Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Qurban Bukan Sedekah Daging
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Qurban Bukan Sedekah Daging

(Qurban Bukan Sedekah Daging: Bagian 1)

Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

kurban_sapiManhajuna.com – Tanpa banyak disadari, ternyata selama ini telah terjadi pergeseran persepsi, pemahaman dan penyikapan dari banyak pihak umat Islam terhadap esensi syariah qurban, sehingga hampir menjadi sekadar momen berbagi dan sebatas sarana bersedekah daging. Meskipun dalam qurban terdapat aspek dan dimensi sosial dengan berbagi dan bersedekah, namun itu sama sekali bukanlah esensi dan substansinya.

Esensi dan hakekat qurban pada setiap hari raya Idul Adha, seperti yang segera hadir beberapa hari ini, justru terletak pada prosesi penyembelihan salah satu dari tiga jenis hewan ternak, sebagai sebuah ibadah ritual persembahan spesial, wujud penghambaan, wasilah (sarana) taqarrub (pendekatan diri) dan syiar deklarasi tauhid hanya kepada Allah Ta’ala. Sedangkan porsi berbagi atau bersedekah daging dan semacamnya, hanyalah sebatas efek dan konsekuensi saja dari ibadah istimewa ini. Tak beda seperti efek kesehatan misalnya dan semacamnya yang didapat seorang muslim dari ibadah shalat, atau puasa, atau haji, dan lain-lain, yang dilakukannya.

Sehingga seseorang yang berqurban dengan niat dan motivasi utama untuk sekadar bersedekah daging, secara umum hampir sama dengan yang menjalankan shalat misalnya dengan niat dan motivasi utama sekadar untuk mendapatkan manfaat kesehatan dari gerakan-gerakan yang terbukti menyehatkan dalam praktik ibadah paling asasi tersebut. Jadi intinya, kita harus menunaikan prosesi penyembelihan hewan qurban, dengan niat dan motivasi utama sebagai ibadah persembahan ritual, bentuk deklarasi iman dan tauhid, serta sekaligus wasilah taqarrub (sarana pendekatan diri) kepada-Nya. Adapun tentang niatan-niatan dan motivasi-motivasi lain seperti bersedekah dan semacamnya, yang juga ada dan menyertai, maka itupun tidak mengapa, selama sifat dan kapasitasnya sebatas sebagai faktor penyerta tambahan, dan bukan yang utama atau asasi.

Tentu saja banyak potensi akibat buruk dan dampak negatif dari dominannya persepsi dan penyikapan qurban sebagai sekadar momen sedekah daging tersebut. Disamping secara sudut pandang syar’i memang tidak benar, kesalahan persepsi itu juga bisa berakibat terabaikannya banyak ketentuan dan syarat ritual ibadah qurban yang menjadikan prosesi penyelenggaraan ibadah spesial hari raya Idul Adha tersebut tidak sempurna atau bahkan bisa lebih fatal lagi, membuatnya tidak sah.

Karena bagi yang berpersepsi salah seperti itu, utamanya bila menjadi pengelola qurban, maka yang akan menjadi fokus perhatiannya, hanyalah yang penting hewan tersembelih dengan cara syar’i yang menjadikannya halal dimakan, dikonsumsi dan dibagi. Itu saja. Sedangkan apakah prosesi penyembelihan dan pengelolaan telah memenuhi berbagai syarat ketat dan ketentuan detail yang membuat qurban sah sebagai sebuah bentuk ibadah yang sangat spesial, maka itu semua bisa lepas sama sekali dari kepedulian dan perhatiannya. Dan tentu saja, dari sudut pandang syar’i, itu berbahaya sekali.

Sembelihan (Dzaba-ih) di Dalam Islam:

Perlu dipahami dan diingat bahwa, di dalam Islam terdapat dua macam sembelihan. Pertama, sembelihan penghalalan (dzaba-ih dzakah/tadzkiyah), dengan tujuan sekadar agar hasil sembelihan menjadi halal dikonsumsi. Kedua, sembelihan ritual (dzaba-ih nusuk/‘ibadah), sebagai ibadah persembahan yang merupakan bukti penghambaan dan ketaatan kepada Allah, dalam rangka menjalankan syariah-Nya dan mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimana antara kedua jenis sembelihan tersebut, terdapat banyak sekali perbedaan yang sebagian besarnya sangat esensial dan substansial. Baik dalam hakekat masing-masing, konsekuensi syar’inya, dimensinya, prosesinya, syarat-syaratnya, dan hal-hal lainnya.

Dalam sembelihan penghalalan (dzaba-ih dzakah/tadzkiyah), masalah utamanya hanya terkait dengan apakah hasil sembelihan itu halal atau haram untuk dimakan dan dikonsumsi. Dan untuk tujuan itu syaratnya sangat sederhana sekali. Yakni cukup dengan tiga syarat saja, yaitu: satu, hewan yang disembelih tidak termasuk yang haram dimakan; dua, penyembelihnya seorang muslim; dan tiga, disebut nama Allah saat penyembelihan, minimal dengan ucapan bismillah.

Sedangkan dalam sembelihan ritual ibadah (dzaba-ih nusuk/’ibadah), masalah utamanya terkait dengan apakah sembelihan yang ditunaikan telah sah ataukah tidak sebagai bentuk ibadah persembahan kepada Allah Ta’ala, sesuai syarat-syarat detail dan rinci yang telah ditetapkan. Bahkan lebih dari itu, masalahnya juga masuk dalam ranah sunnah atau bid’ah, dan lebih jauh lagi sampai ke wilayah tauhid atau syirik. Dimana jika benar-benar sesuai dengan syarat dan ketentuan ketat yang ditetapkan, sembelihan ritual ibadah adalah merupakan bentuk deklarasi tauhid pelakunya.

Sementara itu bila menyalahi syarat dan ketentuan, sembelihan ritual yang dilakukan seseorang tidak hanya tidak halal dan tidak sah, atau juga bid’ah, melainkan bahkan bisa merupakan sebuah bentuk kesyirikan dan prilaku penyekutuan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan demi sah apalagi sempurnanya pelaksanaan sembelihan ritual ibadah, syarat-syarat yang harus dipenuhi tidaklah sesederhana sembelihan biasa yang dengan tujuan sekadar agar dagingnya halal dimakan saja, melainkan sangat ketat, detail dan banyak sekali, sebagaimana yang bisa dilihat dalam contoh syarat-syarat ritual pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang insya-allah akan disebutkan dibawah nanti.

Nah bila sifat sembelihan penghalalan sangat longgar sekali terkait dengan macam-macamnya, kebutuhan atau tujuannya, jenis hewannya, kriteria-kriterianya, momen atau waktunya, tempat dan lain-lainnya, maka dalam hal sembelihan ritual ibadah, sifatnya sangat terbatas sekali. Dimana hanya ada tiga jenis saja sembelihan ritual ibadah yang dituntunkan dan dibenarkan di dalam ajaran Islam kita. Dan ketiganya adalah: sembelihan qurban, sembelihan aqiqah dan sembelihan terkait haji dan umrah di Tanah Suci Mekkah, yang biasa dikenal dengan nama hadyu atau dam.

Sehingga semua bentuk sembelihan ritual persembahan, diluar ketiga jenis tersebut, yang tak jarang dilakukan sebagian masyarakat sebagai syarat ritual bagi terwujudnya kepentingan dan hajat tertentu dalam hidup mereka, adalah merupakan bentuk kebid’ahan, penyimpangan dan bahkan kesyirikan. Seperti misalnya sembelihan-sembelihan ritual persembahan yang acapkali dijadikan sebagai syarat ritual bagi beragam hajat hidup semisal penyembuhan penyakit, percepatan jodoh, perlindungan diri atau tempat, pelancaran bisnis, pensuksesan karir, pendirian rumah atau gedung apapun, pembangunan jembatan, penolakan bala’, “pensedekahan bumi”, dan lain-lain. (insyaallah bersambung).

(Manhajuna/GAA)

(Visited 215 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *