Oleh Ust. Fir’adi Nasruddin, Lc.
مَا جَاوَرَ عَبْدٌ فِيْ قَبْرِهِ مِنْ جَارٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ اِسْتِغْفَارٍ كَثِيْرٍ
“Tidak ada yang lebih disukai dari seorang hamba di dalam kuburnya, daripada tetangga yang banyak beristighfar.” (Perkataan Abu Manhal).
Saudaraku,
Ramadhan tinggal menyisakan beberapa jam lagi dari kehidupan kita. Apa yang kita rasakan saat ini? Bergembira, karena kita akan segera terbebas dari segala warna beban dan derita dalam mendaki puncak ubudiyah? Atau biasa-biasa saja, karena kita memandang Ramadhan tiada nilai plus-nya dari bulan-bulan lainnya?
Atau kita bersedih hati dan jiwa kita dialiri perasaan mengharu biru. Karena kita akan berpisah dengan bulan yang penuh berkah, ampunan dan dilipatgandakannya amal-amal shalih kita.
Kesedihan kita seperti suami yang akan ditinggal istri tercinta, yang setia menemani dalam suka dan duka beberapa waktu lamanya. Seumpama kesedihan seorang anak yang akan berpisah dengan orang tuanya yang shalih. Ibarat seorang pengantin baru yang mengiringi kepergian kekasihnya.
Di sisi lain, kita takut dan khawatir jika ukiran amal-amal shalih dan nafas kita yang terengah-engah saat mendaki puncak ubudiyah, tidak bernilai di sisi-Nya. Lantaran masih terdapat kekurangan di sana-sini?.
Mungkin hanya orang yang mempunyai iman yang rapuh dan sakit. Ruhiyah yang ringkih. Tidak mengenal kehidupan hakiki setelah mati. Terbuai dengan keindahan dunia yang fana, yang senang dan bergembira berpisah dengan Ramadhan.
Bahkan ada di antara mereka yang mengekspresikan kegembiraan mereka dengan menggelar pesta goyang dangdut, bermain gaple semalam suntuk, tertawa terbahak-bahak. Dan tidak sedikit yang menggelar pesta mabuk-mabukan, judi, dan maksiat lainnya. Wal ‘iadzu billah.
Ketika melintas di hadapan para pemuda yang tertawa terbahak-bahak di malam Ied melampiaskan kegembiraannya berpisah dengan Ramadhan. Ibnu Al Warad bertutur, “Kalau memang mereka yakin bahwa amal shalih mereka di bulan Ramadhan diterima, maka hal itu bukanlah prilaku hamba yang bersyukur. Dan jika mereka khawatir amalan mereka tidak diterima selama bulan Ramadhan, maka apa yang mereka lakukan itu bertentangan dengan makna takut dan khawatir.”
Saudaraku,
Ramadhan yang beberapa saat lagi berpamitan dengan kita, semestinya kita iringi dengan tetesan bening air mata. Bibir kita basahi dengan lantunan istighfar. Dan ibadah puasa, kita sempurnakan dengan zakat fitrah. Kita berbagi kebahagiaan (zakat fitrah) dengan mereka yang tak mampu, karena kita telah dimudahkan Allah untuk beramal shalih di bulan ini.
Khalifah rasyid kelima; Umar bin Abdul Aziz pun merasa teramat khawatir, jika amal shalih selama Ramadhan tidak diterima. Ia memerintahkan ke seluruh wilayah di bawah kekuasaannya, yang berisi agar umat Islam menutup bulan Ramadhan dengan melakukan istighfar dan bersedekah, serta zakat fitrah. “Karena sesungguhnya zakat fitrah dapat mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan tercela sedangkan istighfar membenahi puasa dari hal-hal yang merusak (pahala puasa).”
Saudaraku,
Coba kita renungi perkataan Ibnu taimiyah rahimahullah,
‘Istighfar akan mengeluarkan seorang hamba dari perbuatan yang dibenci menuju perbuatan yang dicintai, dari amal yang kurang maksimal menuju amal yang sempurna. Serta mengangkat derajat seorang hamba dari derajat yang rendah kepada tingkat yang lebih tinggi dan sempurna. Karena sesungguhnya seorang hamba yang hanya beribadah kepada Allah, mengenal Allah dalam setiap hari, bahkan dalam setiap jam, terlebih lagi dalam setiap waktunya, maka akan tambah pula ilmunya tentang Allah, pengetahuannya tentang agama dan ibadah kepada-Nya. Hal ini didapati dalam perbuatan makan, minum, tidur, bangun dari tidur, perkataan dan semua perbuatannya.
Dia melihat kekurangannya dalam menghadirkan hati untuk Allah ta’ala serta menunaikan hak-Nya. Maka dia membutuhkan istighfar sepanjang waktu, baik siang maupun malam. Bahkan dia selalu membutuhkan istighfar dalam setiap perkataan dan perbuatannya, dalam keadaan sepi atau ketika bersama orang lain. Karena di dalam istighfar ada mashlahat, kebaikan, dapat mencegah keburukan, permintaan untuk menambah kekuatan dalam melakukan amalan hati, amalan badan dan tambahan keyakianan serta keimanan.’
Saudaraku,
Dari ungkapan syeikhul Islam di atas dapat kita pahami bahwa istighfar merupakan profesi hidup kita. Kebiasaan kita setiap saat. Karena istighfar bukan hanya kita lakukan setelah melakukan dosa dan maksiat. Tapi juga setelah menggapai harapan, cita-cita dan kemenangan. Serta selepas kita melakuan amal-amal keta’atan.
Tertera dalam sebuat riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah (memberi pelajaran kepada umatnya) agar senantiasa beristighfar setiap hari tidak kurang dari 70 kali. Bahkan di riwayat Imam Bukhari beliau beristighfar setiap hari 100 kali (Bukhari Muslim). Pelajaran yang diambil dari prilaku Rasulullah ini adalah bahwa beristighfar tidak harus menunggu setelah melakukan kesalahan, tetapi bagaimana hendaknya aktifitas ini berlangsung senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari kita tanpa terkecuali.
Abu Hurairah berkata, ‘Tiada seorangpun yang aku lihat yang lebih banyak membaca, ‘Astaghfirullah wa atubu ilah’ daripada Rasulullah.
Ibnu Umar memberi kesaksian, “Sesungguhnya aku pernah menghitung istighfar Rasulullah dalam satu majlis tidak kurang dari 100 kali.”
Saudaraku,
Jika kita amati dalam kitabullah, istighfar dan taubat sering disebut secara beriringan. Hikmahnya adalah seperti yang disebutkan oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya ‘Al-Munir’,
“Rahasia penggabungan perintah beristighfar dan bertaubat pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an bahwa tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah swt melainkan dengan menunjukkan perilaku dan sikap “taubat” yang diimplementasikan dengan penyesalan akan kesalahan masa lalu, melepas ikatan-ikatan (jaringan) kemaksiatan dalam segala bentuk dan sarananya serta tekad yang tulus dan jujur untuk tidak mengulangi kembali perbuatan-perbuatan dosa di masa yang akan datang.
Dalam kaitan ini, taubat merupakan penyempurna dari istighfar seseorang agar diterima oleh Allah Ta’ala.”
Saudaraku,
Istighfar merupakan penutup amal-amal shalih. Menutup ibadah shalat, shalat malam, haji dan sebuah majlis ilmu. Jika sebuah majlis dipenuhi dengan amal shalih, maka istighfar berfungsi sebagai penyempurna majlis. Dan jika majlis sarat dengan kesia-siaan, maka istighfar berperan sebagai penghapus dosa dan kekhilafan.
Tersebut dalam sebuah atsar, bahwa Iblis berkata, “Aku telah memperdaya manusia bertahun-tahun, lalu akhirnya mereka mengalahkan aku dengan ucapan ‘laa ilaaha illallah dan istighfar’.
Ibnu Taimiyah berkata, “Kesaksian tauhid akan membuka pintu kebaikan, sedangkan istighfar sebagai pengunci pintu keburukan.”
Saudaraku,
Terkait dengan istighfar, ada beberapa perkataan salafus shalih yang perlu kita renungkan.
• Aisyah radhiallahu anha berkata, “Berbahagialah orang yang memiliki buku catatan amal, dan ia dapati lembaran-lembarannya penuh dengan istighfar.”
• Hasan Basri bertutur, “Perbanyak istighfar, karena engkau tidak tahu kapan turunnya rahmat dari langit.”
• Qatadah berkata, “Sesungguhnya al Qur’an menunjukan beragam penyakit dan obatnya. Penyakit kita adalah (mengulang-ulang dosa) dan obatnya adalah istighfar.
• Seorang salaf pernah berujar, “Siapa yang sadar dengan kesalahan dan dosanya tentu ia akan banyak beristighfar.”
Saudaraku,
Pernahkah kita menghitung berapa kali beristighfar dalam sehari semalam? Mari perbanyak istighfar. Kita serikan dan putihkan hari-hari kita dengan istighfar.
Semua orang yang berpuasa pasti akan mendapatkan ampunan Allah, melainkan orang yang enggan.” Demikian sindir Abu Hurairah kepada kita.
Ada yang bertanya, “Siapakah orang yang enggan mendapat ampunan-Nya?
Ia menjawab, “Yakni orang yang enggan beristighfar kepada Allah Ta’ala.”
Ya Rabb, terimalah taubat dan istighfar hamba-Mu yang dha’if ini dan terimalah amalan kami selama bulan Ramadhan ini. Amien. Wallahu a’lam bishawab.
Sumber:
Ramadhan durusun wa ibar, Muhammad Ibrahim al hamd.
At Tafsir al Munir, Wahbah Az Zuhaili.
(AFS/Manhajuna)