Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kajian / Muslim Indonesia Menyambut Pemilu 2014; Wacana dan Refleksi
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Muslim Indonesia Menyambut Pemilu 2014; Wacana dan Refleksi

pemilu-2014Oleh: Faris Jihady, Lc

Manhajuna – Publik Indonesia sedang mengalami semacam kegaduhan sebagai efek dari semakin dekatnya Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden. Semua orang mengalami demam politik, para politisi mulai ramai berkampanye, jalanan mulai ramai dengan berbagai alat peraga sosialisasi. Kaum muslimin sebagai komponen terbesar rakyat Indonesia tentu saja menjadi bagian terpenting dalam perhelatan demokrasi lima tahunan ini. Namun yang cukup disayangkan adalah tak seragamnya persepsi publik muslim terhadap Pemilihan Umum.

Islam memandang politik sebagai salah satu aspek kehidupan yang mesti diwarnai. Islam membawa nilai dan aturan yang sempurna dalam seluruh aspek kehidupan termasuk aspek politik, karenanya sudah semestinya manusia muslim memandang politik sebagai bagian dari Islam yang integral dan menyeluruh. Sistem Politik dalam tataran praktis diserahkan kepada publik untuk bersepakat dan mengaturnya sesuai dengan situasi dan kemaslahatan. Pemilu sebagai alternatif perangkat system politik menjadi bagian dari kesepakatan public yang dibenarkan dalam Islam. Substansi dari diadakannya Pemilihan Umum adalah pelibatan semaksimal mungkin partisipasi setiap individu di masyarakat dalam menentukan siapa pemimpin dan wakil rakyat. Hal ini merupakan semangat utama dalam pembentukan pemerintahan dan pengaturan masyarakat, dimana masyarakat adalah sumber utama legitimasi sebuah negara dan kekuasaan pemerintahan. Masyarakat lah yang memilih siapa pemimpinnya, mereka pula yang mengawasi jalannya kekuasaan dan meluruskannya jika terjadi penyimpangan.

Semangat partisipasi publik adalah filosofi yang dibenarkan bahkan dianjurkan dalam Islam. Hal ini misalnya terjiwai dalam prinsip Syura (Musyawarah) yang secara eksplisit ditegaskan oleh AlQur’an; وامرهم شورى بينهم (QS Syura: 38) “dan urusan diantara mereka diputuskan dengan musyawarah…”. Dalam praktik sejarah politik Islam pun implementasi partisipasi publik juga dicontohkan, semisal dalam pemilihan Khalifah Utsman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf diutus untuk mendatangi satu-satu masyarakat sahabat di masa itu untuk mengetahui pandangan dan suara mereka. Partisipasi public yang maksimal melahirkan kepemimpinan yang kuat dan legitimate (sah secara hukum), karena didasari keridhaan dan kerelaan masyarakat terhadap pemimpinnya.

Filosofi partisipasi publik dalam bahasa fiqih kepemimpinan (imamah) dilegalkan dengan istilah akad. Akad adalah perjanjian keduabelah pihak yang mengikat satu sama lain. Namun ada sedikit perbedaan pandangan antar para ulama kontemporer dalam mendefinisikan pemilu; apakah ia terkategori akad wakalah (perwakilan) ataukah syahadah (kesaksian), namun perbedaan ini tak begitu penting konsekuensinya, karena yang lebih penting adalah terwujudnya aspirasi publik yang terjelmakan dalam wadah yang sah (legal) dan legitimate.

Filsafat Politik Islam

Partisipasi Politik kaum Muslimin dalam mengatur dan mengelola urusan negara dan masyarakat menjadi kemestian karena politik menjadi instrumen pokok demi terwujudnya tujuan utama yakni; hirasatuddin, wa siyasatuddunya bi ad-diin (menjaga agama, dan mengelola kehidupan dunia/masyarakat agar sesuai dengan tuntunan agama). Agama ditegakkan dan dijaga dengan kekuasaan politik, dan kehidupan masyarakat diatur melalui instrument politik agar sesuai dengan tuntutan agama, termasuk dalam kemaslahatan duniawi masyarakat, dengan kata lain ia menjadi sarana efektif dalam mengimplementasikan aturan-aturan agama (syari’at) dalam masyarakat, mewujudkan keteraturan dan ketertiban (law and order), serta meminimalisir potensi kerusakan dan memaksimalkan peluang kemaslahatan.

Dengan demikian, pemahaman yang baik akan tujuan utama politik dalam Islam berkonsekuensi logis pada partisipasi aktif dalam politik, khususnya dalam pemilu serta meminimalisir sikap apatis (cuek) pada keadaan.

Pemilu dan Demokrasi dalam Islam

Beberapa kerancuan pemahaman seputar pemilu dan partisipasi politik meliputi sebagian kaum muslimin, sehingga melahirkan sikap apatis bahkan negatif pada partisipasi politik.

Sebagian orang menyangka bahwa ikut serta dalam pemilu –yang merupakan instrumen terpenting dalam system demokrasi- adalah sesuatu yang diharamkan karena dianggap bukan dari Islam, atau berhukum kepada selain Allah. Ini adalah pemahaman yang kurang tepat, karena sebagaimana disebutkan di awal, konsep pemilihan pemimpin adalah dalam Islam harus didasarkan pada keridhoan-kerelaan public, publiklah sumber legitimasi pemimpin, pengontrol dan pengawasnya. Pemilu mengakomodasi konsep dasar ini. Tak kurang sekian ulama kontemporer internasional seperti; Syekh Ibn Baz, Syekh Ibn Utsaimin, Syekh Al-Qaradhawy memperbolehkan bahkan menganjurkan jika dimaksudkan besarnya kemaslahatan dari partisipasi public dalam politik.

Sebagian lagi memahami bahwa Pemilu berarti menyamakan suara seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan status kesalehan dia, apakah dia ulama, atau orang biasa, atau orang jahat. Ini sebenarnya persoalan yang bisa dijawab dengan penjelasan bahwa ini justru menjadi tugas dakwah islam secara cultural, agar tercipta kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya pengelolaan negara yang tidak bertentangan dengan agama. Jadi masalahnya bukan terletak pada system pemilunya, tapi pada tugas dakwahnya.

Sebagian lagi memahami bahwa tidak pemilu tidak bisa menerapkan syariat Islam secara total. Ini pada satu sisi bisa dibenarkan, namun pada sisi lain melahirkan sikap yang tidak realistis. Kita sebagai muslim diperintahkan untuk bermuamalah menyesuaikan dengan realita. Meskipun pemilu tidak mengantarkan pada tujuan utama secara sempurna, maka pada level minimal tujuan politik tetap bisa dicapai yaitu; memperbesar peluang maslahat dan memperkecil peluang madharat (kerusakan).

Kemestian Partisipasi Publik dalam Dunia Politik Modern

Dalam dinamika politik modern, Pemilu menjadi prosedur utama dalam merealisasikan kehendak publik. Seluruh negara modern menggunakan system pemilu sebagai perangkat utama dalam demokrasi. Sehingga bisa dikatakan setiap manusia modern sepakat pada system pemilu sebagai alternatif terbaik dalam proses regenerasi kepemimpinan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam realita Dunia Islam kontemporer, masyarakat muslim menyaksikan 3 tahun terakhir ini urgensi Pemilu dalam suasana kebebasan dan keleluasaan sebagai titik tolak perlawanan terhadap otoritarianisme dan kediktatoran masa lalu. Masyarakat di beberapa negara yang baru saja mengalami revolusi (Tunisia, Mesir, Libya), semuanya mengalami pergulatan dalam menemukan identitas negara modern dan siapa yang paling berhak berkuasa, namun pada akhirnya semuanya juga menemukan titik komprominya melalui Pemilu sebagai saluran terbaik kehendak publik. Tidak ada satu kelompok yang mengklaim berhak atas kekuasaan kecuali setelah mendapatkan kepercayaan publik. Dengan demikian, sikap apatis bisa dikatakan merupakan titik mundur yang justru bertentangan dengan angin perubahan yang diinginkan semua orang.

Pemilu dalam Politik Modern menjadi sarana pendidikan politik masyarakat, agar sadar tentang hak dan kewajiban setiap individu pada pengelolaan kehidupan mereka secara kolektif. Kesetujuan ataupun ketidaksetujuan, usulan, keluhan, dan semua bentuk aspirasi disalurkan melalui sarana pendidikan politik ini. Di sisi lain, pemilu berarti adanya keikutsertaan Partai Politik yang menjadi saluran resmi keinginan dan aspirasi public. Ini menjadi poin penting yang patut diperhatikan dalam kehidupan politik, bisa jadi masyarakat apatis terhadap Pemilu karena penurunan tingkat kepercayaan pada partai politik.

Para pakar politik modern menegaskan bahwa Partai Politik selain berfungsi utama sarana aspirasi politik, ia juga menjadi sarana pendidikan politik. Pendidikan politik berarti membangkitkan kesadaran kolektif tentang partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat, menyampaikan keputusan-keputusan politik pada level legislatif maupun eksektif, mempertanggungjawabkan kegiatan-kegiatan politik dan anggaran negara kepada publik, sehingga tercipta pengelolaan negara yang terawasi secara seimbang, transparan dan tidak absolut.

Pemahaman tentang pentingnya pendidikan politik baik dari pihak publik sebagai pemilih maupun Partai Politik sebagai saluran utama aspirasi, menjadi tolok ukur utama terciptanya hubungan yang baik antara partai politik dengan publik. Publik selalu mengontrol kehadiran partai politik dan efek dari kebijakan politik yang mereka buat dalam kehidupan keseharian. Partai politik pun harus selalu berkomunikasi dengan publik, mengajukan kader terbaik secara integritas dan kapabilitas sehingga kepercayaan public selalu terpelihara.

Pemahaman yang baik tentang pendidikan politik meminimalisir kemungkinan terjadinya monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang, yang biasa disebut dengan oligarki kekuasaan yang tidak mewakili kehendak public, yang juga merupakan benih dari otoritarianisme dan tirani minoritas.

Beberapa pertimbangan dalam memilih

Secara alamiah ada sekian banyak variabel penyebab seseorang menjatuhkan pilihan pada pemimpinnya atau sosok yang mewakilinya. Ada variabel kesamaan ideology antara pemilih dengan yang dipilih, ada variabel kepercayaan pada integritas dan kapabilitas, dan berbagai variabel yang lain, mulai dari yang rasional sampai yang tidak rasional (hanya ikut-ikutan), ataupun hanya termakan pencitraan public di media.

Beberapa usulan sederhana dapat dikemukakan sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan. Sebelumnya tentu saja kita harus menegasikan (meniadakan) hasrat kita untuk bersikap apatis atau apa yang sering diistilahkan dengan golongan putih (golput). Diskusi wacana golput apakah ia hak sebagaimana hak memilih, ataukah ia pelanggaran terhadap aturan sehingga berujung pidana, merupakan diskusi yang tak kunjung selesai dan kontraproduktif. Dalam aturan demokrasi, sebesar apapun suara golput, tidak akan berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik, dan justru membuka peluang apa yang kita sebut di atas dengan monopoli politik sekelompok orang akibat apatisme sebagian publik. Semestinya setiap muslim memanfaatkan betul momentum Pemilu untuk merealisasikan konsep dasar partisipasi publik sebagaimana dianjurkan dalam Islam.

Pertimbangan yang paling mendasar dalam menjatuhkan pilihan adalah bersikap rasional, menimbang-nimbang secara logis. Partai mana atau tokoh siapa yang paling ashlah (paling tepat) untuk dipilih. Pilihan yang semata berdasarkan emosi karena pencitraan media sesaat bukanlah sikap yang baik. Kita sebagai seorang muslim, tentu saja visi misi yang mewakili semangat keagamaan kita menjadi pertimbangan. Kemudian letakkan pertimbangan kehadiran partai politik dalam kehidupan keseharian kita, mana yang paling sering hadir dan solid, baik ada pemilu atau tidak ada pemilu yang selalu menjalankan pendidikan politik dan pelayanan buat publik. Jika kita menganggap bahwa semuanya buruk, maka pilih yang kadar keburukannya paling kecil. Dengan demikian pilihan kita tetap rasional dan tepat.

Riyadh, 12 Maret 2014

(Visited 537 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *