Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Islamku bukan Islam Saudi Arabia, juga bukan Islam Nusantara. Islamku adalah Islam ajaran Rasulullah SAW yang secara berantai disampaikan ulama.
Perkara ada budaya lokal yang mempengaruhi cara keberagamaan kaum muslimin, itu sangat wajar. Apalagi pada hal-hal yang tidak ada ketentuan nashnya.
Yang tidak benar adalah jika budaya lokal diagungkan melebihi pengagungannya terhadap Islam. Anti sektarian, tetapi sebenarnya sangat sektarian.
Sejak dahulu pengaruh budaya lokal itu sudah ada, tetapi tidak ada yang membuat jargon, Islam Saudi, Islam Afrika, Islam Mesir, Islam Nusantara….
Heran, kok ada ulama menggiring Islam dengan pengkotak-kotakan seperti ini. Soal ada beda pandangan, dan adu argumen, itu tradisi ulama. Jangan sektarian!
Selagi dalam ruang lingkup ahlussunnah wal jama’ah, yakinilah, jauh lebih banyak titik temu daripada perbedaanya, terutama dalam perkara-perkara prinsip.
Titik-titik temunya dijadikan sebagai sarana untuk saling bekerjasama dan menguatkan. Perbedaannya dijadikan sebagai sarana untuk latihan lapang dada dan toleran.
Dua kosa kata yang sering menggangu komunikasi dan dialog dalam diskursus agama: “Wahabi” dan “Ahli bid’ah” sebaiknya disingkirkan.
Intinya hindari stigma atau ungkapan menyudutkan dalam diskusi keagamaan, selagi masih dalam ruang lingkup aswaja. Terlepas sepakat atau tidak.
Yang lebih penting dari itu, Islam untuk diamalkan, bukan sekedar diperdebatkan. Debat keras soal qunut subuh, subuhnya malah sering absen.
Hemat saya, orang yang gemar angkat istilah ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Saudi Arabia’ dialah salah satu aktor perusak kerukunan antar muslim yang bersaudara.
(Manhajuna/AFS)