Saat dahulu bekerja di Saudi, saya dan beberapa teman dai berbagai negara pernah diundang TV Al-Majd untuk mengisi acara live dengan tema lebaran di berbagai negara. Al-Majd adalah sebuah chanel tv swasta yang cukup populer di Saudi kala itu, entah sekarang?
Karena acara live, maka kepala divisi kantor kami briefing dahulu tentang apa yang akan kami sampaikan nanti dalam acara tersebut. Ketika saya ditanya, maka dengan enteng saya bilang saja, bahwa saya akan bicarakan tentang berbagai tradisi di negeri saya, seperti soal makanan, akan saya ceritakan soal ketupat, dodol, opor ayam, dll, lalu tradisi mudik, bagi-bagi angpao dll. Kepala divisi tersebut bilang ‘kuwaisss’, bagus katanya sambil kasih jempol. Beberapa dai lainnya jawab kurang lebih sama. Namun ada seorang dai dari negeri dataran India yang mengatakan, ‘Saya akan sampaikan tentang kemunkaran-kemunkaran dan bid’ah-bid’ah di negeri kami saat lebaran.’ Saat itu pimpinan kami juseru melarang dia untuk membicarakan hal tersebut, bukan pada tempatnya katanya, ini suasana lebaran, saatnya bergembira dan mengenalkan tradisi masing-masing.
Ya, lebaran adalah moment keagamaan yang pekat dengan nilai-nilai tradisi dan budaya. Apa jadinya lebaran tanpa tradisi yang menyertainya? Dia tidak bisa tidak menjadi pewarna yang sangat mempengaruhi suasana lebaran, apakah soal makanan, pakaian, angpaw, kumpul-kumpul kerabat dan sahabat, halal bihalal atau tradisi-tradisi lainnya.
Rasanya kita sepakat soal ini, bahkan dalam kondisi sulit seperti pandemi saat ini, kita masih mengusahakan agar tradisi tersebut tetap terlaksana walau seadanya. Sehingga untuk tradisi-tradisi lebaran seperti ini, jarang terdengar sanggahan yang cukup dikenal dengan sebuah kalimat pamungkas; ‘Tidak ada contohnya dari Rasulullah’.
Tradisi adalah wujud jiwa manusia yang inovatif, kreatif dan dinamis untuk mengundang daya tarik, lalu diterima masyarakat sebagai sebuah keumuman.
Dari sini kita mungkin bisa belajar untuk tidak melulu melihat tradisi dalam kontek keagamaan sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan, atau yang satu dianggap sebagai ancaman yang lainnya. Tapi juseru memberi ruang, minimal ruang permakluman, bahkan dalam level tertentu justeru kita dapat menikmatinya. Keduanya dapat berjalan seiring, saling mewarnai sehingga menjadi ciri khas suatau daerah sesuai dengan akar budaya masing-masing. Tentu dengan patokan, tidak ada ketentuan prinsip dalam syariat yang dilanggar.
Beradaptasi dengan budaya dan tradisi sekitar dengan tetap menjaga nilai-nilai agama adalah koentji bagi terciptanya masyarakat yang rukun dan harmonis….
#Wallahu a’lam
(Manhajuna/IAN)