Oleh: Ustadz Hakimuddin Salim, Lc., MA.
Sambungan dari artikel (Wahai Dakwah Jangan Rebut Suamiku Dariku)
Di sebalik tabir keberhasilan seorang pejuang, selalu ada sosok perempuan hebat di belakangnya. Bersama langkah para qaadah dan ‘udhoma dalam sejarah umat ini, selalu ada dukungan istri yang setia mendampingi. Para kaum berhati lembut itu, bukan sekedar berstatus istri, tapi berhasil menggandakan perannya sebagai peneguh keyakinan, penajam pikiran, telaga keteduhan, selimut ketenangan, dan penghibur dalam kesedihan.
Ada kesetiaan Hawa, bersama tugas berat Adam sebagai khalifah. Ada qona’ah Hajar, di samping kuatnya tauhid Ibrahim. Ada dukungan moral dan material dari Khadijah, saat Muhammad berhadapan dengan para thoghut Mekkah. Ada nasehat emas Moudhy, di balik gerakan tajdid Muhammad bin Saud. Ada kesabaran Lathifah, di belakang langkah juang Al-Banna. Ada kelembutan Masrurah, yang memperindah wibawa Hasyim Asy’ari. Ada peran serta Siti Walidah, bersama kecemerlangan Ahmad Dahlan.
Namun demikian, tak sedikit para pejuang yang surut langkahnya setelah bertengger di pelaminan. Apalagi para pejuang akhir zaman. Alih-alih kiprah dan prestasi dakwahnya bertambah, pernikahan yang diharapkannya bakal menghasilkan lompatan-lompatan hebat, justru membuat semangat juangnya sekarat. Tentu banyak sebab atas degradasi militansi yang terjadi, tapi acapkali salah satu sebab itu berasal dari sang istri.
Ada yang semenjak menikah, menjadi jarang kelihatan di agenda-agenda dakwah. Padahal ia dulu terkenal sebagai aktifis yang militan dan produktif. Bagaimana mau aktif berdakwah, jika hendak keluar rumah untuk rapat atau mengisi kajian, sang istri selalu pasang wajah cemberut. Apalagi jika pamit mau mukhoyyam, sang istri langsung bermuram durja dan meneteskan air mata. Lalu bagaimana jika panggilan jihad tiba?
Ada pula yang terkendala perbedaan fikrah. Sang akhwat yang dinikahinya, ternyata tak sepakat dengan visi dan misi dakwahnya. Perdebatan hebat sering terjadi, yang tak jarang berakhir pada pertengkaran sengit. Demi menyelamatkan bahtera rumah tangga, terpaksa ia undur diri dari komunitas dakwahnya. Sayangnya, di komunitas yang baru ia merasa tak nyaman. Sampai saat ini ia masih vakum dan kebingungan, laa ilaa haa-ulaa’ walaa ilaa haa-ulaa’.
Ada juga yang terganjal semangatnya untuk tholabul ‘ilmi. Sebenarnya kebutuhan umat terhadap kafa’ah syar’i telah membuatnya bertekad untuk kuliah hingga doktor di luar negeri. Namun tekad itu melemah setelah ia menikah. Rengekan dan keluhan sang istri yang tak tahan hidup di perantauan, membuatnya urung mewujudkan impian. Ia pun pulang ke tanah air dengan tangan hampa dan pupus harapan.
Pun ada yang terbelit masalah ekonomi. Pendapatannya sebagai guru di pesantren dan penceramah di berbagai mejelis ta’lim, terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal itu diperparah dengan gaya hidup sang istri yang cenderung boros dan tinggi selera. Terpaksa ia harus banting setir keluar dari pesantren dan menyibukkan diri dengan dagangannya. Hingga tak ada lagi bagi dakwah waktu yang tersisa.
Cuplikan fenomena di atas semestinya tidak perlu terjadi jika para istri memahami dan menyadari peran besar mereka sebagai tulang punggung perjuangan. Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam menjanjikan kepada perempuan yang mendukung suaminya untuk berjihad, berdakwah, menuntut ilmu, dan bersabar atas itu semua, dengan pahala yang sama dengan pahala yang didapatkan oleh suaminya.
Sebagaimana hadits tentang Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha, bahwa dia mendatangi Rasulullah, sementara beliau sedang duduk di antara para sahabatnya. Asma’ pun berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu wahai Rasulullah. Aku adalah utusan para wanita di belakangku kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Rabbmu. Kami para perempuan selalu dalam keterbatasan, sebagai penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian”.
Asma’ pun melanjutkan, “Sementara kalian kaum laki-laki mengungguli kami dengan shalat Jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang lebih utama dari itu adalah jihad fi sabilillah. Jika lah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan itu sama seperti kalian?”.
Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pun memandang para sahabat dengan segenap wajahnya. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang perempuan yang lebih baik pertanyaannya tentang urusan agamanya dari pada perempuan ini?” mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia”.
Maka Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam menengok kepadanya dan bersabda, “Pahamilah wahai perempuan, dan beritahu para wanita di belakangmu, bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu.” Wanita itu pun berlalu dengan wajah berseri-seri. (HR. Imam Baihaqi).
Harus disadari dan diyakini, saat para pejuang itu banting tulang untuk membela dan menolong agama Allah ta’ala, hingga tak ada waktu dan tenaga yang tersisa buat keluarga, apakah Allah akan membiarkan keluarga yang dicintainya terlantar? Allah ta’ala telah menjanjikan, “Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (QS. Muhammad: 7).
Seperti juga yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu” (HR. Imam Tirmidzi). Tinta sejarah telah mencatat, bahwa penjagaan Allah terhadap siapa yang mau menjaga agama dan hukum-hukum-Nya disini tidak hanya bagi diri yang bersangkutan, tetapi dengan izin Allah penjagaan itu juga mencakup anak dan istri yang menjadi tanggungannya.
Tentu wujud pertolongan dan penjagaan Allah di atas bukan melulu berupa materi. Semua itu bisa terwujud dalam keberkahan hidup, anak-anak yang sholeh dan sholehah, kemudahan urusan, dijauhkan dari musibah, dan terpautnya hati manusia kepadanya. Itu semua adalah berkah perjuangan yang datang dari arah yang tak disangka.
Memang, para suami juga harus diingatkan untuk tidak lalai menunaikan kewajibannya terhadap keluarga. Namun kadang terjadi, meski sudah diatur dan diupayakan sedemikian rupa, realita perjuangan menuntut pengorbanan lebih hingga tak ada waktu tersisa. Lagi pula hangatnya hubungan tak selalu harus bersama. Bahkan perpisahan sementara akan membuncahkan rindu di dada dan cinta pun semakin membara. Sometimes we need to disconnect to make a fresh connection.
Hari ini, agenda besar nahdhotul ummah (kebangkitan umat) membutuhkan lebih banyak pengorbanan dan relawan sebagai martirnya. Ini akan meminta apa pun yang kita miliki, termasuk orang-orang terdekat yang kita cintai. Maka dari itu, tidak ada jalan lain bagi para istri, kecuali ikhlas dan ikhtisab untuk berbagi suami. Ya, berbagi suami dengan dakwah demi tegaknya panji Ilahi.
Semoga kebersamaan yang tertahan di dunia ini, berbuah kebersamaan abadi di surga nanti. “Dan orang-orang yang bersabar karena mengharap ridha-Nya, mendirikan shalat, dan berinfaq dari rizki yang Kami berikan kepada mereka, sembunyi atau terang-terangan, dan menolak keburukan dengan kebaikan; mereka itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik. Yaitu syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak, isteri-isteri dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 22-23).
(Manhajuna/AFS)