Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Manhajuna – Salah satu syarat terkabulnya doa adalah kejujuran hati seseorang saat memanjatkannya. Dan kejujuran serta kesungguhan itu haruslah dibuktikan. Sedangkan salah satu bentuk pembuktiannya yang utama adalah dengan melakukan upaya riil dan ikhtiar sungguh-sungguh demi terwujudnya isi permohonan dalam doanya tersebut. Sehingga orang yang berdoa memohon rezeki misalnya, tidak mungkin jujur dalam doanya, jika ia tetap saja bermalas-malas dalam usaha dan ikhtiarnya untuk menyambut rezeki Allah dari jalur-jalurnya sesuai sunnatullah dan syariah-Nya sekaligus. Sebagaimana sulit dipercaya kejujuran doa seorang siswa atau mahasiswa yang ingin mendapatkan nilai istimewa dan rangking tinggi dalam ujian akhir misalnya, jika hari-harinya selama masa belajar dan termasuk sampai menjelang ujian tetap dipenuhi dengan lebih banyak bermain dan bahkan berpacaran, tidak dengan keseriusan belajar!
Maka, mari bersama mengambil ibrah dan pelajaran dari kisah inspiratif berikut ini! Selamat menyimak!
Tersebutlah sebuah sekolah di suatu daerah, dimana diantara guru-gurunya terdapat seorang yang dikenal berpaling dari ibadah kepada Allah Ta’ala, tidak menunaikan shalat, dan tidak pula melaksanakan perintah-perintah agama yang lain. Lalu ditempatkanlah di sekolah itu seorang guru baru yang baik dan saleh. Beliau menuturkan kisahnya: Saat pertama kali pergi demi menjalankan tugas mengajar – sesuai penempatan – di sekolah tersebut, dan pada waktu istirahat diantara jam-jam pelajaran, aku perhatikan guru-guru berkumpul di satu ruangan, sementara ada seorang guru yang menyendiri di ruangan lain. Maka akupun bertanya kepada mereka, mengapa dia menyendiri dan tidak bergabung bersama disin?. Mereka menjawab dengan mengatakan: Dia tidak mau shalat, maka kamipun tidak ingin dan tidak suka duduk dengannya!
Sang guru baru tersebut melanjutkan ceritanya: Aku lalu pergi dari ruang istirahat para guru, untuk duduk bersama guru yang menyendiri itu di ruangannya. Tapi dia justru menjauh dariku. Namun pada istirahat berikutnya, saat aku melakukan hal yang sama, dia sudah mulai menampakkan sikap sedikit akrab denganku. Kemudian aku berkata kepadanya: Aku datang ke daerah ini tanpa disertai seorangpun diantara anggota keluargaku. Maka jika berkenan, aku ingin tinggal bersamamu, karena aku tahu bahwa, engkaupun tinggal sendirian disini, bagaimana? Awalnya dia tampak tidak suka dan tidak berkenan dengan kata-kata dan tawaran serta permintaanku, seraya berucap: Aku ini seorang yang tidak baik! (Mungkin maksudnya bahwa, kita tidak akan cocok jika bersama, dan aku tidak akan betah tinggal dengannya! Dan mungkin saja itu ia simpulkan dari sikap umumya kawan guru terhadapnya selama ini). Namun aku buru-buru berkata kepadanya: Bagaimana kalau aku tinggal denganmu beberapa hari saja sampai aku mendapatkan tempat tinggal sendiri, dan saat itu aku akan pindah dari tempatmu? Akhirnya iapun setuju dengan opsiku tersebut.
Guru kita yang saleh ini masih melanjutkan penututurannya: Dan pada hari-hari kebersamaan kami selanjutnya, sesuai rencana, aku sengaja memberikan pelayanan kepadanya. Dimana aku biasa mencucikan pakaiannya, membuatkan makanan untuknya, membersihkan rumah, dan lain-lain. Dan itu semua aku lakukan, sementara disaat yang sama, sengaja aku tidak pernah mengungkit-ungkit atau menyinggung sedikitpun tentang keengganannya dalam mengerjakan kewjiban shalat. Sampai suatu hari aku berkata kepadanya: Baiklah kawan, insya-allah hari ini aku akan pergi mencari rumah kontrakan/kost-kostan sendiri untukku. Namun dia justru menahanku. Mungkin karena tidak ingin kehilangan layananku.
Kemudian pada suatu hari, saat kami sedang duduk bersama sambil menikmati minuman teh selepas santap siang, sebagaimana kebiasaan kami, tiba-tiba adzan asar berkumandang untuk menyeru hamba-hamba Allah. Akupun langsung meletakkan semua yang ada di tanganku dan bergegas bangkit untuk menyambut undangan Allah. Dan saat melihatku berkemas itu, temanku berkata kepadaku: Apakah engkau tidak bosan harus pergi ke masjid untuk shalat lima kali setiap hari? Aku jawab cepat: Sama sekali tidak. Aku justru merasakan kenyamanan dan menemukan ketenangan dengan shalat yang aku jalankan selama ini. Apakah engkau tidak ingin mencoba merasakannya pula? Ternyata ia merespon kata-kataku dengan positif seraya berucap: baiklah, tidak ada salahnya aku coba.
Sejurus berikutnya kamipun – untuk pertama kalinya – pergi bersama ke masjid. Namun ia pergi tanpa berwudhu terlebih dahulu. Dan aku sengaja tetap mendiamkannya. Ketika masuk masjid, kami melakukan shalat dua rakaat tahiyatul masjid. Saat itu aku berada tepat di belakangnya. Wallahu a’alam kok aku merasa itulah saat yang paling tepat untuk mendoakannya, selain doa-doaku untuknya selama ini. Maka akupun mengangkat kedua tanganku ke langit seraya bermunajat: Ya Rabbi! Sungguh aku telah berusaha semampuku untuk melakukan segalanya terhadap hamba-Mu yang ada di depanku ini. Sampai aku, dengan izin dan taufiq-Mu, berhasil memasukkannya ke dalam rumah-Mu, dan membawanya ke hadapan-Mu! Maka berikanlah kepadanya hidayah dan petunjuk-Mu, ya Rabb!
Seterusnya seusai kami shalat, akupun bertanya kepadanya: Apa yang engkau rasakan sekarang di hatimu? Ia lantas menjawabku dengan mengatakan: Sungguh sebuah perasaan nyaman dan tenang yang belum pernah kurasakan sebelumnya! Maka setelah itu kukatakana kepadanya: Nah, setelah ini nanti ada shalat maghrib, dan aku berharap agar engkau mau mandi dan wudhu terlebih dulu sebelumnya. Dan ternyata iapun sepakat untuk melakukan itu. Akhirnya, alhamdulillah segala puji dan syukur bagi Allah, singkat cerita, Allah berkenan memberinya petunjuk dan hidayah, sehingga iapun berubah rajin sekali dalam menunaikan ajaran-ajaran Islam. Sehingga kamipun berteman dan bersahabat semakin akrab dan dekat, selayaknya saudara!
Sementara itu, pada suatu waktu, akupun berkesempatan mengingatkan kawan-kawan pengajar yang lain, seraya berujar: Sikap dan perlakuan kalian terhadap saudara kita itu selama ini kurang bagus. Coba lihat, bagaimana ternyata akhirnya Allah Ta’ala memberinya hidayah, dengan sarana akhlak dan kelembutan!
Bahkan ia kemudian menjadi seorang juru dakwah yang, dengan kehendak Allah, berhasil mengislamkan banyak orang, disamping sukses menyadarkan banyak hamba Allah yang lain, yang meskipun beragama Islam namun dengan tingkat keberislaman seperti kondisinya semula saat pertama kali aku mengenalnya! Falhamdu lillahi Rabbil-‘alamin!
(Manhajuna/GAA)