(Qurban Bukan Sedekah Daging: Bagian 4)
Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
4. Kadar Minimal Sahnya Qurban Dan Qurban Patungan
Batas atau kadar minimal sahnya ibadah qurban bagi seseorang atau satu rumah adalah berqurban dengan seekor kambing, atau dengan sepertujuh unta atau sepertujuh sapi bagi yang berpatungan dengan orang lain. Jadi seekor kambing dengan syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan dimuka, hanya sah dijadikan qurban untuk satu orang atau satu rumah saja. Sehingga jika ada dua orang apalagi lebih, berpatungan dalam berqurban dengan seekor kambing, maka itu hanya akan berpahala sebagai sekadar sedekah daging saja di hari raya qurban, akan tetapi tidak sah dan tidak bernilai sebagai ibadah qurban. Begitu pula dengan qurban patungan unta atau sapi, dimana jika jumlah pequrban yang ikut terdaftar di dalamnya melebihi tujuh orang, maka dengan demikian ibadah qurban unta atau sapipun menjadi tidak sah, dan dagingnya yang dibagi-bagipun hanya bernilai dan berpahala sebagai sebatas amal sedekah daging semata.
Sahabat Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu, seseorang berqurban dengan seekor kambing atas namanya dan atas nama keluarganya sekaligus. Lalu merekapun ikut makan (dari qurban masing-masing), dan memberikan (sebagiannya) kepada yang lain.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sementara itu sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita: Di Hudaibiyah dulu, kami menyembelih bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seekor unta untuk tujuh orang, dan seekor sapi juga untuk tujuh orang. Dalam lafadz yang lain (dikatakan): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami berpatungan dalam menyembelih unta dan sapi, dimana tujuh orang menyembelih seekor dari masing-masing hewan ternak tersebut. Dan dalam redaksi hadits yang lainnya lagi (dituturkan): Maka seekor sapipun disembelih atas nama tujuh orang, dimana kami berpatungan di dalamnya. (HR. Muslim).
5. Urutan Keutamaan Qurban
Dari aspek dan dimensinya sebagai ibadah ritual, menurut para ulama, urutan keutamaan qurban adalah sebagai berikut.
- Urutan pertama, berqurban dengan seekor unta untuk satu orang atau satu keluarga serumah;
- Kedua, berqurban dengan seekor sapi untuk satu orang atau satu keluarga serumah;
- Ketiga, berqurban dengan seekor kambing kibas atau domba;
- Keempat, berqurban dengan seekor kambing jawa;
- Kelima, berqurban dengan seekor unta secara patungan diantara maksimal tujuh orang atau tujuh rumah;
- Dan urutan keenam, berqurban dengan seekor sapi secara patungan diantara maksimal tujuh orang atau tujuh rumah.
Adapun untuk masing-masing jenis diantara ketiga hewan qurban tersebut, maka yang lebih afdhal, lebih baik dan lebih tinggi nilai ibadahnya, adalah yang lebih sempurna secara kriteria, baik dari aspek gemuk atau besarnya, sehatnya maupun juga tampilannya.
Jadi, dengan demikian, dari sudut pandang, aspek dan dimensi ritual, tujuh orang yang berqurban dengan tujuh ekor kambing misalnya adalah lebih afdhal dan lebih baik daripada tujuh orang lainnya yang berqurban secara patungan dengan seekor unta atau seekor sapi. Dan hal itu, seperti yang telah ditegaskan dimuka, karena esensi ibadah qurban terletak pada prosesi penyembelihan hewan yang diqurbankan. Sehingga jika yang disembelih adalah tujuh ekor kambing, maka berarti disana ada tujuh ibadah qurban. Sedangkan dengan seekor unta atau seekor sapi yang disembelih atas nama tujuh orang lainnya, berarti tetap hanya ada satu saja ibadah qurban disini. Dan tujuh, tentu saja, lebih baik daripada satu!
Tentang urutan keutamaan tersebut, secara umum disimpulkan oleh para ulama dari sabda Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): ”Barangsiapa berangkat untuk shalat Jum’at di waktu pertama (awal waktu), maka (fadhilahnya) seolah-olah ia berqurban seekor unta. Barangsiapa berangkat di waktu kedua (waktu berikutnya), maka seakan-akan ia berqurban seekor sapi. Dan barangsiapa berangkat pada waktu ketiga (waktu sesudahnya lagi), maka seolah-olah ia berqurban seekor kambing…” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dan di dalam riwayat-riwayat hadits disebutkan bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hampir selalu berqurban dengan kambing kibas yang besar, gemuk, sehat, gagah dan berbulu indah. Seperti misalnya di dalam hadits sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dimana beliau berkata: Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas besar yang gemuk, bertanduk dan berbulu putih campur hitam. (HR. Al-Bukhari).
6. Batas Waktu Penyembelihan Qurban
Salah satu hal yang menjadi ciri utama hampir seluruh ibadah ritual dengan berbagai jenisnya, seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain, adalah adanya syarat batasan waktu pelaksanaan. Dimana sebuah ibadah ritual hanya dibenarkan dan disahkan bila dilakukan dalam batasan waktu yang telah ditentukan dan disyaratkan. Begitu pula dengan pelaksanaan ritual ibadah penyembelihan hewan qurban ini. Ada batas awal waktunya, dan ada batas akhirnya. Dimana qurban tidak sah bila dilaksanakan diluar batas waktu tersebut. Tentu yang dimaksudkan adalah prosesi pelaksanaan penyembelihan hewan qurban, karena memang disitulah terletak ritual ibadahnya. Adapun tentang pendistribusian hasil sembelihan qurban, maka waktunya sangat longgar sekali, dan tidak terbatas seperti waktu penyembelihannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Dulu aku pernah melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari tiga malam. Tapi (sekarang) simpanlah sekehendak kalian.” (HR. Muslim).
Adapun tentang batas awal waktu penyembelihan hewan qurban, maka sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah seusai penunaian shalat Idul Adha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menyembelih hewan qurban sebelum shalat Id, maka harus mengulang lagi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): “Yang pertama kali kita lakukan hari ini (hari raya Idul Adha) adalah shalat Id, lalu pulang untuk menyembelih qurban. Barangsiapa melakukannya, berarti ia telah mengikuti sunnah kita. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelumnya (sebelum shalat), maka itu hanya menjadi daging biasa yang diperuntukkan bagi keluarganya, dan sama sekali tidak termasuk sembelihan ibadah (qurban).” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Al-Baraa’).
Sedangkan tentang batas akhir penyembelihan yang masih sah sebagai ibadah qurban, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Dimana jumhur imam madzhab, yakni Abu Hanifah, Malik dan Ahmad rahimahumullah, berpendapat bahwa, waktu penyembelihan hewan qurban berakhir pada akhir tanggal 12 Dzulhijjah, yakni hari kedua tasyriq. Sedangkan madzhab Imam Asy-Syafi’i, dan insyaallah ini yang lebih rajih, mengatakan bahwa, waktu penyembelihan adalah selama empat hari sampai akhir hari tasyriq yakni tanggal 13 Dzulhijjah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Seluruh hari tasyriq adalah waktu penyembelihan (hewan hadyu dan juga qurban).” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi dari sahabat Jubair bin Muth’im ra). Dan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: Hari-hari penyembelihan qurban adalah: hari raya idul adha dan tiga hari sesudahnya. (Zadul Ma’ad: 2/319).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mentarjih madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dan mengkritik madzhab jumhur, seraya berkata: Karena tiga hari ini (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) merupakan hari-hari yang dikhususkan sebagai hari-hari Mina, hari-hari pelemparan jumrah, hari-hari tasyriq dan hari-hari haram puasa. Jadi ketiganya “bersaudara” (sama) dalam hukum-hukum ini semuanya. Lalu, mengapa jadi berbeda (menurut madzhab jumhur) dalam hal kebolehan menyembelih dengan tanpa adanya dasar teks dalil ataupun ijmak? (Zaadul Ma’aad: 2/319). (insyaallah bersambung).
(Manhajuna/GAA)