Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 8)

Search Results for: abdullah haidir

Bagaimana Bersikap Saat Dilanda Kecewa

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

As’adallahu shobaahakum…semoga Allah bahagiakan Anda di pagi ini. Jangan tersandera oleh kekecewaan. Jadikan dia motivasi lakukan perbaikan…

Kekecewaan ibarat tikungan tajam bagi seorang pembalap. Di sana dia dapat terjungkal, atau justru menyalip lawan. Tergantung penyikapan…

Kekecewaan akan selalu menyapa. Sebagai isyarat, walau kita harus ikhtiar sekuat tenaga, tapi jangan menuntut segalanya harus sempurna…

Kecewa sering lahir dari espektasi dan pemujaan berlebihan. Selalulah bersikap wajar…..tapi jangan liberal…:)

Kecewa tak mungkin kita hindari. Tapi kita dapat hindari sikap dan ucapan tak terkendali.

Saat kita kecewa, banyak juga orang lain yang kecewa. Hanya saja, ada yang menatanya dengan tenang, ada yang melampiaskannya dengan berang.

Yang menyedihkan adalah kekecewaan berlebihan untuk hal-hal yang dia tidak tahu persis latar belakang masalahnya dan tidak terlibat langsung di dalamnya.

Sebagaimana kecewa, kemarahanpun sering menerpa. Jika memang harus terjadi, jangan mudah melampiaskannya. Ingat pesan nabi Muhammad salallahu ‘alayhi wa sallam,

مَنْ كَظَمَ غَيظاً، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللهُ سُبحَانَهُ وَتَعَالى عَلَى رُؤُوسِ الخَلائِقِ يَومَ القِيامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الحُورِ العِينِ مَا شَاءَ

“Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu melampiaskannya, Allah akan panggil dia di hadapan makhluk-makhluknya yang mulia di hari kiamat, lalu dipersilahkan untuknya memilih bidadari yang dia suka.”
(HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Jika ada saudara kita yang sedang marah dengan saudaranya, jangan ikut-ikutan marah. Jika mampu medamaikannya, bagus. Jika tidak, cukup doakan dan diam.

Sahabat akrab dari sahabat kita, layak kita akrabi. Sahabat yang sedang tidak akrab dengan sahabat kita, tidak mesti harus kita musuhi.

Jika begitu saja kita ikut memusuhi orang yang dimusuhi sahabat kita, boleh jadi di lain waktu mereka berbaikan sedangkan kita masih bermusuhan.

Jika Allah selamatkan kita dari sengketa yang terjadi di antara saudara-saudara kita, mestinya kita selamatkan sikap dan lidah kita dari sengketa tersebut.

Semoga hati kita selalu disatukan dalam cinta karena Allah, marah dan kecewa segera sirna berganti cinta, canda dan tawa…

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Manusia Berhati Burung

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

(يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفْئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفْئِدَةِ الطَّيْرِ (رواه مسلم

“Akan masuk surga, orang-orang yang hatinya seperti hati burung.” (HR. Muslim)

Di antara penjelasan ulama tentang ‘hati burung’ yang dimaksud dalam hadits di atas adalah hati yang sangat halus dan lembut serta penuh kasih sayang, jauh dari sifat keras dan zalim.

Hati, adalah keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia. Hati pula yang sangat menentukan baik buruknya nilai diri kita, sebagaimana telah dinyatakan dalam sebuah hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam.

Di antara perkara yang sangat penting untuk kita pelihara dari hati adalah kelembutan dan kepekaannya terhadap perkara yang terjadi di sekeliling kita. Di sini kita tidak berbicara tentang kaedah hukum, hak dan kewajiban, dalil dan argumentasi, atau apalah namanya. Kita berbicara tentang perasaan yang secara fitrah dimiliki semua orang. Namun dalam batasan tertentu, dapat bereaksi lebih cepat dan efektif, ketimbang faktor lainnya.

Kelembutan hati dan rasa kasih sayang seorang ibu membuatnya tidak akan dapat tidur nyenyak meski kantuk berat menggelayuti matanya, manakala dia mendengar rengekan bayinya di malam buta, maka dia bangun dan memeriksa kebutuhan sang bayi. Boleh jadi ketika itu dia tidak berpikir tentang keutamaan atau janji pahala orang tua yang mengasihi anaknya. Umar bin Khattab yang dikenal berkepribadian tegas, ternyata hatinya begitu lembut ketika melihat seorang nenek memasak batu hanya untuk menenangkan rengekan tangis cucunya yang lapar sementara tidak ada lagi makanan yang dapat dimasaknya, maka tanpa mengindahkan posisinya sebagai kepala Negara, dia mendatangi baitul mal kaum muslimin dan memanggul sendiri bahan makanan yang akan diberikannya kepada sang nenek. Boleh jadi ketersentuhan hati Umar kala itu mendahului kesadaran akan besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di hadapan Allah Ta’ala. Demikianlah besarnya potensi kelembutan hati menggerakkan seseorang.

Kelembutan hati semakin dibutuhkan bagi mereka yang Allah berikan posisi lebih tinggi di dunia ini. Seperti suami kepada isteri dan anaknya, pemimpin atau pejabat kepada rakyatnya atau orang kaya terhadap orang miskin. Sebab, betapa indahnya jika kelembutan hati berpadu dengan kewenangan dan kemampuan yang dimiliki. Karena memiliki kewenangan dan kemampuan, suami berhati lembut –misalnya- akan sangat mudah mengekspresikannya kepada isteri dan anaknya, bukan hanya terkait dengan kebutuhan materi, tetapi juga bagaimana agar suasana kejiwaan mereka tenang dan bahagia, tidak tersakiti, apalagi terhinakan. Begitu pula halnya bagi pemimpin, pejabat atau orang kaya.

Akan tetapi, jika kelembutan itu telah sirna berganti dengan hati yang beku, sungguh yang terjadi adalah pemandangan yang sangat miris dan sulit diterima akal. Bagaimana dapat seorang suami menelantarkan atau menyakiti isteri dan anaknya padahal mereka adalah belahan dan buah hatinya, bagaimana pula ada pemimpin atau pejabat yang berlomba-lomba mereguk kesenangan dan kemewahan dunia di atas penderitaan rakyatnya, padahal mereka dipilih rakyatnya, lalu bagaimana si kaya bisa tega mempertontonkan kekayaannya di hadapan si miskin yang papa tanpa sedikitpun keinginan berbagi, padahal tidak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin. Sungguh mengerikan!

Di zaman ketika materi dan tampilan lahiriah semakin dipuja-puja, sungguh kita semakin banyak membutuhkan manusia berhati burung!

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Larangan Bid’ah Dalam Agama

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ؛ أُمِّ عَبْدِ اللهِ؛ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ الله ﷺ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

رواه البخاري ومسلم، وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Kosa kata

أحدث   : Mengada-ada   ردٌّ   : Tertolak

Terjemah hadits

Dari Ummul Mukminin; Ummu Abdillah; Aisyah radhial-lahuanha dia berkata, “Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

“Siapa yang mengada-ada dalam perkara (agama dan syariat) kami ini yang tidak bersumber darinya, maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) [1]

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

“Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalannya tertolak.”

Kedudukan Hadits

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam Islam, karena secara jelas menolak semua bentuk bid’ah….. Hadits ini layak dipelihara dan digunakan untuk memerangi kemungkaran serta hendaknya sering dijadikan sebagai rujukan.” [2]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan pokok Islam yang sangat agung, karena jika hadits ‘Innamal A’maalu binniyyaat (amal perbuatan tergantung niatnya)’ merupakan standar amal dalam aspek batin, maka hadits ini merupakan standar amal dalam aspek zahir.” [3]

Pemahaman Hadits

Kata رد dalam hadits ini sama artinya dengan kata مردود (tertolak), maksudnya perbuatan tersebut batil dan tidak dianggap.

Riwayat kedua hadits ini من عمل… (Siapa yang melakukan…) dapat berfungsi menutup seluruh celah perbuatan bid’ah. Sebab jika berdasarkan hadits pertama… من أحدث, (Siapa yang mengada-ada…) akan ada yang beralasan bahwa saya tidak mengada-ada, saya hanya ikut perbuatan yang telah dilakukan orang sebelum saya, maka riwayat kedua dapat dijadikan sebagai jawabannya, “Siapa yang melakukan suatu perbuatan…”

Maksudnya, bahwa perbuatan bid’ah, baik pelakunya yang menciptakannya atau orang lain yang lebih dahulu melakukannya, tetap tidak boleh dilakukan.” [4]

Pelajaran yang Terkandung dalam Hadits

  • Setiap perbuatan ibadah yang tidak bersandar pada dalil syar’i tidak akan diterima, meskipun dilakukan dengan ikhlas ataupun hati merasa cocok melakukannya.
  • Larangan berbuat bid’ah adalah bersumber dari syari’at.
  • Hadits ini merupakan dalil bahwa ibadah harus memenuhi syarat ittiba’ (sesuai dengan petunjuk syariat) selain ikhlas yang ditunjukkan oleh hadits pertama dalam kitab ini.
  • Isyarat untuk tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan dalam agama) dan Ibtida’ (mengada-adakan sesuatu tanpa dalil).
  • Agama Islam adalah agama yang sempurna tidak ada kurangnya. Melakukan bid’ah secara tidak langsung menuduh bahwa ajaran Islam masih memiliki kekurangan sehingga perlu ditambah.
  • Hadits ini secara tersirat mendorong setiap muslim untuk selalu berupaya memahami ajaran agamanya, agar dia mengetahui landasan syariat atas setiap ibadah yang dia lakukan dan dapat membedakan antara ibadah dan bid’ah.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran yang Terkait

– Kesempurnaan Islam : Al-Ma’idah (5): 3, Al-Baqarah (2): 208
– Larangan bid’ah : Al-Hadid (57): 27, Al-Isra’ (17): 36
– Mempelajari Agama : An-Nahl (16): 43, ‘Abasa (80): 1-10

Catatan Kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Ash-Shulhu, no. 2697, Shahih Muslim, kitab Al-Uqdhiyah, no. 1718
  2. Syarh Muslim, 12/16
  3. Jami al-Ulum wal Hikam, hal. 107
  4. Syarah Muslim, 12/16

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Gagasan

Manhajuna.com – Alkisah, Colombus pusing tujuh keliling karena prestasinya menemukan benua Amerika banyak yang mencibirnya. Mereka katakan bahwa menemukan sebuah pulau asing bagi seorang pelaut dan pengembara adalah perkara biasa, termasuk benua Amerika. Sangat tidak mustahil sebelum Colombus telah ada yang menemukannya. Cuma bedanya, setelah menemukannya Colombus langsung memberinya nama dan mengumumkannya, sehingga dikenallah dia sampai sekarang sebagai penemunya. Begitu kurang lebih alasan orang-orang yang mencibirnya.

Colombus segera mengundang mereka. Setelah berkumpul Colombus membawa satu buah telur, lalu dia katakan: “Saya tantang, siapa yang dapat meletakkan telur ini berdiri tegak?”, semuanya kebingungan dan segera menyerah dengan tantangan tersebut. Maka Colombus segera memecahkan ujung telur tersebut, lalu dia letakkan dengan posisi berdiri tegak. Para hadirin pun segera berkomentar: “Oh… kalau begitu caranya sih saya bisa”, Colombus pun segera menjawab: “Yaa … itulah, kalian akan selalu berkata begitu, tetapi sebelumnya kalian tidak punya gagasan itu sama sekali.”

Kisah diatas –meskipun cuma ilustrasi- menggambarkan kepada kita betapa mahalnya sebuah gagasan segar meskipun terlihat sederhana, namun dapat memberikan hasil yang sangat luar biasa.

Perusahaan-perusahaan besar selalu mencari ide-ide baru untuk memasarkan produk mereka, baik dari kualitas produk, maupun dari promosinya. Bahkan ide-ide tersebut satu sama lain saling berkesinambungan. Lihatlah produk mobil toyota antara tahun 70-an dengan model 2000, sangat jauh berbeda, tetapi dibalik itu terbentang ide-ide yang terus mengalir dari para disainernya.

Da’wah Islam, sebetulnya sangat membutuhkan ide-ide segar agar tetap eksis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Setiap muslim hendaknya berfikir apa yang dapat bermanfaat bagi masyarakat dan apa yang dapat dimanfaatkan dari mereka (tentu saja dalam konotasi positif).

Sesungguhnya masih sangat banyak peluang yang terbentang di tengah masyarakat, yang jika kita manfaatkan akan sangat berarti bagi perjalanan da’wah itu sendiri. Masalahnya siapa yang mampu menangkap peluang tersebut lalu menerjemahkannya dengan sederhana sehingga mudah direalisasikan. Dan itu tidak harus dilakukan oleh seorang pakar dengan predikat akademis sekelas doktor misalnya. Tapi yang dibutuhkan adalah orang yang ulet bekerja dan terus belajar mengamati setiap gerak langkahnya dan capaian-capaian lebih baik yang ingini dia raih kedepan.

Siapapun yang memiliki kepedulian mendalam terhadap masa depan da’wah, akan dapat memberikan ide-ide segar yang layak dipertimbangkan. Insya Allah.

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Makna Hidayah dan Berdoa Memohon Hidayah

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى

Ya Allah, aku mohon; Hidayah, takwa, kesucian diri dan kecukupan

Dalam hadits riwayat muslim sebelumnya, Nabi saw memohon 4 perkara; Hidayah, takwa, kesucian diri dan kecukupan. Hidayah, sebagaimana dikatakan para ulama ada dua bentuk;

  • Pertama berarti petunjuk,
  • Kedua berarti tunduk dan taat mengikuti petunjuk tersebut.

Hidayah dalam arti petunjuk artinya kita diberi pemahaman yang benar dan lurus, tidak bengkok dan menyimpang, terkait ajaran Allah. Sehingga kita tahu, mana yang Allah perintahkan, mana yang dilarang. Mana yang Allah cintai, mana yang dibenci. Ini hidayah dalam arti pemahaman agama. Karena itu, memohon hidayah semestinya berbanding lurus dengan upaya kita yang tak kenal henti untuk terus belajar memahami ajaran Islam. Jika setiap hari kita meminta hidayah kepada Allah, melalui surat Al-Fatihah, mestinya itu berbanding lurus dengan semangat kita memahami Islam.

Hidayah yang kedua, adalah hidayah dalam bentuk ketundukan dan ketaatan kita kepada petunjuk Allah yang telah kita ketahui. Biasanya disebut taufiq. Kalau sering ditanyakan, apa perbedaan antara hidayah dan taufiq, maka makna hidayah disini bermakna pemahaman atas petunjuk Allah, Sedangkan taufiq adalah kesiapan diri untuk mengikuti dan mena’ati ajaran-ajaran dan petunjuk-Nya. Tahu wajibnya shalat, menutup aurat, haramnya homoseksual, riba, itu hidayah dalam arti pemahaman. Apakah dia taati semua itu? Itulah taufiq.

Maka ketika kita memohon hidayah kepada Allah, artinya kita memohon diberikan pemahaman yang benar terhadap agama, dan juga kekuatan dan kemauan untuk mentaatinya. Sebagaimana doa Umar bin Khattab;

اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

Allahumma arinal haqqa haqqaa warzuqnattibaa’ah, wa arinal baathila baathilaa warzuqnajtinaabah.

Ya Allah, perlihatkan kepada kami yang haq itu haq dan kuatkan kami untuk selalu mengikutinya. Tunjukkan kepada kami yang batil itu batil dan kuatkan kami untuk selalu menjauhinya.

Hidayah taufiq ini sangat mahal. Inilah penentunya. Tidak cukup seseorang bangga mempunyai ilmu yang melimpah tentang Islam, masalahnya dia mendapat taufiq tidak…? Jika apa yang dia ketahui tidak berbuah ketaatan dan ketundukan, tapi justeru pembangkangan, bahkan mempengaruhi orang dengan dalihnya, itu musibah!

Sekedar bangga mampu membaca kitab kuning, alumni pesantren ini itu, anggota ini itu, semua itu tak ada gunanya jika tidak tunduk pada syari’at Allah. Jangankan mereka, Iblis yang sudah tinggal di surga, hidup bersama malaikat mulia, dan menyaksikan secara langsung kebesaran Allah, tetapi ketika ingkar, langsung Ditendang dari surga!

Maka, memohon hidayah kepada Allah artinya adalah, memohon diberikan pemamahan yang benar terhadap syariat-Nya, dan juga memohon dikuatkan untuk mentaati-Nya.

Dari sini kita dapat membedakan dua ayat yang sepintas bertentangan. Dalam surat Asy-Syura: 52

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya engkau (maksudnya Rasulullah) sungguh memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Dengan ayat dlm surat Al-Qashash: 56

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء

Dalam ayat ini Allah menyatakan, “Engkau (maksudnya Rasulullah) sungguh tidak dapat memberi hidayah sekalipun kepada orang yang engkau cintai….”

Ayat yang pertama, maksudnya adalah bahwa Rasulullah saw tugasnya menyampaikan ajaran Allah dan menjelaskan syari’at-Nya. Ayat kedua menjelaskan bahwa masalah seseorang menerima atau tunduk kepada yang Rasulullah saw sampaikan, itu bukan wewenangnya, tetapi wewenang Allah Ta’ala. Wallahu a’lam.

(Manhajuna/GAA)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Sabar; Bahan Bakar Dakwah Yang Tidak Boleh Berkurang

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Bahan bakar yang tidak boleh berkurang di jalan dakwah, apalagi di saat-saat berat adalah sabar. Sebab, berdakwah artinya kita akan berhadapan dengan berbagai macam  goncangan dan badai yang menghadang. Meskipun dakwah mengusung ajaran Islam rahmatan lil aalamiin, justeru demi hal tersebut, ada pohon kebatilan yang harus tumbang, kekuatan zalim yang harus hilang dan pengusung kesesatan yang harus hengkang.

Maka, pastinya dia akan menghadapi perlawanan, karena tidak semua orang dapat menerima rahmat sebagai rahmat, justeru menganggapnya sebagai bahaya dan ancaman  berat. Tak heran, jika kemudian mereka melancarkan  ejekan, tekanan, hingga unjuk kekuatan. Ini memang tabiat dakwah yang tak pernah berubah, sejak dahulu hingga sekarang, sejak Nabi pertama hingga rasul akhir zaman. Maka bersabar adalah bekal penting yang harus dimiliki di jalan ini agar gerbong dakwah terus melaju, berjalan menyusuri lorong kehidupan,  menembus badai tantangan. Sabar tidak boleh kekurangan, apalagi kehabisan.

Suatu saat Rasulullah saw mendapatkan pengaduan yang tidak mengenakkan tentang prasangka buruk yang dialamatkan kepada dirinya. Seketika itu dia ingat dengan kesabaran Nabi Musa alaihissalam  yang menghadapi kedegilan kaumnya, maka beliau bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ مُوسَى قَدْ أُوذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ

“Semoga Allah merahmati Musa, dia telah disakiti lebih dari ini, namun dia bersabar,” (Muttafaq alaih)

Jika Nabi yang begitu mulianya, sempurna kepribadiannya, lembut perangainya  masih menghadapi cemoohan, berbagai prasangka hingga tindak kekerasan, apalagi kita sebagai umatnya?!  Boleh jadi kita harus mengevaluasi hal-hal yang harus diperbaiki. Tapi jangan sekali-kali mengira bahwa semua itu membuat jalan dakwah ini lurus dan lempang tanpa onak duri menghadang.

Sabar di sini tentu bukan bersifat pasif, juga bukan menganut prinsip gereja ‘Apabila pipi kananmu ditampar, maka berikan pipi kirimu’.  Tapi yang dituntut adalah sabar  yang mendatangkan keteguhan, tidak mudah goyah dan lemah oleh tekanan, tegar menjawab berbagai tuduhan, baik dengan lisan atau perbuatan, terus bekerja dan tidak pernah surut mengayuh langkah di jalan perjuangan. Sementara di sisi lain, emosi tetap terjaga dan tidak hilang kendali diri.

Inilah gambaran kesabaran yang Allah simpulkan dari pribadi para Nabi dan pengikutnya,

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (سورة آل عمران: 146)

“Berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)

Ketahuilah, tidak ada yang paling menyenangkan musuh-musuh dakwah, kecuali mereka melihat para dai menjadi lesu dan tidak berani lagi mengusung dakwah akibat benturan yang mereka hadapi.  Atau, mereka berharap aktifis dakwah menjadi kalap, emosi liar dan melakukan tindakan merusak tak terkendali sehingga menjadi amunisi berharga bagi mereka untuk membangun opini memojokkan  dakwah.

Sebaliknya, tidak ada yang paling membuat musuh-musuh dakwah merana dan nestapa, kecuali para pengusung dakwah tetap tegar meniti  jalan dakwah walaupun berbagai ujian berat menerpa, serta tetap dapat mengendalikan emosi dan tidak terseret pada tindakan di luar kendali.

Maka, langkah pertama menghadapi guncangan  di jalan dakwah adalah bersabar, berikutnya, bersabar dan seterusnya, bersabar. Apapun yang terjadi di jalan dakwah ini, jika sabar selalu menyertai, sesungguhnya kemenangan sudah kita bukukan dan kemenangan-kemenangan berikutnya kian mendekati kenyataan.  Insya Allah.
Riyadh, Dzulqaidah, 1434 H

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Tentang Pemimpin Kafir Yang Adil (Penutup)

Kultwit oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

1. Bismillah… Saya akan tanggapi lagi twit sahal.. ini adalah tanggapan saya yang terakhir untuk tema ini….
2. Sudah saya jelaskan awal mula diskusi ini, @Sahal_AS
3. “Pemimpin kafir yang adil lebih utama dari pemimpin muslim yang zalim” kata @Sahal_AS ucapan ini  juga dikutip oleh Al-Ghazali.
4. Bahkan kemudian dia bilang itu sebenarnya hadits, bukan perkataan Ali.
5. Ternyata yang dia hadirkan adalah ungkapan yang dia interpretasikan sama maknanya dengan ungkapn Ali Athusi di atas. Bukan kutipan yang sama.
6. Saya sudah nyatakan fatwa Ath-Thusi dengan apa yang dikutip Al-Ghazali berbeda. Bahkan dari latar belakang sejarahnya juga berbeda.
7. Al-Ghazali ingin menasehati penguasa muslim, Ath-Thusi yang syiah ini ingin beri legitimasi kepada penguasa kafir di tengah masyarkat muslim.
8. Saya sudah jelaskan makna dari ucapan Al-Ghazali pada twit sebelumnya, saya kira sangat jelas.
9. Bahwa dalam perkara-perkara kauni, yang jelas sebab akibatnya secara alamiah dan ilmiah, Allah akan berlakukan sesuai sebabnya….
10. Saya kasih contoh lagi, orang sakit, kalau ingin sembuh ya berobat. Yang berobat, secara sebab akibat, akan sembuh apapun agamanya.
11. Yang beriman, tidak dapat mengandalkan kesembuhan semata dengan keimanannya tanpa mencari sebab, lalu Allah sembuhkan. Dia harus lakukan sebabnya
12. Begitu pula kekuasaan, sebab kelanggengannya adalah adil. Walupun penguasanya muslim, kalau zalim, maka kekuasaannya akan jatuh.
13. Walapun penguasanya kafir, kalau adil, maka kekuasannya akan dapat bertahan dan langgeng…
14. Lalu dimana problem ucapan @sahal_AS? dia menggiring opini bahwa dalam masalah kepemimpinan, iman tidak prinsip, yang prinsip adalah keadilan.
15. Padahal para ulama nyatakan, bahwa keimanan adalah syarat utama bagi seorang pemimpin. Termasuk fatwa PBNU yang banyak di share itu..
16. Masalah keadilan pemimpin bagaimana? ya harus juga. Jangan dibilang kalau kita utamakan iman pada pemimpin, lalu kita tidak peduli keadilan
17. Justru pada tataran inilah Al-Ghazali banyak menguraikan masalah keadilan dalam kitab tersebut yang sebelumnya dibahas masalah-masalah keimanan…
18. Sebenarnya wajar saja kalau @sahal_AS  menjelaskan masalah urgensi sifat adil bagi seorang pemimpin, lalu mengutip pendapat Al-Ghazali.
19. Jangankan dari Al-Ghazali, dari orang kafir pun tidak dilarang mengutip ucapannya, jika mendukung makna yang benar.
19. Kalau @sahal_AS boleh anti wahabi, mengapa saya tidak boleh anti syiah?
20. Jadi, masalahnya, @sahal mengutip ucapan Al-Ghazali dengan membelokkan maknanya bahwa iman itu bukan prinsip bagi pemimpin, yang prinsip itu adil
21. Begitu juga dengan kutipan dia terhadap Ibnu Taimiah, benar itu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. cuma @Sahal_AS ngaco dalam menarik kesimpulan
22. Ucapan ibnu Taimiah mengutip riwayat, “Allah menolong negri yang adil walaupun kafir, dan tidak menolong negri yang zalim walaupun beriman”
23. Perkataan Ibnu Taimiah ini substansinya sama dengan riwayat yang dikutip oleh Al-Ghazali, yaitu masalah sebab akibat secara kauni.


24. Tapi oleh @sahaL_AS ucapan Ibnu Taimiah lanhsung di closing “Tolak ukur kepemimpinan itu keadilan, bukan iman!
25. Tampak sekali, bukan? bagaimana dia penuh semangat ingin menafikan iman sebagai syarat utama kepemimpinan.
26. Hebohnya, status itu dia buat ketika isu pilkada DKI mulai rame, khususnya tentang kepemimpinan non-muslim di tengah masyarakat muslim.
27. Jadi sangat ketebak kemana arahnya. Dan tampak sekali bahwa beliau memang pendukung Ahok yang kafir itu.
28. Mengapa selalu ungkapan itu saja yang diangkat, seakan tidak ada alternatif lain.
29. Kenapa misalnya tidak dinyatakan, kalau ada calon pemimpin muslim yang kredibel, mengapa pilih pemimpin kafir?
30. Atau yang netral… jika ada calon pemimpin sama-sama kredibel, adil. Yang satu muslim, yang satu kafir, mana yang lebih baik dan mana yang anda pilih?
31. Ini tidak, kaum muslimin digiring pada satu kesimpulan, kalau pemimpin muslim itu korup, jika kafir itu adil. Bah, macam mana pula kau!
32. Mengapa saya katakan @sahal diskriminatif terhadap pandangan-pandangan para ulama, karena dia selalu comot-comot hanya yang sesuai dengan seleranya. Tidak utuh!
32. Terhadap Ibnu Taimiah saja, kalau dia ambil utuh pemikiran beliau , tidak mungkin @SahaL_AS berkesimpulan itu.
33. Ibnu Taimiah dikenal sangat keras, mengucapkan selamat natal saja, beliau berfatwa haram. Yang oleh Sahal sering diojok-ojok sebagai intoleran..
34. Kalau mau tahu konsep kepemimpinan menurut Ibnu Taimiah, lihat kitabnya As-Siyasah Asy-Syar’iah fi Ishlahi ar-ra’i wa ar-ra’iyyah.
35. Di dalamnya dijelaskan bahwa tujuan kekuasaan yang wajib adalah memperbaiki agama masyarakat,
36. Yang apabila perkara agama ini hilang, mereka nyata-nyata merugi, tak berguna bagi mereka berbagai kenikmatan di dunia…
37. Jika demikian pandangan singkat beliau tentang kepemimpinan, mungkinkah beliau menyimpulkan seperti yang disimpulkan sahal terhadap kata-katanya? mustahil!
38. Begitupun dalam diskusi tentang “fastabiqul khairat” Bukan masalah dia mengutip pendapat Rasyid Ridha.
39. Yang masalah kutipannya terhadap pendapat Rasyid Ridha digiring kepada makna yang menyimpang? Belum lagi pemaknaan-pemaknaan yang tidak tepat..
40. Lebih jelasnya lihat tanggapan saya di link ini.. yang membenahi cara pandangnya…  Tanggapan Ustad Abdullah haidir terhadap Ahmad sahal
41. Bahkan terhadap kitab Al-Ghazali tersebut, kutipan-kutipan sahal tentang keadilan juga masih pilih-pilih… yang mengandung nilai keimanan tidak disebut.
42. Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menyebutkan 10  prinsip keadilan. Yang menarik, ada pada prinsip kedua, kesembilan dan kesepuluh.
43. Saya tantang Sahal untuk menjelaskannya kalau dia benar-benar setuju dengan prinsip-prinsip keadilan yang disebutkan Al-Ghazali tersebut.
44. Prinsip kedua menyatakan, bahwa pemimpin yang adil adalah pemimpin yang selalu rindu berjumpa dengan para ulama,
45. Maksudnya suka mendengar nasehat-nasehatnya. Sembari Al-Ghaazali peringatkan, agar penguasa berhati-hati dari ulama suu’ (ulama bobrok).
46. Prinsip ini kalau bukan karena melihat masalah keimanan sangat mendasar bagi keadilan, tidak akan dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam prinsip keadilan
47. Prinsip kesembilan; pemimpin yang adil adalah pemimpin yang berusaha meraih ridha rakyatnya dengan bertugas sesuai ketentuan syariat.
48. Prinsip kesepuluh, pemimpin yang adil adalah pemimpin yang tidak mencari ridha/simpati rakyatnya dengan menentang atau menyelisihi syariat
49. Itu semua disebutkan Al-Ghazali ketika jelaskan prinsip-prinsip keadilan tersebut. Tampak sekali nilai-nilai keimanan. Mengapa sahal tidak sebutkan?
50. Poin-poin ini tidak akan dia kutip, tidak sesuai selera. Kata pak Tif, kalau kopiah tidak cocok dengan kepala, diganti kopiahnya, jangan kepalnya.
51. Sekali lagi, ini bukan berarti kita abai masalah keadilan, itu masalah prinsip. Tapi masalahnya ada orang yang ingin menjadikan tema ini sebagai
52. sebagai batu loncatan menyampaikan pemikrannya yang menyimpang, yaitu menafikan faktor keimanan sebagai syarat  kepemimpinan
53. Pemahaman sesat, disampaikan dengan cover nilai-nilai kebaikan. Racun dikemas dengan gambar madu. Inilah yang dikatakan Ali bin Abi Thalib; ….
54. “Kalimatu haqqin uriidabihil baathil.” Kalimat yang haq tapi digunakan untuk kepentingan kebatilan.
55. Seperti jargonnya Syiah, cinta Ahlulbait, sangat bagus. Tapi dengan jargon itu mrk ingin tebar racun kebencian terhadap sahabat serta kesesatan lainnya
56. Kasus seperti ini banyak pada zaman sekarang, tawarkan kerusakan tapi tampil seakan-akan membawa perbaikan.
57. Ini dikatakan oleh dalam surat Al-Baqarah: 11. “Jika dikatan kepada mereka jangan berbuat kerusakan, mereka katakana, kami ingin lakukan perbaikan”
58. Sahal juga mengatakan saya mempertanyakan kredibilitas Al-Ghazali. Tampaknya beliau ingin memanfaatkan sentimen masyarkat
59. Masyarakat sangat menghormati Al-Ghazali lalu saya dikesankan seolah-olah mengecilkan Al-Ghazali.
60. Saya hanya katakan, Al-Ghazali dikritik ulama karena sering tidak selektif dalam menyampaikan hadits, sering menyampaikan hadits yang tidak shahih
61. Soal ini terdapat dalam kitab Siyar A’lam Nubala, Az-Zahabi. Namun beliau katakan, Al-Ghazali banyak keutamaannya, namun dia tidak maksum.
62. Jadi pernyataan saya tersebut bukan mempertanyakan kredibilitas Al-Ghazali. Karena nyatanya hadits-hadist tersebut tidak didapatkan dalam kitab-kitab hadits mu’tabar
63. Kalau sahal ingin membela Al-Ghazali dalam masalah ini, semestinya dia buktikan bahwa hadits yang dikutip Al-Ghazali itu shahih… secara ilmiah
64. @sahaL_AS kan tahu ilmu hadits, kemarin dia fasih sekali jelaskan bagaimana hadits itu dianggap shahih. Sekarang praktekkanlah ilmu itu.
65. Dalam kajian Islam, biasa saja ulama dikritik asal ada argumennya, yang penting tidak menghina.
66. Kok @sahaL_AS jadi mellow begitu ketika saya  bilang Al-Ghazali banyak dikritik soal periwayatan hadits? bukan karena pengaruh LGBT kan? 🙂
67. Sahal juga memancing sentimen masyarakat dengan mengatakan pemikiran saya seperti wahabi yang mau menang sendiri dan mudah menuduh orang…
68. Kok bawa-bawa wahabi sih? Jadi inget, dulu sahal pernah bilang wahabi lah yang mengharamkan patung.
69. Lalu saya balas, Ibnu Hajar yang sangat dihormati NU juga mengharamkan patung, bahkan dia bilang ijmak. Apakah dia wahabi?
70. Lalu dia cari alasan ini itu untuk mencari pembenaran atas kata-katanya itu. Modus. Awam lebih mudah dipantik sentimennya kalau bawa-bawa wahabi;)
71. Toleransi dalam berpendapat itu bagus, saya setuju. Tapi kalau sudah menyimpang  dalam masalah prinsip, harus ditolak. Jangan iya iya saja..
72. Islam memang ajarkan begitu, ada yang diimani ada yang diingkari, ada yang dicintai, ada yang dibenci, ada yang diikuti, ada yang ditolak.
72. Kalau itu disebut intoleran, sebutlah begitu, tidak apa-apa.
73. Ketimbang orang yang sok-sok-an toleran dan bebas, dll., tapi masih pake ‘anti’ juga… anti wahabi.
74. Sok ramah, damai, tapi kok gampang keluar kata2 ‘Pekok’, ‘goblok’, ‘katrok’, dll.
75. Persis kaya si anu, bilangnya tidak mau ngutang, eh ngutang mlulu, tidak mau maju, eh dia maju. Demi pencitraan, ucapan tak sesuai tindakan
76. Masalah syiah membenci sahabat, itu idiolgi mereka, justru dari sanalah idiologi mereka bermula.
77. Itu bukan soal ekstrim atau tidak ekstrim. Masalah ada yang terang-terangan atau diam-diam, itu hanya masalah situasi kondisi
78. Maksud saya, soal membenci sahabat nabi (selain yang mereka kecualikan), itu pemahaman merata di kalangan syiah.
79. Entah apakah sahal pura-pura tidak tahu dalam hal ini atau memang dia mudah dikelabui.
80. Khomaini yang sangat diagung-agungkan syiah, termasuk di Indonesia, misalnya menyatakan Aisyah dan beberapa sahabat lain lebih najis dari anjing
81. Itu saja twips… Sudah Ashar… Moga Allah selamatkan kita dari fitnah, yang tampak dan yang tersembunyi….

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Sumber Ungkapan “Pemimpin Kafir Yang Adil Lebih Baik Dari Pemimpin Muslim Yang Zalim”

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Akhir-akhir ini beredar ungkapan yang sangat disukai suatu ‘kaum’ demi memuluskan jalan bagi seorang kafir untuk memimpin negerinya. Mereka menyebar perkataan yang mereka klaim sebagai perkataan Ali ra, yaitu, “Pemimpin kafir yang adil lebih utama dari pemimpin muslim yang zalim.”

Siapa muslim yang tidak mengormati Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu?! Semua mencintai dan memuliakannya. Maka akan tampak sekali betapa kata-kata tersebut akan memberikan pengaruh kaum muslimin, terutama yang awam.

Tahukah anda, dibalik kata-kata itu ada racun syiah? Jangan marah dulu….:) sini saya jelaskan.

Ungkapan itu bukan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, tapi perkataan seorang tokoh ulama (baca: pendeta) syiah yang bernama Ali bin Musa bin Ja’far bin Thawus, dikenal dengan sebutan Sayyid Ibnu Thawus, Tokoh ulama Syiah asal Irak yang lahir tahun 589. Lengkapnya silakan lihat Wikipedia.

Baca juga: Tanggapan Kultwit Tentang Pemimpin Kafir

Pintarnya mereka (baca: liciknya) adalah ketika menyebut sumber ungkapan tersebut hanya menulis Ali ra saja, tidak menyebut nasabnya dengan lengkap, agar para pembaca mengira bahwa itu adalah ungkapan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, tentu tujuannya agar mudah diterima masyarakat.

Kapan kata-kata itu diucapkan?

Anda ingat sejarah kelam yang menimpa dunia Islam saat keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad?

Yap, itu terjadi pada tahun 656 H = 1258 M. Saat itu pasukan Tatar yang dipimpin panglima kafir dan bengis yang bernama Hulagu Khan, menyerbu Baghdad dan menaklukkannya.

Baghdad luluh lantak dan porak poranda, perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan kitab-kitab berharga mereka musnahkan, penduduknya mereka bantai, sehingga ada yang memperkirakan satu juta warga Baghdad terbunuh. Kelam sekali.

Nah, suatu kali, Hulagu Khan mengumpulkan para ulama Baghdad untuk meminta fatwa mereka (hebat, orang kafir minta fatwa), mana yang lebih utama, pemimpin kafir yang adil atau pemimpin muslim yang zalim? Para ulama saat itu diam tak berfatwa. Sangat boleh jadi karena kondisinya sangat dilematis, karena di hadapan mereka ada pemimpin kafir yang kejam sedang berkuasa dan dapat berbuat apa saja, sementara mereka yakin bahwa seorang kafir tidak boleh diangkat sebagai pemimpin. Namun akhirnya Ali bin Thawus ini berani mengeluarkan fatwanya dengan menyatakan bahwa pemimpin kafir yang adil lebih utama dari pemimpin muslim yang zalim.

Kisah ini tercatat dalam kitab-kitab karangan kaum Syiah sendiri, di antaranya; Al-Adab As-Sulthaniyah, karangan Ibnu Thaqthaqi.

Ini teks arabnya dari kitab tersebut:

لما فتح السلطان هولاكو بغداد في سنة ست وخمسين وستمائة أمر أن يستفتى العلماء أيهما أفضل: السلطان الكافر العادل أم السلطان المسلم الجائر ؟ ثم جمع العلماء بالمستنصرية لذلك ، فلما وقفوا على الفتيا أحجموا عن الجواب وكان رضيُّ الدين علي بن طاووس حاضراً هذا المجلس وكان مقدماً محترماً ، فلما رأى إحجامهم تناول الفتيا ووضع خطه فيها بتفضيل العادل الكافر على المسلم الجائر ، فوضع الناس خطوطهم بعده. -الآداب السلطانية لابن الطقطقي/-2

Jadi ucapan tersebut tidak bersumber dari Al-Quran, hadits, perkataan shahabat dan para ulama salaf dari kalangan Ahlussunah wal jamaah. Tapi dari mulut seorang syiah yang memang berkepentingan dengan ucapan tersebut saat itu. Mengapa? Karena mereka sedikit atau banyak termasuk yang berperan atas kejatuhan Khilafah Abbasiyah, tentu disamping faktor-faktor lain. Karena kelompok syiah terus merongrong penguasa Bani Abbasiyah.

Tercatat dalam sejarah ada perdana menteri pada masa akhir Khilafah Bani Abbasiyah yang bernama Ibnu Alqami yang secara diam-diam berkonspirasi dengan Hulagu Khan untuk menyerang Baghdad dan meruntuhkan kekhalifahan Bani Abbasiyah, dengan harapan setelah itu dia diserahkan kekuasaan atas Baghdad. Namun setelah pasukan Hulagu Khan menguasa Baghdad, kekuasaan itu tak diberikan kepadanya dan bahkan dia sendiri dibunuh. Kematian tragis seorang pengkhianat.

(Manhajuna/GAA)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Menyayangi Anak dengan Cara yang Sesungguhnya

Saudaraku Yang Dirahmati Allah….

Pernahkah anda lewat di sebuah pasar kemudian ada pedagang kaki lima penjual mainan anak menjajakan barang dagangannya seraya berteriak: “Sayang anak….. sayang anak”.

Istilah sayang anak adalah sesuatu yang sangat lekat di benak setiap orang tua –apalagi bagi seorang ibu-. Itu memang sudah fitrah dari Allah kepada setiap orang tua terhadap anaknya.

Bahkan karena sayang anak tersebutlah, banyak orang tua yang banting tulang siang malam, atau pergi jauh merantau meninggalkan kampung halaman, agar kehidupan anak-anaknya tercukupi.

Namun saudaraku  yang dirahmati Allah…. seringkali sayang anak hanya dipahami dari sisi materi. Orang tua merasa telah mewujudkan kasih sayangnya kepada anaknya, manakala dia telah memenuhi segala keinginan anaknya dari sisi materi, apalagi jika dia memiliki kemampuan untuk itu. Padahal tidak jarang, hal tersebut justru menjadi bumerang bagi masa depan anak.

Saudaraku yang dirahmati Allah.

Yang perlu kita pahami dengan baik adalah, bahwa sayang kita kepada anak kita adalah  berarti perhatian kita yang menyeluruh terhadap perkembangan anak kita, baik  fisiknya, imannya, akhlak-nya, pergaulannya, ibadahnya dan lain sebagainya yang dia perlukan untuk masa depannya.

Karena sayang anak, yang paling pertama adalah mesti kita perhatikan perkembangan imannya. Ajarkan dia untuk mengenal Allah dan jauhkan dia dari segala sesuatu yang dapat merusak keimanannya. Misalnya terhadap tayangan televisi yang bersifat khurafat, perdukunan dll.

Perhatikan pula ibadahnya, bagaimana shalatnya, bacaan al-Qurannya, dzikirnya. Kemudian perhatikan pula pergaulannya, siapa teman-temannya, kemana tempat bermainnya dll. Tentu semua itu dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan usia anak anda, tidak dengan kekerasan, tapi dengan kasih sayang.

Sayang anak tidak menghalangi kita untuk marah, jika memang pada tempatnya. Bahkan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam yang sangat sayang kepada umatnya (apalagi kepada anak kecil) mengajarkan kita untuk memukul sang anak jika pada usia sepuluh tahun belum juga melakukan shalat.

Namun di sisi lain, jangan tinggalkan belaian lembut anda, bahasa yang manis dan senyuman yang tersungging di bibir anda atau bahkan door prize (kejutan hadiah) yang membuat anak menjadi dekat kepada anda.

Dan jangan lupa, banyak-banyaklah berdoa untuk kebaikan mereka. Jangan sekali-kali berdoa untuk kecelakaan mereka, betapapun anda sangat marah terhadap mereka. Karena doa orang tua mujarab.

Jika anda jauh dari mereka, kasih sayang terhadap anak anda dapat diwujudkan lewat pesan-pesan yang anda tulis lewat surat-surat anda, atau lewat saluran telepon atau sms. Jangan pernah bosan untuk melakukannya, walau berulang-ulang. “Tidak mempan-nya” nasehat anda selama ini, bukan berarti tertutup habis pintu kebaikan baginya. Ulangi lagi terus nasehat-nasehat anda dengan pendekatan yang baik dan cara-cara yang bijak. In shaa Allah semua itu akan menjadi tabungan pahala anda dan pembuka pintu hati anak anda.

Selamat berusaha !!

Sumber: Buku Nasihat dari Hati ke Hati oleh Ustadz Abdullah Haidir, di muraja’ah olehUstadz Fir’adi Nashrudin, Lc. Penerbit Maktab Dakwah Sulay, Riyadh, Arab Saudi.

(Manhajuna/IAN)

HARTA = Kebaikan

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya manusia sangat bakhil karena kecintaannya terhadap hartanya.” (QS. Al-‘Aadiyaat: 8)

Ayat ini berbicara tentang sebuah kenyataan tentang tabiat manusia secara umum terkait dengan hartanya. Yaitu bahwa manusia sangat cinta terhadap hartanya.

Ada pula yang menafsirkan bahwa kecintaannya terhadap harta, mendorong manusia untuk bersifat bakhil, enggan mengeluarkannya di jalan Allah.

Yang menarik dari ayat tersebut adalah bahwa Allah menyebutkan harta dengan ungkapan (الخير) yang secara harfiah artinya ‘kebaikan’.

Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud ‘kebaikan’ dalam ayat di atas adalah harta.

Begitu pula kata yang sama untuk makna yang sama terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 180.

?Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan bahwa harta disebut dengan istilah ‘kebaikan’ berdasarkan urf (kebiasaan), maksudnya sudah dikenal di tengah bangsa Arab bahwa yang dimaksud (الخير) adalah harta, juga karena dengan harta akan dapat dilakukan berbagai kebaikan jika dikeluarkan di jalan Allah. (Tafsir Muyassar, Al-Jazairi)

Dari sini setidaknya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya harta secara langsung bukanlah ‘sumber keburukan’, meskipun kenyataannya banyak manusia yang tergelincir karenanya.

Maka, enggan mencari harta dengan alasan agar tidak tergelincir bukanlah jawaban yang tepat, bahkan bisa jadi itu menjadi sebab ketergelinciran dari pintu yang lain.

Karena, banyak juga keburukan yang terjadi akibat kekurangan harta.

Namun yang harus diluruskan adalah sikap kita terhadap harta, bahwa dia bukanlah tujuan dan sumber kebahagiaan itu sendiri, tapi sarana untuk mendapakan kemuliaan dalam kehidupan dan merelisasikan kebaikan untuk meraih kebahagiaan.

Dengan paradigma seperti ini seseorang akan semangat berusaha meraih harta dan menyalurkannya dengan cara yang halal.

Bahkan dalam surat Al-Araf ayat 32, Allah mengisyarat kan bahwa tujuan Dia menciptakan harta (perhiasan dunia) pada hakekatnya adalah untuk orang beriman.

Maka, ‘cinta harta’ atau ‘mengejar harta’ tidak dapat secara mutlak dikatakan buruk.

Sebab, selain cinta harta memang dasarnya adalah fitrah, diapun dapat menjadi pintu kebaikan yang banyak selama digunakan dengan benar.

?Imam Bukhari meriwayat kan dalam Al-Adabul Mufrad-nya, dari Amr bin Ash, dia berkata,

“Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menemuinya dengan membawa perlengkapan pakaian dan senjata. Maka aku datang menghadap beliau saat beliau sedang berwudhu, lalu dia memandangiku dari atas hingga bawah. kemudian berkata,
“Wahai Amr, aku ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan, semoga Allah memberimu ghanimah dan aku ingin engkau mendapatkan harta yang baik.”

Maka aku berkata, “Sungguh, aku masuk Islam bukan karena ingin harta. Tapi aku masuk Islam karena Islam dan aku dapat bersama

Rasulullah saw.” Maka Rasulullah saw bersabda,

يا عَمْرو ، نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ للمَرءِ الصَالِحِ

“Wahai Amr, sebaik-baik harta, adalah milik orang yang saleh.”

Ucapan Rasulullah saw ini setidaknya memberikan dua pesan kepada kita;
Semangat membina diri agar menjadi orang saleh dan
Semangat berusaha agar menjadi orang kaya…

Abdullah bin Mubarak suatu hari menjamu makan orang-orang miskin, lalu setelah itu dia berkata,

لَوْلاَكَ وَأَصْحَابَكَ مَا اتَّجَرْتُ

“Kalau bukan kalian dan orang-orang seperti kalian, saya tidak akan berdagang….”
(Siyar A’lam An-Nubala..)

(AFS/ Manhajuna)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air. Twitter: @abdullahhaidir1 | FB: /abdullahhaidir.haidir