Jabatan tampaknya tak kenal musim. Setiap saat selalu dicari-cari orang. Prestise dan fasilitas duniawi yang dijanjikan dibaliknya memang sangat menggiurkan. Kondisi ini semakin klop jika orientasi hidup seseorang terfokus pada kesenangan dunia. Maka jangan heran kalau ada yang menganggarkan uang beratus-ratus juta atau bahkan milyaran untuk sebuah jabatan. Jangan heran pula jika ada yang berani memalsukan ijazah untuk sebuah jabatan, atau yang lebih memprihatinkan, ada yang menggadaikan aqidahnya dengan pergi ke dukun lalu mengamalkan praktek syirik….. untuk sebuah jabatan.
Sebenarnya, jabatan tidak selalu memiliki citra buruk, bahkan dalam ruang lingkup agama sekalipun. Jika dia dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, selalu berpedoman dengan rambu-rambu yang telah digariskan syariat, maka kemaslahatan umat akan sangat jelas terasa. Bukankah di antara para nabi ada yang menjadi kepala negara atau menteri? Bukankah sebagian shahabat adalah pemimpin dan pejabat negara? Bukankah urutan pertama dari orang yang Rasulullah rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam katakan akan mendapatkan naungan di akhirat adalah: Pemimpin yang Adil?
Kuncinya sebenarnya terletak pada orientasi kehidupannya dan orientasinya tentang sebuah jabatan secara khusus.
Jika dia dipahami hanya sebagai ladang pendapatan dan lambang prestise dan kemuliaan, maka jadilah dia sekedar rebutan. Dengan orientasi seperti ini, jangan banyak berharap tentang kemaslatan umat walau janji-janji telah dipamerkan. Yang ada justru masalah yang semakin kusut tak pernah bisa terurai.
Namun jika dia dipahami sebagai sebuah tanggung jawab besar, di mana nasib dan kemaslahatan sekian ribu atau juta orang-orang yang menjadi wewenangnya berada di pundaknya dan akan ditanya oleh Allah Ta’ala, maka jabatan tak lebih merupakan beban berat, yang jika ada orang lain lebih layak memikulnya, dia tidak akan berani maju untuk menanggungnya.
Karena pada hakekatnya, jabatan adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Seorang pejabat, bukan lagi hanya bertanggung jawab untuk diri dan keluarganya. Tapi dia juga bertanggung jawab terhadap orang banyak sesuai ruang lingkup wewenangnya. Sedikit saja dia menyimpang, berkhianat, mengabaikan orang-orang yang menjadi wewenangnya, ancaman sudah menunggu di depannya.
Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (صحيح مسلم)
“Siapa saja seorang hamba yang Allah limpahkan kepadanya urusan publik, kemudian dia wafat dalam keadaan berkhianat kepada publiknya, niscaya Allah haramkan surga kepadanya.” (HR. Muslim)
Karena itu, apa yang membedakan sebagian manusia masa kini yang sujud syukur dan mengadakan perayaan setelah diangkat menjadi pejabat tertentu, dengan Umar bin Abdulaziz, penguasa yang berhasil mendatangkan kesejahteraan rakyatnya pada masa Kekhalifaan Bani Umayyah yang justru menangis tersedu-sedu ketika mendapatkan berita pengangkatan dirinya sebagai penguasa, seraya mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun…? Karena orientasinya memang beda !!
Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA
(Manhajuna/IAN)