Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Siapa yang tak senang mendapatkan kesempatan beribadah haji? Mimpi dan khayalan segera terbukti, Janji-janji kebaikan telah menanti, kepuasan batin akan menghampiri.
Namun, betatapun mulianya ibadah haji, jika kita kurang hati-hati, ada perkara-perkara yang dapat mengurangi atau bahkan merusak nilai ibadah itu sendiri. Bolehlah kita katakan hal tersebut sebagai ‘Virus Dalam Ibadah Haji’;
1. Syirik.
Di antara tujuan utama ibadah haji adalah memurnikan tauhid dan meninggalkan syirik. Kalimat talbiah memberikan makna yang jelas tentang hal tsb dan banyak lagi petunjuk lainnya dalam ibadah ini yang mengajak kepada tauhid yang murni.
Perjalanan ibadah haji yang cukup mengandung resiko, kemudian keberadaannya di tanah suci yang Allah muliakan, tidak jarang mengundang sebagian jamaah haji meyakini atau melakukan sesuatu yang dapat masuk pada katagori syirik, kecil maupun besar.
Sebagian jamaah haji ada yang membawa tanah dari kampung halamannya dengan keyakinan agar dirinya dapat kembali dengan selamat. Sebagian lagi ada yang membawa tanah dari tanah haram untuk mendapatkan berkah, atau untuk jimat. Sebagian lagi mengusap-usap bangunan tertentu yang diyakini memiliki berkah atau membeli kain kiswah (penutup Ka’bah) dengan keyakinan akan mendatangkan keberuntungan.
Bahkan ada yang memohon kepada makhluk. Atau contoh-contoh lainnya yang termasuk katagori syirik. Camkanlah dalam diri. Syirik membuat ibadah kita menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah (QS. Al-An’am: 88).
2. Riya, sum’ah dan sombong.
Apresiasi yang tinggi dari masyarakat terhadap orang yang telah menjalankan ibadah haji, tidak jarang membuat sebagian orang menjadikan ibadah haji sebagai lambang prestise dan kebanggaan. Permasalahan ini biasanya sangat halus. Karena itu sangat membutuhkan kebersihan hati dan mawas diri untuk menghindarinya.
Begitu pula dalam pelaksanaan ibadah haji. Kelebihan fisik, materi atau bahkan fasilitas yang dia dapatkan dalam ibadah berbanding dengan kekurangan yang terdapat pada pihak lain, jika tidak diiringi penataan hati yang benar, dapat menggiringnya pada sikap sombong yang meremehkan orang lain, baik itu terungkap ataupun tidak. Justeru yang harus ditampilkan adalah rendah hati, bersahaja dan sederhana serta mengasihi kepada sesama.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji di atas kendaraannya yang ringkih dan dengan kain seharga empat dirham atau kurang. Lalu beliau bersabda,
اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيهَا وَلاَ سُمْعَةَ
“Ya Allah, jadikanlah haji (yang mabrur), tidak ada riya dan sum’ah di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah).
Siapa tahu, mereka yang kumal dan dekil itulah yang hajinya paling diterima Allah Ta’ala. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw mengabarkan bahwa Allah membanggakan hamba-hamba-Nya pada hari Arafah kepada para penghuni langit dengan berfirman,
” انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى جَاءُونِى شُعْثًا غُبْرًا “
“Lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kumal dan dekil.” (HR. Hakim, Ahmad, Thabrani, dll)
3. Tidak cukup bekal ilmu.
Besarnya motivasi kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah haji layak disyukuri. Namun, seringkali dorongan yang besar tersebut tidak berbanding lurus dengan dorongan untuk membekali diri dengan ilmu yang cukup dalam pelaksanaan manasik haji. Tidak jarang didapati ada jamaah haji yang tidak mengetahui perkara-perkara mendasar dalam ibadah haji. Ada misalnya jamaah haji yang sudah ihram dan memakai pakaian ihram, ketika ditanya haji apa yang akan dia lakukan, dia tidak mengetahuinya.
Ibadah haji adalah ibadah yang jarang dilakukan, kemudian ibadah ini juga sangat terkait dengan medan dan situasi yang berkembang dan berubah-ubah. Bisa jadi teori yang kita pelajari menjadi berubah karena kondisi yang dialami berubah. Seperti misalnya Aisyah ra yang sudah niat haji, lalu mengalami haid maka Rasulullah saw perintahkan untuk mengubah niatnya agar tidak terhalang pelaksanaan hajinya. Jadi membutuhkan ilmu yang cukup. Minimal, hendaknya dia berada di bawah bimbingan yang intensif selama perjalanan haji. Yang lebih parah lagi adalah jika sang pembimbing pun ternyata tidak banyak memahami seluk beluk manasik haji.
Maka sangat dianjurkan membawa buku petunjuk ibadah haji selama melaksanakan manasik haji, memahami satu demi satu pelaksanaan haji, ikuti dengan seksama setiap penjelasan tentang pelaksanaan haji, dan banyak-banyaklah bertanya kepada orang yang paham tentang berbagai masalah yang dia hadapi.
Saat melaksanakan ibadah haji, Rasulullah saw menjadi tempat bertanya, beliau melakukan bimbingan, memberi penjelasan dan meluruskan perbuatan-perbuatan yang salah.
4. ‘Pandangan Liar’.
Dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa saat menunaikan haji, Al-Fadhl bin Abbas (sepupu Rasulullah saw) yang masih berusia muda berboncengan dengan Rasulullah saw. Tak lama kemudian datang seorang wanita muda dari suku Khats’am kepada Rasulullah saw, hendak meminta fatwa dari beliau. Lalu Al-Fadhl dan wanita tersebut saling berpandangan. Maka Rasulullah saw memalingkan muka Al-Fadhl ke arah lain. (Muttafaq alaih)
Jika hal ini terjadi pada masa Rasulullah saw, apalagi pada masa sekarang! Hati-hati dengan pandangan-pandangan yang tidak terkontrol terhadap lawan jenis, baik dalam satu rombongan atau dengan rombongan lain Apalagi orang-orang dari berbagai bangsa dengan rupa yang menawan boleh jadi akan sering berseliweran di depan kita. Kalau memang mau tidak mau terlihat oleh kita, jangan ikuti dengan pandangan berikutnya. Kini barangkali tidak ada orang yang mengalihkan muka kita sebagaimana yang Rasulullah saw lakukan terhadap Al-Fadhl. Karena itu, kita harus mengatasi sendiri masalah tersebut dengan sebuah kesadaran dan kekuatan hati.
Kalau tidak, maka dia dapat menjadi celah masuknya setan merusak nilai ibadah kita. Tidak sedikit hubungan cinta tidak halal berawal dari pandangan yang tidak terjaga saat beribadah haji. Khususnya jika jamaah hajinya masih bujangan atau gadis.
Khusus kepada jamaah haji wanita, bantulah kaum pria untuk tidak tergoda dan terkena fitnah dengan tidak menampilkan dandanan yang menggoda dan menarik, atau dengan tidak berprilaku dan bertindak yang dapat mengundang perhatian khusus. Bersikaplah yang wajar, berkata yang sopan dan tidak dilebih-lebihkan. Hindari bercanda dengan lawan jenis yang bukan mahram, apalagi jika dengan warga asing.
5. Alat-alat komunikasi dan dokumentasi.
“Jangan lewatkan kesempatan yang satu ini.”
Ungkapan yang bernada iklan ini sangat pas untuk moment khusus dalam ibadah haji. Apakah saat thawaf, sai, wukuf, mabit di Muzdalifah, melontar jamarat, mabit di Mina, dll. Jika ungkapan tersebut dimaknai positif dengan fokus dan khusyu beribadah serta bedoa kepada Allah, maka hal itu tentu sangat tepat. Namun pada masa kini muncul fenomena baru untuk selalu mengabadikan moment-moment yang sangat berharga tersebut. Maka ‘jepret sana jepret sini’ tanpa menghiraukan tempat dan suasana ibadah yang sangat khusus, kini sudah menjadi pemandangan yang sering kita dapatkan. Saat desak-desakkan thawaf, kadang kita dapatkan orang yang sempat-sempatnya ‘berpose’, begitu pula saat sai. Saat waktu wukuf dimulai, masih ada sebagian jamaah haji yang asyik bergaya untuk dipoto di bawah pohon, di dalam tenda atau di tengah keramaian, atau dia pergi ke Jabal rahmah untuk mendapatkan satu dua pose yang menarik. Kadang ketika kita sedang khusyu berdoa, di sebelah ada yang sedang cekikikan berbicara dengan orang di seberang sana.
Hendaknya dibatasi penggunaan alat-alat tersebut selama pelaksaan ibadah haji. Maksimalkan untuk hal-hal yang bermanfaat, apakah bertanya, mengetahui lokasi, mencari informasi dll. Usahakan pada moment tertentu, seperti sedang thawaf, wukuf, dll tidak menggunakan alat-alat tsb kecuali jika ada kebutuhan mendesak.
6. Kata-kata Kasar, mengeluh dan berbantah-bantahan
Pelaksanaan ibadah haji membutuhkan kesabaran ekstra. Kita akan sering berhadapan dengan kondisi dan situasi di bawah ambang normal. Kemacetan total, jalan kaki berdesak-desakkan, tidak menemukan lokasi yang dicari, antri WC sekian lama, sikap kasar orang lain, panas terik tanpa pelindung kepala, dll.
Benarlah pesan Allah Ta’ala bagi orang yang beribadah haji, “Siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan.” (QS. Al-Baqarah: 197) Sekaligus ini juga merupakan syarat haji mabrur sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw dalam hadits muttafaq alaih.
Seorang ustaz mengistilahkan, pergi haji tidak cukup membawa satu dua kesabaran, tapi harus membawa ‘sekeranjang’ kesabaran, atau bahkan ‘sekontainer’ kesabaran. Kalau tidak, maka yang sering keluar adalah keluhan, kata-kata yang tidak baik bahkan berbantah-bantahan. Jika semua itu diganti dengan zikir, berdoa mohon kemudahan kepada Allah plus sesungging senyuman, sungguh akan sangat bermakna.
7. Berlebih-lebihan Belanja.
Salah satu perhatian jamaah haji di luar ibadah yang cukup sering menyita perhatian adalah menyiapkan oleh-oleh untuk dirinya sendiri, keluarga dan kenalan di tanah air. Ini adalah niat yang baik dan patut mendapatkan perhatian. Tapi menjadikan pelaksanaan ibadah haji didominasi dengan agenda belanja, menghamburkan uang untuk membeli segala sesuatu yang diingininya begitu saja dan kemudian dirinya lebih disibukkan oleh barang bawaannya ketimbang maksimal beribadah, hal ini patut diwaspadai. Dengar-dengar, jamaah haji dari Indonesia memiliki kegemaran belanja lebih dari bangsa lainnya, bahkan termasuk dari bangsa yang lebih tinggi kemakmurannya…..
Usahakan agenda belanja dilakukan jauh sebelum pelaksanaan haji, atau sesudahnya. Kemudian pertegas barang-barang yang hendak dibeli sesuai kebutuhan dan rencana. Agar diketahui, sebagian barang yang dibeli jamaah haji, tidak lebih bagus dan lebih murah dari barang yang ada di tanah air. Hanya kegemaran berbelanja itulah yang sering mengenyampingkan perkara tersebut.
Riyadh, Dzulqaidah 1434 H.