Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Berdasarkan hikmah-Nya, selain menciptakan potensi ketakwaan, Allah juga memberikan potensi kemaksiatan dalam diri manusia (QS. Asy-Syam: 8). Jadilah potensi kebaikan dan keburukan secara bersamaan dimiliki setiap manusia.
Tapi ada yang penting diketahui, Allah Ta’ala telah membekali setiap orang dengan sebuah watak dasar yang menyatu dalam dirinya, yaitu bahwa pada dasarnya, manusia menyenangi ketakwaan, keimanan dan ketaatan serta sifat-sifat baik lainnya. Sementara pada saat yang bersamaan, dirinya secara fitrah menolak sifat-sifat keburukan dalam berbagai macam bentuknya.
Inilah talenta jiwa yang sering diabaikan. Jika sekarang banyak orang yang sibuk menggali talenta apa saja untuk mencari bakat-bakat terpendam demi sebuah popularitas dan mimpi sesaat, namun talenta yang satu ini seringkali dibiarkan terbengkalai. Padahal, dia nyata-nyata ada dalam diri setiap manusia, dan menjanjikan kebahagiaan dan kesenangan hakiki.
Sebagaimana umumnya sebuah bakat, talenta jiwa ini juga membutuhkan adanya pembinaan, perawatan dan latihan terus menerus dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, hingga akhirnya terbentuk sebuah pribadi yang sesuai dengan fitrah dan watak dasarnya, sebagaimana Allah Ta’ala isyaratkan tentang pribadi para shahabat, sebagai orang-orang yang ‘cinta pada keimanan dan terasa indah dalam hati, serta benci dengan kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan’ (QS. Al-Hujurat: 7)
Dengan kondisi tersebut, seseorang telah memiliki perangkat utama untuk melakukan perbuatan baik dan menghalau perbuatan buruk. Sebab, jika dalam dirinya telah muncul rasa cinta terhadap kebaikan dan senang dengan ketaatan, tak akan banyak berarti baginya tantangan di hadapan dan beratnya cobaan. Demikian pula halnya dengan keburukan, kefasikan dan kemaksiatan. Jika dalam dirinya sudah terpatri penolakan dan kebencian, maka rayuan menghanyutkan dan iming-iming menggiurkan, tak akan menggoyahkan.
Karenanya, ketika seorang shahabat bernama Wabishah Al-Asady hendak bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa), beliau bersabda,
يَا وَابِصَةُ ! اسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ) ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ (رواه أحمد)
“Wahai Wabishah, mintalah fatwa dari hatimu, mintalah fatwa dari jiwamu (beliau ucapkan sebanyak tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menjadikan jiwa dan hati tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang dapat mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam hati, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu lalu mereka berfatwa lagi (jangan kamu perhatikan fatwa mereka selagi hatimu tidak tenang dan mantap dengan fatwa tersebut).” (HR. Ahmad)
Dapat kita katakan bahwa talenta jiwa yang terus diasah, akan dapat menjadi semacam ‘starter’ atau penggerak awal bagi langkah-langkah kebaikan. Selain itu, kondisi jiwa yang demikian juga dapat berfungsi sebagai ‘alarm dini’ bagi setiap keburukan yang datang menghampiri. Situasi seperti ini jelas sangat kondusif bagi sebuah proses dan jalan menuju takwa. Sebaliknya, jika talenta jiwa tidak terasah dan tergali, diri seseorang akan bagaikan keranjang sampah yang tidak lagi peduli, apa yang masuk ke dalamnya.
Musuh terbesar bagi upaya menggali talenta jiwa adalah terjerumus dan hanyut dalam godaan kesenangan nafsu duniawi. Sering atas nama kesenangan dunia, setitik demi setitik noda hitam kemaksiatan dia tanamkan dalam hatinya, begitu seterusnya hingga akhirnya terbentuklah apa yang Allah katakan sebagai ‘Raan’ yang menutupi hati (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Akibatnya, dirinya tak berdaya untuk mengenali kebaikan dan keburukan dalam kehidupannya, karena talentanya sudah tertutup oleh kusamnya dosa dan gelapnya maksiat.
Kalau sudah begini, jangankan kebaikan level tertinggi, level terendah pun, teramat berat dia laksanakan. Sebaliknya, dia tidak merasa terpuaskan dengan kemaksiatan-kemaksiatan ‘sepele’ yang sudah akrab dilakukan tanpa beban dalam jiwanya, untuk akhirnya merambah kepada maksiat ‘stadium lanjut’.
(Manhajuna/IAN)