Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
2- (968) وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : ” لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
2-(968) Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi mengucapkan tahmid dan pujian kepada Allah, lalu bersabda,
“… Akan tetapi aku shalat dan tidur, aku puasa dan berbuka, atau menikahi wanita. Siapa yang tidak menyukai sunahku, maka dia bukan golonganku.” (Muttafaq alaih)
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang cukup dikenal tentang kisah tiga orang shahabat yang mendatangi rumah isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi untuk menanyakan tentang bagaiman ibadah beliau. Ketika mereka beritahu, maka mereka menganggap apa yang mereka lakukan masih sedikit. Lalu mereka berkata, “Apalah kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Allah telah mengampuni dosanya yang lalu dan kemudian.” Maka salah seorang dari mereka mengatakan, “Saya akan shalat malam selamanya.” Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka.” Yang lainnya berkata, “Saya akan menjauhi wanita, tidak menikah sama sekali.” Maka datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Kaliankah yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling takwa. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka…..dst.”
- Hadits ini menguatkan tentang anjuran menikah dalam Islam dan bahwa meninggalkannya, walaupun dengan tujuan berkonsentrasi ibadah, bukan merupakan ajaran dan sunah Rasul. Bahkan dalam Al-Quran, Allah jelaskan bahwa semua Nabi memiliki isteri.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً (سورة الرعد: 38)
“Sungguh, telah Kami utus para rasul sebelummu dan telah Kami jadikan bagi mereka isteri-isteri dan keturunan..” (QS. Ar-Ra’d: 38)
Maka logikanya adalah, jika tidak menikah karena alasan ibadah tidak dibenarkan, apalagi jika alasannya tidak ada kaitannya dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
- Beragama tidak berarti menghalangi seseorang mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan selama hal itu masuk dalam perkara mubah dan tidak menghalanginya dari melaksanakan kewajiban atau terjerumus dalam kemaksiatan. Tetapi beragama membimbing seseorang agar menggunakan fasilitas dan kenikmatan dalam kehidupan secara tepat dan berbuah baik bagi kehidupannya di dunia dan akhirat.
- Pemenuhan terhadap hak Allah, tidak boleh berakibat mengabaikan hak terhadap diri sendiri dan keluarga. Kualitas keberagamaan tidak dilihat dari keberatan dan sikap berlebih-lebihan seseorang dalam beribadah atau dari sekedar banyaknya, tapi dinilai dari sejauhmana kesesuaiannya dengan petunjuk dan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan beragama dibangun dengan landasan kemudahan (QS. Al-Baqarah: 185).
- Hadits ini secara umum mengajarkan prinsip wasathiyah (moderat), tidak terjebak pada ifrath (lalai, sembrono) dalam masalah ibadah dan ketaatan, tapi juga tidak tafrith (berlebihan dan melampuai batas) sehingga merusak hak-hak lainnya yang seharusnya dia penuhi.
(AFS/Manhajuna.com)