Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Wahai Dakwah, Jangan Rebut Suamiku Dariku!
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Wahai Dakwah, Jangan Rebut Suamiku Dariku!

Oleh Ust. Hakimuddin Salim, Lc. MA.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan”. (QS. At-Tahrim: 6)

Kisah nyata ini, terjadi di sebuah komunitas ilmu dan dakwah. Yang mana ada seorang istri dari mereka yang sudah menikah bertahun-tahun, namun belum bisa membaca surat Al-Fatihah. Bukan hanya tidak mengenal tajwid, Al-Fatihah yang tanpanya sholat tidak syah, ia tidak hafal dan terbata-bata membacanya.

Padahal konon sang suami adalah seorang kandidat doktor ilmu agama. Pemahaman dan komitmen dakwahnya juga tidak diragukan. Entah karena terlalu rajin menulis desertasi atau sibuk berdakwah, musibah itu benar-benar terjadi dalam keluarganya.

Realita itu baru terungkap saat di komunitas mereka diadakan halaqah tahfizh Al-Qur’an bagi para istri. Dari sinilah terpaksa pimpinan komunitas tersebut menetapkan kurikulum khusus yang wajib diajarkan kepada para istri, disertai mekanisme evaluasi atau ujian secara periodik dan berkala. Jika salah seorang istri tidak lulus, maka ada konsekuensi khusus untuk suaminya.

Itu baru satu kisah. Ada banyak cerita yang lain tentang para aktivis dan da’i, yang mungkin karena terlalu sibuk berdakwah di masyarakat, terlalu banyak amanah di organisasi, ia lupa mendakwahi dan mengajari ilmu orang terdekatnya: istrinya sendiri. Ironis memang, tapi itulah faktanya.

Seperti seorang istri yang mengeluhkan suaminya yang tidak pernah ada di rumah. Dari pagi hingga siang bekerja di luar. Baru pulang sebentar, sorenya sudah pergi lagi hingga larut malam. Alih-alih mau membantu kerjaan istri, saat ada sedikit waktu di rumah, ia memilih khusyu’ di depan laptop atau gadget. “Afwan Mih, Abi lagi banyak amanah nih!”, begitu jawabnya ketika ditanya.

Ada lagi yang sudah lama memendam sebel kepada suaminya, yang sepanjang pekan tak pernah ada waktu untuk keluarga. Senin sampai Jum’at sibuk bekerja. Sabtunya adalah jadwal rutin untuk liqo, rapat dan ngisi kajian umum. Hari Ahad yang tersisa, lebih sering terpakai untuk hadir kondangan, seminar, daurah, tabligh akbar, atau acara insidental yang lain.

Atau ada juga yang gundah tentang suaminya yang penghafal Al-Qur’an, namun sepanjang usia pernikahannya, belum pernah diajak tadarus bareng. Jangankan tahsin berdua atau saling menyimak hafalan, sang suami yang sering menjadi imam qiyamullail di berbagai acara dakwah itu, hampir tak pernah menjadi imamnya saat tahajud di rumah.

Beda lagi yang terhimpit masalah ekonomi. Saat suaminya yang belum mapan terlalu sering bepergian, tanpa meninggalkan uang pegangan. Mau berangkat khuruj katanya. Awalnya cuma sepekan. Lalu bertambah sebulan, kemudian menjadi berbulan-bulan. Hingga sang istri pun menanggung malu karena harus menjadi beban bagi kerabat dan tetangga. Tentu alasannya adalah perjuangan. Namun ceritanya akan lain, jika semua diatur dan disiapkan.

Lebih parah dari itu, cerita tentang seorang istri pendakwah ternama yang terjerumus dosa. Pesona keilmuan sang suami ternyata hanya benderang di depan para mad’u-nya, namun meredup dalam kehidupan berkeluarga. Ia tak pernah dinasehati, diajak berdiskusi, apalagi belajar mengaji. Walhasil, bukan hanya pakaian dan cara berhias yang jauh dari kriteria agama, sang istri pun terlibat perselingkuhan dengan teman lama. Wal ‘iyadzu billah.

Itulah beberapa cuplik cerita dari fenomena yang ada. Para istri aktivis itu, jika bukan karena rasa malu, mungkin mereka akan pasang status besar-besar, “Aku juga butuh ilmumu!”. Atau membentang spanduk lebar-lebar, “Aku juga butuh dakwahmu!”. Yang lebih ekstrim, mereka akan menyalahkan dakwah dan berteriak keras-keras, “Wahai dakwah, jangan rebut suamiku!”.

Sayangnya, sering para suami hanya bisa menjawab jeritan hati para istri tersebut dengan satu kata: sibuk. Padahal Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam sebagai qudwah utama para aktivis, di tengah kesibukannya sebagai Nabi, pemimpin negara, bahkan panglima perang sekalipun, ia tetap meluangkan waktu untuk mentarbiyah dan mendakwahi istri-istrinya. Para ummahatul mukminin itu, tidak hanya kebanjiran hormat, namun juga berkelimpahan ilmu dan nasehat.

Banyak sekali fragmen tarbiyah Rasul ‘alaihis sholatu wassalam untuk mereka. Seperti Aisyah binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anhuma, yang tidak hanya sekedar menjadi zaujah bagi Rasulullah, tetapi juga sebagai murid utama dan tersetia. Dia merasakan betul “ada bedanya” menjadi istri seorang pendakwah, karena sang suami sangat giat mengajarinya berbagai disiplin ilmu seperti akhlak, aqidah, fiqih, faraidh, dan tafsir.

Hingga Aisyah pun menjadi sosok perempuan Islam yang paling faqih, yang menjadi rujukan keilmuan para sahabat pada waktu itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’ bin Abi Rabbah radhiyallahu ‘anhu, “Aisyah adalah manusia yang paling paham dengan agama, paling berilmu dan paling baik pendapatnya”.

Aisyah juga menjadi sumber utama periwayatan hadits, tercatat sebanyak 2210 hadits telah diriwayatkan oleh para sahabat dari Aisyah. Hingga Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah kami mendapatkan suatu masalah tentang hadits, lalu kami datang dan bertanya kepada Aisyah, kecuali pasti kami mendapatkan jawabannya”.

Takdirnya sebagai perempuan, tak menghalanginya berkiprah dalam kancah ilmiah. Hingga dari didikan Aisyah telah lahir para imam dan ulama terkemuka dari kalangan Tabi’in seperti: ‘Urwah bin Zubair, Masruq bin Ajda’, dan Qosim bin Muhammad, yang menimba ilmu dari Aisyah di balik hijab di Masjid Nabawi.

Saat sang istri berbuat kesalahan, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam juga tidak segan dan bosan untuk mengingatkan. Tentunya dengan kelemah-lembutan. Seperti suatu hari ketika Aisyah membeli kain penutup yang bergambar makhluk hidup. Sebagai pengingkaran, Rasulullah tidak jadi masuk dan berdiri di depan pintu.

Saat itu Rasulullah hanya terdiam dan menampakkan ekspresi tak suka. Aisyah pun merasa bersalah dan berkata, “Wahai Rasululullah, aku bertaubat kepada Alloh dan Rasul-Nya, apa salahku?”. Maka Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bertanya dengan lembut tentang kain bergambar itu. Aisyah pun menjelaskan semampunya.

Hingga Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan diadzab di hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: hidupkanlah apa yang telah kalian buat!”. Lalu Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam melanjutkan, “Sesungguhnya rumah yang terpajang di dalamnya gambar mahluk hidup, tidak akan dimasuki Malaikat” (HR. Imam Bukhari).

Lain lagi para aktivis yang pandai berkilah. Saat dikritisi tentang istrinya yang bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan, cepat-cepat berapologi dengan kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam. Alih-alih melakukan evaluasi dan introspeksi diri, mereka seperti terhibur dengan kekufuran para istri utusan Alloh itu.

Padahal di belakang cerita pengkhianatan mereka berdua, ada sejarah panjang ratusan tahun kegigihan dan kesabaran Nabi Nuh dan Nabi Luth dalam mendakwahi keluarga. Apalagi para Ulama bersepakat, bahwa pengkhianatan dan kekufuran keduanya bukan dalam baghyu dan fahisyah.

Allah ta’ala telah mengingatkan para suami untuk serius menjaga istrinya dari siksa neraka. Bahkan sebagai penekanan, deskripsi tentang dahsyatnya neraka begitu jelas disini, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).

Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam juga telah mewanti-wanti, “Sesungguhnya Alloh akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya atau menterlantarkannya. Hingga Alloh akan bertanya kepada para lelaki tentang istrinya”. (HR. Ibnu Hibban).

Meluangkan waktu untuk mentarbiyah istri menjadi sangat penting lagi, jika para suami menyadari bahwa itu bukan sekedar kewajiban, namun kebutuhan yang sulit tergantikan. Karena para istri adalah al-madrasah al-ula (sekolah yang pertama) bagi anak-anak. Hasil didik macam apa yang akan lahir jika sekolahnya tak terawat bahkan rusak?

Cerita-cerita ironis di awal tadi mungkin hanya secuil fenomena yang menggejala. Semoga yang terjadi pada sebagian besar keluarga dakwah tidak demikian adanya. Seorang aktivis sejati tentu memahami bahwa istrinya adalah objek dakwah yang utama. Ia sadar betul bahwa tahapan dakwah kedua setelah memperbaiki diri sendiri (islahun nafs) adalah membina keluarga yang Islami (takwin bait muslim), bukan yang lainnya.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Hakimuddin Salim, Lc. MA.

Ustadz asal Klaten yang sehari-hari akrab dipanggil ustadz Hakim ini, sekarang sedang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Islam Madinah. Selain aktif di Yayasan Islamic Center Ibnu Abbas, beliau juga aktif menjadi penceramah dan penulis di beberapa media. Twitter: @hakimuddinsalim | FB: /hakimuddin.salim | Blog: Hikmatia
(Visited 1.166 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Tahun Baru = Jatah Usia Kita Semakin Berkurang

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc » يا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ ، وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *