Oleh: DR. Fahmi Islam Jiwanto
Manusia adalah makhluk yang sibuk mengklaim kebenaran. Jika sejatinya dia memang menginginkan kebenaran dan dia mendapatkannya, dia beruntung dan berhak mengklaim kebenaran itu. Tetapi ketika seorang manusia tidak dalam posisi yang benar, sementara dia ingin diakui dan diterima, ketika itulah klaim kebenaran menjadi masalah.
Tiga Kategori
Secara umum orang-orang yang mengklaim kebenaran ada tiga macam:
Yang pertama: orang yang mengklaim kebenaran dan dia memang benar.
Yang kedua: orang yang mengklaim kebenaran, dan tidak tahu bahwa dia salah.
Yang ketiga: orang yang mengklaim kebenaran, padahal dia tahu bahwa dia salah.
Orang yang mengklaim kebenaran dan memang klaim dia benar, memiliki ciri-ciri berikut:
1. Klaim dia sesuai dengan fakta obyektif.
2. Dia memiliki bukti valid yang menunjukkan kebenaran klaimnya.
3. Dia dapat mengemukakan dalil dan argumen yang membenarkan klaimnya.
4. Dia berpikir logis dan jelas sehingga sampai pada kesimpulan yang benar dan dapat diterima akal sehat.
5. Klaimnya tidak berkontradiksi dengan fakta-fakta lain yang sudah jelas kebenarannya.
6. Dia berani mempertanggungjawabkan klaimnya dan tidak ragu mengatakan apa adanya selama tidak ada intimidasi.
7. Klaimnya dapat dikonfrontir dan di-cross check dengan sumber-sumber fakta yang lain, dan ditemukan kesesuaian antara berbagai sumber yang berbeda.
8. Klaimnya dapat diuji dan dibuktikan melalui investigasi, munazharah (debat ilmiah), atau proses muhakamah yang adil dan bersih.
Sedangkan orang yang mengklaim kebenaran, dan dia tidak tahu bahwa klaimnya salah, dia memiliki ciri-ciri berikut:
1. Klaimnya hanya berdasarkan asumsi (anggapan) bukan fakta.
2. Informasi yang sampai kepadanya salah atau tidak sempurna.
3. Dia tidak memiliki bukti, atau bukti yang dia bawa tidak benar.
4. Salah memahami fakta yang dia lihat atau dengar.
5. Dia berpegang pada pemikiran yang tidak logis.
6. Sikap dan pendiriannya kontradiktif, tidak sesuai dengan berbagai fakta yang ada. Atau bahkan terkadang tidak sesuai dengan perkataan dirinya pada kesempatan yang lain.
7. Ketika klaimnya dikonfrontir dengan sumber lain yang terpercaya, ternyata tidak sesuai.
8. Ketika klaim tersebut ketika diuji dengan proses investigasi, atau munazharah (diskusi ilmiah) atau muhakamah dengan menggelar perkara, terbukti bahwa klaim tersebut tidak benar.
Jika seseorang sejak awal menginginkan kebenaran, tetapi ternyata keyakinan yang dia pegang di kemudian hari terbukti tidak benar, jika dia memang jujur menginginkan kebenaran, dia akan berpindah posisi, meninggalkan keyakinan lamanya yang salah untuk mengadopsi keyakinan yang benar.
Sedangkan orang yang mengklaim kebenaran, padahal dia tahu bahwa klaimnya tidak benar, sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
1. Karena dia tahu bahwa yang dia klaim itu tidak benar, maka ia berusaha semaksimal mungkin untuk membungkus pendapatnya dengan bungkusan yang menarik, baik dengan bahasa yang indah, atau fantasi yang melambung, atau dengan gaya yang menarik.
2. Untuk menutupi kepalsuannya dia perlu menutupi fakta, baik dengan cara pengalihan perhatian, mencampuradukkan antara yang benar dengan yang salah, atau men-tasykik (distrust/meragukan) orang yang membawa fakta yang benar.
3. Agar orang lain tidak dapat mencapai kesimpulan yang benar, dia menggunakan permainan logika yang dipelintir. Untuk jurus ini banyak caranya, bisa dengan menggunakan premis (muqaddimah) yang seolah-olah benar padahal tidak, yaitu dengan premis yang salah tapi dikesankan benar, dengan menganggapnya sebagai aksioma yang tidak perlu didiskusikan. Atau menggunakan premis A yang benar tapi premis B-nya salah, tetapi disamarkan. Atau kedua premisnya benar, tetapi hubungan antara keduanya tidak nyambung dan tidak mengantarkan pada kesimpulan yang benar.
4. Membuat penafsiran yang melenceng terhadap dalil. Dalam setiap masalah selalu adalah pedoman yang menjadi pijakan.
Seorang muslim menjadikan Qurán dan Sunnah menjadi patokan, seorang warga negara menjadikan konstitusi sebagai pijakan, dan setiap institusi memiliki aturan internalnya.
Seseorang yang ingin mendapatkan pembenaran terhadap sikapnya yang salah, perlu membuat penafsiran yang melenceng terhadap pedoman-pedoman tersebut.
Pola yang dibuat adalah seperti yang diungkapkan dalam surat Ali Imran ayat 7, yaitu dengan menggunakan teks-teks yang multi tafsir yang dapat dipelintir, dan meninggalkan teks-teks yang tegas dan jelas.
5. Kesalahan apapun akan selalu berbenturan dan berkontradiksi dengan berbagai kenyataan dan fakta. Seringkali orang-orang yang memaksakan klaimnya yang palsu, berbenturan dengan kata-katanya sendiri, sebelum berbenturan dengan perkataan pihak lain. Jika dia obyektif, dia akan sadar, tetapi jika tidak, dia akan mengabaikan kenyataan apapun yang tidak menguntungkannya.
6. Oleh karena itu, dia akan menghindari sebisa mungkin proses pengujian klaim tersebut. Jika diajak berdiskusi oleh orang yang dia tahu akan mampu mengungkapkan kesalahannya, dia akan menolak. Jika diminta datang untuk mengklarifikasi sikapnya, dia tidak datang. Begitu seterusnya.
7. Jika dia tidak mampu menghindari proses investigasi, dia akan berusaha memanipulasi data, menghilangkan bukti, mengintimidasi saksi atau membuat kesaksian palsu.
8. Jurus yang sering digunakan pembela kebatilan adalah dengan menyerang pribadi pembela kebenaran. Orang-orang kafir yang tidak mampu mempertahankan hujjahnya, mereka menyerang pribadi para Nabi, dengan mengatakan bahwa mereka gila, penyihir, pembohong dan seterusnya.
9. Jurus yang juga sering dipakai adalah jurus membalik fakta, dengan memberi label yang terbalik, yang salah diberi label baik, dan yang baik diberi label buruk.
10. Cara lain yang digunakan untuk mempertahankan klaim palsunya adalah dengan melakukan intimidasi terhadap orang-orang yang membongkar kepalsuan tersebut.
11. Di antara cara yang sering digunakan untuk mengesankan bahwa sebuah klaim adalah benar adalah dengan berperan seolah-olah disakiti, dianiaya dan dilanggar haknya, sehingga dia mendapatkan simpati dari orang yang tidak mengetahui duduk permasalahan sebenarnya. Jurus ini populer dengan nama playing victim.
12. Cara yang juga sering dipakai untuk membela klaim kebenaran palsu adalah dengan menebar kebohongan. Orang-orang yang lemah nalarnya akan dapat menerima info apapun yang terus terulang, bahkan alam bawah sadarnya akan terpengaruh dengan kata-kata yang sering dia dengar tanpa melalui proses berpikir. Otak bawah sadar manusia tidak mampu membedakan hal yang benar dan yang salah. Kelemahan inilah yang sering dimanfaatkan penyebar propaganda sesat. Menyebar kebohongan juga bisa dilakukan dengan menyelipkan sedikit info yang salah di antara sederet info yang dapat diterima. Ketika secara umum seseorang menerima sebuah paket informasi yang dianggap tidak bermasalah, dia cenderung membenarkan seluruh pesan yang ada di dalamnya, tanpa meneliti satu per satu.
13. Membangkitkan emosi. Tingginya kadar emosi seseorang dapat melemahkan daya nalarnya. Ini adalah kelemahan manusia yang banyak dimanfaatkan oleh penebar propaganda sesat. Emosi yang dapat dimanfaatkan untuk melumpuhkan nalar bermacam-macam: seperti rasa kagum yang berlebihan yang membuat seseorang mengiyakan apa saja yang dikatakan pujaannya; juga rasa marah yang berlebihan yang membuat dia merangsek segala hal tanpa pikir panjang; atau rasa benci yang berlebihan yang membuat dia menolak segala nasehat dari pihak yang telah diframing buruk oleh sang penebar propaganda. Seni mempengaruhi emosi publik adalah seni yang paling disukai oleh para pemimpin yang menginginkan pengikut-pengikut yang mudah dikendalikan.
14. Cara juga sangat sering digunakan untuk menguatkan klaim kebenaran palsu adalah dengan menggunakan uang atau iming-iming keduniaan lainnya. Ini adalah senjata ampuh yang sudah banyak menaklukkan orang-orang penting yang berilmu sekalipun. Di zaman sekarang telah banyak terlihat bagaimana kelimuan seseorang dipergunakan untuk memanipulasi kebenaran sesuai keinginan pemberi modal, sahabat yang berjasa, atau atasan yang menggaji.
Antara Kebenaran Parsial dan Kebenaran Total
Yang membuat masalah klaim kebenaran menjadi tidak sederhana adalah bahwa kebenaran bukanlah sebuah satuan kecil yang tidak dapat dibagi. Seringkali obyek yang diklaim kebenarannya terdiri dari beberapa unsur yang tidak sama kadar validitasnya. Dalam sebuah klaim dapat memuat unsur yang benar dan yang salah sekaligus. Dalam sebuah narasi seseorang dapat mencampur madu dan racun di satu bejana.
Karena itu dikotomi hitam putih, sering tidak tepat. Dan fanatisme buta selalu akan meninggalkan obyektivitas dan akurasi penilaian. Dalam kasus adanya kebenaran parsial dan kesalahan parsial, dua kubu pro dan kontra yang terpolarisasi secara ekstrem, semuanya akan jatuh dalam kesalahan, karena yang setuju total dia akan menerima kebenaran dan kesalahan sekaligus, sementara yang menolak total juga akan menolak kebenaran dan kesalahan sekaligus.
Secara normatif, jika kebenaran sebuah klaim hanya bersifat parsial, maka menerima total atau menolak total tidaklah tepat. Sikap yang proporsional adalah memilah antara bagian yang benar dan yang salah.
Tetapi dalam realita praktis, belum tentu hal tersebut dapat dilakukan, karena terkadang unsur kesalahan yang ada tidak dapat dipisahkan dari unsur yang benar. Dalam kondisi seperti ini, ada beberapa pilihan:
Pilihan pertama: cari kemungkinan terpisahkannya unsur-unsur yang salah dari unsur-unsur yang benar. Terkadang sesuatu yang terlihat sulit dipisahkan, jika kita teliti kembali, masih mungkin dipisahkan jika unsur kebenarannya masih dapat diselamatkan dari unsur kebatilan.
Pilihan kedua, jika tidak dapat dipisahkan, kita lihat mana yang dominan. Jika kebenarannya dominan, dan kebatilannya dapat ditolerir, maka kita ambil yang dominan. Jika yang dominan adalah yang salah, sedang unsur kebenarannya terlalul kecil. Maka kita tolak semua, meskipun ada sedikit unsur yang benar.
Pilihan ketiga adalah, prinsip “i’tibarul ma’alat” atau melihat hasil akhirnya. Terkadang adanya sebuah keburukan hanya bagian dari proses yang belum selesai. Jika muncul sebuah keburukan, tetapi akan menghasilkan kebaikan di akhir perjalanan, maka keburukan tersebut dapat ditolerir keberadaannya. Demikian juga jika ada kebaikan parsial yang justru akan menarik kepada keburukan di penghujung jalan, maka kebaikan tersebut diabaikan. Tetapi prinsip i’tibarul ma’alat ini, menjadi absurd ketika prediksi tentang hasil akhir yang diklaim masih bersifat praduga yang belum pasti, sementara kebenaran yang akan dikorbankan atau keburukan yang diabaikan sudah existing.
Pilihan keempat, adalah dengan memakai kaidah “daf’ul madharrah muqaddamun ‘ala jalbil manfa’ah” (menolak keburukan lebih prioritas dibanding meraih kebaikan). Dalam banyak kasus, jika kebaikan dan keburukan bertemu di satu tempat, lebih diutamakan menolak keburukan dari pada meraih kebaikan. Tapi penerapan prinsip ini hanya tepat ketika kebaikan yang diabaikan tidak lebih penting dibandingkan maslahat yang dijaga ketika menolak kemadharatan.
Antara Kebenaran Relatif dan Kebenaran Absolut
Tidak selalu dialektika tentang klaim kebenaran, terkait dengan kebenaran absolut yang tidak memuat berbagai kemungkinan. Tetapi sebelum membahas tentang kebenaran relatif dan absolut, kita perlu menyinggung polemik sengit di dunia pemikiran tentang keberadaan kebenaran absolut.
Di dunia filsafat, tercatat polemik tentang ada atau tidaknya kebenaran absolut terjadi di abad pertama sebelum Masehi. Segolongan pemikir yang dikenal sebagai golongan sophist (sophiste dalam bahasa Yunani) mengklaim bahwa kebenaran absolut itu tidak ada atau tidak mungkin dicapai. Semua kebenaran yang diklaim siapa pun sifatnya selalu subyektif.
Klaim mereka membuat keyakinan terhadap kebenaran menjadi mengambang. Tetapi pemikiran ini seperti tidak berkembang terutama setelah para filosof terkemuka seperti Socrates meruntuhkan asumsi mereka. Dengan membangun ilmu logika yang mengantarkan akal kepada cara pengambilan kesimpulan yang benar, Socrates (470-399 SM) memberikan solusi kongkret terhadap pandangan absurd kaum sophist.
Dalam khazanah pemikiran Islam pemikiran gaya sophist tersebut diistilahkan dengan nama “السُوفْسُطَائية” yang sebenarnya tidak lebih dari perpanjangan kaum sophist tersebut. Ibnu Jauzi (1126 -1200 M) dalam kitabnya Talbis Iblis, merontokkan argumen mereka dengan cara yang sangat simpel dan tuntas. Lebih lugas dan jelas dibanding cara Socrates, juga lebih telak dari logika René Descartes (1596 – 1650 M) yang sempat lama mengalami kebingungan dengan logika ala sophist tersebut.
Inti pemikiran sophiste atau as-Sufsutha’iyyah adalah mengambangkan kebenaran, baik dengan menganggap bahwa tidak ada kebenaran sejati, atau dengan mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran sejati, atau mengatakan bahwa kebenaran semuanya subyektif tergantung keyakinan setiap orang. Cara berpikir seperti ini adalah logika buntung. Pertama karena ketidakmampuan manusia atau sebagian manusia untuk mengetahui beberapa fakta, tidak dapat digeneralisir kepada semua pihak dalam semua kasus. Siapa pun yang mengklaim seperti itu, jika dia konsisten, dia juga harus mengakui bahwa dia tidak mampu mengetahui kebenaran, termasuk dalam masalah kemampuan manusia untuk mengetahui kebenaran. Artinya dengan klaim tersebut, dia sesungguhnya sudah memvonis dirinya bahwa dia bukanlah orang yang berkompeten untuk bicara tentang masalah apa pun.
Yang kedua, bahwa kemampuan manusia untuk mengetahui berbagai hal memang terbatas. Tetapi kita tidak selalu berbicara tentang hal-hal yang ada di luar batas kemampuan manusia. Sangat banyak wilayah kebenaran yang dapat diketahui oleh manusia dengan sangat menyakinkan.
Yang ketiga, tidak dipungkiri adanya subyektifitas manusia dalam menangkap fakta tertentu. Tetapi subyektifitas tersebut dapat diuji dan dikomparasi dengan sumber informasi lainnya, sehingga jarak antara subyektifitas dengan obyektifitas semakin kecil bahkan dihilangkan.
Yang keempat, tidak semua kebenaran bersifat absolut, banyak hal-hal yang sebenarnya relatif, bergantung pada sumber, kondisi, tempat atau waktu tertentu. Itu benar. Tetapi tidak semua kebenaran itu bersifat relatif. Termasuk relativisme itu sendiri tidak absolut. Artinya ada kebenaran absolut yang dapat dijadikan patokan. Bahkan tanpa patokan yang absolut itu, relativisme tidak dapat dibuktikan.
Sebagian orang merasa menjadi lebih bijaksana ketika menganut pardigma relativisme ini. Bahkan pemikiran post modernisme menganggap hal itu sebagai puncak kebijaksanaan. Tetapi mereka lupa dengan menganggap bahwa relativitas adalah sesuatu yang absolut, itu berarti merobohkan relativisme itu sendiri.
Ibnu Jauzi membuat ilustrasi menarik tentang pemikiran gaya sophistry ini. Dikisahkan bahwa seorang sophist datang ingin mendebat seorang ulama. Setelah selesai, dia ingin pulang tetapi tidak menemukan hewan tunggangannya yang tadi dia tunggangi. Lalu dia kembali kepada ulama tadi dan berkata, “Hewanku dicuri!”
Ulama itu menjawab, “Jangan-jangan memang kau datang tidak dengan menunggang hewan.”
Dia berkata, “Tidak. Saya yakin sekali!”
Ulama tadi berkata lagi, “Coba ingat-ingatlah. Betulkah itu?”
Orang itu semakin ngotot dan berkata, “Ini bukan masalah ingat atau tidak ingat. Saya betul-betul datang dengan hewan tunggangan saya! Saya tidak ragu sama sekali!”
Ulama itu akhirnya berkata, “Bukankah kau mengatakan bahwa tidak ada kebenaran sejati, semua yang diyakini manusia itu cuma asumsi. Begitu juga dengan hewan tungganganmu. Itu jangan-jangan cuma asumsi kamu.”
Akhirnya orang itu sadar dengan kesalahan pemikirannya dan ia pun bertaubat.
As-Safsathah, Cara Menghindari Kebenaran
Kaum sophist atau as-sufsutha’iyyin meskipun tidak memiliki kaidah yang jelas dalam pemikiran mereka, tetapi mereka memiliki teknik-teknik untuk berdebat yang terlihat logis oleh orang awam. Cara yang mereka lakukan adalah dengan memutar-mutar logika yang tidak mengantarkan pada kesimpulan yang jelas. Mereka akan selalu melihat sisi relatif dari persoalan apa pun. Dan mereka akan menafikan apa pun yang mengantarkan pada kepastian.
Bagi sebagian orang, cara ini mengesankan sikap yang bijaksana, tetapi sikap seperti ini menjadi tidak bijak ketika kenyataan sudah terlalu jelas untuk dapat diingkari.
Al-Mutanabbi mengatakan,
وليس يصح في الأذهان شيء إذا احتاج النهار إلى دليل
“Tidak ada yang benar di otak seseorang, jika terang benderangnya siang hari masih memerlukan bukti.”
Hadanallahu wa iyyakum sawa-as sabil. (fij)
(Manhajuna/IAN)