Oleh Ustadz Hakimuddin Salim, Lc. MA.
Dari Abu Said Al-Khudri RA suatu hari Nabi Muhammad SAW bercerita, bahwa di antara umat terdahulu terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu ia bertanya kepada orang-orang tentang penduduk bumi yang paling berilmu, kemudian ia ditunjukkan kepada seorang pendeta.
Ia pun mendatangi pendeta tersebut dan menjelaskan bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah taubatnya akan diterima? Pendeta itu menjawab: “Tidak!”. Lalu dibunuhnya pendeta itu, hingga lengkaplah seratus pembunuhan telah ia lakukan.
Kemudian dia bertanya lagi tentang penduduk bumi yang paling berilmu, ia pun ditunjukkan kepada seorang ‘Alim, yang segera dikatakan kepadanya bahwa ia telah membunuh seratus jiwa, apakah taubatnya akan diterima? Orang ‘Alim itu menjawab: “Ya, dan siapakah yang dapat menghalangi taubat seseorang! Pergilah ke sebuah negeri, karena di sana terdapat kaum yang selalu beribadah kepada Alloh, lalu sembahlah Alloh bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu itu negeri yang penuh dengan kejahatan!”.
Lelaki itu pun segera berangkat menuju negeri tersebut. Sampai ketika ia telah mencapai setengah perjalanan, datanglah maut menjemputnya. Lalu berselisihlah Malaikat rahmat dan Malaikat azab mengenai statusnya. Malaikat rahmat berkata: “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadap sepenuh hati kepada Alloh”. Malaikat azab juga berkata: “Dia belum pernah melakukan satu pun perbuatan baik!”.
Lalu datanglah seorang Malaikat yang menjelma sebagai manusia menghampiri mereka, yang segera mereka angkat sebagai penengah. Ia pun berkata: “Ukurlah jarak antara dua negeri itu, ke negeri mana ia lebih dekat, maka ia menjadi miliknya”. Lalu mereka pun mengukurnya dan ternyata lelaki itu lebih dekat ke negeri yang akan dituju, sehingga diambillah ia oleh Malaikat rahmat (Shahih Muslim No.49).
Seperti lelaki dalam kisah tersebut tadi, setiap kita pasti pernah melakukan kesalahan. Dosa dan khilaf kita begitu menggunung tinggi dan tak terhitung jumlahnya. Hampir setiap hari, setiap jam, menit, bahkan detik, kita berdosa dan bersalah. Baik itu kesalahan kepada Alloh Ta’ala, atau pun kesalahan kepada sesama manusia.
Betapa kita sadari, hati kita sering berburuk sangka, iri, dengki, dendam, riya’, sum’ah dan banyak lagi dosa hati yang lain. Mata kita sering lalai, terlelap dari kewajiban sholat lima waktu dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Alloh. Lisan kita juga begitu sering mengucap dusta dan perkataan yang menyakitkan orang lain. Telinga kita pun tak jarang mendengarkan hal-hal yang dibenci oleh Alloh Ta’ala. Bahkan tangan kita, kaki kita, dan anggota tubuh yang lain, terus-menerus berbuat maksiat dan kerusakan.
Karena itulah dalam hadits riwayat Imam Ad-Darami disebutkan, semua anak Adam adalah pembuat kesalahan, dan kenapa manusia itu dinamakan Insan? Jawabnya adalah: likatsroti nisyaanihi, karena banyaknya lupa dan khilaf yang ia lakukan.
Namun demikian, sebagai bentuk rahmat dan sayang Alloh SWT kepada manusia, Ia telah memberikan kita jalan keluar. Alloh menganugerahkan kepada kita jalan tembus dari jurang dan kubangan dosa, menuju ampunan dan syurga-Nya. Jalan itu adalah Taubat, yang berarti berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan, hingga Alloh mengampuninya dan menghapusnya dari catatan dosa.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits, banyak sekali kita dapatkan penegasan dari Alloh betapa Ia Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun. Misalnya dalam surat Az-Zumar:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendirinya, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya Alloh Mengampuni semua dosa dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Betapa banyak orang yang berbuat dosa-dosa besar, kemudian menyesal dan bertaubat, maka Alloh menerima taubat mereka. Alloh Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا * يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا* إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا*
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Alloh dengan sesembahan lainnya dan tidak membunuh jiwa yang Alloh haramkan kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina dan barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat hukuman yang berat. (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebaikan. Alloh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan : 68-70).
Alloh juga menegaskan bahwa taubat seorang hamba adalah amalan yang sangat dicintai-Nya, sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Muhammad SAW juga telah menjelaskan kepada kita, “Sesungguhnya Alloh Ta’ala membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di siag hari. Dan Alloh Ta’ala membentangkan tagan-Nya di siang hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di malam hari, sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan bahwa seorang Ulama Salaf berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa, tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa malu kepada Rabbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada ketaatan yang banyak.”
Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Alloh adalah Taubat Nasuha, yaitu taubat yang murni, tulus dan serius. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 66, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.
Jika kita ingin taubat yang nasuha, tidak bisa terlepas dari beberapa syarat: pertama, ikhlas karena Alloh Ta’ala. Yaitu berniat semata-mata mengharap ridho Alloh dan pahala atas taubatnya, serta berharap selamat dari siksaan-Nya.
Kedua, menyesali kemaksiatan yang ia lakukan dan merasa sedih atas dosa yang telah ia perbuat. Taubat tidaklah berarti tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal atas perbuatan dosa, itu menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya.
Ketiga, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat sesegera mungkin dan bertekad untuk tidak mengulanginya di waktu mendatang. Bahkan ada sebagian Ulama yang menjadikannya syarat mutlak, sehingga kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya belum benar.
Keempat, hendaknya taubat dilakukan sebelum ditutupnya pintu taubat, yaitu sebelum ajal menjemput atau sebelum terbitnya matahari dari arah barat.
Kelima, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni ia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah ia rusakkan atau curi dan sebagainya.
Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah (menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya, yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-kebaikan saudaranya tadi, serta senantiasa mendoakan kebaikan dan memintakan ampun untuk mereka.
Hal itu karena dikhawatirkan apabila orang tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang telah ia ghibah atau tuduh, justru dapat menimbulkan peselisihan dan perpecahan di antara keduanya.
Lalu disunnahakan juga saat kita bertaubat melaksanakan sholat dua roka’at, sebagai pemantaban atas taubat yang kita lakukan. Hal ini seperti sabda Rasulullah SAW:
مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ
“Tidaklah seorang hamba berbuat satu dosa, lalu ia bersuci dengan baik, lalu berdiri untuk shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Alloh, melainkan Alloh akan mengampuni dosanya” (HR.Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Semoga kita termasuk hamba Alloh Ta’ala yang senantiasa bertaubat, hingga Alloh berkenan mengampuni segala dosa kita, sebelum ajal menjemput dan sebelum matahari terbit dari barat. Amin, ya Rabbal ‘aalamin…
(Artikel ditulis untuk Buku Kumpulan Khutbah Pilihan IKADI Surakarta – Penerbit Tiga Serangkai)