Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Da’wah bagi seorang muslim sejati adalah bagian yang tidak pernah terpisah dari kehidupannya sehari-hari. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kehidupan seorang muslim sejati hendaknya berputar dalam poros da’wah. Nahnu Du’aat Qabla Kulli Syai’, begitu slogan yang sering kita dengar dari masyaikh da’wah dan kita dengungkan kepada khalayak, baik secara verbal maupun praktek.
Sulit bagi kita untuk menghitung, seberapa besar kenikmatan yang kita rasakan dan dapatkan dari da’wah yang terus kita geluti. Untuk menilai nikmatnya pertemuan ini saja, sulit untuk kita ungkapkan dengan rangkain kata-kata. Bahkan, tantangan dan rintangan yang kita hadapi justru semakin membuat kenikmatan tersebut semakin terasa.
Busyroyaat da’wah sudah sering kita dengar, baik nasional (Indonesia), maupun lokal (Saudi Arabia), baik dari terobosan-terobosan da’wah yang semakin besar dan luas hingga respon masyarakat yang kian antusias. Namun rumusan da’wah mengajarkan kepada kita bahwa semakin banyak Busyroyaat da’wah tersebut, semakin besar tantangan yang harus kita hadapi. Itu artinya, busyroyat da’wah yang sering kita sebut, harus berbanding lurus dengan kesiapan kita untuk mengoptimalisasikannya di tengh kehidupan. Apalah arti capaian-capaian tersebut jika akhirnya membuat kita stagnan, pasif, atau bahkan sekedar ‘ujub… na’uzu billah.
Hal pertama yang penting untuk kita miliki adalah tumbuhnya kesadaran akan kekuatan internal dan seberapa besar kekuatannya. Masalah ini seringkal luput dari perhatian, akibatnya, kita justru sering dikejutkan oleh besarnya kekuatan kita yang ternyata selama ini terbengkalai begitu saja.
Jika kita memperhatikan medan da’wah di Saudi Arabia sebagai medan da’wah kita sekarang ini, akan kita dapatkan beberapa keunggulan yang menjadi sumber-sumber kekuatan da’wah yang boleh jadi tidak mudah untuk didapatkan di wilayah lain.
Dari sisi obyek da’wah, secara global kita memiliki dua lapisan masyarakat yang sangat besar peranannya ke depan dalam menentukan arah da’wah ini, baik di sini maupun di tanah air, yaitu masyarakat pelajar (mahasiswa) yang umumnya berkonsentrasi dalam studi Islam, berikutnya adalah masyarakat pekerja (TKI dan TKW). Kedua lapisan masyarakat ini dengan karakteristiknya masing-masing jika mendapatkan penanganan serius, ke depan akan melahirkan kader-kader handal yang selama ini terbukti menjadi variabel penentu dalam terobosan-terobosan da’wah.
Dari sisi infrastruktur da’wah, sebenarnya banyak yang kita miliki. Benar, kita tidak memiliki perkantoran permanen dan sarana pelengkap lainnya. Namun itu bukan berarti tidak ada yang dapat kita manfaatkan, karena sesungguhnya sudah banyak pihak lain yang menyediakannya untuk kita manfaatkan. Maktab-maktab jaliat adalah fenomena yang paling jelas dalam masalah ini, literatur dan referensi kitab-kitab maroji’ dan haroky juga sisi lain yang menjadi penopang. Disamping itu, infrastruktur da’wah yang kita miliki bukan hanya dalam ruang lingkup materi, bahkan kita memiliki infrastruktur da’wah yang tak kalah besar pengaruhnya dalam menjalankan roda da’wah, yaitu suasana yang sangat kondusif bagi kita untuk menawarkan ajaran Islam yang benar bagi masyarakat.
Keunggulan-keunggulan ini harus kita sadari betul nilai strategisnya, agar kita tidak merasa memiliki potensi besar untuk berbuat sesuatu, juga agar kita dapat memetakan da’wah dengan prioritas yang tepat.
Tinggal kemudian permasalahan berikutnya adalah bagaimana mengoptimalkan potensi ini. Jujur saja, pada titik ini, umat Islam -baik dalam skala makro ataupun mikro- sering mengalami kegagalan. Di samping itu, hal ini memang bukan proyek main-main, karena kita bukan hanya melibatkan materi atau bahkan sekedar fisik, tetapi kita juga melibatkan seluruh dimensi kemanusiaan seseorang lengkap dengan tempramen dan karakternya masing-masing.
Karena itu, pertemuan ini hendaknya tidak hanya diartikan sebagai ajang untuk mempertemukan berbagai konsep yang lengkap dengan berbagai argumennya, tapi yang juga tak kalah bernilainya adalah bahwa pertemuan ini menjadi ajang bagi kita untuk mempertemukan hati dan jiwa kita dalam Da’wah di jalan Allah Ta’ala, yang Insya Allah menjadi pembuka lebar-lebar bagi kita jalan untuk menyatukan potensi-potensi tadi dan mengoptimalkannya.
Meskipun singkat, tentu banyak makna yang dapat kita gali dari pertemuan ini. Namun setidaknya, setelah menanamkan keikhlasan kita kepada Allah Ta’ala, hendaknya pertemuan kita kali ini memotivasi kita untuk terus menyegarkan spirit da’wah kita dan ayunan langkah kita agar semakin mantap dan serasi.
Untuk itu paling tidak ada empat hal yang hendaknya selalu kita hidupkan :
- Ruh al-Mubadarah, semangat proaktif. Kalau kita sekarang sering mendengungkan prinsip musyarokah ke tengah khalayak umum, maka mestinya kedalam diri kita hal tersebut lebih intensif lagi.
- Ruh al-‘Ibda’, spirit berkreasi. Hal ini juga tak kalah pentingnya. Prinsip Da’wah sering diidentikkan dengan prinsip pemasaran. ‘Pasar’ akan merespon positif, jika sesuatu yang ditawarkan bersifat variatif. Betapa banyak da’wah memberikan hasil yang gemilang karena bersumber dari ide-ide cemerlang.
- Ruh al-Tadhiyah, spirit berkorban. Sejak awal kita sepakat, bahwa da’wah ini tidak akan mungkin berjalan tanpa adanya tadhiyah dari para pendukungnya, sebagaimana sejarah telah membuktikannya.
- Ruh al-‘Amal Jama’i, spirit bekerja sama. Boleh dikata ini adalah spirit yang paling khas yang harus kita miliki dalam hidup berjamaah.
Langkah-langkah awal ini yang sesungguhnya banyak memiliki peran dalam pembentukan masa depan da’wah kita. Karena mesti kita sadari sepenuhnya bahwa masa depan da’wah bukan ditentukan oleh berbagai tawaqqu’aat yang menanti kita di depan, tetapi lebih ditentukan –setelah karunia Allah- oleh langkah yang kita ayunkan di sini, sekarang ini. Cita-cita tentu berbeda dengan khayalan. Pemain berbeda dengan Penonton.
Semoga Allah selalu memberikan kita istiqomah untuk mengemban misi da’wah ini hingga akhir hayat, wallahu waliyyu zalika wal qadiru ‘alaih.
(Manhajuna/AFS)