Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Berbuka puasa adalah saat yang istimewa bagi orang yang bepuasa. Namun sesungguhnya nila buka puasa bukan semata karena orang yang berpuasa akan menyantap makanan setelah sekian lama menahan lapar dan dahaga. Di dalamnya begitu banyak pelajaran berharga bagi mereka yang ingin mengambil pelajaran:
a. Kebahagiaan hakiki ada pada ketaatan kita kepada Allah.
Dalam hadits yang cukup populer, Rasulullah saw bersabda, “Bagi orang yang berpuasa, ada dua kegembiraan; Gembira ketika berbuka puasa, dan gembira ketika berjumpa tuhhannya.” (HR. Muslim)
Setiap orang pasti mencari kebahagiaan. Namun sayang, banyak yang mencarinya dengan cara menerjang rambu-rambu ajaran Allah. Boleh jadi dia bahagia, namun bukan kebahagiaan hakiki, tapi kebahagiaan semu. Banyak kita dapati bukti, berbagai kemungkaran dan kemaksiatan yang dilakukan atas nama mencari kebahagiaan, justeru menjadi sumber bencana bagi pelakunya, itu baru di dunia, apalagi di akhirat.
Kebahagiaan hakiki ada pada ketaatan dan ketundukan kita terhadap ajaran Allah, manakala kita jalani dengan penuh ikhlas, diiringi rasa cinta, harap dan takut kepadaNya. Sebab keyakinan kita adalah, tidaklah ada yang Allah dan RasulNya perintahkan, kecuali didalamnya terdapat kebaikan, di dunia maupun akhirat. Dan tidaklah ada yang Allah dan RasulNya larang, kecuali di dalamnya mendatangkan celaka, baik di dunia maupun akhirat.
b. Dunia hanya sesaat, jangan pusatkan hidup kita untuknya.
Sesaat kita berbuka puasa, gambaran kenikmatan makanan-makanan yang lezat seketika sirna. Apalagi jika perut kita telah kenyang, selezat apapun makanan yang ada di hadapan tak terasa apa-apa di lidah.
Begitulah kurang lebih gambaran dunia, berbagai kesenangan dunia di kejar, ketika didapat, tak lama kemudian dia ternyata biasa saja. Karena itu, untuk yang sifatnya sementara, jangan kita tumpahkan dan pusatkan perhatian kita untuknya. Justeru kita harus pusatkan perhatian kita pada yang sifatnya abadi; Akhirat kita. Sebab rugilah hidup kita hanya untuk urusan dunia belaka, sebab dia hanya sesaat saja, dan pilihannya hanya dua, dia meninggalkan kita atau kita meninggalkannya.
Ini bukan seruan untuk mengabaikan kehidupan dunia, justeru kita harus mendapatkan kebaikan dunia sebesar-besarnya. Tapi persoalan intinya adalah bagaimana dunia kita dalam segala sisi dan dimensinya, kita jadikan alat dan sarana untuk kebaikan akhirat kita. Ilmu kita, harta kita, jabatan kita, tenaga kita, dan lainnya, kita manfaatkan untuk kebaikan akirat kita.
b. Letihnya taat dan lezatnya maksiat sama-sama akan hilanng, namun hasilnya berbeda.
Saat kita berbuka, seketika itu juga kan hilang keletihan, lapar dan haus, di sisi lain, harapan kita besar untuk mendapatkan pahala dari Allah Taala. Itulah makna doa yang kita baca saat berdoa,
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Haus telah lenyap, nadi telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah.” (HR. Abu Daud)
Sebaliknya maksiat, kenikmatannya pun akan lenyap. Namun berbeda dengan ibadah yang menjanjikan pahala dan ridha Allah, maksiat menjanjikan dosa dan murka Allah. Karena itu, umumnya maksiat melahirkan galau dan perasaan tidak tenang dalam kehidupan.
Hal ini mengingatkan kita untuk bersabar menanggung keletihan-keletihan dalam rangka taat dan amal saleh, semuanya hanya sementara, tapi dibalik itu mengandung kebahagiaan dan ketenangan. Di sisi lain, jangan mudah terbujuk oleh kesenangan dan kelezatan maksiat yang sesaat. Itu hanya sementara, sementara kepedihan dan kesengsaraan yang akan ditanggung bersifat abadi. Adakah orang yang sehat akalnya rela menanggung penderitaan abadi demi meraih kesenangan sesaat? Tentu tidak!
c. Kelapangan yang didapat setelah penderitaaan lebih mudah disyukuri.
Saat kita berbuka puasa, terasa sekali nikmatnya makanan yang kita santap dan minuman yang kita hirup, bahkan walau apa adanya sekalipun, dan berikutnya ucapan Alhamdulillah sebagai ungkapan syukur begitu mudah mengalir dari bibir kita. Padahal di waktu lain bukan pada saat berbuka, boleh jadi kita memakan makanan yang lebih lezat, namun rasa syukur kita tak hadir seketika. Padahal pada keduanya ada nikmat Allah yang wajib disyukuri.
Demikianlah di antara manfaat kesuitan, cobaan dan keterbatasan dalam kehidupan, manaka Allah berikan kelapangan dalam kehidupan, akan mendatangkan rasa syukur dengan mudah. Bahkan rasanya pun lebih nikmat dan mantap. Rasa nikmat seorang miskin papa saat tiba-tiba mendapatkan uang sejuta rupiah akan berbeda dengan mereka yang hidup berlimpah, jangankan sejuta, puluhan juta pun seperti tak ada sesuatu nikmat yang special jika tidak disadari.
Ujian dan kesulitan hidup bukan untuk diratapi, tapi kita hadapi dengan landasan iman dan takwa serta usaha keras seraya terus berdoa. Ketika Allah bukakan jalan keluarnya, akan sangat terasa nikmatnya.
Kita mungkin sering mengeluh dengan berbagai problem yang kita hadapi. Tapi sadarkan kita? di sisi lain kita memiliki kenikmatan yang sangat diimpi-impikan sebagian orang, seperti kesehatan, kelapangan, keamanan, dll
(Manhajuna/AFS)