Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 11)

Search Results for: abdullah haidir

Pokok-pokok Agama (Islam, Iman dan Ihsan) – Bag. II

Berikut lanjutan terkait penjelasan Hadits yang berisi pokok-pokok Agama (Islam, Iman, dan Ihsan)

Baca juga: Pokok-pokok Agama (Islam, Iman dan Ihsan) – Bag.I

Kedudukan Hadits

– Ibnu Rajab berkata, Hadits ini sangat tinggi sekali nilainya, mencakup seluruh penjelasan dalam agama. Karena itu, diakhir hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang hendak mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [1]

– Al-Qurthubi berkata, “Hadits ini layak disebut sebagai Ummus-Sunnah (Induknya Sunnah), karena semua kandungan ilmu dalam Sunnah bersumber dari hadits ini. Sebagaimana Al-Fatihah dikatakan Ummul-Quran, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai Al-Quran secara global.” [2]

Kandungan Hadits

  1. Disunnahkan memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan. Khususnya  jika  menghadapi ulama, orang mulia dan penguasa.
  2. Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.
  3. Datangnya hari kiamat secara persis merupakan perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Ta’ala.
  4. Akhlak mulia Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam sehingga beliau bersedia duduk bersama-sama shahabatnya, tidak menyendiri dan tidak merasa dirinya harus selalu di atas mereka.
  5. Hadits ini juga menunjukkan keinginan para shahabat untuk selalu berada di sekeliling Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam agar dapat mengambil manfaat darinya. Hal ini berarti, hendaknya kita selalu berupaya untuk berada di sekeliling orang-orang saleh, agar dapat mengambil kebaikan darinya, baik dengan ilmu, nasehat maupun doa.
  6. Di antara adab menuntut ilmu, duduk dengan hormat, dekat dan di hadapan sang guru, rendah hati, mengajukan pertanyaan dan tekun mendengarkan.
  7. Metode (uslub) dialog (حوار) merupakan salah satu uslub pengajaran yang sangat bermanfaat. Hal tersebut juga banyak kita jumpai dalam Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam [3]
  8. Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu dan dia tidak mengetahuinya, maka tidak ada cela baginya untuk berkata, “Saya tidak tahu,” dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
  9. Dibolehkan dan bahkan dianjurkan bertanya kepada guru tentang sesuatu yang telah diketahui jawabannya, jika tujuannya agar pendengar lainnya yang belum mengetahui hal tersebut dapat mengambil manfaat dari jawabannya. Adapun bertanya sekedar untuk berdebat, atau menguji guru, bukanlah akhlak seorang penuntut ilmu.
  10. Walaupun kedudukan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam sangat mulia, tetap saja beliau tidak mengetahui perkara gaib, kecuali apa yang Allah beritakan kepadanya.
  11. Seorang pendidik hendaknya menjawab pertanyaan pena-nya satu persatu tanpa merasa berat, sehingga membuat penanya tidak takut dan sungkan. Adapun penanya, hendaknya tidak memaksa jawaban. Jika tidak mendapatkan jawaban, hendaknya dia beralih ke pertanyaan berikutnya, agar tidak memberatkan yang ditanya. [4]
  12. Dalam hadits ini terdapat pelajaran bagi pendidik untuk selalu memeriksa apa yang belum diketahui muridnya.
  13. Yang dimaksud ‘Agama’ dalam hadits ini adalah: Ajaran-ajaran pokok agama.
  14. Hadits ini juga menunjukkan secara global bahwa kandungan agama secara umum berupa: aqidah dan syariat, keyakinan dan pengamalan, perkataan dan perbuatan.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran yang Terkait

Iman : Al-Baqarah (2): 285, Al-Maidah (5): 5, Al-An’am (6): 82
Islam : Al-Baqarah (2): 112, An-Nisa (4): 125, Al-Jin: (72): 14, Al-Mukmin (40): 66, Ali Imran (3): 19, Al-Ma’idah (5): 3
Ihsan : Al-Kahfi (18): 30, Al-Qashash (28): 77, Al-Isra’ (17): 7, Al-Ma’idah (5): 93
Perkara gaib : Al-A’raf (7): 187, Al-Hajj (22): 7, Luqman (31): 34, Al-Baqarah (2): 3, An-Naml (27): 65, Al-An’am (6): 50, Al-A’raf (7): 188
Belajar dan mengajarkan ajaran Islam : Ali Imran (3): 79, At-Taubah (9): 122, Al-Jumu’ah (62): 2

Catatan Kaki:

  1. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 45
  2. Fathul Bari, I/172
  3. Misalnya dalam surat: al-Baqarah: 222, al-Anfal: 1, al-Qiyamah: 38-40
  4. Syarah Muslim, I/114

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Valentine Day Dan Penyakit Inferior

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Sifat atau penyakit inferior (minder) pada seseorang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak mampunya dia mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya. Bukan hanya itu, pada waktunya dia akan mencampakkan semua potensi itu karena ingin meraih apa yang terdapat pada orang lain yang dia pandang berkilauan. Kondisi inilah yang sesungguhnya banyak menimpa kaum muslimin. Islam dengan segala ajaran dan keunggulannya yang telah Allah berikan kepadanya, seakan tak bernilai apa-apa baginya. Jangankan untuk mengusungnya tinggi-tinggi, sekedar menyandangnya saja, sangat berat terasa. Baginya Islam hanya sekedar identitas diri yang  “asal jangan lepas”.

Selebihnya, gaya hidupnya, cara bergaul, berpakaian, tindak tanduknya sampai kepada hobi dan idolanya sangat tergantung pada mana yang paling dapat memenuhi prestisenya, gengsi dan wibawa duniawinya, walaupun bertabrakan dengan prinsip-prinsip Islam, bahkan walaupun berlawanan dengan norma kehidupan yang umum berlaku. Padahal para ulama telah sejak lama mengurai satu persatu keunggulan ajaran Islam dalam berbagai aspeknya dengan segala dampak positifyang dihasilkan. Dari mulai masalah aqidah, ibadah, ekonomi, politik, pergaulan, rumah tangga hingga tata cara kehidupan sehari-hari. Namun semua itu tidak banyak gunanya, ketika sifat minder terhadap ajaran Islam masih menghinggapi diri kaum muslimin.

Fenomena Valentine Day, misalnya, yang juga marak dirayakan oleh anak-anak muda muslim, hanyalah salah satu contoh dari sifat minder yang menjangkiti seorang muslim terhadap ajarannya. Bahwa acara tersebut sangat kosong maknanya, lebih mewakili keyakinan agama lain dan besarpotensinya menimbulkan kerusakan moral, dan bahwa Islam memiliki ajaran yang jauh lebih unggul dalam masalah ‘cinta’ dan bagaimana mengekspresikannya dengan halal dan nyaman, itu tidak penting baginya. Yang penting adalah bagaimana dirinya dikatakan tidak ketinggalan zaman, gaul, modern dan sederet status semulainnya. Ironisnya, orang-orang barat sendiri sedikit demi sedikitsudah mulai banyak meninggalkan budaya mereka yang cenderung tidak memilikibatasan sehingga melunturkan nilai-nilai kemanusian seseorang. Lalu mereka mulai beralih mencari ajaran-ajaran yang diyakini dapat membawa ketenangan.

Diantara ajaran tersebut adalah agama lslam yang kini berdasarkan pengamatan berbagai pihak merupakan agama yang paling cepat pertumbuhannya di Eropa danAmerika. Ini artinya, kemuliaan Islam benar-benar teruji. Sebabmereka tertarik dengan Islam, bukan karena Islam menawarkan pelampiasan syahwat, hura-hura dan hidup tanpa batas. Tapi karena ajaran Islam istimewa dengan kekokohan landasan dan kesempurnaan nilainya serta sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, kapan saja dan dimana saja. Kalau mereka yang lahir dalam keadaan non muslim, lalu tumbuh berkembang di tengah ajaran dan budaya non Islam, kemudian beralih kepada Islam dan bangga dengannya walau berbagai ujian dan cobaan yang mereka hadapi. Semestinya seorang muslim yang lahir di tengah keluarga muslim dantumbuh di tengah masyarakat muslim lebih bangga lagi dengan keislamannya.

Terkenal ucapan Umar bin Khattab radhiallahu anhu,

نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا ابْتَغَيْنَابِغَيْرِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Kita adalah kaum yang dimuliakandengan Islam, jika kita cari cara selain itu, niscaya Allah akan menghinakan kita.”

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Pokok-pokok Agama (Islam, Iman dan Ihsan) – Bag. I

عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه أَيْضاً قَالَ: « بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوََضعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: “يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ؟” فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : “اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ،  وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً”،    قَالَ: “صَدَقْتَ،” فَعَجِبْنَا لَهُ، يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: “فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ؟” قَالَ: “أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ،” قَالَ: “صَدَقْتَ،” قَالَ: “فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ؟” قَالَ: “أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.” قَالَ: “فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ؟” قَالَ: “مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ،” قَالَ: “فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا؟” قَالَ: “أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ، يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ،” ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: “يَا عُمَرُ، أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟” قُلْتُ: “اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ،” قَالَ: “فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ.” »  رواه مسلم

Kosa Kata

طَلَعَ
: Terbit / datang رِعَاءَ – رَاعِي : Penggembala
أَسْنَدَ : Menyandarkan يَتَطَاوَلُوْنَ : Berlomba meninggikan
كَفَّيْهِ – كَفٌّ : Kedua telapak tangan اِنْطَلَقَ : Berangkat
فَخِذَيْهِ – فَخذ : Kedua pahanya أَثَرٌ : Bekas
أَمَارَاتٌ – أَمَارَةٌ : Tanda-tanda مَلِياً : Waktu sekian lama
الْحُفََاة – الْحَافِي : Telanjang kaki  أ – تَدْرِي : apakah – kamu  tahu
الْعُرَاةُ – الْعَارِي : Telanjang (tak berbaju)

Arti Hadits

Juga dari Umar radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

“Suatu hari, ketika kami duduk di sisi Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki berbaju sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian dia duduk di hadapan Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam, lalu menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut beliau (Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam) dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya, seraya berkata, ’Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam,’

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa (Nabi) Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu,’

Orang itu berkata, ‘Engkau benar.’ Kami semua (para shahabat) heran. Dia bertanya, dia pula yang membenarkan.

Dia bertanya (lagi), ‘Beritahu aku tentang Iman?’ Beliau bersabda, ‘(Iman adalah) engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun buruk.’ Dia berkata, ‘Engkau benar.’

Kemudian dia berkata lagi, ‘Beritahukan aku tentang ihsan?’ Beliau bersabda, ‘(Ihsan adalah) engkau ber-ibadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihatmu.’

Kemudian dia berkata, ‘Beritahukan aku (kapan kejadian) hari kiamat.’ Beliau bersabda, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.’

Dia berkata, ‘Beritahu aku tentang tanda-tandanya.’ Beliau bersabda, ‘Jika seorang budak melahirkan tuan-nya dan jika engkau melihat seorang yang bertelanjang kaki dan dada, miskin lagi penggembala domba, (kemu-dian) berbangga-bangga meninggikan bangunannya.’

Lalu orang itu pun pergi.

Setelah beberapa lama, beliau (Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam) bertanya (kepadaku), ‘Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya?’ Aku berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’

Beliau bersabda, ‘Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”

(HR. Muslim)[1]

Pemahaman Hadits

Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam untuk mengajarkan agama kepada para shahabat. Namun dia datang seolah-olah bagaikan orang asing yang tidak dikenal. Untuk lebih menguatkan kesan tidak dikenal tersebut dia langsung bertanya tanpa salam dan memanggil Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam dengan sebutan “Ya Muhammad..” Adapula yang memahami bahwa tidak salamnya orang tersebut untuk menun-jukkan bahwa salam itu tidak wajib, atau bahwa dia sebenar-nya mengucapkan salam, namun tidak dinyatakan riwayat-nya oleh perawi hadits. [2]

Ungkapan وضع كفيه على فخذيه (meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya), ada dua versi pemahaman; Pertama, orang tersebut meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Kedua, orang tersebut meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya sendiri. Pendapat kedua lebih dikuatkan oleh Imam Nawawi karena lebih sesuai dengan adab seorang santri (di hadapan gurunya). [3]

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Islam adalah perbuatan anggota badan yang zahir, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan Iman ditafsirkan sebagai keyakinan yang bersifat batin. Namun bukan berarti penafsiran tersebut menunjukkan bahwa Islam dan Iman adalah sesuatu yang terpisah secara total, karena banyak dalil yang menunjukkan bahwa amal (perbuatan lahir) adalah bagian dari iman. Di antaranya adalah hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, “Iman terdiri dari tujuh puluhan cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, sedang yang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan, malu adalah bagian dari cabang iman.” (Muttafaq alaih)

Para ulama meletakkan kaidah dalam masalah ini. Yaitu jika Iman dan Islam disebutkan secara terpisah, maka maknanya satu sama lain saling mengisi, iman adalah Islam, Islam adalah iman. Sedangkan jika disebut secara ber-barengan (seperti dalam hadits ini) maka Iman dan Islam memiliki penekanan yang berbeda, Iman terkait dengan masalah keyakinan hati, sedangkan Islam terkait dengan masalah pengamalan fisik. [4]

Tentang tanda kiamat yang Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam katakan, “Jika seorang budak melahirkan tuannya,” banyak penafsiran tentang ungkapan ini. Namun Ibnu Hajar menguatkan bahwa yang dimaksud adalah jika telah banyak terjadi kedurhakaan terhadap orang tua, di mana seorang anak (yang seharusnya bagaikan budak terhadap orang tuanya) memperlakukan ibunya (yang seharusnya bagaikan seorang tuan dihadapan anaknya) seperti perlakuan seorang tuan terhadap budak-nya; dengan mencaci, memukul dan minta pelayanan. [5]

Sedangkan tanda kiamat kedua, maksudnya adalah jika orang dusun dan miskin, mendapatkan kemewahan dunia, lalu mereka berbangga-bangga dengan bangunannya. [6])   Secara umum kedua tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits ini menunjukkan suatu kondisi dimana nilai dan norma telah jungkir balik, yang seharusnya menurut justru memerintah, orang-orang rendah (moral) justru berada di atas.[7] Ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan perubahan yang sangat cepat. [8]

(Bersambung)

Catatan Kaki:

  1. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, no. 1
  2. Lihat Fathul Bari, 1/116
  3. Syarh Muslim, Imam Nawawi, 1/157
  4. Lihat pembahasannya dalam Jawami’ul Kalim, hal. 48-53
  5. Fathul-Bari, I/168.
  6. Syarh Muslim, I/114
  7. Ibid, hal. 168.
  8. Syarh Arbain Nawawiyah, Syeikh Utsaimin, hal. 55.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Biografi Singkat Periwayat Hadits dari Kalangan Sahabat (Bag. II)

Abu Hurairah radhiallahu anhu

Pendapat yang paling masyhur tentang nama dia yang sesungguhnya adalah Abdurrahman bin Sakhr, namun kemudian dia lebih dikenal dengan nama kunyahnya tersebut. Hurairah berasal dari akar kata Hirrah, yaitu kucing betina kecil, beliau diberikan kunyah seperti itu karena ada seekor anak kucing betina yang sangat dia perhatikan.

Abu Hurairah masuk Islam pada tahun terjadinya perang Khaibar, yaitu tahun 7 Hijriah. Setelah masuk Islam, beliau langsung tinggal di Masjid Nabawi bersama sejumlah para shahabat lainnya yang kemudian dikenal dengan istilah Ahlussuffah. Disamping itu, Beliau pun selalu berupaya mendampingi Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam dan memenuhi berbagai kebutuhannya serta memiliki perhatian serius dalam menuntut ilmu khususnya menghafal hadits-hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam di saat banyak shahabat lainnya belum memiliki perhatian seserius dia. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan doa Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam secara khusus kepada-nya agar tidak mudah lupa.[1] Maka sangat kuat alasan jika kemudian Abu Hurairah –berdasarkan kesepakatan para ulama Hadits- dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meri-wayatkan hadits. Ada 5374 hadits yang beliau riwayat-kan dari Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam. Abu Hurairah meninggal pada tahun 57 Hijriah. [2]

Abu Najih, Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu

Termasuk shahabat Ahlus-Shuffah. Beliau termasuk shahabat yang menangis karena tidak dapat ikut perang Tabuk sebab Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam tidak dapat menyediakan perbekalan untuknya. Al-Irbad termasuk generasi pertama kaum mukminin. Wafat pada tahun 75 H.

Abu Tsa’labah Al-Khusyani, Jurtsum bin Nasyir radhiallahu anhu

Beliau adalah termasuk shahabat yang ikut dalam Bai’at di bawah pohon (Bai’atur-Ridhwan) dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah, setelah perang Khaibar, Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam menetapkan bagian untuknya, lalu mengutusnya untuk berdakwah di kaumnya, akhirnya kaumnya masuk Islam. Wafat tahun 75 H. Beliau meriwayatkan 40 hadits dari Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam.

Anas bin Malik radhiallahu anhu

Dikenal sebagai ‘Pembantu Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam (Khadimu Rasulillah salallahu ‘alayhi wa sallam‘ ) yang telah membantunya sejak dia berusia 10 tahun dan terus bersamanya hingga sepuluh tahun. Termasuk shahabat yang banyak meriwayatkan hadits, ada sekitar 2286 hadits yang dia riwayatkan.

Ibunya adalah Ummu Sulaim ra, ketika Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam tiba di Madinah, Ummu Sulaim menyerahkan Anas untuk menjadi pembantunya. Beliau didoakan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam,

“Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya, panjangkan umurnya, berkahilah dia dan masukkan dia ke dalam surga.”

Terbukti, Anas menjadi orang yang paling banyak harta dan anaknya. Ketika beliau wafat, anaknya berjumlah 120-an orang, dan dia juga diberi usai panjang hingga berumur 100 tahun lebih, beliau wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 93 H. [3]

Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, Ummul Mukminin, Ummu Abdillah radhiallahu anhuma

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kunyah Ummu Abdullah. Abdullah adalah nama anak saudara perempuannya Asma, yaitu Abdullah bin Zubair.

Dinikahi Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam di Mekkah pada usia 6 tahun, namun baru hidup serumah pada usia 9 tahun. Ketika Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam wafat, beliau baru berusia 18 tahun. Setelah itu beliau hidup selama empat puluh tahun. Wafat pada tahun 57H. Jenazahnya dishalatkan dengan imam Abu Hurairah radhiallahu anhu saat itu beliau (Abu Hurairah) adalah penguasa di Madinah pada masa pemerintahan Marwan bin Hakam. Aisyah adalah wanita yang paling luas ilmunya dan paling dalam fiqhnya. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 1210.

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu

Cucu Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam dari perkawinan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Dilahirkan di Madinah tahun 3 H. Hidup di rumah kenabian, tumbuh cerdas dan santun serta menyukai kebaikan. Setelah ayahnya syahid terbunuh, penduduk Irak berbai’at kepadanya sebagai pemimpin. Namun setelah berlalu 6 bulan, untuk menghentikan pertumpahan darah, dia berdamai dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan ra dan akhirnya dia mengundurkan diri dari posisi khalifah lalu menyerahkannya kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H. Pada tahun 50 H, Hasan bin Ali bin Abi Thalib wafat dan dikuburkan di Baqi’ (pekuburan dekat Masjid Nabawi).

Catatan kaki:
  1. Lihat shahih Bukhari, hadits. No. 3448, juga diriwayatkan oleh Tirmizi, no.
  2. Dikutip dengan ringkas dari Al-Ishabah fi Tamyizi Ash-Shahabah, 7/425-444
  3. Al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah, 1/126

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

Baca Juga: Biografi Singkat Periwayat Hadits dari Kalangan Sahabat (Bag. I)

(Manhajuna/IAN)

Ada Apa Dengan Cinta ?

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.


Manhajuna.com – Rasa cinta pasti dimiliki setiap manusia normal. Bahkan sesungguhnya dia merupakan anugrah Allah yang amat besar kepada manusia. Bayangkan jika hidup kita tanpa cinta, tentu akan terasa hambar, bagaikan bingkai tanpa gambar…

Jadi, kita tidak usah memungkiri bahwa kita cinta lawan jenis, anak keturunan, harta benda, rumah tinggal dan kehidupan dunia ini, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat Ali Imran ayat 14.

Tapi yang harus kita ketahui adalah bahwa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya harus berada di atas segala-galanya (QS. At-Taubah : 24). Cinta yang berwujud keimanan, kepatuhan dan ketaatan terhadap ajaran-ajaran-Nya.

Itu artinya, cinta kita kepada selain keduanya, jangan sampai merusak keimanan dan ketaatan kita kepada aturan Allah dan Rasul-Nya.

Lalu, dapatkah keduanya diwujudkan secara berbarengan? Ya, dapat! Ketika cinta kita kepada makhluk, diekspresikan sesuai dengan apa yang Allah cintai dan ridhai. Bahkan ketika hal itu dapat kita wujudkan, sesungguhnya itulah makna cinta yang hakiki.

Misalnya, ketika kita mencintai lawan jenis.

Ketika seseorang cinta kepada lawan jenisnya, kemudian pada saat yang bersamaan dia mendahulukan cintanya kepada Allah, maka tidak ada pintu yang tersedia baginya kecuali pernikahan. Sebab hanya pernikahanlah yang Allah ridhai bagi sahnya hubungan dua manusia berlainan jenis yang telah saling mencintai.

Bahkan, justru dengan pernikahanlah, cintanya yang sejati dapat disalurkan. Cinta yang berarti memiliki, menikmati, memberi dan menerima dengan rasa tenang dan damai serta penuh tanggungjawab. Tentu saja tanpa menghilangkan debar-debar hati, tersipu-sipu malu, dan degup jantung yang berdetak lebih cepat…

Namun, jika cinta seseorang kepada lawan jenisnya begitu saja disalurkan tanpa mengindahkan cintanya kepada Allah Ta’ala. Maka yang terjadi adalah hubungan intim yang tak halal. Tidak ada yang dimiliki kecuali pemuasan nafsu, tidak ada ketenangan kecuali ragu-ragu dan tidak ada kelanggengan kecuali bujuk rayu semu. Dan kemudian ‘sang kumbang’ mencari lagi ‘bunga-bunga lain’ yang lebih segar setelah dia mendapatkan apa yang diinginkan dari ‘bunga’ yang kini telah ‘layu’. Meskipun, sisi inilah yang sepintas mewakili kata-kata cinta di tengah masyarakat.

Kejarlah cinta Allah kepada kita dengan tunduk dan patuh kepada semua ajaran-Nya untuk semua sisi kehidupan kita. Niscaya kita akan mendapatkan cinta dari-Nya yang tak kan pernah henti, juga –Insya Allah- cinta dari makhluk-Nya yang tidak kan mengkhianati.

Dan…. Tahukah anda, menyalurkan cinta dengan cara yang Allah cintai, tidak kalah berdebarnya dan jauh lebih indah dari cinta semu yang terdapat dalam kisah ‘roman picisan’ di berbagai sinetron.

Untuk mengekspresikan itu semua, kita tidak memerlukan hari Valentine yang jelas-jelas tidak bersumber dari agama kita, bahkan juga tidak bersumber dari budaya kita..

Semoga kita dapat merasakan manisnya iman dengan mendahulukan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya.

(Dikutip dari buku ‘Nasehat Dari Hati Ke Hati’ dengan sedikit penambahan)

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Iman, Nikmat yang Tak Tergantikan!

Saudaraku yang dirahmati Allah…

Sesungguhnya kenikmatan terbesar dalam kehidupan ini adalah ketika Allah memilih kita sebagai orang yang beriman.

Betapa tidak, Allah pilih kita menjadi orang beriman yang merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Padahal kita bukan anak “siapa-siapa”, padahal ada anak nabi, istri nabi, paman nabi yang tidak Allah beri keimanan dalam dadanya.

Karena itu saudaraku yang dimuliakan Allah. Resapilah dengan sepenuh kesadaran, bahwa ketika dalam dada kita ada keimanan kepada Allah, maka sesungguhnya kita adalah orang yang sangat beruntung di dunia ini.

Namun hal yang sangat disayangkan, dalam kehidupan sehari-hari sering kita dapatkan orang yang tidak “merasa apa-apa” dengan keimanannya. Sehingga ada atau tidak ada keimanan dalam dirinya, seperti tidak berarti apa-apa dalam kehidupannya.

Bukti dari adanya sikap tersebut adanya tindakan seseorang yang menggadaikan aqidahnya hanya karena alasan tertentu.

Ada yang menggadaikan aqidahnya karena ingin mendapatkan pasangan idamannya yang berlainan agama, sehingga dia pindah ke agama pasangannya tersebut.

Ada yang karena ‘kepepet ekonominya, lalu ada tawaran bantuan ekonomi dari pihak agama lain dengan syarat menjadi pemeluk agama tersebut.

Ada yang karena karena kebutuhan tertentu sehingga dia mendatangi dukun yang melakukan praktek kesyirikan.

Ada yang karena syubhat yang dia dengar, misalnya pendapat yang mengatakan semua agama sama, sehingga dia dengan mudah pindah ke agama lain dengan keuntungan yang dia dapat.

Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Saudaraku yang dimuliakan Allah…

Hendaklah kita belajar dari kisah Ashabul Ukhdud, yang tetap teguh dengan imannya walau akhirnya mereka dilempar ke kobangan api, atau Bilal bin Rabah yang tetap menjaga imannya walau tubuhnya ditindih batu besar di tengah padang pasir dan terik matahari, atau Asiah istri Fir’aun yang tetap menjaga keimanannya walau godaan harta dan kedudukan yang menggiurkan.

Karena itu saudaraku yang dirahmati Allah…

Sering-seringlah kita berzikir dan berdoa kepada Allah Ta’ala, agar keimanan kita selalu dijaga oleh-Nya. Juga upayakan agar pemahaman kita terhadap Islam selalu bertambah agar tidak mudah tergoda dan tertipu olah bujuk rayu yang ingin menggadaikan iman kita kepada Allah.

Di antara doa yang sering Rasulullah baca :

« يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ »

“Ya (Allah) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agamamu.” (HR. Tirmizi)

Sekali lagi, jangan sekali-kali kita gadaikan iman kita, apapun alasannya. Apapun keuntungan yang kita dapatkan dari hal tersebut, sama sekali tidak sebanding dengan ruginya kita jika iman tersebut hilang dari dada kita.

Orang yang menggadaikan imannya hanya karena keuntungan duniawi sesaat, seperti halnya yang dikatakan orang-orang tua kita dahulu: “Seperti menembak burung ‘kecici’ dengan peluru emas.” Burung kecici yang tidak seberapa nilainya memang dia dapat, tetapi dia kehilangan emas yang jauh lebih besar nilainya.

Sumber: Buku Nasihat dari Hati ke Hati, Penyusun Ust. Abdullah Haidir, Penerbit Maktab Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Pernak Pernik di Sekitar Masjidil Haram

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

mataf

Perjalanan ke tanah suci Mekkah tak lepas dari persitiwa dan pernak-pernik yang unik. Beberapa hal yang menarik mungkin hanya bisa kita temui di masjidil harom dan sekitarnya…

‘Pusing’ di depan Ka’bah…

Ketika sedang asyik thawaf, lewat serombongan jamaah dari Malaysia. Iseng-iseng saya lihat buku doa yang dibaca salah seorang jamaahnya. Tertulis di atasnya… ‘Pusingan 1’. Hmmmm… perbedaan persepsi kosa kata yang tak kunjung usai…

Akar masalah…

Selama ini, thawaf bersama si bungsu, Aisyah, sering berujung keributan kecil. Masalahnya hitungan dia selalu lebih cepat satu putaran. Ketika thawaf baru enam putaran dan tinggal satu putaran lagi, dia sudah menganggap telah selesai tujuh putaran. Dalam thawaf kali ini, kami menemukan akar masalahnya. Rupanya saat pertama kali memulai thawaf dari posisi sejajar dengan Hajar Aswad, si bungsu ini sudah berkata, ‘Satu’ sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Maka saya bilang, ‘Jangan mulai hitung ‘satu’ dari sekarang, nanti kalau sudah satu putaran, baru bilang ‘satu…’ dan akhirnya, ‘keributan’ di akhir thawaf dapat diatasi.
Penting juga memahami akar masalah dalam setiap persoalan.

Kolaborasi Pinggir Jalan..

Pemandangan yang sudah umum, sehabis shalat banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sepanjang jalan yang dilewati jamaah shalat. Saya juga sering melihat mereka berlarian jika ada petugas razia yang hendak menggaruk mereka. Tapi kali ini ada yang unik. Kebetulan saya sedang berdiri di pinggir jalan menunggu keluarga yang sedang belanja di sebuah toko, sambil mengamati hiruk pikuk orang yang lalu lalang dan berjual beli. Tiba-tiba saja para pedagang berlarian. Saya langsung menduga ada petugas razia. Sebagian mereka tidak sempat lagi membawa barang jualannya, lalu ditinggal begitu saja. Tapi ada satu pedagang perempuan yang cukup cerdik. Barang dagangannya berupa pakaian dibagi-bagi ke ibu2 yang ada di situ, diapun pergi. Ketika petugas sudah berlalu dan membawa barang jualan yang ditinggal, dia kembali lagi dan meminta ‘barang titipannya’. Ibu2 yg ada di sekitar itu juga tampak berempati dengan penjual tadi dan dengan senang hati mengembalikan titipan tersebut…. Setiap orang biasanya memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalahnya…

Mutarjim ta’baaan…..

Saat berjalan pulang dari Masjid menuju hotel di Ajyad. Setelah hotel As-Sofwa, terdapat plang kios tukang cukur rambut. Bahasa Arab dan Inggrisnya tertulis dengan benar. Giliran bahasa Indonesia, tertulis ‘RUMBUT GUNDING’…. Duh, siapa sih penerjemahnya…? Yang pasti bukan penerjemah dari kantor jaliyat…. 🙂

Relawan Dadakan

Menjelang shalat Isya, ada jamaah umrah dari Indonesia yang menghampiri. Masih berpakaian ihram dan wajah sudah mulai kusut. Rupanya dia terpisah dari rombongannya dan tidak tahu hotelnya. Kok bisa? Padahal biasanya hotelnya dekat Masjidilharam. Ceritanya, saat pertama kali tiba dihotel, pihak paniti sudah meminta jamaah agar buru-buru menyelesaikan umrahnya. Maka berangkatlah saudara kita ini bersama jamaahnya, tanpa membawa hp. Selesai sai, dia tidak melihat lagi rombongannya, dan ternyata arah hotelnya juga dia lupa. “Tadi siang waktu saya masuk masjid di luar masih sepi, pas saya keluar sudah rame begini, jadi bingung saya….tadi pintu masuk saya cirinya yang ada tempat penitipan sandal dan tempat air zamzam…” Katanya memelas, saya cuma senyum sambil garuk-garuk kepala. Saya menghubungi berkali-kali No. Hp yang terdapat di kartu pengenalnya semuanya tidak dapat dihubungi. Nama hotelnya, saya tanyakan teman di Mekah juga tidak dia kenal. Akhirnya saya ajak jalan dia mengitari Masjidilharam, kali aja dia ingat. Ternyata tidak juga. Tak lama kemudian iqamah utk shalat Isya…. Kamipun shalat. Di sela2 shalat tak lupa saya doakan agar dia segera dipertemukan dengan jamaahnya.

Sehabis shalat saya sudah ada janji dengan kakak untuk berkunjung ke rumah famili di Mekah. Sudah saya putuskan untuk saya bekali dia dengan hp anak saya, agar mudah komunikasi. Tapi sebelumnya saya sempatkan menghubungi lagi nomor yg terdapat di kartu pengenal….. Alhamdulillah, kali ini nyambung…. Tak lama kemudian ada orang travel yang datang menjemput….. wajah saudara kita ini langsung sumringah…. Kita juga jadi senang…. Dia ternyata pengurus masjid yang diongkosi berangkat umrah oleh seseorang di lingkungannya. Umrah maqbulah insya Allah… yang pasti, kenangan yang tak terlupakan….

Jin usil

Lagi asyik dengan azkar shobah ba’da shalat Fajar, tiba-tiba dari mushalla wanita sebelah terdengar suara perempuan yang teriak-teriak. Orang-orang langsung berkerumun, petugas keamanan berdatangan. Saya juga langsung bangun, soalnya, itu tempat uminya sama anak-anak. Khawatir juga. Tak lama kemudian, keluarga muncul dan mengabari bahwa ada jamaah dari Mesir yang kerasukan jin. Hmm…. Usil banget sih nih om jin…, di tempat suci begini, bukannya sibuk ibadah dan zikir, malah ganggu orang yang beribadah.

‘Ana min Afghanistan….’

Saat sedang menunggu kendaraan bersama kakak, seseorang mendatangi. ‘Indonesia?’ sapanya. ‘Na’am’ jawab kami. ‘Ana min Afghanistan…’ katanya lagi. Ketika itu saya sudah menduga-duga….. jangan-jangan…… Benar saja, tanpa ditanya, dia langsung cerita bahwa ada lima saudaranya yang syahid berjihad di Afghanistan, banyak sanak saudaranya yang harus ditanggung dan kini mereka sangat membutuhkan sadaqah… . Saya langsung ajak kakak menyingkir dari tempat tersebut. Modus lama… sudah berkali-kali saya mengalami modus serupa … entah benar atau tidak, yang jelas karena sering mengalami berulang-ulang, membuat saya sulit percaya dengan sikap mereka.

Kesabaran di WC

Sehabis Maghrib, ingin buang air dan berwudhu lagi. Setibanya di sana ada seseorang berwajah Arab yang keluar dengan muka kesal sambil memandangi orang berparas Pakistan yang ada di hadapannya. Pertengkaran mulut tidak terhindarkan. Rupanya, selama orang Arab itu berada di dalam WC, si Pakistan ini sering mengetuk-ngetuk pintu, karena merasa orang Arab itu terlalu lama di dalam. Orang Arab itu berdalih bahwa dia sakit perut, makanya lama…… ada sekitar 5-10 menit mereka saling tengkar mulut….. tidak jelas ujungnya… akhirnya dengan muka, masam si Mesir meninggalkan tempat….

Kalau jamaah di Masjidil Haram sedang ramai, sementara untuk satu WC ada beberapa orang yang antri…. Ga ada cara lain kecuali bersabar. Kadang, walau kita sudah di dalam WC, juga harus tetap sabar, karena terlambat keluar sedikit, diluar sudah ada yang ketuk-ketuk. Jika tidak, emosi akan naik, pertengkaran mulut tidak terhindari dan merusak suasana hati untuk beribadah.

Ali Baba dapat sedekah…

Pemandangan umum juga di sepanjang jalan menuju Masjidil Haram, baik sebelum atau sesudah shalat wajib, adanya anak-anak kecil peminta-minta yang mengambil posisi berurutan dan mengharap kemurahan jamaah shalat. Uniknya, di antara teriakan mereka yang cukup akrab adalah kata ‘Aaali Babaaa’… tentu saja diucapkan dengan nada yang sangat khas. Masalahnya, istilah Ali Baba oleh masyarakat dataran India dan telah dikenal dalam pergaulan sehari-hari di Saudi sebagai istilah untuk orang jahat, penipu dan semacamnya…. Pokoknya buruk deh….. Entah apa yang mereka maksud ketika mengucapkan kata-kata tersebut….. tak penting tampaknya,.. yang penting uang sedekah terus mengalir….

Topi pet tanda pengenal…

Banyak cara yang dilakukan oleh travel untuk memberikan ciri bagi jamaahnya, agar gampang dikenali. Tapi untuk rombongan yang satu ini, saya pikir kurang pas. Semua jamaah memakai topi pet berwarna mencolok, baik laki maupun perempuan. Yang ga enak dilihatnya, yaa jamaah perempuan, malah sebagian memakainya dengan cara membalik bagian depannya ke belakang…. Ga harus segitunya kali….?

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Biografi Singkat Periwayat Hadits dari Kalangan Sahabat (Bag. I)

Abdullah bin Umar bin Khattab radhiallahu anhu

Abdullah bin Umar bin Khattab al-Qurasyi, putra Umar bin Khattab. Kunyahnya adalah: Abu Abdurrahman. Dilahirkan setelah masa kenabian dan masuk Islam sejak kecil. Saat berusia tiga belas tahun, beliau minta ikut perang Badar, namun ditolak Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, karena masih dianggap kecil, begitu juga pada perang Uhud ketika dia berusia empat belas tahun. Baru pada perang Khandak dia dibolehkan ikut berperang ketika usianya lima belas tahun, dan setelah itu dia selalu ikut berperang bersama Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam.

Beliau mendapatkan ilmu yang banyak dari Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam berkat kedekatannya kepada Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam dan mula-zamah (selalu menuntut ilmu) kepada beliau. Maka beliau dikenal sebagai penghafal Al-Quran dan banyak meriwayatkan hadits, ada 1630 hadits yang telah beliau riwayatkan. Beliau pun dikenal ketat dalam mengikuti jejak dan ajaran Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Suatu saat Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam memujinya dengan ungkapan: “Sebaik-baik orang adalah Abdullah, kalau saja dia suka shalat malam”, maka sejak saat itu dia selalu Qiyamul-lail dan sedikit tidur di waktu malam.

Beliau meninggal di Mekkah pada tahun 73 H pada usia 84 tahun.

Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) radhiallahu anhuma

Anak dari paman Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam Abbas bin Abdul-Muththalib radhiallahu anhu. Dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah, ketika Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam dan kaum muslimin diboikot oleh kaum musyrikin Quraisy. Beliau dikenal dengan julukan: Bahrul Ummah wa Habruha (Lautan ilmu dan Ulama umat).

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam mendoakannya:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

“Ya Allah, berilah dia pemahaman terhadap agamanya dan ajarkan kepadanya ta’wil (penafsiran Al-Quran). “

Umar bin Khattab radhiallahu anhu semasa menjadi khalifah menjadikannya sebagai penasehat dan sering meminta tolong dengan ilmunya yang luas dan kecerdesannya yang gemilang. Beliau wafat di Tha’if, tahun 71 H dan dimakamkan di sana.

Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) radhiallahu anhu

Lebih dikenal dengan Ibnu Mas’ud, kunyahnya: Abu Abdirrahman. Salah seorang pembantu Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Termasuk generasi pertama dari kalangan shahabat (As-Sabiquunal Awwalun). Dikenal sebagai shahabat yang paling bagus bacaan Al-Qurannya. Suatu saat beliau membaca surat An-Nisa di hadapan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, ketika tiba pada ayat:

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. An-Nisa: 41)

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam mencucurkan air mata dan memerintahkannya berhenti membaca.

Di lain waktu Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Siapa yang ingin membaca Al-Quran dengan merdu sebagaimana saat diturunkan, maka bacalah sebagaimana bacaan Ibnu Ummi ‘Abd (Ibnu Mas’ud)” (HR. Ahmad)

Beliau meninggal tahun 32 H, pada usia sekitar 60 tahun.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Kedudukan Niat Dalam Perbuatan

 عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ؛ أَبِيْ حَفْصٍ؛ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ،   وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ بِنُ الْمُغِيْرَةِ بْنُ بَرْدِزْبَهْ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجُ بْنُ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ فِي صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ.

Kosa kata

الأعمال – العمل   : Perbuatan امرء         : Seseorang
نوى                : (Dia) niatkan امرأة     : Seorang wanita

Terjemah Hadits

Dari Amirul Mukminin; Abi Hafs; Umar bin Al-Khattab radhiallau ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah salallahu `alayhi wa sallam ber-sabda,

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (diterima dan mendapatkan pahala). Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” [1]

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain, Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, dalam kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab (hadits) paling shahih yang pernah dikarang)

Kedudukan Hadits [2]

Hadits ini sangat tinggi nilainya. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata, “Dalam hadits tentang niat mencakup sepertiga ilmu.” Sebabnya adalah bahwa perbuatan manusia terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya.

Imam Syafi’i berkata, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh”. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Siapa yang mengarang kitab, maka mulailah dari hadits ini”.

Imam Bukhari menjadikannya sebagai hadits pertama dalam kitabnya; Shahih al-Bukhari, begitu juga Imam Nawawi dalam kitabnya; Riyadhus-Shalihin dan Arbain An-Nawawiyah.

Catatan:

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang hijrah karena wanita yang bernama Ummu Qais, maka dia dikenal sebagai Muhajir Ummu Qais. Namun kisah tersebut bukan asbabbul wurud (sebab disampaikannya) hadits ini [3], meskipun memiliki kaitan dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Pemahaman Hadits

Kata إنما dalam bahasa Arab dikenal sebagai adaat Al-Hashr. Maksudnya adalah perangkat untuk mengkhususkan sesuatu yang disebut sesudahnya dan mengenyampingkan selainnya.

Yang dimaksud الأعمال (perbuatan-perbuatan) dalam hadits ini adalah, perbuatan ketaatan atau seluruh ibadah, tidak termasuk di dalamnya perkara-perkara mubah. [4] Namun ada juga yang berpendapat bahwa الأعمال yang dimaksud di sini bersifat umum, tidak ada yang dikhususkan. [5]

Maka ungkapan إنما الأعمال بالنيات menunjukkan bahwa standar diterimanya amal adalah niat.[6] Namun ada juga yang mengartikan ungkapan ini dengan mengatakan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pasti telah didahului niat oleh pelakunya. [7]

Ungkapan وإنما لكل امرء ما نوى dipahami sebagian ulama sebagai pengulangan yang bersifat ta’kid (penguat) dari kalimat sebelumnya; إنما الأعمال بالنيات.

Ada juga yang memahami bahwa jika kalimat إنما الأعمال بالنيات menunjukkan setiap amal yang dilakukan secara sukarela pasti telah didahului niat oleh pelakunya, maka ungkapan وإنما لكل امرء ما نوى adalah untuk menjelaskan bahwa setiap orang akan dibalas sesuai niatnya. [8]

Hijrah (الهجرة) dari segi bahasa berarti meninggalkan. Sedangkan menurut syar’iat adalah meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena khawatir fitnah yang akan menimpa agamanya. Hijrah yang dimaksud dalam hadits adalah hijrah dari Mekkah ke Madinah sebelum peristiwa Fathu Mekkah (Penaklukan kota Mekkah).

Secara umum hijrah juga dipahami sebagai upaya untuk meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah salallahu `alayhi wa sallam, “Sebaik-baik orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah Ta’ala larang.” [9], [10]

Pelajaran yang Terkandung dalam Hadits

  • Hadits ini merupakan salah satu dari dua pilar utama syarat diterimanya ibadah, yaitu: Ikhlash. [11] Ibadah harus diiringi niat bahwa yang dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala. Karena tanpa itu, ibadah seseorang tidak akan diterima.
  • Seorang mukmin akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
  • Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat mencari ridha Allah, maka dia akan bernilai ibadah. [12]
  • Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
  • Besarnya kedudukan niat dapat dinilai dari perkara hijrah yang Rasulullah salallahu `alayhi wa sallam jadikan contoh. Hijrah yang sedemikian berat perbuatannya, luar biasa resiko dan tantangannya, namun jika tidak diiringi niat ikhlash karena Allah, tetap tidak akan mendapat pahala sedikit pun.
  • Di antara uslub (metode) Rasulullah salallahu `alayhi wa sallam dalam pengajaran adalah memberikan perumpamaan (ضَرْبُ الأََمْثَالِ). Hal ini dapat memudahkan seseorang memahami sebuah penjelasan.
  • Gemerlap dunia dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk membersihkan niatnya, lebih khusus lagi wanita (bagi laki-laki). Karena itu Rasulullah salallahu `alayhi wa sallam berpesan, “Takutlah (hati-hati) terhadap dunia dan hati-hati terhadap wanita.” [13]

Tema hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

  • Niat dan keikhlasan: Al-A’raf (7): 29, Al-Bayyinah (98): 5
  • Hijrah: An-Nisa (4): 97, Al-Baqarah (2): 218
  • Fitnah dunia dan wanita: Ali Imran (3): 145, An-Nisa (4): 134, Al-An’am (6): 70, Al-Anfal (8): 67
Catatan Kaki:
[1] Shahih Bukhari, Kitab Bad’il Wahyi, no. 1, Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah, no. 1907
[2] Fathul Bari, I/12, Syarh Muslim, XIII/55, Syarh Arba’in Nawawiyah, Ibnu Daqiq, hal. 33-36.
[3] Fathul Bari, I/11
[4] Syarh Muslim, Imam Nawawi, dan Ibnu Daqiq Al-Ied, hal. 36
[5] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 17
[6] Syarh Muslim, Imam Nawawi,
[7] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 17
[8] Jam’ul Ulum wal Hikam, hal. 17-18, Syarhul-Arbain An-Nawawiyah, Syekh  Shaleh Utsaimin, hal. 12-13, Syekh Utsaimin menguatkan pendapat kedua.
[9] HR. Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami’, no. 1129
[10] Al-Wafie, hal. 12-14
[11] Pilar yang kedua adala Ittiba’, akan dijelaskan dalam hadits ke-5
[12] Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah, hadits Rasulullah J, “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang engkau nafkahkan semata-mata mengharap ridha Allah, niscaya engkau akan diberi pahala karenanya, bahkan termasuk suapan makanan yang engkau berikan kepada istrimu.”(Muttafaq alaih).
[13] HR. Muslim

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

Lihat Juga:

Beberapa Istilah dalam Ilmu Hadits
Keutamaan Niat Bersama Ust. Mushab Abdul Majid
Pengantar Al-Arbain An-Nawawiyah dan Hadits Pertama oleh Ust. Ahmad Junaedi, MA

(Manhajuna/IAN)