalami kejenuhan. Jika hanya untuk sekadar mengejar status “Tuan dan Nyonya”, berbagai dinamika yang muncul tak akan cukup diselesaikan dengan status tersebut. Bahkan, ketika tujuan kita adalah bersatu dengan sosok yang kita cintai, akan ada kalanya cinta itu surut. Lalu, apakah ketika sudah tak ada cinta lagi kita memilih untuk berpisah? Lalu, bagaimana dengan anak-anak kita? Hampir semua penelitian menyebutkan bahwa anak-anak yang besar dari keluarga yang broken home, rata-rata mengalami permasalah dengan perkembangan psikologisnya.
Tetapi, jika tujuan kita menikah adalah untuk ibadah, karena kita memiliki visi besar mengkader keturunan-keturunan yang rabbaniyyah, berbagai kendala yang dihadapi, kita akan mencoba mencari solusi. Surutnya cinta, kebosanan, stagnasi, bahkan permasalahan finansial, akan lebih mudah diatasi jika kita memang memiliki semangat untuk menyelesaikan problem tersebut, bukan membiarkan terakumulasi, atau bahkan dijadikan kambing hitam untuk memuaskan ego pribadi.
Kita menikah, karena ingin sakinah. Bukan karena ingin bercerai di kemudian hari, bukan?