Oleh: Faris Jihady, Lc. MA
Manhajuna.com – Masyarakat Dunia saat ini umumnya menghadapi perubahan cuaca yang cukup ekstrim, sebagian besar kita sudah melewati perpindahan musim dari musim panas ke musim dingin, khususnya di negara-negara non-tropis di sebelah utara khatulistiwa.
Perubahan musim tak mengecualikan kaum Muslimin sebagai salah satu entitas terbesar ummat manusia yang secara rutin melewati musim ini, khususnya pada penghujung tahun dan masuknya awal tahun berikutnya. Perubahan musim berefek pada fisik, mental sekaligus pola hidup manusia.
Seorang muslim menghadap perubahan musim khususnya memasuki cuaca yang dingin lagi ekstrim tentu saja memiliki kekhasan dan karakter tersendiri yang menunjukkan kualitas pribadi sebagai muslim.
Ada beberapa hal yang patut menjadi tadzkirah (peringatan) dan renungan saat kita memasuki musim dingin
Momentum Bertafakkur
Sudah sepatutnya kita menjadikan pergantian musim ini sebagai sarana bertafakkur (menggerakkan akal pikiran) dalam menyaksikan tanda-tanda Allah yang terjadi secara nyata dan begitu terasa di hadapan kita. Kulit yang sebelumnya terasa hangat sesaat kemudian harus beradaptasi dengan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Angin kencang yang berhembus yang Allah kirimkan mampu menyejukkan atau bahkan merobohkan bangunan terkuat. Turunnya hujan deras sebagai tanda pergantian musim kemudian diiringi dengan salju di sebagian tempat mengingatkan kita tentang pentingnya air sebagai sumber kehidupan, ternyata ia telah dijadwalkan turunnya oleh Allah Ta’ala, kapan dan dimana dia akan turun dan membasahi bumi.
Musim dingin juga sarana bagi muslim agar hati dan jiwanya selalu terkait dengan akhirat. Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah saw menamai hembusan cuaca dingin ini dengan “nafasnya neraka”;
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله : { اشتكت النار إلى ربها فقالت: يا رب. أكل بعضي بعضاً فجعل لها نفسين؛ نفس في الشتاء ونفس في الصيف فشدة ما تجدون من البرد من زمهريرها وشدة ما تجدون من الحر من سمومها } رواه البخاري ومسل
Rasulullah bersabda: “neraka mengadu –akibat panasnya yang begitu mendidih- kepada Rabb-Penciptanya; wahai Rabb, sebagian diriku saling membakar satu dengan yang lain. Maka Allah pun menghendaki neraka memiliki dua nafas; nafas di musim dingin, dan nafas di musim panas. Kalian dapati dahsyatnya dingin yang menggigit adalah bagian dari zamharir-nya neraka (hembusan dingin menusuk tulang), sedangkan yang kalian dapati dari sengatan panas di musim panas adalah bagian dari sumum-nya neraka (gejolak mendidih)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Inilah barangkali hikmah dari penyebutan istilah yang sama tentang kenikmatan yang didapati ahli surga dalam QS Al-Insan: 13
مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا – الإنسان : 13
“mereka bersandar di atas dipan-dipan, mereka tidak merasakan sengatan matahari, dan tidak pula merasakan zamharir (hembusan dingin menusuk tulang)“.
Pergantian musim juga merupakan peringatan manusia bahwa usia manusia pada dasarnya semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Barangkali manusia lupa sudah berapa kali musim dingin ia lewati, berapa kali musim panas ia alami. Tak kurang seorang ulama tabi’in besar Al-Hasan Al-Bashri berkata; “wahai manusia, sesungguhnya engkau tak lebih dari kumpulan hari-hari, jika berlalu sebagian hari, berlalu pula sebagian dari dirimu”.
Musim Dingin dan Solidaritas
Selain dingin yang menusuk mesti mengingatkan kita pada Maha Pencipta Waktu, Pengatur Musim, dan dinginnya azab neraka yang akan meremukkan tulang-belulang kita, musim dingin juga menjadi sarana pengingat solidaritas dan kepedulian terhadap saudara sesama manusia yang tak dapat menghangatkan diri dengan selimut dan makanan yang cukup. Setiap kali kita menyalakan penghangat dan makan makanan lezat, semestinya kita perlu terus bersyukur dan kemudian menyisihkan sebagian yang kita punya untuk mereka yang kesulitan terlebih di tengah dingin yang menggigit.
(Manhajuna/IAN)
One comment
Pingback: Muslim Menghadapi Musim Dingin (Bag.II) – Manhajuna