Tauhid Asma wa Shifat adalah Menyakini keesaan Allah ta’ala dengan kesempurnaan mutlak dari semua sisi dengan memberikan sifat-sifat keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan[1]. Dan hal itu dengan cara pengakuan dan menetapkan secara pasti dengan segala yang datang dalam al-Qur’an ataupun sunah Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla yang indah dan sifat-sifat -Nya yang mulia.
Dan metode salaful Umah dalam perkara ini ialah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk diri Nya dan menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Rasul -Nya. Begitu pula menafikan seperti apa yang telah di nafikan oleh -Nya terhadap diri-Nya sendiri dan apa yang telah dinafikan oleh Rasul -Nya terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla, tanpa melakukan tahrif (merubah), tidak pula ta’thil (menghilangkan maknanya), tanpa membagaimanakan tidak pula memisalkan.
Mereka semua menyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai -Nya tidak pula ada yang semisal dengan -Nya dari kalangan makhluk -Nya, tidak dalam Dzat tidak pula dalam perkara sifat-sifat yang dimiliki -Nya, serta perbuatan -Nya. Maka metode mereka ialah menetapkan tanpa menyerupakan, dan mensucikan tanpa menta’thil (meniadakan makna yang sebenarnya), senantiasa berada diatas qaidah firman Allah tabaraka wa ta’ala:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia -lah yang Maha mendengar dan melihat”. (QS asy-Syuraa: 11).
Tahrif
Dan yang dimaksud dengan Tahrif dalam tinjauan bahasa ialah merubah dan mengganti, merubah harokat dan menggantinya[2].
Adapun dalam terminologinya ialah berpaling dari ucapan yang sesuai dan benar kepada ucapan yang lain. Dan bila diterapkan dalam perkara asma dan sifat ialah merubah lafad nash yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau merubah makna yang terkandung dari apa yang di inginkan oleh Allah azza wa jalla, semisal tahrif i’rab dalam firman Allah ta’ala[3].
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (QS an-Nisaa’: 164).
Dengan menjadikan nabi Musa yang mengajak Allah Shubhanahu wa ta’alla berbicara, sedang yang benar ialah Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mengajaknya langsung bicara. Dalam gramatika bahasa arab i’rab lafdhul jalalah dengan rafa’ (didhamah) sebagai pelaku (objek), kemudian mereka mentahrif (merubah) dengan harakat fathah sebagai subjek. Dan yang senada dengan tahrif dalam masalah ini ialah makna istawa (bersemayam) dengan istaula (menguasai) dalam makna firman Allah ta’ala:
(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS Thahaa: 5).
Ta’thil
Adapun yang dimaksud dengan ta’thil secara bahasa ialah dari kata al-‘Athal yang bermakna kosong dan tidak berisi dan meninggalkan, sebagaimana tersirat dalam firman Allah ta’ala:
“Dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi”. (QS al-Hajj: 45).
Maksudnya disia-siakan oleh pemiliknya dan ditinggalkan tidak lagi diambil airnya[4], adapun menta’thil yang dengan masalah Asma dan Shifat maka maksudnya ialah menafikan nama-nama dan sifat-sfiat atau menafikan sebagian atau menyelewangkan makna yang benar terhadap Allah ta’ala[5].
Takfyif
Sedangkan yang dimaksud dengan takyif ialah menjadikan sesuatu pada hakekat tertentu tanpa mengikatnya dengan yang dipermisalkan[6]. Seperti halnya ucapan sebagian sekte tentang Allah Shubhanahu wa ta’alla, panjangnya seperti lebarnya[7]. Dan makna ucapan ahlu sunah tanpa mengumpamakan dengan perumpamaan yang ada dalam benak manusia, dan ini bukan berarti maksud ucapan mereka, mengumpamakan dengan perumpaan yang menyeluruh secara utuh, sebab segala sesuatu pasti mempunyai hakekat keadaanya. Akan tetapi, yang dimaksud ialah bahwa mereka meniadakan pengetahuan tentang bagaimananya sebab tidak ada yang mengetahui bagaimana keberadaan Dzatnya Allah Shubhanahu wa ta’alla kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla[8].
Tamtsil
Dan yang dimaksud dengan tamtsil ialah terambil dari kata al-Mitsal yang bermakan menyerupai dan menyamai[9].
Adapun bila diterapkan dalam masalah Asma dan Shifat maknanya ialah menyakini bahwa didalam sifat-sifat -Nya itu ada yang serupa dengan sifat-sifat makhluk.
Maka tauhid Asma dan Shifat ialah mengkosongkan dalam nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya tetapkan pada diri -Nya, dari empat hal ini yakni ta’thil, tahrif, takyif, dan tamtsil. Maka barangsiapa menafikan sifat-sifat Allah jalla wa ‘ala dan mengkosongkan maknanya, maka ta’thilnya tadi telah mendustakan tauhidnya, dan barangsiapa yang menyerupakan pencipta dan memisalkan dengan makhluk maka penyerupaan dan permisalan yang diberikan tadi telah membatalkan tauhidnya[10].
Dan diantara dalil-dalil yang menunjukan tentang tauhid ini ialah firman Allah ta’ala:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan -Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)”. (QS al-Baqarah: 255).
Dan firman Allah tabaraka wa ta’ala:
“Sesungguhnya keadaan -Nya apabila -Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia”. (QS Yaasin: 82).
Demikian pula dalam firman -Nya:
“Dia- lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan -Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS al-Baqarah: 29).
Dan juga dalam firman -Nya:
“Tangan Allah di atas tangan mereka”. (QS al-Fath: 10).
Begitu juga dalam firman -Nya:
“Allah ridha terhadap -Nya dan mereka pun ridho kepada Allah. Itulah keberuntungan yang paling besar”. (QS al-Maa-idah: 119).
Dan dalam firman Allah ta’ala:
“(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS Thahaa: 5).
Dan juga firman -Nya:
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (QS an-Nisaa’: 164).
Dan lain sebagainya dari ayat-ayat yang semakna dengan ini.
Catatan Kaki:
[1] al-Kasyaaful Jaliyah Abdul Aziz Salman hal: 417.
[2] Lisanul Arab 3/128.
[3] Sebagaiman di nukil oleh Ibnu Qoyim dari ucapan sebagian sekte Jahmiyah dalam kitabnya Shawa’iqul Mursalah 1/218.
[4] Lisanul Arab 9/271. Syarh Wasithiyah oleh Khalil Haras hal: 20.
[5] Lihat dalam Syarh Wasithiyah oleh Khalil Haras hal: 20.
[6] al-Qowa’idul Mutsla Ibnu Utsaimin hal: 28.
[7] Dinukil oleh al-Asy’ari dalam Maqalaat Islamiyah hal: 31.
[8] Syarh Aqidah Wasithiyah oleh Khalil Haras hal: 21.
[9] Mu’jamul Wasith hal: 854.
[10] Lihat dalam Ijtima’ul Juyush Islamiyah oleh Ibnu Qoyim hal: 28. D. Muhammad at-Taimi dalam kitabnya Mu’taqad Ahli Sunah wal Jama’ah fii Tauhid Asma wa Shifat hal: 70-86.
Baca Juga: Macam-Macam Tauhid (1): Tauhid Rububiyah
Sumber: Macam-macam Tauhid أنوع التوحيد, Syaikh Abu Bakar Muhammad Zakaria, Penerjemah: Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad, IslamHouse.com
(Manhajuna/IAN)