Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 12)

Search Results for: abdullah haidir

Biografi Singkat Imam Nawawi

Beliau dikenal sebagai Al-Imam, Al-Hafiz, Al-Faqih dan Al-Muhaddits. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syarafuddin bin Murriy bin Hasan Al-Hizami Al-Haurani An-Nawai Asy-Safi’I. Kunyahnya: Abu Zakaria. Laqobnya (julukannya) adalah Muhyiddin (yang menghidupkan agama).

Namun beliau sendiri tidak suka dijuluki dengan julukan tersebut karena ketawadhu’annya kepada Allah Ta’ala dan juga karena agama itu selalu hidup dan tetap, tidak butuh orang yang menghidupkannya, agar menjadi hujjah bagi mereka yang menyia-nyiakannya dan mencampakkannya, Al-Lakhmy berkata, “Adalah benar bahwa Imam Nawawi berkata, ‘Aku tidak rela orang yang memberikan aku julukan Muhyiddin’.”

Kelahiran dan Pertumbuhan

Dilahirkan di negeri Nawa (salah satu tempat di Suriah), pada sepeuluh hari pertengahan bulan Muharram tahun 631H dan tumbuh berkembang di sana. Masa kecilnya dilalui dengan mendatangi para ulama untuk berkonsultasi kepada mereka dalam berbagai urusan. Dia tidak suka bermain dan bercanda (sebagaimana layaknya anak-anak). Karenanya dia telah hafal Al-Qur-an menjelang usia baligh.

Pada usia sembilan belas tahun, bapaknya membawanya ke Damaskus untuk menuntut ilmu. Lalu dia tinggal di Madrasah (Pesantren) Ar-Rowahiyah, dekat Jaami’ (Masjid Agung) Umawi di Damaskus. Kala itu tahun 649H. Kitab “At-Tanbih” dihafalnya dalam waktu empat bulan setengah saja. Setahun sesudahnya dia mengaji kitab “Al-Muhazzab (*)”, karangan Asy-Syirazi, kepada syekhnya; Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi Al-Maqdisi yang merupakan guru pertamanya dalam bidang fiqh.

Setiap hari dia membaca dua belas kajian kepada gurunya masing-masing, lengkap dengan bacaan dan penjelasannya.

Sempat terlintas keinginannya untuk mendalami masalah kedokteran, namun Allah Ta’ala mengalihkannya dari hal tersebut. Pada tahun 665H beliau telah mulai mengajar di Asyraqiyah, Damaskus dan tinggal di sana. Hanya saja, disana dia tidak dapat mengkaji ilmu yang banyak hingga wafatnya.

Akhlak dan Sifat

Imam Nawawi terkenal sebagai orang alim yang zuhud dan wara’. Tidak sesaat pun dirinya berpaling dari ketaatan kepada Allah. Malam-malamnya sering dilalui dengan bergadang untuk ibadah atau mengarang. Beliau suka ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, berani menghadapi raja dan bawahannya.

Di antaranya –sekedar contoh- ada kejadian yang dia alami bersama Zahir Beibres. Ketika dia diundang sang raja untuk menandatangani sebuah fatwa yang di dalamnya sangat jelas kezalimannya. Maka dia datang menghadap, kala itu usianya telah tua dan dengan tubuh yang kurus dan baju tambal sulam.

Sang raja dengan nada meremehkan berkata kepadanya, “Ya Syekh, goreskan tulisanmu di atas fatwa ini.” Imam Nawawi rahimahullah memandangi sang raja, lalu berkata, “Saya tidak bakal menuliskan dan menandatanganinya.” Sang raja dengan marah berkata, “Mengapa?” beliau berkata, “Kerena di dalamnya terdapat kezaliman yang nyata.” Kemarahan raja semakin memuncak, lalu berkata, “Copot semua jabatannya.” Para pegawainya berkata, “Dia tidak punya jabatan apa-apa.” Kemudian sang raja berniat membunuhnya, namun dia mengurungkannya. Ketika ada pegawainya yang bertanya kepadanya, “Aneh engkau ini! Mengapa engkau tidak jadi membunuhnya padahal dia telah bersikap kurang ajar seperti itu di hadapanmu?” Sang raja berkata, “Demi Allah, aku merasakan ketakutan dengan wibawanya.”

Karangan Imam Nawawi

Imam Nawawi memiliki karangan yang sangat banyak, diantaranya:

  1. Syarh Shahih Muslim
  2. Al-Irsyad
  3. At-Taqrib wat-Taisir fi Ma’rifati Sunanil Basyir An-Nazir
  4. Tahzib Al-Asma’ wal-Lughaat
  5. At-Tibyan fii Aadabil hamalatil Qur’an
  6. Minhajut-Thalibin
  7. Bustanul-Arifin
  8. Khulashatul-Ahkam fi Muhimmatissunan wa Qawa’idul Islam
  9. Raudhatul Thalibin wa Umdatul-Muftiin
  10. Syarh Al-Muhazzab
  11. Riyadhus-Shalihin
  12. Al-Azkar

Wafat

Beliau meninggal pada hari Rabu, 24 Rajab tahun 676H di negerinya, Nawa, dan dikuburkan di sana. Penduduk Damaskus sangat sedih mendengar berita kematiannya. Sejumlah ulama menyusun bait syair tentang kesedihan akan kepergiannya (rotsa’).

Semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di surga-Nya nan luas serta membalasnya dengan pahala berlimpah atas apa yang dia persembahkan untuk Islam dan penganutnya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

(*) Al Muhazzab adalah kitab fiqh dalam mazhab Syafi’i. Berikutnya beliau menulis kitab yang menguraikan isi kitab tersebut yang dikenal dengan judul Syarah Muhazzab.

Sumber: Kajian Hadits Arbain Nawawiyah Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Bagi Sahabat Perantau (Terkhusus) Arab Saudi, Renungkanlah Nasihat Berikut…

Saudaraku di rantau….

Kita tidak memungkiri bahwa kedatangan kita ke negeri ini adalah untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Akan tetapi ada satu hal yang patut kita renungkan…, jika cuma uang yang kita bawa pulang, sesungguhnya kita rugi. Karena sebesar apapun jumlah uang yang kita bawa, sesungguhnya tidak dapat mengganti beban yang kita tanggung karena meninggalkan kampung halaman.

Rindunya kita terhadap kampung halaman, anak yang sedang lucu-lucunya yang kita tinggalkan, kesempatan tertentu yang tidak dapat kita hadiri (seperti lebaran, agustusan, pernikahan atau kematian) dll, adalah hal-hal yang tidak mungkin dapat kita ganti dengan materi.

Kesimpulannya… kalau cuma uang yang kita bawa pulang…, sekali lagi, kita rugi, tidak sebanding dengan ‘pengeluaran’ kita.

Karena itu saudaraku yang dimuliakan Allah… usahakanlah untuk mendapatkan hal-hal lain yang bermanfaat selain sekedar uang.

Bukankah bekerja di sini dapat menjadi kesempatan anda untuk merubah prilaku-prilaku buruk yang selama ini terasa sulit ditinggalkan.

Bukankah selama bekerja di sini, anda dapat menimba ilmu lewat buku-buku Islam yang sering didapatkan atau menghadiri pengajian.

Bukankah selama bekerja di sini, kita dapat melihat budaya bangsa-bangsa lain, kemudian kita menyaringnya dan memilih mana yang baik untuk kita contoh dan membuang segala yang buruk.

Bukankah selama bekerja di sini, anda dapat meningkatkan ibadah lebih baik, baik kuwantitas maupun kuwalitas.

Bukankah selama bekerja di sini anda lebih besar berpeluang menunaikan ibadah haji dan umroh .

Begitu seterusnya saudaraku

Ternyata jika kita perhatikan, banyak yang dapat kita bawa pulang selain sekedar uang. Jika hal-hal tersebut semakin banyak kita raih, maka Insya Allah kita tidak menjadi orang yang merugi… bahkan dapat kita katakan bahwa ternyata keberuntungan yang kita dapatkan dengan itu semua, jauh lebih besar dari sekedar uang yang kita dapatkan.

Saya sering mendengar ungkapan teman-teman yang mendapat-kan keberuntungan tersebut, tidak jarang mereka berkata: “Al-hamdulillah, saya di sini aktif ikut pengajian… kalau tidak… entah jadi apa saya….”, atau ada yang dengan bercanda berkata : “al-Hamdulillah, kerja di sini membuat saya mendapat tiga “ji”; ….. gaji, ngaji dan haji….”

Saudaraku, jangan tunda-tunda,,, cari segera kebaikan-kebaikan tersebut di sekeliling kita.

Sumber: Buku Nasihat dari Hati ke Hati, Penyusun Ust. Abdullah Haidir, Penerbit Maktab Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Beberapa Istilah dalam Ilmu Hadits

Manhajuna.com – Berikut beberapa Istilah dalam Ilmu Hadits yang disusun oleh Ustadz Abdullah Haidir dalam buku Kajian Hadits Arbain Nawawiyah Imam An-Nawawi:

Perawi

Orang yang meriwayatkan hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam.

Sanad

Rangkaian para perawi hadits yang bersambung dari satu perawi kepada perawi lainnya. Berawal dari para shahabat, seperti Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar hingga kepada orang yang membukukannya seperti Imam Bukhari, Muslim dst.

Matan Hadits

Adalah teks hadits yang diucapkan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam atau dikenal dengan istilah penhujung sebuah sanad

Hadits Shahih

Adalah hadits yang sanadnya bersambung disampaikan oleh perawi yang amanah karena ketakwaannya serta kuat hafalannya atau baik pencatatannya (tsiqah) kepada perawi yang berkualitas serupa (tsiqah) dan begitu seterusnya hingga ke akhir sanad. Di sisi lain haditsnya sendiri tidak keluar dari kaidah umum (tidak syaz/nyeleneh) dan tidak ada cacatnya (tidak ada ‘illatnya)

Hadits Hasan

Adalah hadits para perawinya atau salah satunya, derajat-nya tidak sampai seperti derajat perawi hadits shahih dari segi kekuatan hafalan dan ketelitiannya, sementara syarat lainnya terpenuhi.

Hadits Shahih dan hasan adalah kategori hadits yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

Hadits Dha’if (lemah)

Adalah hadits yang tidak memiliki syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan, baik seluruhnya atau sebagiannya.

Hasan lighairihi

Jika sebuah hadits yang ringan kelemahannya dan memiliki banyak jalur periwayatan maka hadits tersebut akan naik derajatnya menjadi hadits hasan, disebut hasan lighairihi.

Hadits Hasan Shahih

Banyak penafsiran tentang hadits hasan shahih. Namun yang dipilih oleh Ibnu Katsir dalam Kitabnya, “Al-Baits Al-Hatsis Fikhtishar Ulumil Hadits” bahwa hadits hasan shahih adalah hadits hasan yang paling tinggi kedudukannya dan paling dekat derajatnya dengan hadits shahih.

Hadits Marfu’

Adalah hadits yang silsilah perawinya (sanad) berujung kepada sabda Rasulullullah salallahu ‘alayhi wa sallam.

Hadits Mauquf

Adalah hadits yang silsilah perawinya (sanad) hanya sampai kepada para shahabat. Hadits mauquf umumnya dikategorikan sebagai hadits lemah.

Hadits Mursal

Hadits yang disebutkan sampai kepada Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, namun perawi di akhir sanadnya (yaitu para shahabat) tidak disebutkan. Maksudnya seorang tabi’in (orang yang hidup setelah masa shahabat) meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, namun dia tidak menyebut nama sahabat yang menyampaikan hadits tersebut kepadanya.

Sumber: Kajian Hadits Arbain Nawawiyah Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Catatan Tentang Perayaan Tahun Baru

Oleh Ustad Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Beritahukan Kepadaku, Atas Dasar Apa Pesta Pora Ini…?

Atas dasar apa seseorang pesta pora dengan pergantian tahun? Usia bertambah? Bukankah itu artinya berkurang jatah…?

Jika waktu-waktu yang kita lalui berisi kebaikan, bukan pesta pora dan hura-hura untuk memberikan apresiasi…Tapi syukur penuh harap agar kebaikan-kebaikan tersebut Allah terima dan berkati…

Jika waktu-waktu sebelumnya penuh catatan hitam, logiskah jika disambut dengan hura-hura dan pesta pora di tengah malam?

Seorang salaf ketika melihat orang-orang berpesta pada hari Ied berkata; Jika sebelumnya mereka beribadah, bukan begitu kebahagiaan orang yg beribadah… jika sebelumnya merek bermaksiat, pantaskah pesta utk perbuatan laknat..?

“Masyarakat butuh hiburan..” kata sebagian orang… Kenyataannya, masyarakat setiap hari sudah dijejali berbagai hiburan… bahkan pengajian pun tak sepi dari hiburan..

Sesungguhnya…yang dibutuhkan masyarakat bukanlah hiburan…. tapi hakekat kebahagiaan…

Hal yang kian lama kian hilang tertutup budaya hedonis yang dipaksakan. Dimalam bergembira ria, di pagi hari bagai orang buta…

Seorang salaf berkata menanggapi para bangsawan yang kesana-kemari mencari kesenangan…

“Seandainya mereka tahu kebahagiaan yang ada pada kami, niscaya akan mereka rampas kebahagiaan itu dari kami dengan pedang-pedang mereka..”

Dalam realitas sosial pun sulit dicari makna; Atas nama apa pesta pora dan hura-hura diadakan dalam pergantian tahun…

Apakah atas banjir yang tak kunjung teratasi, kemacetan yang tak ada solusi, korupsi yang menjadi-jadi, kemiskinan yang kian mewarnai… atau apa?

Sementara jauh disana saudara-saudara kita menjerit-jerit butuh pertolongan, kedinginan dalam ketakutan… lagi-lagi… atas nama apa, pesta pora ini..?

Ketika sebagian orang berinisiatif mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membantu saudara kita di Suriah, Gaza atau Rohingya…

Kalian bilang cari sensasi atau tidak peduli nasib bangsa sendiri. Lalu apa yang kalian katakan dengan milyaran uang yang kalian bakar atas nama sebuah pesta…

Beritahukan kepada kami, apa makna terompet yang kalian tiup, kembang api yang kalian bakar, dan joget-joget di panggung gembira….?

Mengapa ketika berhadapan dengan ayat-ayat Allah banyak yang kritis berlogika sementara dengan khurafat pesta tahun baru banyak yang tunduk tak berdaya..?

Kalau fenomena ini tidak dikatakan ‘kebodohan’…ungkapan apalagi yang sebaiknya saya katakan…

Sahabat, ku berharap engkau tidak berada di sana malam ini.

Kita cuma punya hidup sekali, apa yang baru saja kita lakukan sudah jadi masa lalu. Yang abadi hanya hidup yang dilalui di atas jalan Allah…

DR. Thariq Suwaidan: Harapan tidak dibangun di atas perayaan-perayaan. Tapi oleh kemauan kuat dan rencana matang…

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Curhat Pengurus Masjid dan Persatuan Kita

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Pagi ini, selepas mengisi kajian rutin ba’da Shubuh, di salah satu masjid di bilangan Depok, saya kembali mendengar curhat pengurus masjid. Ini kali ketiga saya mendengar curhat senada dari tiga masjid yg berbeda, padahal saya belum ada setahun tinggal menetap di sini.

Intinya mereka galau dengan sikap “sejumlah orang” yang karena ingin menjaga kemurnian agama dan ibadahnya, mereka cenderung tidak toleran dengan saudara-saudaranya sesama ahlussunah yang pahamnya dianggap berbeda atau lebih jelasnya ‘bukan salafi’.

Beberapa sikap yang ditunjukkan di antaranya, jika diberi kesempatan untuk mengatur jadwal pengajian, maka ustadz yang diundang adalah hanya yang sepaham dengan mereka atau ‘Ustadz sunah’ saja, walau tidak dikenal sama sekali oleh warga setempat, kadang tak ragu mencoret ustadz-ustadz yang sudah biasa mengisi di tempat tersebut karena dianggap sebagai ‘bukan ust. salafi’.

Atau, mereka enggan hadir di pengajian lingkungannya jika yang mengisi adalah ustadz yang tidak sepaham dengan mereka, sementara jika ustadz yang mereka ‘akui’, mereka komitmen untuk hadir. Jika masjidnya adalah masjid di lingkungan lain, mungkin tidak masalah, tapi jika masjidnya ada di lingkungannya, lalu jika ustadz yang mereka anggap sebagai “ustadz sunah” dia hadir dengan rajin, sedangkan ustadz lainnya yang dia anggap “bukan ustadz sunah” dia tidak hadir dengan sengaja, ini sangat mengganggu kebersaamaan di tengah masyarakat. Ironisnya kadang jamaah pengajian meluap, tapi sebagian besar jamaah dari luar lingkungannya, sedangkan warga setempat justeru menghindar.

Yang lebih parah adalah jika ada sebuah pengajian yang sudah berjalan dengan baik di masjid lingkungan, namun karena dianggap tidak sesuai dengan paham mereka, maka dibuatlah kajian lain, baik di tempat itu atau di tempat berbeda di lingkungan tersebut, entah di waktu yang sama atau berbeda. Semacam ‘kajian tandingan’ lah begitu.

Belum lagi dengan statment-statment yang kadang memojokkan, memberi stigma kepada sebagian umat Islam dan tidak bijak menyikapi perbedaan pandangan..

Perlu dicatat, masjid-masjid yang saya dengar curhat pengurusnya ini adalah masjid yang pengamalan ibadahnya sudah rapih, masjid-masjid komplek perumahan, shalat Shubuhnya saja bisa 4-5 shaf. Keyakinannya jelas Ahlusssunah wal Jamaah, menolak prinsip-prinsip sesat semacam syiah, ahmadiyah, liberal, dan semacamnya.

Ini tentu tidak dapat digeneralisir, namun fakta ini didapati di bebebrapa tempat, jadi perlu diingatkan. Sebab kalau sikap ini muncul, apalah makna ukhuwah dan persatuan yang sering digembar-gemborkan. Ironisnya, mereka sering menuduh sejumlah pihak dari kalangan ahlussunah sebagai pemecah belah umat atau hizbi (partisan atau mengelompok) dll. Bagi saya, inilah hizbi yang sesungguhnya, hanya mau bersama dengan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Adapun yang berbeda paham, walau bukan masalah prinsip, mereka enggan mengaji.

Teringat pesan salah satu syaikh dari Saudi ‘Rifqan ya ahlassunnah bi ahlissunah’ berlemahlembutlah wahai ahlussunah terhadap ahlussunah (yang lain)’

Saya sangat apresiasi rencana tabligh akbar di masjid Istiqlal 17 Januari nanti (moga benar dan terlaksana) yang mempertemukan beberapa tokoh Ahlussunah Wal Jamaah dari berbagai latar belakang dalam satu acara.

Kesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada, bahas pada waktu dan cara yang tepat. Adapun umat sangat butuh melihat persatuan tokoh-tokoh umat dan lembaga Islam. Kalau tidak, mereka akan jadi ‘santapan lezat’ paham-paham sesat seperti Syiah, liberal dan lainnya. Sebab bukan tidak mungkin, banyaknya umat mudah ditarik oleh paham sesat, karena mereka sendiri merasa tidak mendapat tempat di tengah kaum ahlussunah wal jamaah.

Wallahu a’lam

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdedikasi untuk ummat di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: abdullahhaidir.haidir

Setiap Orang….

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Setiap-Orang-Punya-masalahSetiap orang umumnya ingin menjadi orang baik….. hanya saja, ingin dan keinginan adalah 2 hal yg berbeda. Yg pertama pasif, yg kedua aktif

Setiap orang, seperti di swalayan, boleh memilih yg dia suka.. tp dia harus tahu, di depan, semua pilihannya akan ‘diperhitungkan’

Setiap org telah diberitahu jalan-jalan kebenaran… apakah itu yg dia pilih atau tidak, itulah taufiq….waffaqanallahu wa iyyaakum

Setiap org yang memusuhi Islam itu lemah… masalahnya adalah, apakah anda lebih kuat dari dia atau justru lebih lemah…?

Setiap orang pasti bersalah…. sebaik2 mereka yang bersalah, adalah yang minta maaf dan bertaubat…

Setiap orang pasti ingin dimengerti dan dipahami. Sebenarnya, hal itu juga terkait erat dg kemampuan kita mengerti dan memahami org lain..

Setiap orang pasti mencari Tuhannya…. hanya saja, adakah dia menemukan Tuhan yang sebenarnya?… Allahummahdinaa wa waffiqnaa…

Setiap org pasti kan menemukan kematiannyaya. Yg penting, bukan kapan kita mati, tapi bgm kita mati…? Allahummarzuqnaa husnal-khatimah

Setiap org pasti kan bertemu kemudahan dan kesulitan…. sudahkah kita siapkan mental terbaik untuk menghadapinya…?

Setiap orang pasti akan dibicarakan org2 sesudahnya …. sudahkah kita siapkan bahan pembicaraan yg baik bagi mereka..?

Setiap org pasti mengangankan cinta abadi… untuk ini, jawabannya hanya cinta kepada Allah dan karena Allah…

(Manhjuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Demokrasi, Tidak Usah Berlebihan

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Demokrasi pada zaman sekarang ini seperti kalimat sakti, tak terkecuali bagi masyarakat muslim. Cap demokratis pada seseorang seakan merupakan penghargaan tertinggi yang harus dia raih. Sehingga tidak sedikit seorang muslim lebih bangga disebut sebagai demokrat sejati ketimbang sebagai muslim sejati. Bahkan ada juga yang lebih takut  dituduh menentang prinsip-prinsip demokrasi ketimbang dituduh menentang prinsip-prinsip Islam, naudzu billah.

Ini jelas sikap berlebih-lebihan yang tidak layak bagi seorang muslim. Demokrasi bukan wahyu yang tidak boleh dibantah atau direvisi. Diapun bukan harga mati bagi sebuah upaya perbaikan. Tapi tak lebih sebagai upaya alternatif yang memiliki kemungkinan benar atau salah dan kemungkinan-kemungkinan perubahan.

Di sisi lain, ada juga yang bersikap pada posisi berseberangan. Menolak demokrasi mentah-mentah, lengkap dengan label kufur, syirik dll. Ini juga sikap berlebih-lebihan. Ghiroh terhadap agama semestinya tidak menghilangkann keseimbangan kita untuk menilai, apalagi sekedar melampiaskan nafsu untuk memberi stigma negatif pada saudara-saudaranya yang kebetulan memiliki pandangan berbeda dalam hal ini.

Kata Syekh Yusuf Qaradawi, tanpa definisi yang njelimet, sebenarnya demokrasi wujud dari adanya kebebasan untuk menyampaikan aspirasi kita, termasuk di antaranya memilih siapa yang mewakili dan memimpin kita. Itu saja, sederhana bukan ? Apakah hal itu menjadi terarah atau liar, ya tergantung mekanisme kontrolnya yang diterapkan. Jadi ngga usah dibuat serem-serem lah. Selama ini -setidaknya di negeri kita- tidak pernah ada upaya menetapkan halal atau haram judi atau arak dengan voting suara terbanyak. Kalaupun ada Undang-undang (UU) yang bertentangan dengan ajaran Islam ingin digolkan, justru dengan iklim demokrasi itulah kita berupaya mengggagalkannya. Terlepas berhasil atau tidak, itu adalah konsekwensi da’wah yang harus kita jalani. Itu jauh lebih baik ketimbang mulut kita dibungkam tidak boleh bersuara apa-apa, kecuali bisik-bisik dan kasak kusuk penuh intrik.

Ada sebuah anekdot. Dahulu pada zaman negara Uni Soviet, ketika penguasa membungkam pendapat rakyatnya, ada seorang warga negaranya yang kabur keluar negeri setelah menempuh berbagai rintangan yang sangat berbahaya. Ketika ditanya tujuannya kabur, dengan singkat dia menjawab: “Ingin mengobati gigi saya”, “Lho, bukankah di sana banyak dokter gigi berpengalaman ?”, tanya orang-orang heran, “Iya, tapi di sana saya tidak boleh buka mulut !”, jawabnya santai.

(Manhajuna/GAA)

Jangan Jadi Penipu, Jangan Pula Mudah Tertipu

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

Umar bin Khattab berkata:

لستُ بالخِبِّ، ولا الخِبُّ يَخدعُني

“Aku bukan penipu, dan tidak ada seorang pun yang boleh menipu aku..”

Maknanya adalah pantang bagi seorang mukmin untuk menipu, tapi pantang juga dia tertipu.

Kenyataannya banyak orang baik-baik yang tidak ingin menipu, namun dia gampang sekali tertipu.

Zaman kini semakin banyak orang-orang yang pandai menipu, namun yang lebih banyak dari itu adalah orang-orang yang mudah tertipu. Semakin banyak orang yang mudah tertipu, semakin banyak dan berjayalah para penipu…

Apa sebab orang mudah tertipu? Diantaranya karena orientasi hidup jangka pendek, ingin cepat-cepat meraih sesuatu, sehingga pandangannya menjadi pendek, hanya bisa melihat permukaan, terbuai oleh tampilan, bukan isi, kurang waspada, kurang update info, kurang konsultasi, dll.

Yang paling berbahaya adalah penipu-penipu agama dan tertipu dalam beragama…. ada? ada!

Menghalau penipu pertama kali, kadang di luar kemampuan kita. Namun setidaknya jangan tertipu lagi, siapapun bisa asal selalu waspada.

لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

“Seorang mukmin tidak boleh dipatuk (binatang berbisa) dari lobang yang sama dua kali.” (Muttafaq alaih)

(Manhajuna/GAA)

Ayo Ngaji…

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalan baginya menuju surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dll)

• Perhatikan, penekanannya bukan pada ‘ilmunya’ tapi ‘mencari ilmunya’. Keutamaan ilmu memang tinggi. Tapi yang tidak kalah tingginya adalah proses mencari ilmunnya. Seseorang yang merasa dirinya bodoh, lalu tanpa bosan dia terus mencari ilmu, lebih baik daripada orang yang sudah merasa berilmu lalu dia berhenti untuk menuntut ilmu.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ، فَارْتَعُوا “، قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ) رواه الترمذي وقال حديث حسن غريب، وأحمد، وقال الأرنؤوط: إسناده ضعيف)

“Jika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah.” Mereka bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir.” (HR. Tirmizi, dia berkata haditsnya hasan gharib, Ahmad. Al-Arnauth berkata: sanadnya lemah)

• Atha bin Abi Rabah berkata: Halaqah-halaqah zikir adalah majelis (yang menjelaskan) halal haram, bagaimana engkau membeli, bagaimana engkau shalat, bagaimana engkau zakat, bagaimana engkau haji, bagaimana engkau menikah, bagaimana engkau mencerai dan semacamnya.

Ibnu Ruslan berkata dalam syairnya,

وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ أَعْمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لاَ تُقْبَلُ

“Siapa yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak tak diterima.”

Seorang ulama berkata dalam syairnya,

فَإِنَّ فَقِيهاً وَاحِدًا مُتَوَرِّعاً أَشَدُّ علَىَ الشَّيْطَان مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ

“Satu orang yang paham agama dan dia wara’ (takut melanggar dan maksiat), maka itu lebih berat bagi setan dari seribu ahli ibadah (tanpa ilmu).”

Seorang ulama berkata, “Siapa yang mendatangi ulama dan duduk di majelisnya, lalu dia tidak dapat merekam ilmu yang disampaikan, Allah tetap memberinya tujuh karomah (kemuliaan);

  1. Dia mendapatkan keutamaan orang yang mengaji.
  2. Selagi dia tertahan di majelis tersebut, maka selama itu dia terhalang dari dosa dan maksiat.
  3. Jika dia keluar dari rumahnya, rahmat Allah diturunkan kepadanya.
  4. Jika dia singgah di majelis tersebut, rahmat Allah akan diturunkan kepada ulama tersebut dan dia mendapatkan barokahnya.
  5. Dicatatkan untuknya kebaikan-kebaikan selama dia mendengarkannya.
  6. Dia dikelilingi malaikat yang membentangkan sayap-sayapnya.
  7. Setiap langkah kaki yang dia ayunkan dapat menjadi kafarat (penghapus) dosa dan pengangkat derajat serta penambah pahala.”

Ini bagi yang tidak dapat merekam apa yang disampaikan. Bagaimana dengan mereka yang mengaji dan dapat merekam apa yang dia sampaikan, baik sedikit atau banyak. Kebaikan berlipat-lipat akan dia dapatkan.

Yang sudah rutin dan aktif di suatu pengajian, tekunilah dan istiqamahlah, jangan mudah goyah dan lemah. Yang belum, segera cari tempat mengaji yang dia percaya lurus pemahamannya dan mungkin dia hadiri.

Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi…

(Manhajuna/GAA)

Fiqih Ringkas Shalat Jum’at

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

Shalat Jum’at fardhu bagi laki-laki muslim, baligh, sehat, dan menetap tidak sedang safar. Sedangkan wanita tidak wajib. Namun jika ikut, dianggap sah.

Ada ancaman keras dari Nabi saw, jangan bilang Nabi saw sebagai wahabi yak.., 3 kali tidak shalat Jum’at dengan sengaja, Allah Stempel hatinya.

“مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا، طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ” (HR. Ashabussunan)

Maksudnya, meninggalkan shalat Jum’at tanpa uzur, Allah akan tutup hatinya. Makna ditutup hatinya; Hatinya mengeras dan punya sifat nifaq.

Shalat Jum’at adalah Ied pekanan kaum muslimin. Mestinya dihadiri dengan penampilan terbaik. Karena itu disunnahkan mandi, pakaian bagus dan wangi.

Disunnahkan pula berjalan kaki menuju tempat shalat Jum’at, sebagaimana hal ini berlaku dalam shalat Ied. Hikmahnya adalah memberikan syiar.

Disunnahkan pula bersegera menuju masjid. Semakin dini berangkatnnya, semakin besar pahalanya.

Lebih bagus lagi jika sebelum berangkat untuk shalat Jum’at sudah dalam keadaan bersuci. Berjalanlah ke masjid dengan tenang, tidak terburu-buru.

Setibanya, segera masuk masjid, cari tempat terdepan yang paling mungkin kita dapati. Shaf terbaik yang paling baik bagi laki-laki adalah terdepan.

Namun, mencari shalat terdepan, jangan sampai mengganggu orang-orang yang kita lewati. Usahakan tidak kasar, tidak terkesan melangkahi dan tidak memaksakan.

Sebelum duduk, shalat sunnah tahiyyatul masjid, 2 rakaat. Bahkan jika saat masuk masjid sudah khutbah, tetap disunnahkan shalat tahiyatul masjid.

Jika khutbah masih lama, dapat diisi dengan berbagai ibadah, zikir, tilawah, berdoa. Para sahabat biasaya shalat sunnah sambil menuggu khutbah.

Jika khotib telah naik mimbar, azan berkumandang, fokus mendengarkan khutbah. Tinggalkan aktifitas lainnya. Apalagi berdagang.

Haram jual beli bagi laki-laki yang wajib shalat Jum’at apabila azan telah berkumadang. Pedagang yang baik, menutup tokonya saat shalat Jum’at.

Masalah ada yang azan sekali, ada yang azan dua kali untuk shalat Jum’at. Itu masalah khilafiyah. Pada zaman Rasul azan Jum’at sekali..

Namun pada masa Utsman bin Affan, beliau ijtihad azan sebelumnya untuk memberi tahu kaum muslimin agar siap-siap. Ketetapan ini tidak diingkari sahabat ketika itu.

Beliau mengambil Qiyas dari azan subuh sebelum fajar yang ditujukan membangunkan orang tidur agar siap-siap shalat Subuh.

Jika masjidnya azan dua kali, apakah ada shalat qabliyah Jum’at? Wallahu a’lam, yang lebih kuat adalah tidak ada.

Namun jika ada yang shalat sunnah setelah azan pertama sebelum azan kedua, diapun tidak dapat diingkari begitu saja. Pertama karena khotib belum naik mimbar.

Seseorang boleh shalat sunnah sebelum khotib naik mimbar. Kedua, karena ada hadits yang menyatakan disunnahkannya shalat diantara dua ‘azan’.

Meskipun yang dimaksud dengan hadits ini ‘antara dua azan’ adalah antara azan dan iqamah, namun berlaku juga utk kedua azan Jum’at. Wallahu a’lam.

Yang tidak tepat adalah, seseorang sengaja shalat sunnah, padahal dia sudah duduk manis sejak tadi, ketika khotib sudah khutbah.

Jika datang ke masjid saat khutbah, tetap disyariatkan shalat sunnah tahiyatul masjid, tapi dilakukan sedikit lebih cepat untuk dengarkan khutbah.

Namun jika waktunya mendesak, khutbah jelang selesai, jangan shalat tahiyatul masjid. Agar tidak ketinggalan shalat Jum’at.

Tertidur saat mendengarkan khutbah, sering terjadi kasusnya. Intinya, niatkan untuk tidak tidur. Jangan niatkan tidur saat dengar khutbah!

Kadang dengan keliru, kita sudah niatkan saat dengar khutbah akan tidur. Niatkan dengar khutbah, tapi kalau kalau akhirnya tidur, apa boleh buat.

Bahkan ada ulama yang menyatakan sunnah kita mengarahkan pandangan kita ke arah khatib. Ini bagus. Sebagai khatib tentu baik jika merasa diperhatikan.

Di sisi lain, ini juga tantangan bagi khatib bagaimana agar khutbahnya bikin orang segar, tidak mengantuk, baik dari sisi tema atau retorika.

Apakah tidur membatalkan wudhu, banyak perbedaan pendapat dalam masalah ini. Yang cukup kuat, jika tidak pulas sekali, tidak membatalkan wudhu.

Umumnya orang yang tidur saat khutbah Jum’at tidak pulas sekali, karena dia duduk. Kecuali kalau sudah berbaring, maka batal lah wudhunya.

Wajib dengarkan khutbah dengan seksama, jangan bermain-main dengan jari jemari, kerikil, tikar, apalagi gadget. Jika ingin menegur, cukup dengan isyarat tangan.

Shalat Jum’at dua rakaat. Jika tertinggal satu rakaat, ditambah satu rakaat lagi. Tapi jika tertinggal 2 rakaat, ganti dengan shalat Zuhur.

Misalnya baru ikut imam setelah ruku’ rakaat kedua, maka dia harus menggantinnya empat rakaat sebagai zuhur. Sebab syarat Jum’at itu berjamaah.

Dia dianggap tidak mendapatkan shalat Jum’at berjamaah, karena tdk mendapat 1 rakaat pun, sedangkan kalau dia lakukan 2 rakaat, berarti seorang diri.

Zikir setelah shalat Jum’at seperti zikir setelah shalat fardhu pada umumnya. Tidak ada dalil kuat yang menunjukkan adanya zikir khusus.

Shalat rawatib ba’diyah shalat Jum’at, dapat dilakukan dua rakaat. Tapi lebih afdhal jika dilakukan 4 rakaat.

(Manhajuna/GAA)