Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kabar / King Salman, Saudi Baru, dan Harapan Perubahan
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

King Salman, Saudi Baru, dan Harapan Perubahan

Manhajuna – Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang merupakan Raja keenam Kerajaan Saudi dikabarkan meninggal dunia dalam usia 90 tahun pada 22 Januari yang lalu. Posisi Raja Abdullah kini digantikan oleh adiknya, Gubernur Riyadh Salman bin Abdul Aziz yang merupakan putra ke-25 pendiri kerajaan itu. Abdul Aziz (ibnu Saud) adalah pendiri kerajaan modern Saudi. Nama negara Saudi diambil dari nama ayahnya, peletak dasar kerajaan Saudi: Muhammad bin Saud.

Abdul Aziz mempunyai anak yang jumahnya sekitar 50 dari 22 orang istri. Dari 50 anak itu, 37 orang adalah anak laki-laki yang dalam sistem kerjaan secara bergantian menduduki jabatan Raja Saudi hingga kini. Putra keturunan Abdul Aziz tersebut merupakan bangsawan kerajaan yang bergelar shahibu al-sumuw al-malaky (صاحب السمو الملكى ) yang bermakna “Yang Mulia Keluarga Raja”. Oleh Masyarakat Saudi mereka biasa dipanggil dengan sebutan Amir.

Generasi kedua King Abdul Aziz ini rata-rata mempunyai anak lebih dari 10 orang. Raja Abdullah dikabarkan memiliki 20 anak dari empat istri. Karenanya bisa diperkirakan bahwa jumlah generasi ketiga (cucu)  Abdul Aziz adalah dalam angka ratusan.

Sekilas Sejarah Kerajaan Saudi Arabia

Kerajaan Saudi Arabia bermula saat Muhammad bin Saud pada tahun 1744 M membangun dinasti Saud di daerah Diriyah (pinggiran kota Riyadh). Pada tahun 1824 M kekuasaan dinasti Saud di Riyadh diambil alih oleh Dinasti Rashidi. Periode ini berlangsung hingga tahun 1891 M.

Pada tahun 1902 M, Abdul Aziz (ibnu Saud) berhasil mengembalikan kejayaan Dinasti Saud dengan merebut kembali kota Riyadh. Secara agresif, Abdul Aziz melakukan ekspansi daerah kekuasaannya. Hanya dalam waktu dua tahun, Abdul Aziz berhasil menguasai separuh dari Nejd. Pernikahan digunakan sebagai salah satu strategi dalam upaya menyatukan berbagai suku-suku di jazirah Arab. Tak heran bila kemudian Abdul aziz beristri puluhan istri dari tiap suku-suku yang ditaklukkannya. Strategi ini digunakan untuk menyatukan semua suku dalam dinastinya.

Setelah mengalami banyak peperangan, termasuk salah satunya dengan Turki Utsmani tahun 1904, Abdul Aziz berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab. Pada tahun 1932 Abdul Aziz menamakan tanah gabungan Hijaz dan Nejd sebagai Arab Saudi (المملكة العربية السعودية). Penyatuan dua wilayah ini merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern. Hingga kini, raja yang memerintah Saudi berturut-turut adalah Raja Abdul Aziz (1932 – 1953), Raja Saud bin Abdul Aziz (1953 – 1964), Raja Faisal bin Abdul Aziz (1964 – 1975), Raja Khalid (1975 – 1982), Raja Fahd bin Abdul Aziz (1982 – 2005) Raja Abdullah bin Abdul Aziz (2005-2015), dan yang baru saja dilantik Raja Salman bin Abdul Aziz (2015).

Raja Abdul Aziz dikenal berhasil menciptakan kemanan dengan memberantas tindak kriminal terhadap para peziarah diMakkah dan Madinah hingga jalur haji menjadi aman. Ia juga memberi aturan kepada suku-suku nomadik agar mulai saat itu mereka tinggal secara tetap di suatu tempat. Setelah minyak bumi ditemukan di Arab Saudi pada tahun 1938, Abdul Aziz memberikan izin bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan sekutunya untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah itu. Karenanya wajar jika Amerika Serikat dan Inggris menjadi sahabat dekat Arab Saudi hingga sekarang. Jika di Indonesia nama Pahlawan mendominasi nama faslitas umum, maka nama para Raja akan mendominasi fasilitas umum di Saudi. Dari nama Universitas, nama jalan, nama lembaga sosial, hingga nama pintu masuk Masjidil Haram tak luput dari nama para Raja Saudi.

Suksesi Kerajaan dan Dominasi Seven Sudairi

Segera setelah dibaiat menjadi raja, Salman bin Abdul Aziz mengangkat Pangeran Muhammad bin Nayef bin Abdul Aziz (56 tahun) sebagai wakil putra mahkota. Ia merupakan orang ketiga dalam hierarki kekuasaan di Kerajaan Arab Saudi setelah Raja Salman bin Abdul Aziz (79) dan putra mahkota Muqrin bin Abdul Aziz (70). Pangeran Muhammad bin Nayef adalah cucu Raja Abdul Aziz dari istri Sudairi. Di kemudian hari, ia akan menjadi Putra Mahkota dan akhirnya Raja Saudi.

Selain Raja dan Putra Mahkota, saat ini masih tersisa 11 anak langsung Raja Abdul Aziz yang masih hidup. Melihat fakta Sang putra mahkota saat ini adalah anak termuda Abdul Aziz, maka ia adalah akhir generasi kedua. Setelahnya, tahta Kerajaan akan jatuh ke generasi ketiga yang merupakan cucu Abdul Aziz. Pergantian Penguasa tahta kerajaan diatur oleh keluarga besar penguasa Saudi yang hasilnya kemudian dimintakan pendapat ke Haiatu al-Bai’ah (Dewan Kesetiaan). Setelah itu,  para tokoh dan wakil suku-suku di Saudi akan membaiatnya.

Dinamika politik internal Saudi tidak dapat dilepaskan dari peran seven sudairi (Arab: السديريون السبعة‎). Sejarah mencatat, Klan Al-Sudairi mempunyai andil besar dalam penentuan kebijakan kerajaan. Dahulu saat Abdul Aziz menaklukkan wilayah Nejd, ia menikahi Hassa binti Sudairi yang merupakan wanita dari kabilah al-Sudairi, salah satu kabilah terkuat di Nejd. Dalam budaya Arab, istri yang paling menonjol adalah orang yang melahirkan jumlah terbesar anak laki-laki.Anak-anak Abdul Aziz dari klan al-Sudairi mewarisi karakter kepemimpinan kaumnya. Klan ini pun menjadi klan terkuat di lingkungan kerajaan dengan tujuh putra terbaik mereka yang kemudian dikenal dengan julukan Seven Sudairi.

Dari ketujuh anak laki-laki itu, 3 diantaranya sudah mangkat; Raja Fahd (1921–2005), Sultan bin Abdul Aziz (1928 – 2011),Nayef bin Abdul Aziz (1933 – 2012). Sedang 4 sisanya masih hidup; Abdul Rahman bin Abdul Aziz (lahir 1931), Turki bin Abdul Aziz (lahir  1934), Raja Salman bin Abdul Aziz (lahir 1935), dan terakhir Ahmad bin Abdul Aziz (lahir 1942). Amir Sultan dan Amir Nayef keduanya adalah putra mahkota yang meninggal sebelum menjadi Raja. Sedang dua saudara lainnya yakni mendiang Raja Fahd dan Raja  Salman (kini) yang berhasil menduduki tahta kerajaan.

Dominasi klan al-Sudairi sudah terlihat sejak dulu. Pada tahun 1962Pangeran Faisal mengangkat banyak pejabat dari klan Sudairi. Pangeran Fahd sebagai Menteri Dalam Negeri, Pangeran Sultan sebagai Menteri Pertahanan, dan Pangeran Salman sebagai gubernur Riyadh. Kesemuanya merupakan posisi kunci dalam Kerajaan.

Klan Sudairi juga sering menunjuk keluarga mereka untuk posisi penting kerajaan. Amir Sultan pernah menunjuk Abdul Rahman, salah seorang putranya sebagai wakil Pangeran Khalid. Amir Sultan dan Amir  Bandar, menjabat selama dua dekade sebagai duta besar Saudi di Washington dan kemudian kepala Dewan Keamanan Nasional Saudi. Pangeran Nayef juga pernah menunjuk putranya Muhammad bin Nayef sebagai wakilnya di Kementerian Dalam Negeri. Kini, pasca dilantiknya Raja Salman klan al-Sudairi kembali menunjukkan dominasinya. Raja Abdullah yang keturunan dari Suku pinggiran Shammar nampaknya kurang berhasil membangun kekuatan keluarga. Buktinya, ketika Raja Salman naik tahta, kedua anaknya langsung disingkirkan.

Antara Kiblat Sholat dan Kiblat Politik

Sebagai negara tempat beradanya dua kota Suci Mekah-Madinah, Saudi punya beban historis dan moral untuk merepresentasikan semangat kepemimpinan Islam. Kebijakan yang diambil pemerintahnya diharapakan berpihak pada kepentingan dunia Islam. Sejauh ini peran Saudi dalam pembangunan pendidikan Islam dan penyebaran dakwah ke seluruh dunia perlu diapresiasi. Namun dalam urusan politik, banyak kebijakannya yang dirasa menyakiti umat Islam.

Saudi lebih banyak membuat aliansi dengan AS dan Barat. Saudi dan negara-negara teluk yang tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation Council) punya hubungan mesra dengan AS dan Barat. Antara GCC dan Barat, terutama dengan Amerika telah terbentuk satu aliansi pertahanan dengan berdirinya pangkalan militer Amerika di negera tersebut. Posisi Arab Saudi yang strategis di kawasan Teluk dan dekat ke negara-negara konflik seperti Irak, Suriah, Yaman atau Pakistan dimanfaatkan  Amerika Serikat  untuk menempatkan pangkalan pesawat tak berawak bersenjata, yang bisa dikerahkan membunuh musuh AS di negara-negara tetangga itu.

Lebih jauh saat terjadi Arab Spring, Arab Saudi dengan lampu hijau dari Amerika Serikat dan Israel mendukung rezim militer untuk melakukan kudeta dan melengserkan presiden pertama Mesir Mohammad Mursi pada 30 Juni 2013. Padahal Mursi adalah sesama sunni yang menjadi harapan baru gerakan Islam di Timur Tengah utamanya atas pembelaan Mursi pada bangsa Palestina. Arab Saudi justru menjadi negara pertama yang menyatakan dukungannya terhadap kudeta anti Mursi. Saudi juga tak segan-segan untuk memberi bantuan 5 Milyar USD kepada pemerintahan Rezim militer Mesir.

Pasca jatuhnya Mursi, pada Maret 2014 Saudi melalui Kementerian Dalam Negeri secara resmi menunjuk gerakan Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris, disandingkan dengan kelompok Jabhah An-Nusrah dan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah. Lebih lanjut, Saudi mengultimatum sekutunya di GCC, Qatar untuk mengusir  Ketua Persatuan Ulama dunia Dr. Yusuf Qardhawi yang selama ini bermukim di sana. Saudi memandang, adanya Arab Spring akan mengancam kelangsungan sistem kerajaan yang sudah settle, lebih-lebih jika gelombang itu memasuki negara petro dolar itu. Di sanalah kepentingan AS yang anti reviva Islam dan Kepentingan Saudi bertemu.

Ancaman Syiah di kawasan disikapi serius oleh Saudi dan negara GCC. Terlebih ketika Syiah Hauthi berhasil menduduki Yaman serta menguatnya protes kaum Syiah Bahrain. Sayangnya, pemimpin negara Teluk tersebut lagi-lagi mengandalkan AS sebagai sekutu dalam menghadang Syiah Iran. Padahal jika mau, Saudi bisa mengandeng Turki yang sama-sama Sunnidan punya sikap tegas kepada pemerintahan Syiah, Bashar Ashad di Suriah.

Menimbang berbagai kebijakan Saudi yang ego-sentris dan lebih condong ke Barat dan AS selama ini, Saudi bukanlah kiblat politik ideal Islam, meski nyatanya Kabah berada di sana. Boleh saja mereka Syaikh dalam urusan Syariah namun nyatanya masih kanak-kanak dalam urusan siyasah (politik).

Secercah Harapan

Raja Salman dikenal sebagai pribadi yang lebih “alim” dibanding anggota kerajaan pada umumnya. Moment saat Raja Salman meninggalkan rombongan Presiden Obama untuk menunaikan ibadah sholat disikapi secara kurang proporsional oleh sebagian masyarakat, sampai ada yang menyebut raja Salman sebagai sosok Khalifah. Tentu ini berlebihan karenapribadi yang sholeh dalam ibadah tidak otomatis menjadi pribadi yang kuat dalam politik. Dahulu sebelum Raja Abdullah dilantik pun banyak kalangan menganggap ia sebagai pribadi yang anti AS. Kemudian hari fakta berbicara, ia lebih nurut AS dibanding pendahulunya Raja Fahd.

Jumat kemarin (30/1/2015) secara mengejutkan Raja Salman keluarkan Keputusan reshuffle besar-besaran yang pernah terjadi dalam sejarah Saudi. Seperti diberitakan laman Al-Yaum Al-Sabi’, tepat seminggu setelah meninggalnya Raja Abdullah, banyak menteri dan beberapa jabatan di lembaga-lembaga strategis warisan Raja Abdullah diganti. Tercatat, Raja Salman menganggkat 31 anggota kabinet yang meliputi Menteri Kebudayaan dan Penerangan, Menteri Urusan Sosial, Menteri Layanan Sipil, dan Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi.

Reshuffle ini memang luar biasa, sinyal perubahan yang ditangkap cukup signifikan. Oleh beberapa pengamat, reshuffle ini disebut sebagai upaya pembersihan para loyalis Raja Abdullah. Kali ini, ada perbedaan dibanding tradisi reshufflesebelumnya. Biasanya Raja mengganti menteri secara bertahap; 2 atau 3 menteri dengan bahasa eufimisme ‘binaan ‘ala thalabihi” (berdasarkan permintaan Raja). Kali ini tanpa basa-basi Raja Salman berani pecat langsung bahkan beberapa menteri yang belum lama dilantik Raja Abdullah.

Dua putra Raja Abdullah, Gubernur Mekkah Amir Mishaal bin Abdullah dan Gubernur Riyadh Amir Turki bin Abdullah diberhentikan. Putra Raja Abdullah yang tersisa di lingkaran kekuasaan adalah Amir Miteb sebagai kepala Garda Nasional. Raja Salman kemudian mengangkat putranya, Pangeran Mohammed bin Salman  sebagai Menteri Pertahanan.

Raja Salman juga mengejutkan banyak pihak dengan mengangkat  Syaikh Saad Assitsry sebagai anggota dewan penasehat kerajaan yang sebelumnya dipecat dari Lembaga Ulama Saudi (هيئةكبارالعلماء) pada masa Raja Abdullah. Syekh Saad Assitsry dikenal sebagai kalangan konservatif. Ia pernah mengkritik Raja Abdullah yang membolehkan bercampurnya laki-laki dan perempuan di kelas-kelas kampus KAUST (King Abdullah University of Science and Technology). Raja Abdullah dikenal tegas pada para ulama dan cendekia yang mengkritiknya. Tercatat beberapa ulama dipenjarakan akibat kritik mereka ke Raja Abdullah. Salah satunya Syaikh Al-Arifi yang mengkritik kebijakan Raja Abdullah untuk mendukung kudeta militer di Mesir.

Nampaknya Raja Salman memperhatikan keseimbangan di kerajaan. Ia juga mengangkat tokoh liberal yang merupakan mantan kepala Channel Al-Arabia; Adel al-Turaifi sebagai Menteri Penerangan. Karenanya banyak pengamat mengatakan hal ini menandai kembalinya era moderasi model Raja Fahd. Seperti kebijakan pendahulunya saat terjadi Arab Spring, untuk menyenangkan rakyatnya sang Raja  memberikan dua bulan gaji kepada seluruh PNS Saudi, anggota militer dan mahasiswa (termasuk mahasiswa asing)  serta para pensiun.

Berbicara sikap terhadap Ikhwanul Muslimin (IM), Raja Salman adalah pribadi yang unik. Raja Salman sempat menghebohkan Saudi saat memberi dukungan pada pemerintahan presiden Mursi. Ia berpendapat bahwa presiden Mursi harus diberikan kesempatan menyelesaikan masa jabatannya. Seperti dilaporkan Koran Al-Ahram Mesir pada  April 2013 Raja Salman berujar:” Saudi tetap mendukung presiden Mesir yang sah apapun kondisinya”. Secara pribadi Raja Salman dikenal dekat dengan Amir Qatar, Tamim bin Hamed. Keduanya dikenal sebagai tokoh yang anti-kudeta Presiden Mursi. Lebih lanjut sewaktu menjabat gubernur kota Riyadh, Raja Salman sempat memberikan tempat kepada tokoh IM, Syaikh Manna Al-Qathan hingga diberi mimbar untuk menjadi imam dan khatib masjid di Riyadh. Padahal, IM di Saudi bukan hanya dimusuhi secara politis, tapi sudah dianggap seperti bahaya laten, baik oleh orang liberal maupun kalangan ulamanya. Seseorang yang menyebut nama Hasan Al Banna meski mengutip pendapatnya dalam hal ibadah bisa menjadi masalah di Saudi.

Soal hubungan dengan Turki, keretakan antara kedua negara pasca revolusi Arab tahun 2011 nampaknya akan diperbaiki pada era Raja Salman. Bagaimanapun kedua kekuatan regional ini saling membutuhkan, mengingat  pengaruh Iran yang meluas di Irak, Yaman, Lebanon dan Suriah. Disamping itu, Muhammad bin Nayef, wakil putra makota yang diangkat Raja Salman dikenal dekat dengan petinggi Turki. Karenanya wajar jika Erdogan dikabarkan sempat meng-cancel agendanya di Somalia untuk terbang menghadiri pemakaman Raja Abdullah.

Masyarakat muslim dunia boleh menaruh harapan pada Raja Salman. Namun perlu dingat bahwa kedirian Kerajaan Saudi tidak bisa dilepaskan dari banyak faktor, baik sejarah berdirinya maupun kebijkan politik para pendahulunya yang telah sekian lama menjadi garis kerajaan. Salah satunya adalah faktor Amerika sebagai mitra strategis Saudi di kawasan Teluk.

Mengharapkan kebijakan Saudi dalam bidang politik timur tengah akan berbeda dengan kebijakan AS, adalah mimpi tengah siang. Apalagi keduanya punya kepentingan yang sama terkait Arab Sping,  gerakan Islam dan isu terorisme. Bagaimanapun Saudi akan berat keluar dari orbit AS.  Andaipun ada upaya ke arah sana, pasti  membutuhkan waktu lama dan bertahap. Kemungkinan yang dapat dilakukan Raja Salman sekedar mengurangi kadar hubungan dengan AS saja. Atau jika memungkinkan, Saudi akan mencari partner baru, dan Turki menjadi sebuah pilihan yang rasional, meski tak akan akan terang-terangan.

Perubahan besar dan transformasi sosial di Saudi diprediksi akan terjadi ketika generasi ketiga (Muhammad bin Nayef bin Abdul Aziz) mengambil tahta kerajaan. Saat itu ratusan ribu pelajar Saudi yang dikirim ke Eropa dan Amerika  oleh Raja Abdullah akan kembali mengisi jabatan-jabatan publik di Saudi. Para pelajar itu kini tanpa bimbingan ulama di Barat. Mereka adalah generasi muda yang berinteraksi dengan masyarakat dunia dari berbagai ideologi. Pandangan mereka terhadap isu sosial politik baik kawasan maupun global sudah tentu akan sedikit berbeda dengan pendahulunya.

Saat ini saja, sinyal perubahan itu sudah terasa. Acara-acara di TV Saudi, Channel Al-Arabiya misalnya,  sudah berani menampilkan presenter perempuan dalam acara wawancara di TV resmi pemerintah. Bahkan ada beberapa yang tidak memakai kerudung sama sekali. Artikel-artikel kaum liberal pun  mewarnai koran-koran nasional. Sebagian bahkan cukup vulgar mengkritisi kehidupan keberagaman di Saudi. Tak ketinggalan gerakan perempuan menyetir “Women’s Right to Drive in KSA” oleh Maha al-Gahtani. Saudi akan banyak menghadapi tantangan dalam negeri terutama masalah kenakalan remaja, narkoba, kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran (meski 30 persen penduduknya merupakan pekerja  asing), meski masalah hubungan luar negeri tak kalah peliknya.

Wait and See

Meneropong politik Saudi ke depan tidaklah mudah karena banyak variabel yang musti dipertimbangkan. Yang bisa kita lakukan sekedar mengamati fakta yang terjadi sambil menunggu langkah-langakh berani raja Salman seperti diharapkan banyak kalangan. Namun perlu diingat bahwa politik penuh jeratan. Orang baik tidak cukup sebagai modal menjadi pemimpin suksestanpa keberanian menjebol tradisi. Yang mungkin terjadi adalah raja Salman akan bersikap kompromistis pada semua pihak. Sudah banyak contoh pemimpin yang dianggap orang baik, namun ketika masuk tahta kekuasaan, ia tersandera oleh jeratan  kepentingan orang-orang sekelingnya.

Akankah Raja Salman bin Abdul Aziz mampu secara revolusioner mengadakan perubahan di Saudi atau sekedar meneruskan tradisi para pendahulunya? Kita lihat saja nanti.

(Manhajuna/GAA)

Sumber : selasar.com

(Visited 692 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Keistimewaan Ramadhan Sebagai Momentum Perubahan

Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *