Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 9)

Search Results for: abdullah haidir

Tentang Syafa’at

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.


Ingin bicara tentang #syafaat. Semoga bermanfaat…

#Syafaat adalah menjadi perantara untuk mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya/kerugian pada seseorang, baik dunia maupun akhirat.

Dalam urusan dunia, #syafaat terbagi dua; Syafaat hasanah (baik) dan syafaat sayyi’ah (buruk)

#Syafaat hasanah adalah membantu orang yang diberi syafaat agar terhindar dari bahya dan kezaliman atau mendatangkan manfaat baginya…

Dengan catatan bahwa #syafaat seperti ini tidak menimbulkan kerugian di pihak lain, juga tidak ada keetentuan syariat yang dilanggar.

#Syafaat seperti inilah yang Allah maksud dalam firman-Nya “Siapa yang memberi syaafat yang baik baginya pahala.” (An-Nisa:85)

Atau seperti yang diperintahkan Nabi saw, اشفعوا تؤجروا “Berilah syafaat, kalian akan diberi pahala.” (muttafaq alaih)

Termasuk memberikan #syafaat yang baik adalah manakala kita mendoakan saudara kita agar terhindar dari keburukan atau mendapatkan kebaikan..

Karena #syafaat jika kepada Allah maksudnya adalah mendoakannya kepada Allah. Lebih “manjur” lagi jika orang yang didoakn tidak kita beritahu..

“Doa seorang muslim kepada saudaranya tanpa dia beritahu adalah mustajab (terkabul).” (HR. Muslim)

Bahkan pada hadits yang sama dinyatakan bahwa ketika itu malaikat ikut mengaminkan doa kita dan kitapun dia doakan “kamu juga seperti itu.” #syafaat.

Sehingga kita para ulama jika kita ingin didoakan kebaikan oleh makhluk yang tidak pernah berdosa, doakanlah saudara kita tanpa dia ketahui #syafaat

#syafaat hasanah ini kesempatannya banyak dimiliki oleh mereka memiliki kelebihan poisi, kedudukan, nama baik, kedekatan dan semacamnya..

Maka, hendaknya setiap orang yang memiliki posisi khusus, apalgi ‘istimewa’ sehrusnya memaksimalkannya untuk membantu mereka yang lemah…

Para ulama bahkan menganggap #syafaat yang baik ini sebagai zakat kedudukan. Jadi tidak sekedar dilihat sebagai kebaikannya tapi kewajibannya…

Diriwayatkan bahwa seseorang mendatangi Hasan bin Sahl meminta agar dia ber #syafaat untuknya dalam sebuah keperluan. Maka dia memenuhinya.

Lalu (setelah urusannya terpenuhi) orang itu mengucapkan terimaksih kepadanya. Dia berkata, “Untuk apa engkau berterima kasih, kami menganggap bahwa kedudukan itu ada zakatnya, sebagaimana harta ada zakatnya..

Karenanya dilarang bagi orang yang memberikan syafaat untuk mengambil upah. Karena minimal #syafaat itu sunnah, dan bisa juga menjadi wajib.

Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang memberi #syafaat yang baik kepada saudaranya lalu dia diberikan hadiah dan dia terima, maka maka dia telah memsuki pintu besar di antara pintu-pintu riba…” (HR. Abu Daud)

Lawan dari #syafaat hasanah adalah syafaat sayyi’ah. Syafaat buruk dan tercela.

#Syafaat dalam bentuk ini biasanya terwujud dalam bentuk memanfaatkan kedudukan untuk membantu pihak-pihak lain dalam kezaliman..

Misalnya membantu seseorang agar bebas dari hukuman yang seharusnya dia terima akibat kejahatannya dengan menghubungi pihak-pihak terkait dan memberi #syafaat

Atau memberi #syafaat pada orang yang sebenarnya tidak berhak dan menghilangkan kesempatan pihak lain jika terkait wilayah publik

Biasanya #syafaat jenis ini berlaku untuk orang-orang yang memiliki kedudukan, kekayaan. Atau ada ikatan-ikatan tertentu..

Inilah yang dimaksud dg lanjutan ayat di atas, “Siapa yang memberikan #syafaat buruk, maka dia menanggung dosa.” (AnNisa:85)

Sekarang, #Syafaat dikenal dikenal dengan istilah koneksi. Di dunia arab dikenal dengan istilah ‘wasithah’.

Dalam beberapa kondisi, kadang memang sulit dibedakan antara #syafaat hasanah (baik) dan sayyi’ah (buruk)

Kalau kita membantu orang lain menyerahkan berkasnya kepada seorang direktur agar dia diterima kerja di tempat itu, apakah ini #syafaat yang baik atau buruk?

Jika kita membantu orang dengan misalnya memberi rekomendasi agar dia diterima bekerja di suatu tempat, secara umum itu masuk dalam #syafaat hasanah

Dengan catatan tempat kerja tersebut bukan milik publik, seperti instansi pemerintah yang aturan penerimaan pegawainya harus bersifat transparan dan umum.

Juga tidak ada manipulasi tentang info orang yang diberi #syafaat

Atau boleh jadi untuk instansi pemerintah pun #syafaat dibenarkan jika bertujuan memperkuat kapasitas yang ada sebagai bahan pertimbangan, bukan untuk manipulasi data.

Maka, salah satu kesempatan amal besar yang tersedia bagi siapa saja yang memiliki posisi dan kedudukan adalah memberi #syafaat hasanah bagi orang yang membutuhkan…

Wallahua’lam

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Apakah Benar Tidak Boleh Shalat Gerhana Bagi Yang Tidak Melihatnya?

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Ada sejumlah pertanyaan yang disampaikan kepada saya seputar boleh tidaknya shalat gerhana apabila gerhana tidak dapat dilihat, karena mendung misalnya atau karena sebab lain, atau apabila gerhana tidak melintas di daerahnya. Bahkan tidak disyariatkannya pengumuman adanya gerhana juga termasuk pengumuman diadakannya shalat gerhana. Fatwa-fatwa seperti itu biasanya merujuk kepada fatwa yang berasal dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Syekh Abdulaziz bin Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumullah jami’an.

Saya secara pribadi merasa pendapat-pendapat tersebut perlu dicermati lagi.

Pertama:

Terkait dengan tidak disyariatkannya gerhana bagi mereka yang tinggal di daerah yang tidak dilintasi gerhana, itu cukup beralasan. Karena jika dikaitkan bahwa shalat gerhana adalah shalat sunah yang memiliki sebab, maka bagi orang yang tinggal di daerah yang tidak dilintasi gerhana, berarti tidak ada sebabnya, maka tidak disyariatkan shalat baginya.

Kedua:

Terkait dengan apabila gerhana tidak dapat dilihat walaupun sebenarnya berdasarkan perkiraan astronomi, gerhana melintas di daerahnya. Misalnya jika pada waktu yang ditentukan seseorang terhalang melihat gerhana, apakah tidak disyariatkan baginya shalat gerhana? Fatwa yang banyak beredar adalah bahwa dalam kondisi demikian, tidak disyariatkan shalat gerhana berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

وإذا رأيتموه فصلوا

“Jika kalian melihatnya, maka shalatlah.” (Muttafaq alaih)

Hadits ini dipahami bahwa shalat gerhana dikaitkan dengan melihat. Pemahamannya adalah, jika tidak melihat gerhana, maka jangan shalat. Kemudian masalah ini dikaitkan dengan masalah hilal Ramadan, yang menjadikan masalah ‘melihat hilal’ sebagai syarat untuk memulai puasa Ramadan.

Hemat saya, masalah ini tidak dapat disederhanakan begitu saja. Gerhana matahari atau bulan, tidak sama begitu saja dengan masalah munculnya hilal. Hilal muncul sangat sebentar, tidak mudah terlihat, bahkan terlihat atau tidaknya pun sangat penuh dengan kemungkinan. Apalagi dipertegas oleh hadits, “Jika mendung, maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”

Tapi masalah gerhana, lebih gamblang dan durasinya lebih lama, tingkat akurasinya lebih tinggi, khususnya di zaman sekarang ini, bahkan direkam dengan live streaming serta dapat disaksikan dengan gamblang oleh semua khalayak. Maka, hemat saya, tidak tepat jika kemudian difatwakan begitu saja bahwa orang yang tidak dapat melihatnya kemudian dia tidak boleh shalat gerhana, padahal gerhana melintas di daerahnya berdasarkan sumber-sumber yang valid. Kalaupun dia tidak dapat melihatnya, orang lain dapat melihatnya, belum lagi lewat media-media modern sekarang ini . Bahkan dalam masalah rukyatul hilal Ramadan, kitapun tidak diharuskan melihatnya satu persatu, cukup ada orang yang dapat dipercaya yang melihatnya, maka hukumnya berlaku bagi yang lain.

Prof. Dr. Ali Mustafa Yakub dalam kolomnya di Republika, edisi 7 Maret 2016, juga menyimpulkan demikian, bahwa jika ada sebagian yang sudah menyaksikan gerhana, maka ketentuan shalat juga berlaku bagi mereka yang berada di negeri yang dilintasi oleh gerhana, walau tidak melihatnya.

Hal lain lagi yang juga dapat menjadi acuan adalah bahwa waktu-waktu shalat sudah ditetapkan berdasarkan ilmu falak/hisab tanpa kita perlu lagi melihat tanda-tanda waktu shalat yang sudah ditetapkan syariat berdasarkan hadits nabi.

Ketiga:

Fatwa larangan shalat gerhana bagi yang tidak melihat gerhana boleh jadi dilatarbelakangi dengan belum akuratnya hitung-hitungan ilmu falak/astronomi pada masa lalu, plus media informasi yang tidak secanggih sekarang. Tapi sekarang dengan teknologi canggih, tingkat akurasinya sangat tinggi, informasi lebih cepat sampai.

Saya pribadi sudah berbicara dengan salah seorang pakar astronomi, bahwa peristiwa gerhana yang telah diumumkan tersebut, secara ilmiah tidak akan meleset. Karena memang Allah sendiri telah menetapkan poros yang jelas bagi matahari dan bulan, sehingga semuanya dapat dihitung dan diukur.

Firman Allah Taala:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya.” (QS. Ar-Rahman: 5)

Itu secara ilmiah, tentu saja kalau Allah berkehendak lain, hasilnya akan lain.

Keempat:

Adapun masalah harus melihatnya dengan mata kepala langsung tanpa alat, inipun saya menilainya tidak harus seketat itu, sebab menggunakan alat bantu dibolehkan untuk memudahkan pelaksanaan ajaran syariat, sama seperti tuntutan orang yang azan agar mengeraskan suara, lalu menggunakan pengeras suara untuk membantunya, bahkan sekarang direlay televisi.

Kerajaan Arab Saudi sendiri, sejak tahun 2009 telah memerintahkan untuk melihat hilal dengan teleskop (http://www.alarabiya.net/articles/2009/07/20/79319.html)

Begitu juga dengan kesan seakan-akan tidak boleh, atau tidak disyariatkan mengumumkan adanya peristiwa gerhana atau mengumumkan pelaksanaan shalat gerhana. Inipun tampak berlebihan. Larangannya tidak ada secara khusus, kekhawatiran akan menyebabkan orang tidak gentar dengan peristiwa gerhana, itu sifatnya relatif.

Justeru kalau kita umumkan, sekaligus umumkan pelaksanaan shalat gerhana, dan kita jelaskan hikmah-hikmahnya serta sunah-sunahnya, lebih dapat memberikan penyadaran kepada khalayak bagaimana seharusnya menghadapi peristiwa ini. Sehingga dengan sendirinya berperan menutup celah berbagai sikap yang tidak sesuai syariat dalam menyambutnya.

Wallahu a’lam… Semoga bermanfaat…

(Manhajuna/GAA)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Kedudukan dan Tempat Diturunkannya Surat Al-Fatihah

Kedudukan Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah memiliki kedudukan yang tinggi dalam ajaran Islam. Karena dia merupakan surat yang paling mulia dalam Al-Quran.

Dari Abu Sa’id bin Al-Mu’alla radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Aku akan beritahukan kepadamu surat yang paling mulia dalam Al-Quran sebelum engkau keluar dari masjid,” kemudian beliau memegang kedua tanganku. Ketika hendak keluar dari masjid. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tadi engkau katakan akan memberitahukan surat yang paling mulia dalam Al-Quran,’ Beliau bersabda, ‘Baik…. al-Hamdulillahirabbil ‘aalamiin, (surat Al-Fatihah) adalah As-Sab’ul Matsani dan surat yang paling mulia yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari 4474)

Rasulullah ﷺ juga bersabda tentang surat Al-Fatihah,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا أُنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاةِ، وَلاَ فِي الإِنْجِيْلِ، وَلاَ فِي الزَّبُوْرِ وَلاَ فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا، إِنَّهَا سَبْعٌ مِنَ الْمَثَانِي وَاْلقُرْآنُ الْعَظِيْمُ الَّذِي أُعْطِيْتُهُ

[رواه الترمذي، صحيح الجامع، رقم 7079]

“Demi yang jiwaku ada di Tangannya, belum pernah diturunkan dalam Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran (surat) semacamnya, dialah As-Sab’un minal Matsani (Al-Fatihah) dan Al-Qur’an yang Agung yang diberikan kepadaku.” (HR Tirmidzi 2875, dishahihkan Al-Albany dalam Shahih Al-Jami no. 7079)

Kedudukan yang tinggi ini jelas memiliki makna yang sangat dalam. Sebab, jika dikatakan bahwa Al-Quran secara keseluruhannya adalah Kitab yang mulia, maka bagaimanakah halnya dengan surat yang dikatakan paling mulia di dalamnya? Hal ini pada gilirannya menuntut seorang muslim untuk menempatkan surat ini sesuai kedudukan yang telah Allah tetapkan kepadanya, baik dari segi bacaan, pemahaman hingga pada pengamalannya.

Tempat Diturunkannya Surat Al-Fatihah

Mengenai tempat diturunkannya, terdapat beberapa riwayat tentang hal ini. Namun pendapat yang lebih kuat menunjukkan bahwa surat ini diturunkan di kota Mekkah, sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Karenanya, surat ini disebut surat Makkiyah.

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha.

(Manhajuna/IAN)

Kehangatan Dan Tanggungjawab (Syarah Bulughul Maram: Bab Nikah Bag. 3)

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Hadits no. 969

وَعَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ . إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Dari beliau (Anas bin Malik) dia berkata, “Rasulullah memerintahkan untuk menikah dan sangat mencegah sikap meninggalkan nikah. Beliau bersabda, “Nikahilah (wanita) yang penuh kasih sayang dan (berpotensi) banyak keturunan. Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di kalangan para nabi pada hari kiamat.”

(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Makna kalimat

• (الباءة) Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan hadits sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan (الباءة) adalah kemampuan finansial. Akan tetapi dalam hadits yang dimaksud (الباءة) dalam hadits ini adalah menikah berdasarkan konteks hadits.

• (التبتل) secara umum maknanya adalah total dalam beribadah, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Muzammil

وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلاً

“Dan beribadahlah kepada Tuhanmu dengan penuh ketekunan.” (QS. Al-Muzammil: 8).

Akan tetapi yang dimaksud ‘tabattul’ dalam hadits ini adalah sengaja tidak menikah untuk tujuan beribadah.

• (الودود) berasal dari kata (الود) yaitu cinta. Diungkapkan dengan wazan (bentukan) فَعُول yang dikenal sebagai salah satu bentukan yang bermakna ‘sangat’ (للمبالغة). Maka (الودود) adalah orang yang sangat mencinta.

• (الولود) berasal dari kata (الولد), juga dengan wazan فعول. Yang dimaksud adalah orang yang memiliki banyak anak. Yang dimaksud dalam hadits ini adalah wanita (gadis) yang diperkirakan akan memiliki banyak keturunan dengan memperhatikan kondisi kerabatnya atau faktor lainnya.

Pelajaran Dalam Hadits:

• Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan menikah merupakan fitrah manusia. Mengabaikan perkara fitrah ini bukan hanya melanggar hak manusiawi, tapi juga melanggar aturan syari, walaupun untuk alasan beribadah. Karena itu, pernikahan diperintahkan dan sengaja meninggalkannya dilarang keras.

• Adanya sejumlah orang saleh atau ulama besar yang tidak menikah sepanjang hidupnya, hendaknya dilihat sebagai alasan pribadi. Bukan sebagai dalil dibolehkannya meninggalkan pernikahan. Atau kalaupun mereka memiliki pendapat tentang kebolehannya, maka “Semua ucapan dapat diambil dan ditolak, kecuali ucapan penghuni kubur ini (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).”

• Hadits ini merupakan bantahan terhadap bid’ah yang terkandung dalam ajaran rahbaniah (kependetaan) yang diajarkan para pendeta Nashrani dengan meninggalkan pernikahan sebagai cara untuk fokus beribadah (QS. Al-Hadid: 27).

• Di antara kriteria pasangan yang dianjurkan adalah ‘al-wadud’ (penuh cinta) dan ‘alwaluud’ (berpotensi banyak keturunan). Hal ini setidaknya memberikan 2 makna:

– Sebelum menikah, hendaknya seseorang berusaha mengenali ‘kualitas’ pasangannya. Tentu dengan cara yang dibenarkan syariat. Seperti mencari informasi dari orang yang tsiqah (terpercaya) atau dengan cara lainnya.

– Berkeluarga harus memenuhi dua sisi utama; Kehangatan cinta dan tanggung jawab. Masing-masing pasangan hendaknya dapat mendatangkan suasana kasih sayang dalam berkeluarga, juga siap bertanggung jawab dengan menyambut kelahiran anak serta mendidik dan merawatnya.

• Berbangga-bangga yang dimaksud dalam hadits ini bukan berlatar belakang kesombongan, akan tetapi kecintaan terhadap amal saleh dan semakin banyak hamba Allah yang beriman kepadanya. Karena, semakin banyak orang yang mengikuti ajarannya, semakin banyak pula kebaikan yang didapatkan dari dakwah yang disampaikan.

• Hadits ini juga dijadikan landasan para ulama tentang dilarangnya tindakan pembatasan kelahiran, apalagi jika bersifat permanen seperti vasektomi, kecuali ada alasan yang sangat mendesak. Karena berdasarkan hadits ini, yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kehendaki adalah jumlah umatnya yang banyak, bukan sedikit. Adapun mengatur kelahiran anak, dengan pertimbangan agar dapat lebih mudah merawat dan mendidiknya, sepanjang disetujui suami dan dengan cara yang tidak membahayakan sang ibu, maka hal tersebut dibolehkan.

Wallahua’lam…

(AFS/ Manhajuna)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Pedoman Islam Tentang Setan

Manhajuna.com – Setan adalah makhluk Allah Ta’ala yang Dia ciptakan berdasarkan hikmah dan ilmu-Nya. Setan termasuk bangsa jin yang terbuat dari api dan beranak pinak. Setan sejak awal penciptaan manusia, Adam, telah berjanji kepada Allah untuk menjerumuskan manusia dari jalan Allah dengan berbagai cara dan jalan yang akan dia tempuh, bahkan setiap manusia -disamping selalu diiringi oleh malaikat- juga selalu diiringi oleh setan yang menggodanya.

Karenanya Allah memerintahkan manusia untuk menjadikan-nya sebagai musuh yang harus dilawan atau dihindari dengan memurnikan tauhid dan keikhlasan serta banyak berzikir kepada-Nya. Karena seberapa pun besarnya upaya setan, dia tidak akan berdaya apa-apa jika menghadapi seorang muslim yang kuat imannya, ikhlash dan selalu berzikir kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۚ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

[سورة الكهف: 50]

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka dia mendurhakai perin-tah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku sedang mereka adalah musuhmu. Sangat buruklah (Iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang yang zalim” (QS. Al-Kahfi: 50)

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ .وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

[سورة الرحمن: 14-15]

“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan dia menciptakan jin dari nyala api.”   (QS. Ar-Rahman 14-15)

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ . ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

[سورة الأعراف : 16-17]

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).” (QS. Al-A’raf 16-17)

Rasulullah ﷺ bersabda,

 مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ قَرِبْنُهُ مِنَ الْجِنِّ، وَقَرِيْنُهُ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ، قَالُوا: وَإِيَّاكَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟!. قَالَ: وَإِيَّايَ ، وَلَكِنْ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلاَ يَأْمُرُنْي إِلاَّ بِخَيْرٍ

 [صحيح مسلم، رقم 2814]

“Tidaklah ada di antara kalian seorang pun, kecuali telah dijadikan pendampingnya dari bangsa jin dan bangsa malaikat.” Para shahabat berkata, ‘Termasuk engkau ya Rasulullah?’ Beliau bersabda, “Termasuk aku, tetapi Allah Azza wa Jalla telah menolongku, sehingga dia masuk Islam dan tidak memerintahkan aku kecuali kepada yang baik.” (HR. Muslim 2814)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا

[سورة فاطر :6]

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu).” (QS. Fathir: 6)

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

[سورة النحل: 99]

“Sesungguhnya setan tidak ada kekuasan pada orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl 99)

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

[سورة الحجر: 3940]

“Iblis berkata, Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi. Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis (ikhlas) di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

[سورة الأعراف : 200]

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindung-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200)

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha

Baca Juga:

Memohon Perlindungan Allah Ta’ala dari Godaan setan

Pemahaman Salah Tentang Setan

(Manhajuna/IAN)

Fiqih Tentang Gerhana Matahari dan Bulan

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2014/04/gerhana-bulan-2014-04-11.jpg

Gerhana Matahari Dan Bulan Dalam Tinjauan Syariat Serta Hukum Dan Cara Shalat Gerhana 

Istilah

Secara istilah, gerhana matahari dan bulan disebut dengan istilah kusuf (كسوف)  atau khusuf (خسوف). Kedua kata tersebut merupakan sinonim yang berarti perubahan pada keduanya dan berkurangnya cahaya padanya. Secara sederhana kita mengartikannya dengan istilah: Gerhana.

Ada pula yang mengatakan bahwa istilah kusuf untuk matahari sehingga disebut ‘kusuf asy-syams’ (gerhana matahari) sedangkan khusuf untuk bulan, sehingga dikatakan ‘khusuf al-qamar’ (gerhana bulan).

Hikmah Dibalik Peristiwa Gerhana

Banyak cerita khurafat dan tahayyul beredar di masyarakat seputar terjadinya gerhana. Namun syariat telah menyatakan dengan tegas nilai-nilai yang terkandung dibalik terjadinya peristiwa tersebut. Di antaranya adalah:

1-    Menunjukkan salah satu keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala yang Maha mengatur alam ini.

2-    Untuk menimbulkan rasa gentar di hati setiap hamba atas kebesaran Allah Ta’ala dan azab-Nya bagi siapa yang tidak taat kepada-Nya.

Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَصَلُّوا  (رواه البخاري)

“Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupannya. Akan tetapi keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian menyaksikannya, maka hendaklah kalian shalat.” (HR. Bukhari)

Dalam redaksi yang lain, Bukhari juga meriwayatkan,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ

“Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya  tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupannya.. Akan tetapi Allah hendak membuat gentar para hamba-Nya.” (HR. Bukhari)

Disamping hal ini juga mengingatkan seseorang dengan kejadian hari kiamat yang salah satu bentuknya adalah terjadinya gerhana dan menyatunya matahari dengan bulan, seperti Allah nyatakan dalam surat Al-Qiyamah: 8-9.

وَخَسَفَ الْقَمَرُ . وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ (سورة القيامة)

“Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan Matahari dan bulan dikumpulkan.” (QS. Al-Qiyamah: 8-9)

Shalat Gerhana

Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan shalat apabila mereka menyaksikan peristiwa gerhana, baik matahari maupun bulan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits di atas, juga sebagaimana riwayat adanya perbuatan Rasulullah saw tentang hal tersebut.

Para ulama menyimpulkan bahwa hukum shalat gerhana adalah sunnah. Imam Nawawi rahimahullah  menyatakan bahwa sunahnya shalat gerhana merupakan ijma ulama (Lihat: Syarah Muslim, 6/451). Ibnu Qudamah dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa shalat gerhana merupakan sunnah  mu’akkadah/sunnah yang sangat ditekankan (Al-Mughni, 3/330, Fathul Bari, 2/527). Sebagian ulama bahkan menyatakan kewajiban shalat gerhana, karena Rasulullah saw melaksanakannya dan memerintahkannya. Ibnu Qayim menyatakan bahwa pendapat ini (wajibnya shalat gerhana) merupakan pendapat yang kuat. (Kitab Ash-Shalah, Ibnu Qayim, hal. 15).

Di sisi lain, karena jarang kaum muslimin yang mengenal dan melaksanakan shalat gerhana, maka dengan melakukannya maka dia akan mendapatkan keutamaan orang yang menghidupan sunnah.

Adab Shalat Gerhana

1.    Menghadirkan rasa takut kepada Allah saat terjadinya gerhana bulan dan matahari. Baik karena peristiwa tersebut mengingatkan kita akan tanda-tanda kejadian hari kiamat, atau karena takut azab Allah diturunkan akibat dosa-dosa yang dilakukan.

2.     Mengingat apa yang pernah disaksikan Nabi saw dalam shalat Kusuf. Diriwayatkan bahwa dalam shalat kusuf, Rasulullah saw diperlihatkan oleh Allah surga dan neraka. Bahkan beliau ingin mengambil setangkai dahan dari surga untuk diperlihatkan kepada mereka. Beliau juga diperlihatkan berbagai bentuk azab yang ditimpakan kepada ahli neraka. Karena itu, dalam salah satu khutbahnya selesai shalat gerhana, beliau bersabda,

يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا (متفق عليه)

“Wahai umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (Muttafaq alaih)

3.    Menyeru dengan panggilan “Asshalaatu Jaami’ah” . Maksunya adalah panggilan untuk melakukan shalat secara berjamaah. Aisyah meriwayatkan bahwa saat terjadi gerhana, Rasulullah saw memerintahkan untuk menyerukan “Ashshalaatu Jaami’ah” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Tidak ada azan dan iqamah bagi shalat gerhana. Karena azan dan iqamah hanya berlaku pada shalat fardhu yang lima.

4.    Disunahkan mengeraskan bacaan surat, baik shalatnya dilakukan pada siang atau malam hari. Hal tersebut dilakukan Rasulullah saw dalam shalat gerhana (Muttafaq alaih).

5.    Shalat gerhana sunah dilakukan di masjid secara berjamaah. Rasulullah saw selalu melaksanakannya di masjid sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Akan tetapi boleh juga dilakukan seorang diri. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/323)

6.    Wanita boleh ikut shalat berjamaah di belakang barisan laki-laki. Diriwayatkan bahwa Aisyah dan Asma ikut shalat gerhana bersama Rasulullah saw. (HR. Bukhari).

7.    Disunahkan memanjangkan bacaan surat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw dalam shalat gerhana memanjangkan bacaannya. (Muttafaq alaih). Namun hendaknya tetap mempertimbangkan kemampuan dan kondisi jamaah.

8.    Disunahkan menyampaikan khutbah setelah selesai shalat, berdasarkan perbuatan Nabi saw bahwa beliau setelah selesai shalat naik ke mimbar dan menyampaikan khutbah (HR. Nasa’i). Sejumlah ulama menguatkan bahwa khutbah yang disampaikan hanya sekali saja, tidak dua kali seperti shalat Jumat. Sebagian ulama menganggap tidak ada sunah khutbah selesai shalat. Akan tetapi petunjuk hadits lebih menguatkan disunahkannya khutbah setelah shalat gerhana. Wallahua’lam.

9.       Dianjurkan memperbanyak istighfar, berzikir dan berdoa, bertakbir, memedekakan budak, shalat serta berlindung kepada Allah dari azab neraka dan azab kubur.

Tata Cara Shalat Gerhana

Pelaksanaan shalat gerhana agak berbeda dari shalat pada umumnya. Banyak yang tidak mengetahuinya karena jarang dilaksanakan dan tidak memiliki waktu yang tetap.

Shalat diawali seperti biasa dengan bertakbiratul ihram, lalu membaca doa istiftah, kemudian membaca ta’awwuz (a’uzubillahiminsyaitanirrajim), lalu membaca basmalah, kemudian membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu, membaca surat yang panjang dengan mengeraskan suara.

Selesai membaca surat, melakukan ruku dengan panjang dan mengulang-ulang bacaan ruku. Selesai ruku bangkit dengan membaca  Sami’allahu liman hamidah, kemudian membaca ‘Rabbanaa walakal hamdu.

Setelah itu tidak sujud seperti shalat lainnya, melainkan membaca surat Al-Fatihah lagi, lalu membaca surat lagi yang berbeda dari sebelumnya. Kemudian ruku kembali dengan lama. Selesai ruku, bangkit kembali dengan membaca Sami’allahu liman hamidahrabbanaa walakal hamdu. Selesai I’tidal, bertakbir untuk sujud. Lalu sujud dengan lama selama rukunya. Lalu dia bertakbir bangun dari sujud dan duduk di antara dua sujud dengan lama selama dia melakukan sujud, kemudian bertakbir lagi untuk sujud dengan lama.

Setelah itu bertakbir untuk bangkit dari sujud dan berdiri untuk rakaat kedua dan melakukan hal yang sama seperti pada rakaat pertama (dua kali membaca Al-Fatihah dan surat, dua kali ruku serta dua kali sujud).

Setelah itu melakukan tasyahhud dan bersalawat kepada Nabi saw. Kemudian menyudahi shalat dengan salam.

Kesimpulannya, shalat gerhana dalam satu rakaat, ada dua kali berdiri, dua kali membaca Al-Fatihah dan surat, dua kali ruku dan dua kali sujud.

Cara ini dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiallahu anha ketika menjelaskan cara shalat gerhana yang dilakukan Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaq alaih). Dan cara inilah yang paling kuat dari perbedaan pendapat para ulama tentang hal tersebut. Wallahua’lam.

Waktu Shalat Gerhana

Waktu shalat gerhana berlaku ketika proses gerhana mulai terjadi hingga gerhana selesai. Jika ketika shalat gerhananya selesai, maka lanjutkan shalat dengan mempercepat shalatnya. Jika selesai shalat gerhana, proses gerhana masih berlangsung, tidak perlu melanjutkan shalat lagi, cukup membaca doa dan istigfhar yang banyak. Jika tidak sempat shalat saat terjadi gerhana, maka tidak disunahkan melakukan qodho atasnya.

Wallahu ta’ala A’lam bishshawab…

Sumber: Shalatul Mu’min, DR. Said bin Ali Al-Qahthani, hafizahullah

(AFS/Manhajuna)

Nikah Bagian Dari Sunnah (Syarah Bulughul Maram: Bab Nikah Bag. 2)

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

2- (968)  وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ  حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : ” لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

2-(968)  Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi mengucapkan tahmid dan pujian kepada Allah, lalu bersabda,

“… Akan tetapi aku shalat dan tidur, aku puasa dan berbuka, atau menikahi wanita. Siapa yang tidak menyukai sunahku, maka dia bukan golonganku.” (Muttafaq alaih)

Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang cukup dikenal tentang kisah tiga orang shahabat yang mendatangi rumah isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi untuk menanyakan tentang bagaiman ibadah beliau. Ketika mereka beritahu, maka mereka menganggap apa yang mereka lakukan masih sedikit. Lalu mereka berkata, “Apalah kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Allah telah mengampuni dosanya yang lalu dan kemudian.” Maka salah seorang dari mereka mengatakan, “Saya akan shalat malam selamanya.” Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka.” Yang lainnya berkata, “Saya akan menjauhi wanita, tidak menikah sama sekali.” Maka datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Kaliankah yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling takwa. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka…..dst.”

  • Hadits ini menguatkan tentang anjuran menikah dalam Islam dan bahwa meninggalkannya, walaupun dengan tujuan berkonsentrasi ibadah, bukan merupakan ajaran dan sunah Rasul. Bahkan dalam Al-Quran, Allah jelaskan bahwa semua Nabi memiliki isteri.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً (سورة الرعد: 38)

“Sungguh, telah Kami utus para rasul sebelummu dan telah Kami jadikan bagi mereka isteri-isteri dan keturunan..” (QS. Ar-Ra’d: 38)

Maka logikanya adalah, jika tidak menikah karena alasan ibadah tidak dibenarkan, apalagi jika alasannya tidak ada kaitannya dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

  • Beragama tidak berarti menghalangi seseorang mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan selama hal itu masuk dalam perkara mubah dan tidak menghalanginya dari melaksanakan kewajiban atau terjerumus dalam kemaksiatan. Tetapi beragama membimbing seseorang agar menggunakan fasilitas dan kenikmatan dalam kehidupan secara tepat dan berbuah baik bagi kehidupannya di dunia dan akhirat.
  • Pemenuhan terhadap hak Allah, tidak boleh berakibat mengabaikan hak terhadap diri sendiri dan keluarga. Kualitas keberagamaan tidak dilihat dari keberatan dan sikap berlebih-lebihan seseorang dalam beribadah atau dari sekedar banyaknya, tapi dinilai dari sejauhmana kesesuaiannya dengan petunjuk dan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan beragama dibangun dengan landasan kemudahan (QS. Al-Baqarah: 185).
  • Hadits ini secara umum mengajarkan prinsip wasathiyah (moderat), tidak terjebak pada ifrath (lalai, sembrono) dalam masalah ibadah dan ketaatan, tapi juga tidak tafrith (berlebihan dan melampuai batas) sehingga merusak hak-hak lainnya yang seharusnya dia penuhi.

(AFS/Manhajuna.com)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

Penciptaan dan Penentuan Nasib Manusia – Bag II

Kelanjutan tentang pembahasan hadits terkait penciptaan dan penentuan nasib manusia.

Pemahaman Hadits

Maksud ‘dikumpulkan’ (يجمع) dalam hadits ini   -sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama- karena mani ketika masuk ke rahim terpencar-pencar, kemudian Allah kumpul-kan di dalam rahim. [1]

Nuthfah (نطفة) makna asalnya adalah air yang jernih. Yang dimaksud disini adalah air mani laki-laki yang sudah bertemu dengan mani wanita dalam jimak dan telah Allah kehendaki dan siapkan sebab-sebabnya untuk menjadi janin.[2]

Alaqah (العلقة) berasal dari kata (العلق) artinya melekat, maksudnya di sini adalah adalah darah beku yang kental. Dikatakan demikian, karena sesuatu yang mengenainya akan melekat padanya. [3]

Mudghoh, berasal dari kata  (مضغ)artinya mengunyah. Yang dimaksud di sini adalah sepotong daging. Dikatakan demikian karena ukurannya sebesar bekas kunyahan seseorang. [4]

Yang dimaksud dengan ‘kalimat’ dalam hadits ini adalah, perkara-perkara yang akan ditetapkan. [5]

“Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta….” Hal ini bukan perkara yang umum terjadi, tapi sangat jarang. Apalagi, termasuk kasih sayang Allah, orang yang berubah dari buruk menjadi baik sangat banyak, sedangkan orang yang berubah dari baik menjadi buruk sangat sedikit sekali. [6]

Pelajaran yang Terkandung dalam Hadits

  • Dalam hadits ini terdapat kemuliaan seorang ibu bagi seorang anak, sebab di rahimnyalah Allah menciptakan seorang anak dengan segala keletihan yang ditanggung oleh sang ibu. [7]
  • Adanya fase pertumbuhan janin dalam rahim seorang ibu sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, memberikan makna:

a- Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam berbicara atas dasar wahyu. Karena pada saat itu bagaimana seseorang dapat mengetahui pertumbuhan janin dengan detail yang baru dapat disingkap secara ilmiah beberapa abad kemudian. Di samping apa yang disampaikan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, juga telah dinyatakan oleh Al-Quran.

b- Menunjukkan kasih sayang Allah Ta’ala kepada seorang ibu, dengan menciptakan makhluk-Nya secara berangsur-angsur. Sebab dengan kekuasaannya,  Allah dapat  saja menciptakannya sekaligus. [8]

  • Allah ta’ala mengetahui tentang keadaan makhlukNya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
  • Meskipun masuk surga atau neraka bagi seseorang termasuk takdir Allah, namun Allah Ta’ala tetap menjadikan amal perbuatan sebagai sebab memasuki keduanya.
  • Hadits ini mengandung isyarat tentang kebenaran adanya hari kebangkitan, sebab Dzat yang mampu menciptakan seseorang dari setetes mani tak berharga, kemudian Dia merubahnya menjadi setetes darah, kemudian segumpal daging, kemudian ditiupkan ruh padanya, maka tentu Dia sangat mampu untuk meniupkan ruh itu kembali setelah jasad itu menjadi tanah dan Dia mampu untuk mengumpulkan jasad itu kembali setelah bercerai berai. [9]
  • Amal perbuatan dinilai di akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini, justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (husnul khotimah).
  • Disunnahkan bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa.
  • Bersikap tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima) dengan mengambil sebab-sebab serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan memusatkan hati untuknya.
  • Kehidupan ada di tangan Allah. Seseorang tidak akan mati kecuali Dia telah menyempurnakan umurnya.
  • Takdir adalah rahasia Allah, tidak seorang pun yang dapat mengetahuinya sebelum terjadi. Maka tidak boleh bermaksiat dengan alasan takdir. Yang dituntut baginya adalah beramal sesuai yang diperintahkan, dan kita diberikan kemampuan untuk itu.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Pengorbanan ibu saat mengandung: Luqman (31): 14
Teori reproduksi manusia: Al-Haj (22): 5, Al-Mukminuun (23): 14
Takdir: Al-Hadid (57): 22, At-Taghabun (64): 11
Husnul khotimah: Al-Baqarah (2): 132, An-Nisa (4): 18

Catatan Kaki:

  1. Syarh Ibnu Daqiq al-Ied, hal. 68
  2. Fathul Bari, 11/479-480, lihat juga Al-Mu’jamul Wasit, hal. 931.
  3. Fathul Bari, 11/482, Mu’jamul Wasith, hal. 622
  4. Fathul Bari, 11/482, Mu’jamul Wasith, hal. 874
  5. Fathul Bari, 11/482
  6. Syarh Muslim, Imam Nawawi, 16/192
  7. Lihat surat Luqman: 14.
  8. Fathul Bari, 11/488
  9. Fathul Bari, 11/488

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

Baca Juga: Penciptaan dan Penentuan Nasib Manusia – Bag I

(Manhajuna/IAN)

Segeralah Menikah (Syarah Bulughul Maram: Bab Nikah Bagian 1)

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Point-point pembahasan hadits-hadits bab nikah dalam kitab bulughul maram (bagian 1)

1-   (967) عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ : يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ .  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

1- (967)  Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada kami,

“Wahai para pemuda, siapa yang sudah mampu menafkahi biaya rumah tangga, hendaknya dia menikah. Karena hal itu lebih menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat meringankan syahwatnya.”

  • Hadits ini berbicara tentang perintah menikah bagi para pemuda yang sudah mampu menikah. Meskipun redaksi haditsnya bersifat perintah, namun jumhur ulama menghukumi pernikahan sebagai perbuatan sunah, bukan wajib. Kecuali orang yang apabila menunda pernikahannya dia akan terjerumus dalam perbuatan zina. Ketika itu, menikah dihukumi wajib baginya.
  • Makna (الباءة) asalnya adalah ‘jimak’. Akan tetapi yang dimaksud ‘istitha’ah’ (mampu) dalam hadits ini adalah ‘cukup bekal untuk pernikahan dan biaya rumahtangga.’ Karena redaksi hadits ini asalnya memang diarahkan kepada para pemuda yang notabene merupakan orang yang sudah mampu berjimak. Dengan bukti bahwa ketika mereka belum mampu menikah (belum cukup perbekalan), disarankan bagi mereka untuk berpuasa dengan pertimbangan bahwa puasa dapat mengurangi syahwatnya. Jika yang dimaksud (الباءة) pada hadits ini adalah ‘jimak’, maka anjuran ‘berpuasa’ bagi orang yang belum menikah karena belum mampu ‘berjimak’ menjadi tidak tepat.
  • Lebih lengkap lagi jika (الباءة) dalam hadits ini diartikan sebagai ‘mampu berjimak dan memiliki perbekalan cukup berumahtangga’. Karena bisa jadi (meskipun jarang) ada orang yang secara materi sudah cukup namun dia tidak mampu berjimak. Hal tersebut akan membuatnya tidak dapat memenuhi hak isterinya dan menzaliminya, kecuali jika sang isteri ridha dengan hal itu.
  •  Khitab (pembicaraan) hadits ini diarahkan kepada para pemuda. Karena merekalah golongan yang paling berkepentingan dalam masalah pernikahan, sebab sedang berada dalam tuntutan puncak syahwatnya. Adapun kalau bukan pemuda, namun memiliki alasan yang sama, seperti orang tua misalnya, maka dia tetap masuk dalam makna hadits ini.
  • Hikmah pernikahan yang disebutkan dalam hadits di atas sebagai perkara yang dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, menunjukkan diperintahkannya seseorang untuk menundukkan pandangan terhadap lawan jenis, sebagaimana dia diperintahkan menjaga kehormatannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nur: 30 dan Al-Mukminun: 5.
  • Kecukupan materi bukan syarat sah pernikahan. Tapi dia merupakan sarana bagi terwujudnya  pernikahan yang harmonis. Karenanya, hadits ini tidak boleh menjadi penghalang para pemuda untuk menikah, jika diperkirakan bahwa dalam batas-batas wajar mereka dapat membiayai nafkah keluarga. Atau dengan kemampuan dan kepandaiannya, diperkirakan dia dapat mencari penghasilan untuk nafkah berkeluarga. Apalagi Allah Ta’ala telah menjanjikan akan memberikan kecukupan bagi orang yang menikah jika mereka adalah orang-orang miskin (QS. An-Nur: 32).
  • Namun kalau memang benar-benar belum mampu secara finansial, juga tidak harus memaksakan diri, seperti dengan hutang sana hutang sini misalnya. Dalam hal ini orang seperti itu diharap menunggu, sambil menjaga kehormatan dirinya, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nur: 33. Atau berpuasa sebagaimana disebutkan dalam hadits ini.
  • Hadits ini memberi isyarat tentang kewajiban memberi nafkah bagi suami terhadap keluarganya. Karena arah pembicaraan hadits ditujukan kepada pemuda laki-laki.
  • Hadits ini menjadi dalil dibolehkannya menyertakan niat lain dalam ibadah, jika niat tersebut juga bernilai ibadah. Sebab Rasulullah shallallahu memerintahkan orang yang belum memiliki bekal cukup untuk berkeluarga agar berpuasa, sementara berpuasa ibadah. Maksudnya adalah bahwa seseorang boleh berpuasa, selain dengan niat ibadah puasa, juga dengan niat agar semakin dapat mengendalikan syahwatnya. Kecuali kalau niat lain yang disertakan dalam ibadah adalah riya. Hal ini jelas tidak boleh dan dapat menggugurkan nilai ibadah itu sendiri. Adapun ibadah dengan niat lain yang mubah, seperti puasa dengan niat kesehatan, dapat dikiaskan dengan hadits ini dapat juga tidak. Wallahua’lam.
  • Hadits ini memberikan pelajaran agar mencari alternatif yang halal atas pemenuhan syahwat yang belum dapat disalurkan secara halal.   Belum mampu menikah, jangan sampai menggiring seseorang pada perbuatan yang haram, seperi pergaulan bebas, menonton film, atau melihat gambar-gambar yang merangsang dan lain-lain. Selain berpuasa, manfaatkan waktu-waktu yang ada dalam perkara-perkara positif, baik urusan dunia maupun akhirat.
  • Hadits ini juga menjadi penguat bagi para ulama yang mengharamkan masturbasi, disamping dalil lainnya. Karena jika hal tersebut dibolehkan, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan memerintahkannya sebagai alternatif untuk meringankan tuntutan syahwatnya. Disamping perbuatan tersebut menurut catatan medis juga berdampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mental. Wallahua’lam.

(AFS/Manhajuna.com)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir

5 Nama Lain Surat Al-Fatihah

Di antara hal yang menunjukkan besarnya kedudukan surat Al-Fatihah adalah banyaknya nama yang diberikan kepada surat ini. di antaranya adalah:

1#Fatihatul Kitab (Pembuka Al-Kitab/Al-Quran)

Dikatakan demikian, karena surat ini berdasarkan ketetapan wahyu [1] ditempatkan sebagai awal surat dalam penyusunan surat-surat dalam Al-Quran. Padahal dia bukan wahyu pertama yang Allah turunkan dalam Al-Quran. Dikatakan demikian pula karena surat Al-Fatihah dijadikan pembuka bacaan surat Al-Quran dalam shalat. [2]

Hal ini jelas menunjukkan keutamaan surat Al-Fatihah, karena tidaklah dia didahulukan dan diletakkan di awal mushaf, kecuali karena kedudukannya yang mulia. [3]

2#Ummul Qur’an atau Ummul Kitab (Induk Al-Quran)

Dikatakan demikian karena dalam surat ini terkandung seluruh pokok ajaran dan nilai yang terkandung dalam Al-Quran. Hal tersebut dapat dipahami dalam uraian tentang makna yang terkan-dung dalam surat Al-Fatihah berikut.

3#As-Sab’ul Matsani

Dikatakan (السَّبْع) yang berarti tujuh, karena surat Al-Fatihah adalah surat yang disepakati terdiri dari tujuh ayat. Dikatakan (المَثَانِي) karena surat Al-Fatihah adalah surat yang selalu dibaca berulang-ulang dalam setiap rakaat shalat. Maka Al-Fatihah dikatakan As-Sab’ul Matsani, karena surat ini terdiri dari tujuh ayat dan selalu dibaca berulang-ulang oleh setiap muslim, khususnya dalam shalat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

[سورة الحجر : 87]

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (QS. Al-Hijr: 87)

4#Ash-Shalat

Nama ini diambil dari hadits qudsi, Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Allah Azza Wa Jalla berfirman,

“Aku bagi ‘Ash-Shalah’ (Al-Fatihah) antara-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Jika dia membaca: Al-Hamdulillahirabbil ‘Alaamin, Allah berfirman: Hamba-Ku memuji-Ku, dan jika dia membaca: Ar-Rahmaanir-rahim, Allah berfirman: “Hamba-Ku menyanjung-Ku”, jika dia membaca: Maaliki yaumiddiin, Allah berkata : Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”, atau sekali waktu Dia berkata: “Hamba-Ku telah telah menyerahkan (urusannya) kepada-Ku”, jika dia membaca: Iyyaaka na’budu wa’iyyaa kanasta’iin”, Dia berkata: “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia mohon. Jika dia membaca: Ihdinashshiraatal mustaqiim, Shiraatallaziina An’amta ‘alaim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhdhaallin, Allah berkata: Ini untuk hamba-Ku dan bagi hambaKu apa yang Dia mohon.” [4]

Dalam hadits ini Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam menyebutkan surat Al-Fathihah dengan istilah Ash-Sholah. Tampaknya hal ini dikaitkan dengan kedudukan surat Al-Fatihah dalam shalat itu sendiri yang merupakan rukun terpenting dalam ibadah shalat, sehingga Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ »

[متفق عليه، صحيح البخاري، رقم 756، صحيح مسلم، رقم 394]

“Tidak shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” [5]

5#An-Nur (Cahaya)

Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhuma dia berkata, “Ketika malaikat Jibril duduk di sisi Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, dia mendengar suara berderak di atasnya, lalu dia mengangkat kepalanya, kemudian berkata, “Itu adalah pintu di langit yang sekarang baru dibuka dan tidak pernah dibuka kecuali hari ini, kemudian malaikat turun darinya,’ lalu dia berkata, “Itu adalah malaikat, dia turun ke bumi dan tidak turun kecuali hari ini.” lalu malaikat tersebut memberi salam, seraya berkata,

أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ أُوْتِيْتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيْمُ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلاَّ أُعْطِيْتَهُ

[صحيح مسلم، رقم 806]

“Terimalah khabar gembira dengan dua cahaya yang belum pernah di berikan kepada nabi sebelummu; Fatihatul Kitab (Al Fatihah) dan penutup surat al-Baqarah, tidaklah kamu baca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberikan (apa yang engkau minta).” [6]

Ada juga nama-nama lain yang disebutkan oleh para ulama tentang surat al-Fatihah, seperti: Asy-Syafiah atau Asy-Syifa (Penyembuh), Al Kafiah (Yang mencukupi), Al-Kanz (gudang kebaikan), Ar-Ruqyah (Jampi), dll. [7]

Catatan Kaki:

  1. Lihat: Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an, oleh Syaikh Manna’ al-Qhoththon, hal. 139. Beliau menguatkan pendapat –berdasarkan dalil-dalil yang ada- bahwa urutan surat yang sekarang terdapat dalam Al-Quran bersifat tauqifi; yaitu sesuatu yang memang sudah ditetapkan berdasarkan keputusan wahyu, dan bukan berdasarkan ijtihad para ulama.
  2. Tafsir Ibnu Katsir, 1/6.
  3. Durus Minal Qur’anil Karim, Dr. Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, hal. 36.
  4. Shahih Muslim, no. 395
  5. Muttafaq alaih, Shahih Bukhari, no. 756, Shahih Muslim, no. 394
  6. Shahih Muslim, no. 806
  7. Lihat al-Itqon Fi Uluumil Qur’an, as-Suyuti, 1/167-171.

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha

(Manhajuna/IAN)