Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Sulitnya Menjaga Keihklasan
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Sulitnya Menjaga Keihklasan

Oleh Ust. Abu Ja’far Fir’adi, Lc.

Saudaraku,
Dalam menuntut ilmu, terkadang terbesit di benak kita untuk meraih gelar akademisi gemilang. Saat meringankan beban orang lain, terkadang kita mengharap pamrih dari kebaikan kita. Ketika mengeluarkan sedekah, terkadang kita mengharap imbalan yang lebih besar dari manusia saat masa sulit menyapa kita. Sewaktu shalat, kekhusyu’an kita bertambah saat ada orang yang kita hormati berada di dekat kita.

Mungkin kita kecewa saat nominal bantuan kita untuk pembangunan masjid tak diumumkan oleh panitia. Dan tak mustahil kita menghafal Qur’an, agar kelak kita digelari al hafizh. Memfasihkan belajar al Qur’an agar dikemudian hari kita dipanggil sebagai Qari’. Dan yang seirama dengan itu.

Demikianlah, dalam perjalanan hidup menuju Allah, sering kali kita memendam perasaan rindu yang menggebu selain untuk Yang Maha Rahman. Mengharapkan cinta dan kasih selain cinta-Nya. mendambakan senyuman lain selain senyuman-Nya. Merindukan pujian dan sanjungan lain selain sanjungan dan pujian dari-Nya. Dan manyandarkan diri pada dinding lain di bangunan Islam-Nya. Hingga dalam amalanpun terkadang kita bersikap mendua, mengharap wajah lain selain wajah Allah swt.

Itu maknanya amalan baik yang telah kita ukir dalam kehidupan ini masih sangat jauh dari hakekat sebuah keikhlasan. Padahal hati merupakan ukuran penilaian Allah. Berbeda dengan manusia yang penilaiannya bertumpu pada tampilan lahir.

Rasul saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tiada melihat bentuk tubuh dan rupamu, tapi Dia melihat hati dan amal perbuatanmu.” (H.R; Muslim).

Saudaraku,
Meluruskan niat, mengikhlaskan hati merupakan tazkiyatun nafs yang paling sulit kita perbuat. Banyak aral melintang di hadapan. Tidak sedikit onak dan duri yang menghiasi perjalanan. Dan tak terhitung debu-debu lembut yang menggelapkan pandangan mata kita. Diperlukan kesabaran dan keistiqamahan dalam mendidik jiwa yang dipenuhi nafsu ankara ini.

Sufyan Atsauri rahimahullah pernah mengungkapkan kegundahan hatinya, “Tiada terapi yang paling sulit aku lakukan terkecuali meluruskan niat karena ia sangat fluktuatif.”

Jangan kita biarkan amalan yang telah diukir dalam hidup ini menjadi debu-debu yang beterbangan, bak fatamorgana sia-sia tanpa pahala di sana. Di akherat sana.

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Berapa banyak amalan sederhana menjadi sangat berharga karena niatnya dan tidak sedikit amalan yang agung menjadi tak bermakna karena niatnya.”

Saudaraku,
Manusia yang beramal baik namun keikhlasannya ternoda ibarat orang yang dengan susah payah mengisi kulah (bak) dengan air bersih hingga penuh dan setelah itu dia taburi dengan racun. Sungguh suatu pemandangan yang sangat menghiris hati dan menusuk kalbu ini.

Hati yang bersih (ikhlas) akan membuahkan firasat yang tajam, tepat selaras dengan kehendak Allah.

Makhul rahimahullah berkata, “Tiada seorang hamba bila keikhlasan telah menghiasi kalbunya terkecuali akan mengalirkan mata air hikmah dari relung hatinya melalui lisannya.”

Saudaraku,
Imam Nawawi pernah menyebutkan tiga ukuran orang yang beramal dengan ikhlas, yaitu:

• Beramal dilandasi dengan rasa khauf (takut), jika amal shalihnya tak diterima di sisi-Nya.

• Beramal dengan mengharap pahala dan surga-Nya.

• Beramal dengan diselimuti rasa malu di hadapan-Nya. Karena ia merasa dirinya belum maksimal dalam mendaki pncak ubudiyah, sementara Dia telah mengucurkan berbagai karunia.

Imam Thabrani menyebutkan sababul wurud dari hadits “Innamal a’malu binniyat” (sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya),

“Di masa Nabi saw ada seorang laki-laki, berhijrah dari Mekkah menuju ke Madinah. Orientasinya bukan untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya. Tetapi ia berhijrah karena ingin menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Sehingga ia populer di kalangan sahabat dengan gelar “Muhajir Ummu Qais.”

Hijrah merupakan amalan yang agung. Meninggalkan kampung halaman, sanak saudara. Bahkan harta miliknya. Maka hal itu bukanlah perkara yang ringan dan mudah. Oleh karena itu Nabi saw memberi garansi surga bagi setiap orang yang berhijrah untuk tujuan yang benar dan suci; ridha dan surga-Nya.

Namun ketika niat hijrahnya telah terkontaminasi dengan riya’ dan pamrih duniawi lainnya seperti yang dilakukan oleh Muhajir Ummu Qais, maka hijrahnya tak akan membuahkan hasil apapun di sana.

Saudaraku,
Seorang salafus shalih pernah bertutur, “Orang yang ikhlas dalam beramal adalah orang yang merahasiakan amalannya sepertimana ia merahasiakan keburukannya.”

Salafus shalih memandang bahwa perbuatan lahir yang berbeda dengan amalan bathin, sebagai perilaku hipokrit (kemunafikan).

Subhanallah, jika demikian parameter sebuah keikhlasan, maka mengangkat batu sebesar gunung Uhud di pundak kita jauh lebih ringan daripada merealisasikan sebuah keikhlasan dalam hidup kita. Mengaca pada perkataan salaf ini, siapa di antara kita yang tak terjatuh kepada perilaku hipokrit ini?.

Kelurusan niat, hanya bisa dirasakan oleh si pemilik hati (manusia) dan hanya diketahui oleh Pemberi hati (Allah swt).

Saudaraku,
Ibnul Qayyim rahimahullah, menyebutkan indikator kelurusan niat kita, yakni:

•Tiada yang diingini hati kecuali ridha Rabb-nya.

•Mempersiapkan bekal untuk menyambut hari perjumpaan dengan-Nya.

•Bersedih hati kala waktu berlalu untuk perkara yang tidak diridhai-Nya.

•Puncaknya adalah tiada-lah kita berada di waktu pagi maupun petang melainkan obsesi hidup kita adalah menggapai ridha-Nya.

Ya Rabb, anugerahkan kepada kami keikhlasan dan kelurusan niat dalam pendakian puncak ubudiyah kepada-Mu. Amien.

Metro, 12 Mei 2013

(AFS/Manhajuna)

(Visited 1.052 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

ETIKA MENDENGAR, KAEDAH ‘8-M’ (Tafsir Qurtubi 11/176)

Bersama Buya (Dr.) Ahmad Asri Lubis (غفر الله له ولوالديه وللمؤنين). Menurut Imam Qurtubi, Ibnu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *