Ustadz, menurut Allah & RosulNya apakah dibenarkan bila saya masih mempertimbangkan masalah fisik dan mai’syah dalam memilih pasangan hidup ? Dan bagaimana menyingkapinya ? Nikah itu kan untuk seumur hidup.
Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Jawaban singkat : Ya, pertimbangan fisik dan ma`isyah sangat boleh dijadikan bahan pertimbangan untuk memilih calon pasangan.
Lengkapnya adalah bahwa ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang bagaimana memilih calon pasangan hidup, beliau menyebutkan 4 kriteria. Dan beliau menekankan kriteria agama. Namun bukan berarti yang boleh dijadikan pertimbangan hanya agamanya saja. Sebab pengertian hadits ini hanya memberikan mana yang lebih diprioritaskan, bukan menggugurkan yang lainnya.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,“Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat.” (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Di sisi lain, ketika ada seorang shahabat ingin menikah dan melapor kepada Rasulullah SAW, beliau SAW bertanya apakah sudah melihat fisiknya. Shahabat tadi menyatakan belum, maka Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melihat dulu penampilan fisiknya. Kalau urusan fisik tidak perlu dijadikan bahan pertimbangan, tentu beliau SAW tidak akan memerintahkan untuk melihatnya.
Dari Abu Hurairah ra berkata, `Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.` (Riwayat Muslim)
Dalam hadits lainnya juga ada salah seorang shahabat yang mengalami kasus yang mirip.
Dari Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: ”Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah”. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).
Dalil-dalil di atas telah dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa penampilan fisik boleh menjadi bahan pertimbangan dalam memilih calon pasangan. Tentunya hal yang sama juga berlaku bagi para wanita ketika harus mempertimbangkan apakah menerima lamaran seorang laki-laki atau tidak.
Dan tentunya pertimbangan harta yang dimiliki pun boleh dijadikan bahan juga. Sebagaimana boleh mempertimbangkan segi nasab atau keturunannya. Kesemuanya boleh dijadikan bahan untuk pertimbangan, namun jangan sampai melupakan pertimbangan dari segi agama.
Sebaliknya, jangan juga hanya pertimbangan agamanya saja, sementara fisiknya tidak berbentuk alias ancur, hartanya tidak ada bahkan penuh dengna hutang dan keturunannya mungkin juga bukan dari kelurga baik-baik. Tentu setiap orang berhak memilih dan bebas menentukan pilihannya.
Selain pertimbangan 4 faktor di atas, pada dasarnya agama Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup berdasarkan subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya.
Intinya, meski pun 4 hal dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari sisi yang lainnya bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu dan hubungannya dengan orang lain.
Sebagai contoh adalah kecenderungan dasar yang ada pada tiap masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. Kecenderungan ini tidak ada kaitannya dengan masalah fanatisme darah dan warna kulit, melainkan sudah menjadi bagian dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan Islam bisa menerima kecenderungan ini meski tidak juga menghidup-hidupkannya.
Sebab bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal-hal yang secara watak dan karakter sulit dihilangkan.
Contoh lainnya adalah selera seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter dan sifat tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai. Misalnya seorang wanita menginginkan punya suami yang lembut atau yang macho, merupakan bagian dari selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang laki-laki menginginkan punya istri yang bertipe wanita pekerja atau yang tipe ibu rumah tangga. Ini juga merupakan selera masing-masing orang yang menjadi haknya dalam memilih.
Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang tidak terhindarkan.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Sumber : Pusat Konsultasi Syariah