Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Seputar Hukum dan Ketentuan Menjamak Shalat Karena Turun Hujan
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Seputar Hukum dan Ketentuan Menjamak Shalat Karena Turun Hujan

Oleh Ustad Abdlullah Haidir, Lc.

Menjamak shalat dalam safar, relatif sudah cukup dikenal dan sering dipraktekkan di tengah masyarakat. Namun, berbeda dengan qashar shalat yang hanya dibolehkan dalam safar, menjamak shalat, selain dalam safar, juga dibolehkan dalam kasus dan kondisi tertentu. Di antaranya saat turun hujan. Hanya saja masalah ini cenderung belum akrab dipahami oleh masyarakat. Padahal ini adalah bagian dari rukhshah (keringanan) yang Allah berikan kepada hamba-Nya, dan Dia senang jika rukhshahnya dimanfaatkan, sekaligus hal ini merupakan sikap menghidupkan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Berikut catatan ringkas dalam masalah ini. Jumhur ulama (ulama kalangan mazhab Maliki, Syafii dan Hambali) berpendapat dibolehkannya menjamak shalat Maghrib dan Isya karena turun hujan yang dapat membasahi pakaian. Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

صَلَّى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat di Madinah; Zuhur dan Ashar dengan jamak, Maghrib dan Isya dengan jamak.” (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat Muslim ditambahkan,

مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ

Bukan karena takut dan safar.”

Imam Malik dan Syafii berkata, “Saya mengira bahwa alasannya adalah karena hujan..”

Terdapat juga riwayat yang kuat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhum menjamak shalat dengan alasan hujan.

Sebagian ulama dari kalangan jumhur berpendapat bahwa jamak shalat karena hujan hanya berlaku bagi shalat Maghrib dan Isya karena waktu malam dianggap lebih berat kesulitannya. Namun sebagian lainnya berpendapat dibolehkannya menjamak Dzuhur dan Ashar, selama ada alasannya, yaitu adanya kesulitan karena turunnya hujan. Hal ini berdasarkan keumuman hadits di atas.”

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, bab: Al-Jam’u Lil Mathar, watstsalj, wal Bar, wa nahwiha,
XV/290,)

Jamak yang dilakukan adalah jamak taqdim, yaitu pada waktu shalat yang pertama. Adapun jamak ta’khir, sebagian ulama membolehkan dan sebagiannya tidak membolehkan.

Hujan bagaimana yang membolehkan jamak shalat? Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya ‘Al-Mughni’, “Hujan yang menyebabkan boleh menjamak shalat adalah yang membasahi pakaian dan menimbulkan kesulitan untuk keluar (bolak balik untuk shalat berjamaah). Adapun jika gerimis atau hujan rintik-rintik yang tidak membasahi pakaian, maka tidak boleh menjamak shalat (karenanya).” (Al-Mughni, 3/133).

Jalan becek dan berlumpur, udara sangat dingin, angin kencang di malam gelap juga dianggap sebagai uzur (alasan) untuk menjamak shalat karena sama-sama menimbulkan kesulitan seperti hujan. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Majmu Fatawanya (Al-Mughni, 3/133, Majmu Fatawa, 24/183)

Kesimpulannya, jika hujannya besar yang membuat basah kuyup, atau menimbulkan becek yang menyulitkan jamaah shalat untuk pulang pergi ke masjid melakukan shalat pada waktunya masing-masing, maka dibolehkan bagi jamaah shalat di masjid untuk menjamak shalat. Meskipun hujan tersebut tidak turun terus menerus pada kedua waktu shalat, atau dia terhenti saat shalat ditunaikan. Bahkan jika hujannya terhenti sebelum shalat ditunaikan, namun jika hujannya besar, menimbulkan becek atau berlumpur sehingga menyulitkan jamaah masjid untuk pulang pergi ke masjid melakukan shalat berjamaah, maka dibolehkan menjamak shalat.

Pada prinsipnya, menjamak shalat di waktu hujan, adalah untuk memberikan keringanan bagi mereka yang berangkat ke masjid di waktu hujan. Maka, hal ini tidak berlaku bagi mereka yang shalat di rumah, atau di tempatnya masing-masing.

Meskipun ini amalan yang telah dinyatakan oleh jumhur ulama, namun karena banyak masyarakat yang belum mengetahuinya, maka sebaiknya pengamalannya dilakukan dengan bijaksana. Minimal memberitahu jamaah akan kedudukan hukum dalam masalah ini. Agar tidak timbul silang sengketa yang tidak layak di dalam masjid.

Keputusan imam hendaknya dipatuhi. Jika imam memandang tidak perlu melakukan shalat jamak, maka jamaah sebaiknya tidak shalat jamak, karena imam ditetapkan untuk diikuti. Bagi imam shalat sebaiknya mengkaji kedudukan hukum dalam masalah ini agar dapat menjadi pedoman, atau paling tidak dia bertanya kepada para ulama untuk mengetahui kedudukannya. Wallahua’lam.

Wallahua’lam.

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.
(Visited 485 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

One comment

  1. Assalamu’alaikum….manhajuna…ana mau ucapkan trimakasih…setinggi-tingginya atas ilmu yg telah di bagikan semoga bermanfaat dunia akherat amin ya roba’akamin Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *