Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Sebuah pernikahan yang ideal tentu saja harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Adapun rukun nikah antara lain adalah ijab qabul, adanya mempelai laki-laki dan wanita, wali serta 2 orang saksi. Adapun kewajiban lain yang harus terpenuhi dalam pernikahan adalah mahar yang diberikan oleh suami untuk istrinya, baik diserahkan pada saat pernikahan atau hanya sekedar komitmen yang akan dipenuhi kemudian hari (hutang). Dalam Islam, pernikahan tidak boleh disyaratkan dengan batas waktu, misalnya pernikahan hanya untuk waktu sehari, sebulan, setahun, dan seterusnya. Idealnya, nikah dilakukan secara resmi dan formal, tercatat dalam catatan resmi (catatan sipil pemerintah) dan diumumkan kepada khalayak ramai dalam bentuk resepsi atau walimah. Ini tentu saja demi menghindari fitnah yang muncul kemudian hari.
Mari kita dalami beberapa istilah pernikahan yang sering kita temui di masyararakat. Yang pertama adalah nikah sirri yang artinya “nikah sembunyi-sembunyi”. Nikah sirri ada beberapa versi, ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Jikalau yang dimaksud dngan nikah sirri adalah nikah tanpa “direme-ramein” tapi syarat dan rukunnya terpenuhi, maka nikahnya sah tapi kurang sunnah walimahnya. Namun apabila nikah sirri yang dimaksud adalah nikah yang tidak tercatat (secara resmi) tapi syarat dan rukunnya terpenuhi, maka nikahnya tetap sah namun rawan terjadi penyimpangan dan hilangnya hak. Dalam hal ini, pihak wanitalah yang akan dirugikan.
Sedangkan jenis pernikahan kedua yang kita kenal adalah nikah mut’ah. Nikah seperti ini lebih mirip prostitusi karena dalam akad sudah disepakati batas waktunya, misalnya sehari, sepekan, sebulan dan seterusnya. Ulama ahlussunnah wal jamaah sepakat mengharamkan nikah mut’ah walau jenis pernikahan seperti ini sempat dibolehkan pada zaman Nabi SAW., namun kemudian mansukh dan dihapus.
Adalagi yang namanya nikah misyar. Adapun dalam pernikahan ini terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi istri tidak menuntut haknya yang menjadi kewajiban istri. Misalnya dalam sebuah akad pernikahan, calon suami bersedia menikahi wanita dengan kesepakatan dalam pernikahan tersebut suami tidak perlu memberi nafkah, tidak menggaulinya, dan sebagainya. Dan apabilah sang mempelai wanita menyetujuinya, maka itulah yang dinamakan nikah misyar. Para ulama umumnya melarang nikah misyar dengan alasan ini merupakan perbuatan zhalim kepada wanita. Namun ada pula ulama yang membolehkan nikah misyar, tetapi hanya pada kasus-kasus tertentu saja.
Ragam nikah selanjutnya adalah nikah yang diniatkan untuk talaq. Maksudnya adalah nikah ini seperti nikah biasanya, namun dalam hati sang mempelai pria sudah ada rencana kalau sewaktu-waktu dia akan men-talak istrinya, akan tetapi tidak ada kesepakatan sebelumnya. Sebagian ulama menyatakan kalau syarat dan rukunnya terpenuhi maka nikah seperti ini dianggap sah. Namun sebagian ulama lain menggap nikah seperti ini hukummnya tidak sah.
Adapula yang namanya nikah gantung. Kedua mempelai telah melaksanakan rukun sahnya nikah tetapi setelah ijab qabul belum tinggal serumah. Pernikahan seperti ini dianggap sah, bahkan di Arab Saudi pernikahan seperti ini sudah menjadi budaya, sang kedua mempelai baru hidup serumah setelah sebulan atau bahkan setahun kemudian. Dalam pernikahan seperti ini, kewajiban nafkah sang istri masih ditanggung oleh orantuanya, kecuali jika sudah digauli.
Dalam sebuah pernikahan, wali ataupun mempelai dapat diwakilkan kepada seseorang. Misalnya karena suatu hal, wali perempuan tidak dapat hadir lalu dia memberikan kuasa kepada seseorang untuk menggantikannya. Atau mempelai laki-laki yang tidak dapat hadir sehingga ia mewakilkannya kepada orang lain, maka ini diperbolehkan. Hal ini dapat dilakukan karena pada dasarnya akad adalah sebuah hal yang dapat diwakilkan. Hal ini pernah dipraktekkan oleh Rasululloah SAW ketika beliau akan menikahi Ummu Habibah yang pada saat itu sedang hijrah ke Habasyah, beliau meminta Raja Najasyi sebagai wakilnya.
Kemudian bagaimana hukumnya dengan penikahan beda agama. Dalam sebuah pernikahan, apabila sang mempelai laki-laki adalah Muslim dan mempelai wanita adalah Yahudi atau Kristen (Ahlul Kitab) maka pernikahannya sah. Kebolehan ini pun dengan catatan calon istrinya dikenal sebagai wanita yang baik-baik, bukan pezina, misonaris atau orang yang memerangi kaum Muslim. Akan tetapi pernikahan beda agama sangatlah rawan, maka sebaiknya carilah calon istri yang muslimah. Adapun bila pernikahan tersebut dilakukan dengan calon mempelai wanita dari kalangan non-Muslim yang bukan dari kalangan Ahlul Kitab, maka secara mutlak pernikahannya tidak sah. Selanjutnya, apabila seorang wanita muslimah menikah dengan non-Muslim, baik dari kalangan Ahlul Kitab maupun bukan maka pernikahannya mutlak tidak sah.
Lalu bagaimana kedudukan pernikahan antar kerabat. Dalam hal ini syariat membaginya kedalam tiga, yang pertama hukumnya tidak sah, yang kedua hukumnya sah namun sebaiknya dihindari dan yang ketiga hukumnya dianjurkan. Pernikahan kerabat yang tidak sah yaitu pernikahan yang dilakukan sesama mahrom dan saudara sesusuan, contohnya saudara kandung, sebapak, saudara bapak, saudar ibu, dan sebagainya. Kemudian pernikahan antar kerabat yang diperbolehkan namun sebaiknya dihindari adalah pernikahan yang dilakukan dengan bukan mahro tetapi terlalu dekat hubungan kerabatnya, seperti nikah dengan sepupu. Pernikahan ini dikhawatirkan apabila terjadi perceraian atau sejenisnya maka akan merembet dan merusak hubungan kekerabatan. Sedangkan pernikahan antar kerabat yang dianjurkan adalah pernikahan dengan kerabat yang tidak terlalu dekat karena akan menyambung silaturahmi dengan kerabat jauh.
Pernikahan dengan wanita yang pernah menikah sebelumnya, maka yang perlu diperhatikan adalah masa iddah sejak mempelai wanita bercerai atau ditinggal suami sebelumnya. Pernikahan yang dilakukan dengan wanita yang belum habis masa iddah-nya maka pernikahannya tidak sah. Masa iddah atau masa tunggu dari wanita yang dicerai adalah tiga kali haidh dan apabila sudah tidak haidh maka masa iddah-nya adalah 3 bulan. Sedangkan iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Dan bagi wanita yang mengandung/hamil maka masa iddahnya adalah hingga melahirkan.
Yang terakhir pernikahan yang statusnya meragukan, yaitu pernikahan yang dilakukan dengan wanita yang mana status cerainya belum jelas, baik karena suaminya tidak jelas-jelas men-talaknya atau karena tidak adanya keputusan pengadilan yang pasti.
Sekian dulu pembahasan kita tentang pernikahan. Moga ini bisa menjadi sedikit pengantar bagi yang ingin melangsungkan pernikahan ataupun bagi yang ingin sekedar menambah ilmu. Insya Allah kajian tentang pernikahan akan dilengkapi pada artikel yang lain.
(Manhajuna/AFS)