Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 7)

Search Results for: abdullah haidir

Perlindungan Terhadap Muslim

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: « أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ      وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ،      فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ »     [رواه البخاري ومسلم]

Kosa Kata

أُمِرْ(تُ)

: (Aku) diperintahkan

أُقَاتِل

: (aku) Memerangi

دماء (دم)

: darah

عصمـ(وا)

: (mereka) terlindung

حسابـ(هم)

: Perhitungan (mrk)

أموال (مال)

: Harta

Terjemah Hadits

Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah  (Tuhan yang disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, (juga agar) mereka menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka darah dan harta  mereka akan dilindungi kecuali dengan ketentuan Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Catatan:

Hadits ini secara praktis dialami pada zaman Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Sejumlah rakyatnya ada yang kembali kafir. Maka Abu Bakar bertekad memerangi mereka termasuk di antaranya mereka yang menolak membayar zakat (meskipun tidak menyatakan kekafirannya). Maka Umar bin Khattab menegurnya seraya berkata: “Bagaimana kamu akan memerangi mereka yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah sedangkan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan….. (seperti hadits diatas)”. Maka berkatalah Abu Bakar: “Sesungguhnya zakat adalah haknya harta.”[2] Akhirnya Umar menerima dan ikut bersamanya memerangi mereka. [3]

Kedudukan Hadits

Hadits ini sangat penting sekali, termasuk dalam bagian prinsip-prinsip Islam, yaitu Syahadat dengan membenarkan sepenuh keyakinan bahwa tiada ilah selain Allah, Nabi Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat sesuai perintah dan menunaikan zakat kepada yang berhak. [4]

Pemahaman Hadits

Kalimat  أُمِرْتُ(aku diperintahkan) dalam bahasa Arab disebut mabni majhul (kalimat pasif). Karena yang mengatakan hal tersebut adalah Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam, maka maknanya adalah “Aku diperintahkan Allah….” karena tidak ada yang memerintahkan Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam kecuali Allah. [5]

Kalimat uqootila (memerangi) dalam hadits ini tidak selalu berarti membunuh, tetapi yang dimaksud adalah upaya sungguh-sungguh berjihad menghadapi musuh hingga tegaknya Kalimat Allah. Jadi maknanya lebih bersifat umum dibanding kalimat qatl (قتل) yang khusus memiliki arti membunuh.

Padanan hadits ini adalah hadits yang memerintahkan untuk mencegah seseorang yang ingin lewat di depannya saat dia shalat, maka Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam berpesan agar orang tersebut mencegahnya, jika dia  tetap ingin lewat juga, maka Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam ajarkan dengan sabdanya: “Qaatilhu,” [6]  maknanya di sini adalah cegahlah sekuat tenaga dia agar tidak lewat di arah kiblat kita. Karena tidak semua kalimat qitaal berarti membunuh. [7]

Dibolehkannya  ‘memerangi’ (مقاتلة) tidak berarti dibolehkannya membunuh (قتل). Karena istilah memerangi menuntut adanya dua pihak yang saling berperang, tidak demikian halnya dengan  membunuh. [8]

Illa bi haqqil-Islam, maksudnya adalah kecuali berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Artinya  bahwa terlindunginya darah dan harta seorang muslim tidak bersifat mutlak, karena dalam ajaran Islam terdapat ajaran dimana darah seorang muslim boleh ditumpahkan, misalnya dalam ketentuan qishah, atau harta seorang muslim boleh diambil, seperti jika dia tidak menunaikan zakat.

Wa hisaabuhum ‘alallah ta’ala, menunjukkan bahwa status yang diputuskan terhadap seseorang adalah berdasarkan perkara lahiriahnya, adapun perhitungannya diakhirat nanti ada pada Allah Ta’ala, jika apa yang mereka lakukan benar-benar berdasarkan keimanannya, dia akan dimasukkan ke dalam surga, sedangkan jika semua sikap lahiriahnya diingkari oleh hatinya, maka dia digolongkan sebagai kaum munafik yang tempatnya di dasar neraka (QS. An-Nisa: 145).[9]

Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits

  • Berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang senada, sekedar seseorang mengucapkan Syahadatain, maka dirinya dinyatakan muslim dan terlindungi.[10] Jika dia telah masuk Islam, kemudian menunaikan shalat dan zakat serta semua syariat Islam, maka dia memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang muslim. Namun, jika ada rukun-rukun Islam yang mereka abaikan, dan hal itu dilakukan secara masal dan terorganisir, maka mereka diperangi. [11]
  • Tidak diperbolehkan bertindak sewenang-wenang terhadap harta dan darah kaum muslimin.
  • Diperbolehkannya hukuman mati bagi setiap muslim jika dia melakukan perbuatan yang menuntut dijatuhkannya hukuman seperti itu seperti: Berzina bagi orang yang sudah menikah (muhshan), membunuh orang lain dengan sengaja dan meninggalkan agamanya dan jamaahnya .
  • Hadits ini menunjukkan bahwa iman membutuhkan amal. Hal ini sekaligus sebagai jawaban bagi kalangan murji’ah yang berpendapat bahwa iman tidak membutuhkan amal perbuatan.
  • Di dalamnya terdapat dalil bahwa perbuatan diperhitungkan dan dihukumi dalam kehidupan manusia berdasarkan perkara yang zhahir, sementara yang tersembunyi dilimpahkan kepada Allah.
  • Anjuran untuk mendakwahkan agama Allah dengan sekuat tenaga dan kepada segenap lapisan. Adapun mereka menolak atau menerima, hanya Allah yang menentukan.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran yang Terkait

–  Aqidah dan syariat harus ditegakkan : Asy-Syu’ara (42): 13,
–  Perlindungan terhadap nyawa dan harta : Al-Baqarah (2): 188, An-Nisa (4): 93
–  Besarnya kedudukan shalat dan zakat : Al-Baqarah (2): 43, 73, 110, Maryam (19): 59, At-Taubah (9): 34
–  Tugas menyampaikan : Al-Ghasyiyah (88): 21-26, Al-Ma’idah (5): 99

Catatan Kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-Iman, no. 25. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, no. 22, tanpa tambahan redaksi: “Illaa bihaqqil-Islam.”
  2. Maksudnya adalah bahwa mereka yang tidak membayar zakat berhak diperangi berdasarkan hak (ajaran) Islam seperti yang disinggung dalam hadits.
  3. Muttafaq alaih, Bukhari, no. 7284, dan Muslim, no. 20
  4. Al-Wafie, hal. 47
  5. Fathul Bari, 1/76
  6. Muttafaq alaih, Bukhari, no. 509 dan Muslim, no. 1128
  7. Fathul Bari, 12/203, An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, IV/20, Abu As Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, Al-Maktabah al-Ilmiah, Beirut, 1399H-1979M
  8. Fathul Bari, 1/76
  9. Syarh Muslim, An-Nawawi, 1/206, Jami al-‘Ulum wal Hikam, hal. 156
  10. Rasulullah J pernah mengingkari dengan keras ketika sahabat Usamah bin Zaid membunuh orang kafir yang (dalam peperangan) telah melihat pedangnya kemudian dia mengucapkan Laa ilaaha illallah. (Muttafaq alaih)
  11. Jami al-Ulum wal Hikam, hal. 151

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Orientasi Jabatan

Jabatan tampaknya tak kenal musim. Setiap saat selalu dicari-cari orang. Prestise dan fasilitas duniawi yang dijanjikan dibaliknya memang sangat menggiurkan. Kondisi ini semakin klop jika orientasi hidup seseorang terfokus pada kesenangan dunia. Maka jangan heran kalau ada yang menganggarkan uang beratus-ratus juta  atau bahkan milyaran untuk sebuah jabatan. Jangan heran pula jika ada yang berani memalsukan ijazah untuk sebuah jabatan, atau yang lebih memprihatinkan, ada yang menggadaikan aqidahnya dengan pergi ke dukun lalu mengamalkan praktek syirik….. untuk sebuah jabatan.

Sebenarnya, jabatan tidak selalu memiliki citra buruk, bahkan dalam ruang lingkup agama sekalipun. Jika dia dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, selalu berpedoman dengan rambu-rambu yang telah digariskan syariat, maka kemaslahatan umat akan sangat jelas terasa. Bukankah di antara para nabi ada yang menjadi kepala negara atau menteri? Bukankah sebagian shahabat adalah pemimpin dan pejabat negara? Bukankah urutan pertama dari orang yang Rasulullah rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam katakan akan mendapatkan naungan di akhirat adalah: Pemimpin yang Adil?

Kuncinya sebenarnya terletak pada orientasi kehidupannya dan orientasinya tentang sebuah jabatan secara khusus.

Jika dia dipahami hanya sebagai ladang pendapatan dan lambang prestise dan kemuliaan, maka jadilah dia sekedar rebutan. Dengan orientasi seperti ini, jangan banyak berharap tentang kemaslatan umat walau janji-janji telah dipamerkan. Yang ada justru masalah yang semakin kusut tak pernah bisa terurai.

Namun jika dia dipahami sebagai sebuah tanggung jawab besar, di mana nasib dan kemaslahatan sekian ribu atau juta orang-orang yang menjadi wewenangnya berada di pundaknya dan akan ditanya oleh Allah Ta’ala, maka jabatan tak lebih merupakan beban berat, yang jika ada orang lain lebih layak memikulnya, dia tidak akan berani maju untuk menanggungnya.

Karena pada hakekatnya, jabatan adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Seorang pejabat, bukan lagi hanya bertanggung jawab untuk diri dan keluarganya. Tapi dia juga bertanggung jawab terhadap orang banyak sesuai ruang lingkup wewenangnya. Sedikit saja dia menyimpang, berkhianat, mengabaikan orang-orang yang menjadi wewenangnya, ancaman sudah menunggu di depannya.

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (صحيح مسلم)

“Siapa saja seorang hamba yang Allah limpahkan kepadanya urusan publik, kemudian dia wafat dalam keadaan berkhianat kepada publiknya, niscaya Allah haramkan surga kepadanya.” (HR. Muslim)

Karena itu, apa yang membedakan sebagian manusia masa kini yang sujud syukur dan mengadakan perayaan setelah diangkat menjadi pejabat tertentu, dengan Umar bin Abdulaziz, penguasa yang berhasil mendatangkan kesejahteraan rakyatnya pada masa Kekhalifaan Bani Umayyah yang justru menangis tersedu-sedu ketika mendapatkan berita pengangkatan dirinya sebagai penguasa, seraya mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun…? Karena orientasinya memang beda !!

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Puasa Sebelum Ramadan Dan Pada Yaumusysyak (Hari Meragukan)

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Syarah Bulughul Maram, Bab Puasa (1);

Puasa Sehari Dua Hari Sebelum Ramadan Dan Pada Yaumusysyak (Hari Meragukan)

Hadits no. 650.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ:قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم:لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ, إِلاَّ رَجُلٌ كَانَيَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda, “Jangan kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Kecuali seseorang yang berpuasa dengan puasa tertentu, maka hendaklah dia berpuasa.” (Muttafaq alaih)

Pemahaman dan Kesimpulan:

  • Para ulama menyimpulkan bahwa hadits ini mengandung pemahaman larangan berpuasa sebelum bulan Ramadan sehari atau dua hari, jika tujuannya hanya kehati-hatian saja (khawatir kalau Ramadan sudah masuk sementara diatidak tahu).
  • Dikecualikan dari larangan ini adalah orang yang telah terbiasa berpuasa pada hari itu, seperti puasa Senen Kamis, puasa pertengahan bulan. Atau dia memiliki kewajiban puasa yang harus dia lakukan, seperti puasa qadha,kafarat atau nazar. Berdasarkan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (إلا رجل كان يصوم صوما فليصمه) “Kecuali seseorang yang berpuasa dengan puasa tertentu, makahendaklah dia berpuasa.”

Di antara hikmah pelarangan dalam hadits ini adalah;

  1. Tidak boleh melakukan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya, sebelum waktunya telah masuk dengan jelas.
  2. Ibadah yang sudah ditentukan dengan jelas bilangan dan jumlahnya, tidak boleh ditambah dan dikurangi.
  3. Hendaknya ada jeda yangjelas antara ibadah wajib dan ibadah sunah jika jenisnya sama. Sebagaimanadalam shalat Fardhu, hendaknya ada jeda dengan shalat rawatib yang dilakukan sebelum dan sesudahnya.
  4. Hadits ini juga memberi isyarat bahwa tidak selamanya sikap ihtiyath (hati-hati) itu baik. Khusunya ihtiyat yang bersifat memberatkan dan dapat mengaburkan pengamalan ibadah.

Hadits no. 651

وَعَنْ عَمَّارِ بْنِيَاسِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِفَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم  (وَذَكَرَهُاَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ,وَابْنُ حِبَّانَ(

Dari Ammar bin Yasir, radhiallahu anhu, dia berkata, “Siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaumusysyak), maka dia telah bermaksiat kepada Abul-Qasim, shallallahu alaihi  wa sallam.”

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan cara ta’liq/mu’allaq, sementara perawiyang lima (Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah) menyambung sanadnya. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

Catatan:

Hadits mu’allaq (معلق) adalah hadits yang tidak disebutkan rangkaian perawi pada awal sanadnya. Dalam hal ini Bukhari dalam Kitab Shahihnya ketika mencantumkan hadits ini tidak menyebutkan perawinya di awal sanadnya.

Pemahamandan Kesimpulan:

  • Yang dimaksud ‘Hari yang meragukan (yaum syak)’ adalah hari tanggal 30 bulan Sya’ban. Apabila menjelang maghrib tanggal 29 bulan Sya’ban, hilal Ramadan tidak dapat terlihat karena mendung atau terhalang sesuatu, maka hari tanggal 30 nya disebut hari syak (meragukan), apakah sudah masuk Ramadan atau belum? Sebab ketika itu tidak jelas, apakah hilal Ramadan sesungguhnya telah terbit, namun tidak terlihat karena mendung atau sebab lainnya, atau dia memang benar-benar tidak muncul. Maka pada hari itu dihitung sebagai hari ketigapuluh bulan Sya’ban. Seseorang tidak boleh berpuasa dengan niat puasa sunah ataupuasa Ramadan. Kecuali, sebagaimana disebutkan hadits sebelumnya, orang yang terbiasa puasa sunah pada hari itu atau yang memiliki kewajiban puasa.
  • Yang dimaksud dengan Abul-Qasim dalam hadits ini adalah Rasulullah shallallahualaihi wa sallam. Al-Qasim adalah putera Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari perkawinannya dengan Khadijah yang meninggal sejak kecil. Begitulah seterusnya kuniyah beliau dikenal.
  • Hadits ini mengandung kaidah fiqih yang cukup dikenal, yaitu (اليَقِينُ لاَ يُزَالُبِالشَّكِّ) “Yang telah diyakini tidak dapat dihilangkan dengankeraguan.” Bulan Sya’ban sudah diyakini keberadaannya sejak sebelumnya, sedangkan Ramadan masih diragukan kedatangannya. Maka, selagi kedatangan bulan Ramadan masih diragukan, hukumnya kembali kepada yang masih diyakini, yaitu bulan Sya’ban yang tidak diwajibkan berpuasa padanya.
  • Kasus yang sering dicontohkan para ulama terkait kaidah ini adalah bahwa jika seseorang telah berwudhu di rumah, laludia pergi ke suatu tempat, setibanya di sana timbul keraguan pada dirinya,apakah wudhunya batal atau tidak? Maka dia pilih yang telah diyakini bahwa wudhunya tidak batal. Karena yang diyakini adalah bahwa dirinya telah berwudhu, sedangkan batalnya masih diragukan.
  • Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya untuk tidak berpuasa sehari (atau dua hari) sebelum Ramadan karena kehati-hatian.

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna.com – Terkenal di tengah masyarakat keutamaan malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Hadits-hadits terkait dalam masalah ini sebagian dikatagorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi dikatagorikan maudhu (palsu) oleh para ulama hadits. Khususnya hadits-hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu pada malam tersebut atau hadits-hadits yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu bagi yang beribadah di dalamnya.

Akan tetapi, ada sebuah hadits yang berisi tentang keutamaan malam Nisfhu Sya’ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu. Yaitu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya’ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali orang musyrik atau orang yang sedang bertengkar (dengan saudaranya).” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa’id Ibnu Majah, riwayat ini dinyatakan dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah.

Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari shahabat Mu’az bin Jabal (215). Ibnu Hibban juga mencantumkan dalam shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna’uth dalam ta’liq (komentar)nya pada dua kitab terakhir tentang hadits tersebut, berkata, “Shahih dengan adanya syawahid (riwayat-riwayat semakna lainnya yang mendukung).”

Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits shahih dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), juga dalam kitabnya Shahih Targhib wa Tarhib (1026).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 291)

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi’in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir  yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu. Dari merekalah kemudian kaum muslimin membudayakan berkumpul di masjid-masjid pada malam Nisfhu Sya’ban dengan melakukan ibadah tertentu untuk berdoa dan berzikir.  Ishaq bin Rahawaih menyetujui hal ini dengan berkata, “Ini bukan bid’ah”

Akan tetapi, sebagian ulama Syam lainnya, di antaranya Al-Auza’i yang dikenal sebagai Imam ulama Syam, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid-masjid untuk shalat dan berdoa bersama pada malam ini, namun mereka membenarkan seseorang yang shalat khusus pada malam itu secara pribadi (tidak bersama-sama).

Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Lebih keras dari itu adalah pandangan mayoritas ulama Hijaz, sepeti Atha, Ibnu Mulaikah, juga ulama Madinah dan pengikut Mazhab Maliki, mereka menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah.

(Lihat: Latha’iful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 151, Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 292)

Namun, jika seseorang qiyamullail pada malam itu sebagaimana qiyamullail disunnahkan pada umumnya malam, atau berpuasa di siang harinya karena termasuk puasa  Ayyamul Bidh (pertengahan bulan) yang disunnahkan, maka hal tersebut jelas tidak mengapa.

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Beberapa Hal Tentang Bulan Sya’ban

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

muhammad-rasulullah122

Tentang Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban adalah bulan ke 8 dalam penanggalan Hijriah. Terletak antara dua bulan yang mulia, yaitu Rajab dan Ramadan.

Karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang bulan Sya’ban,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ

“Inilah bulan yang sering disepelekan orang, terdapat antara Rajab dan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)

Keistimewaan Bulan Sya’ban dan Puasa Di Dalamnya

Keistimewaan bulan Sya’ban, dinyatakan dalam kelanjutan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas;

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Dia adalah bulan diangkatnya amal-amal (manusia) kepada Tuhan semesta Alam. Maka aku ingin ketika amalku sedang diangkat, aku sedang berpuasa.” (HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)

Karena itu, berdasarkan riwayat shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya’ban. Sebagaiman perkataan Aiysha radhiallahu anha,

… فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ (متفق عليه

“Aku belum pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasanya dalam sebulan selain bulan Ramadan, dan tidak aku lihat bulan yang di dalamnya beliau paling banyak berpuasa selain bulan Sya’ban.”

Dalam riwayat Bukhari (1970) dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata, “Tidak ada bulan yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih banyak berpuasa di dalamnya, selain bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya.”

Maksud hadits ini adalah bahwa beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari di bulan Sya’ban, berdasarkan perbandingan riwayat-riwayat lainnya yang menyatakan demikian. Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang boleh mengatakan ‘berpuasa sebulan penuh’ padahal yang dimaksud adalah ‘berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu’. Ada juga yang memahami bahwa kadang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban, tapi kadang (di tahun lain) beliau berpuasa sebagian besarnya. Ada pula yang mengatakan bahwa pada awalnya beliau berpuasa pada sebagian besar bulan Sya’ban, namun pada akhir hidupnya beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.

Penafsiran pertama lebih kuat, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering berpuasa di bulan Sya’ban melebihi puasa di bulan lainnya, dan bahwa Beliau belum pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadan. Wallahua’lam.

(Lihat: Fathul Bari, 4/213)

Berdasarkan hadits di atas, keutamaan puasa di bulan Sya’ban memiliki dua alasan;

–  Karena di bulan ini amal manusia diangkat untuk dilaporkan.
–  Karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang banyak disepelekan orang, karena terletak di antara dua bulan utama. Beribadah di saat orang lalai (kurang memperhatikan), memiliki keutamaan lebih dibanding beribadah disaat yang lainnya semangat beribadah. Meskipun kedua-duanya adalah kebaikan.

Puasa di bulan Sya’ban, selain hikmah yang disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas, oleh para ulama juga dimaknai sebagai penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan. Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya diawali oleh pembuka yang mengawalinya. Seperti ibadah haji diawali dengan persiapan ihram di miqat, atau ibadah shalat yang diawali dengan bersuci dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat. Di samping hal ini akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk menyambut ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.

Di sisi lain, Para ulama menyebutkan bahwa ibadah puasa di bulan Sya’ban, ibarat shalat Rawatib (sebelum dan sesudah) shalat Fardhu. Sebab sebelum Ramadan disunnahkan banyak berpuasa di bulan Sya’ban, dan sesudah Ramadan, disunnahkan berpuasa enam hari bulan Syawwal.

(Lihat: Tahzib Sunan Abu Daud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244)

Malam Nishfu Sya’ban (pertengahan  Sya’ban)

Terkenal di tengah masyarakat keutamaan malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Hadits-hadits terkait dalam masalah ini sebagian dikatagorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi dikatagorikan maudhu (palsu) oleh para ulama hadits. Khususnya hadits-hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu pada malam tersebut atau hadits-hadits yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu bagi yang beribadah di dalamnya.

Akan tetapi, ada sebuah hadits yang berisi tentang keutamaan malam Nisfhu Sya’ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu. Yaitu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya’ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali orang musyrik atau orang yang sedang bertengkar (dengan saudaranya).” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa’id Ibnu Majah, riwayat ini dinyatakan dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah.

Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari shahabat Mu’az bin Jabal (215). Ibnu Hibban juga mencantumkan dalam shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna’uth dalam ta’liq (komentar)nya pada dua kitab terakhir tentang hadits tersebut, berkata, “Shahih dengan adanya syawahid (riwayat-riwayat semakna lainnya yang mendukung).”

Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits shahih dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), juga dalam kitabnya Shahih Targhib wa Tarhib (1026).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 291)

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi’in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir  yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu. Dari merekalah kemudian kaum muslimin membudayakan berkumpul di masjid-masjid pada malam Nisfhu Sya’ban dengan melakukan ibadah tertentu untuk berdoa dan berzikir.  Ishaq bin Rahawaih menyetujui hal ini dengan berkata, “Ini bukan bid’ah”

Akan tetapi, sebagian ulama Syam lainnya, di antaranya Al-Auza’i yang dikenal sebagai Imam ulama Syam, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid-masjid untuk shalat dan berdoa bersama pada malam ini, namun mereka membenarkan seseorang yang shalat khusus pada malam itu secara pribadi (tidak bersama-sama).

Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Lebih keras dari itu adalah pandangan mayoritas ulama Hijaz, sepeti Atha, Ibnu Mulaikah, juga ulama Madinah dan pengikut Mazhab Maliki, mereka menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah.

(Lihat: Latha’iful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 151, Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 292)

Namun, jika seseorang qiyamullail pada malam itu sebagaimana qiyamullail disunnahkan pada umumnya malam, atau berpuasa di siang harinya karena termasuk puasa  Ayyamul Bidh (pertengahan bulan) yang disunnahkan, maka hal tersebut jelas tidak mengapa.

Qadha puasa Ramadan

Apa kaitannya qadha puasa Ramadan dengan bulan Sya’ban?
Aisyah radhiallahu anha berkata,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ ، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

“Aku dahulu memliki hutang puasa Ramadan, aku tidak dapat mengqadanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Muttafaq alaih)

Berdasarkan hadits ini, umumnya para ulama berpendapat bahwa kesempatan melakukan qadha puasa Ramadan terbuka hingga bulan Sya’ban sebelum masuk bulan Ramadan berikutnya. Namun, jika tidak ada alasan khusus, seseorang  dianjurkan segera mengqadhanya. Bahkan sebagian ulama menyatakan agar mendahulukan qadha Ramadan sebelum puasa Syawal atau puasa sunah lainnya. Sebab berdasarkan hadits Aisyah di atas, dia baru sempat melakukan qadha di bulan Sya’ban, karena ada alasan, yaitu melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka pemahamannya, jika seseorang tidak memiliki alasan atau uzur syar’i, hendaknya dia menyegerakan membayar qadha puasanya.

(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 8/21, Fathul Bari, 4/189)

Apabila hutang puasa itu belum juga terbayar hingga bertemu Ramadan berikutnya karena ada  alasan tertentu yang membuatnya tidak dapat mengqadha puasa Ramadan sebelumnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya selain mengqadha puasanya setelah Ramadan berikutnya.

Jika tidak ada halangan bagi seseorang untuk mengqadha puasanya, namun tidak juga dia lakukan hingga datang Ramadan berikutnya, maka hendaknya dia bertaubat  dan istighfar atas kelalaiannya menunda-nunda kewajiban. Disamping itu, dia tetap harus mengqadhanya setelah bulan Ramadan berikutnya.

Sebagian ulama mengharuskan orang seperti itu untuk memberikan setengah sha’ makanan  pokok (sekitar  1,5 kg) kepada seorang miskin untuk setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan sebagai peringatan atas kelalaiannya, disamping kewajiban mengqadha puasanya. Berdasarkan ijtihad para shahabat dalam masalah ini. Namun sebagian lain berpendapat tidak ada kewajiban akan hal tersebut, karena tidak ada nash yang dengan tegas menetapkannya. Akan tetapi ijtihad tersebut dianggap baik.

(Fathul Bari, 4/189, Al-Ilmam Bisyai’in min Ahkam Ash-Shiyam, Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi, 30)

Jika telah masuk bulan Sya’ban, hendaknya setiap muslim mengingatkan dirinya atau orang-orang terdekat (khususnya kaum wanita yang umumnya suka memiliki hutang puasa) apabila memiliki hutang puasa Ramadan sebelumnya, agar segera ditunaikan sebelum datang Ramadan berikutnya.

Puasa Di Akhir Sya’ban

Sehari atau dua hari terakhir bulan Sya’ban sebelum Ramadan, dinamakan sebagai Yaumusy-Syak (hari keraguan). Dikatakan demikian, karena pada hari tersebut tidak jelas apakah sudah masuk bulan Ramadan atau belum. Pada hari tersebut, seseorang dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar ingin hati-hati agar tidak ada hari yang tertinggal dari bulan Ramadan. Yang diperintahkan adalah memastikan datangnya bulan Ramadan dengan terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan riwayat shahih dalam masalah ini.

Namun dibolehkan berpuasa pada hari tersebut (sehari atau dua hari sebelum Ramadan) apabila pada hari itu bertepatan dengan hari-hari sunnah berpuasa yang biasa dia lakukan (seperti Senen dan Kamis), atau dia berpuasa karena hendak membayar qadha puasanya, atau nazar atau kaffarat.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ (متفق عليه

 “Jangan kalian mendahulukan Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya). Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa.” (Muttafaq alaih).

Di antara hikmah pelarangan ini adalah agar ada pemisah antara puasa Ramadan yang fardhu dengan puasa-puasa sunah sebelum dan sesudahnya. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan dilarang pula puasa sehari sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri.

(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 7/194, Latha’iful Ma’arif, hal. 151, Syarh Umdatul Ahkam, Syekh Jibrin, 30/2)

Wallahu ta’ala a’lam.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Yaa Allah, berilah kami barokah dan taufiq di bulan Sya’ban, dan pertemukan kami dengan Bulan Ramadan..”

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Cara Melihat ‘Kegagalan’ di Medan Dakwah

Manhajuna.com – Kita seringkali begitu enteng menilai sebuah kegagalan sebagai ‘kegagalan’, lengkap dengan komentar-komentar yang meremehkan. Padahal, umumnya kegagalan terjadi setelah terwujudnya sebuah amal. Atau bahkan, kegagalan terjadi setelah teraihnya sekian langkah keberhasilan.

Contoh sederhana, sebuah kesebelasan sepakbola yang dikatakan gagal masuk final, atau gagal menjuarai kejuaraan piala dunia, atau seorang atlit yang dianggap gagal meraih emas di arena olympiade, lalu orang-orang dengan mudah mencibirnya. Sesungguhnya mereka telah melewati keberhasilan yang sangat jarang mampu dilewati oleh tim atau orang selevel mereka, apalagi orang yang bukan level mereka. Maka, meskipun raut kesedihan itu terbayang diwajah mereka karena kegagalan saat itu, sebetulnya mereka telah melewati sekian banyak kebahagiaan dari sekian panjang perjalanan hingga berhasil masuk dalam even bergengsi tersebut.

Agenda dakwah, jika dipandang dari sisi target-target yang diharapkan, sering berujung pada penilaian ‘gagal’, atau paling tidak, dinilai ‘tidak memuaskan atau belum sesuai harapan’. Hanya saja, kita sering hanya melihat dari satu sisi saja, padahal, banyak poin yang dapat diambil dari sebuah usaha yang belum mencapai target yang diharapkan. Jika kita perhatikan, dibalik apa yang dikatakan kegagalan pada sejumlah masyru‘ (proyek) dakwah pada level tertentu, sesungguhnya kita telah melewati sekian banyak capaian dakwah yang sekian puluh tahun lalu masih merupakan khayalan dan impian. Jika obyektif, Anda bisa jadi sulit menghitung banyaknya capaian-capaian dakwah yang cukup membanggakan jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Memang, sisi buram selalu saja ada dalam perjalanan dakwah dan tidak boleh pula diingkari. Hanya saja, jika ada sebagian orang begitu fasih menyebutkan satu persatu keburukan dalam agenda dakwah sehingga berpengaruh melemahkan langkah perjalanan, seharusnya kita lebih fasih lagi menyebutkan capaian-capaian dakwah yang dapat menyemangati langkah dalam perjalanan dan menerbitkan optimisme lebih besar.

Layak kita ingat, titik tekan dalam dakwah adalah ‘amal’ bukan ‘hasil’ (At-Taubah: 105). Sebab kalau titik tekannya adalah hasil, maka Nabi Nuh dapat dianggap ‘gagal’, karena cuma segelintir saja yang bersedia ikut beriman bersamanya setelah 950 tahun berdakwah, bahkan termasuk anak isterinya tidak ikut beriman. Nabi Zakaria juga dapat dianggap ‘gagal’ karena justeru dibunuh oleh kaumnya yang dia dakwahi. Ashahbul Ukhdud adalah kelompok yang ‘gagal’, karena perjuangan mereka berujung di kobaran api membara. Namun nyatanya, Allah mengabadikan mereka dalam barisan pioner dakwah yang menjadi inspirasi para dai berikutnya.

Maka, ketika seorang dai selalu berada dalam arena ‘amal’ dan ‘kerja nyata’ sesungguhnya itulah kebehasilannya dalam dakwah. Perkara hasil, itu wewenang Allah yang menetapkan kapan dan dimana dia diberikan. Sering terjadi dalam arena dakwah, kemenangan, Allah tentukan pada tempat dan waktu yang tidak diperkirakan. Namun yang pasti, Allah telah janjikan kemenangan bagi mereka yang berusaha dan beramal.

Yang pasti, kemenangan tidak akan Allah berikan kepada mereka yang tidak beramal. Juga yang pasti, orang yang berhasil, adalah orang yang pernah gagal dan orang gagal yang sesungguhnya adalah orang yang tidak pernah berusaha!

Kegagalan yang membuat kita terus bekerja dengan sabar untuk mencari peluang dan berharap kemenangan, jauh lebih mulia ketimbang kemenangan yang membuat kita sombong dan menghentikan langkah. Bisa jadi, kegagalan merupakan cara Allah agar kita terus berada dalam kebaikan dan kemuliaan beramal seraya terus bersandar kepada-Nya.

Maka, langkah ini tidak boleh berhenti. Tak kan surut kaki melangkah, begitu kata sebait syair nasyid. Medan amal begitu beragam dan luas terbentang menanti aksi kita. Sebab, surut melangkah karena sebuah agenda yang dianggap gagal, justeru lebih buruk dari kegagalan itu sendiri. Lebih buruk lagi dari itu adalah, mereka yang senang dan tersenyum puas melihat usaha dan amal saudaranya yang dia anggap gagal…!

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

6 Waktu Khusus Disyari’atkan Membaca Basmallah

Secara khusus Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan untuk membaca basmallah dalam perkara berikut ini:

1-Saat Hendak Masuk ke WC

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Jika kalian masuk WC, ucapkanlah,

« بِسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَباَئِثِ »

[رواه الطبراني في المعجم الأوسط، رقم 2803، صحيح الجامع، رقم 4714]

“Bismillah, ‘Audzu billah minal Khubutsi wal Khabaa’itsi (Dengan menyebut nama Allah, Aku berlindung kepada Allah dari setan laki dan setan perempuan).” [1]

2-Saat Memulai Wudhu

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

« لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ »

 [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه، صحيح الجامع، رقم 7514]

“Tidak ada wudhu’ bagi yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [2]

3-Ketika Hendak Makan

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

« يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ »

[متفق عليه، صحيح البخاري، رقم 5376،  صحيح مسلم، 2022]

“Ucapkanlah: Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang ada dihadapanmu.” [3]

4-Saat Berjima’

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Seandainya salah seorang di antara kalian ketika akan berhubungan intim dengan isterinya (suami-nya), lalu dia membaca:,

« بِاسْمِ اللهِِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا »

[متفق عليه، صحيح البخاري، رقم 141، صحيح مسلم، رقم 1434]

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkan setan dari kami dan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kepada kami.”

maka jika keduanya ditakdirkan mempunyai anak, niscaya setan tidak dapat mencelakakannya selama-lamanya.”  (HR Bukhari dan Muslim) [4]

5-Saat Keluar Rumah

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Siapa yang –saat keluar rumah- membaca:

« بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ تَعَالَى »

 [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه، صحيح الترمذي، رقم 2724]

“Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatakn kecuali Allah Ta’ala”

Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah dicukupi, dilindungi, diberi petunjuk dan setan telah menghindar darimu, lalu dia berkata kepada setan yang lainnya: Apa yang dapat kalian laku-kan dengan seseorang yang telah diberi petunjuk, dicukupi dan dilindungi?” [5]

6-Ketika Menyembelih Binatang

Allah Ta’ala berfirman dal Al Qur’an Surat Al An’aam ayat 118,

فَكُلُوا۟ مِمَّا ذُكِرَ ٱسْمُ ٱللَّهِ عَلَيْهِ إِن كُنتُم بِـَٔايَٰتِهِۦ مُؤْمِنِينَ

  [سورة الأنعام: 118]

“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.”  (QS. Al-An’am: 118)

Catatan Kaki:

  1. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, no. 2803, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami’, no. 4714
  2. Sunan Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami’, no. 7514
  3. Muttafaq alaih, Shahih Bukhari, no. 5376, Shahih Muslim, no. 2022
  4. Muttafaq alaih, Shahih Bukhari, no. 141, Shahih Muslim, no. 1434
  5. Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Tirmizi.

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha.

Baca Juga:

Kedudukan dan Tempat Diturunkannya Surat Al-Fatihah

Makna Lafaz Basmallah

(Manhajuna/IAN)

Agama adalah Nasehat

عَنْ أَبِي رُقَـيَّةَ؛ تَمِيْم بنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:  « الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ » [رواه مسلم]

Kosa Kata

أئمة (إمام) Pemimpin عامة Kalangan umum

Arti dan Kedudukan Hadits

Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad-Daari , sesungguhnya Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

“Agama adalah nasehat.” Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”   (HR. Muslim) [1]

Hadits ini kedudukannya  sangat tinggi, karena merupakan poros Islam. Karena prinsip-prinsip Islam bersumber dari hadits ini.  [2]

Pemahaman Hadits

Ungkapan “Agama adalah nasehat” maksudnya adalah,  “Tiang agama dan penopangnya adalah nasehat.” Hadits ini sepadan dengan hadits Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam dalam masalah haji, “Al-Hajju ‘Arafah (Haji adalah Arafah),” yaitu pilar dan rukun yang paling utama dalam haji adalah wukuf di Arafah. [3]

Tarkib (susunan) Kalimat (الدين النصيحة) dalam hadits di atas terdiri dari mubtada’ khabar (Subyek dan Predikat) bukan sifat mausuf (yang disifati dan yang mensifati). Adapun kedua katanya berbentuk ma’rifah.[4] Menurut para ulama balaghah (sastra arab), susunan seperti itu berfungsi sebagai pengkhususan (hasr). Sehingga maknanya adalah: “Agama tidak lain merupakan nasehat.”  [5]

Nasehat (النصيحة) dari segi bahasa berasal dari kata نصح  artinya adalah: murni (خلص). Jika dikatakan ‘nashaha qalbuhu, artinya adalah hatinya bersih dari kebohongan, atau jika dikatakan nashahat  taubatuhu, maksudnya adalah taubatnya murni, tidak akan kembali  pada kemaksiatan semula (taubatan nashuha). [6]

Al-Khattabi berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang padat dan bermakna mengharapkan kebaikan bagi orang yang dinasehati.” [7]

Maksud nasehat kepada Allah adalah:

  • Beriman kepada-Nya dan membenarkan apa yang disampaikan melalui Kitab-Nya dan lisan Rasul-Nya.
  • Ikhlas dalam semua bentuk ibadah hanya kepada-Nya serta menafikan berbagai bentuk ibadah kepada selain-Nya.
  • Ta’at terhadap semua perintah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya.
  • Mencintai apa yang Dia cintai dan membenci apa yang Dia benci.

Makna nasehat di sini adalah memurnikan (al-khulush) keimanan hanya kepada Allah Ta’ala, serta mensucikan diri seorang hamba (beriman kepada-Nya).  Hal tersebut telah disinggung dalam firman Allah Ta’ala surat At-Taubah: 91. [8]

Maksud nasehat kepada Kitab-Nya adalah:

  • Beriman kepadanya sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya dan membenarkan apa yang terdapat padanya.
  • Mengagungkannya, membacanya dengan baik dan benar serta kekhusyu’an.
  • Mempelajarinya dan mengamalkan semua ajaran yang ada di dalamnya serta membelanya dari berbagai penafsiran batil yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.

Maksud nasehat kepada Rasul-Nya adalah:

  • Membenarkan kerasulannya dan mengimani semua yang disampaikan.
  • Ta’at atas setiap perintahnya dan menjauhkan larangan-nya.
  • Membelanya dan ajarannya, mencintai orang yang mencintainya dan memusuhi orang yang memusuhinya.
  • Mencintai dan mengagungkannya serta menjadikannya sebagai teladan dalam kehidupan.

Nasehat kepada pemimpin muslim maksudnya adalah:

  • Membantu mereka dalam kebenaran.
  • Menaati perintahnya dan mengingatkannya dengan lembut.
  • Tidak boleh melakukan pemberontakan kepada mereka.
  • Mendoakan mereka.

Nasehat kepada kaum muslimin secara umum:

  • Memberi petunjuk untuk kebaikan mereka baik dunia maupun akhirat dan menolong mereka untuk itu.
  • Menutup aib dan cela yang ada pada mereka.
  • Mendatangkan kebaikan untuk mereka dan menolak bencana dari mereka.
  • Melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar dengan cara yang bijak.
  • Menyukai terhadap mereka apa yang disukai dirinya sen-diri dan membenci terhadap mereka apa yang dibenci terhadap dirinya sendiri. [9]

Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits

  1. Kehidupan beragama tidak lepas dari upaya saling nasehat menasehati, siapa pun orangnya dan apa pun kedudukannya.
  2. Tidak menerima nasehat atau enggan memberi nasehat, indikasi tidak lengkapnya pemahaman seseorang terhadap agamanya.
  3. Uslub (metode) penjelasan yang digunakan Rasulullah adalah memulai dari yang bersifat umum kemudian khusus dan dari yang paling penting kemudian berikut-nya. Pertama beliau jelaskan bahwa agama adalah nasehat, kemudian beliau jelaskan rinciannya. Urutan pertama yang beliau sebutkan adalah nasehat kepada Allah Ta’ala yang paling tinggi kedudukannya.
  4. Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam juga menggunakan metode dialog untuk menyampaikan pesan-pesannya. Beliau tidak sungkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memang membutuhkan penjelasan.
  5. Perhatian yang besar dari para shahabat untuk menimba ilmu, mereka tidak meninggalkan sebuah hal yang masih membutuhkan penjelasan, kecuali hal tersebut mereka tanyakan.
  6. Hadits ini merupakan isyarat adanya kepemimpinan dalam masyarakat Islam. Yaitu adanya orang yang memimpin dan yang dipimpin. Dan pada masing-masing mereka memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Dakwah dan Amar Ma’ruf Nahi munkar : Ali Imran (3): 104, Ali Imran (3): 110, Fushshilat (41): 33
Pentingnya selalu upaya untuk saling mengingat-kan : Adz-Dzariyat (51): 55, Al-A’la (87): 9
Bahaya meninggalkan nasehat : Al-Ma’idah (5): 78-79
Tuntutan memberikan  nasehat dengan tetap  menjaga adab-adabnya : An-Nahl (16): 84, Hud (11): 88, Al-Ma’idah (5): 92-99, Thaha (20): 42-44

Catatan Kaki:

  1. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, 95
  2. Syarah Muslim, Imam An-Nawawi, II/225
  3. Syarah Muslim, Imam An-Nawawi, II/226
  4. Biasanya mubtada’ dan khabar terdiri dari lafaz Ma’rifah (definitif) untuk mubtada’ dan Nakirah (indefinif) untuk khabarnya.
  5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 135
  6. Al-Mu’jam Al-Wasith, item نصح.
  7. Syarh Shahih Muslim, II/615
  8. Al-Qawa’id wal Fawa’id minal Arba’in an-Nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, hal. 92
  9. Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 143-145, Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah: Ibnu Daqiq al-Ied, 90-95, Al-Wafie, hal: 42-45,

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Makna Lafaz Basmalah

بِسْم ﴿

Seharusnya kalimat (بِسْم) ditulis dengan  (بِاسْمِ), namun karena sering digunakan, huruf alifnya dibuang untuk memberikan kesan ringan dalam bacaannya. [1]

Huruf (بِـ) dalam kalimat (بسم) menunjukkan adanya keterkaitan dengan kata kerja yang mendahuluinya. Kata kerja tersebut tidak tampak secara tulisan, namun dapat ditangkap dari pekerjaan apa yang akan dia laksanakan. Maka ketika seseorang mengawali membaca al-Quran dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim, pada hakekatnya dia sedang mengatakan, “Saya membaca Al-Quran ini dengan menyebut nama Allah…” ketika seseorang hendak bangun dari duduknya, lalu dia mengatakan (بسم الله) maka pada hakikatnya dia sedang mengatakan: “Saya bangun dengan menyebut nama Allah ..” [2]  dan begitulah seterusnya.

الله ﴿

Kata ini dikenal sebagai lafaz yang mulia (Lafzul-Jalalah). Dia merupakan nama bagi Tuhan Tabaraka waTa’ala. Bahkan dikatakan bahwa dia merupakan nama yang paling mulia karena disifati dengan semua sifat-sifat yang ada, sebagaimana firman Allah Ta’ala, [3]

“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera Yang mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan. Maha suci Allah dari apa yang mereka perseketukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling Baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dial-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr: 22-24)

Ibnu Abbas –sebagaimana diriwayatkan dalam tafsir At-Thabari- mengatakan bahwa: Lafaz [الله] (dari segi bahasa) adalah sesuatu yang disembah oleh segala sesuatu dan oleh setiap makhluk. [4]

Maka kalimat [بِسْمِ الله] maksudnya adalah: أَبْتَدِئُ بِكُلِّ اسْمِ الله , makna-nya adalah: “Aku memulai dengan semua nama Allah Ta’ala”, karena kata [اسم] berbentuk mufrod mudhof (kata tunggal yang disandarkan kepada kalimat berikutnya, yaitu kalimat [الله], maka hal tersebut mengandung pemahaman mencakup semua nama milik Allah ta’ala (Asma’ul Husna).[5]

Dalam kalimat tersebut juga terkandung permohonan per-tolongan kepada Allah Ta’ala atas setiap perbuatan yang akan dia kerjakan. Karena itu seorang muslim dianjurkan untuk membaca Bismillah (Tasmiah) jika hendak mengawali setiap perbuatannya, seperti mengawali pembicaraannya, tulisannya, buku-bukunya dan semua kebutuhan mereka.

Catatan Kaki:

  1. Tafsir Al-Baghawi, 1/49
  2. Tafsir At-Thabari, 1/78
  3. Tafsir Ibn Katsir, 1/122
  4. Tafsir At-Thabari, 1/82
  5. Taisirul Karim ar-Rahman, hal. 39

Sumber: Untaian Hikmah Dalam Tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Abdullah Haidir, Lc, di murajaah Ummu Rumaisha.

Baca Juga: Kedudukan dan Tempat Diturunkannya Surat Al-Fatihah

(Manhajuna/IAN)

Halal, Haram dan Syubhat

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ؛ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ! وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ.  أَلاَ! وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ! وَهِيَ الْقَلْبُ

 [رواه البخاري ومسلم]

Kosa Kata

بَيِّنٌ Jelas أمور (أمر) Perkara-perkara
مشتبهات Samar/syubhat اتقى Meninggalkan
اسْتَبْرَأ Membebaskan عِرْضـ(ـه) Kehormatan (nya)
وقع Jatuh, melakukan الراعي Penggembala
يرعى Menggembala يوشك Hampir, nyaris
مضغة Segumpal daging الحمى Batas, pematang.
فسد(ت) Rusak صلحـ(ـت) Baik, layak

Terjemah Hadits

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhuma  dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah salallahu ‘alai wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang menghindari syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Bagaikan penggembala yang menggembalakan hewan di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya.

Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan, dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah, dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh. Sedangkan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; Ketahuilah, bahwa dia adalah hati.”   (HR. Bukhari dan Muslim) [1]

Kedudukan Hadits

Hadits ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syari’at. Abu Daud As-Sijistani berkata, “Islam itu berputar dalam empat hadits,” kemudian dia menyebutkan hadits ini salah satunya.

Para ulama sepakat besarnya kedudukan dan banyaknya manfaat hadits ini. [2]

Pemahaman Hadits

Hadits ini membagi masalah hukum menjadi tiga bagian;

Pertama: Perkara yang kehalalannya telah jelas karena telah dinyatakan dengan terang tentang kehalalannya oleh Allah dan Rasul-Nya atau kesepakatan kaum muslimin (ijma’), atau karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Kedua: Perkara  yang keharamannya telah jelas, yaitu yang telah dinyatakan dengan jelas oleh nash atau ijma’, atau bahwa padanya terdapat ancaman atau hukuman.

Ketiga: Perkara yang tidak jelas apakah halal atau haram yang disebut perkara mutasyabihat (syubhat), karena dalilnya memiliki berbagai kemungkinan makna, atau ada beberapa dalil yang sepintas bertentangan dan sulit diketahui mana yang lebih kuat. [3]

“Maka siapa yang menghindari syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya…” Maksudnya adalah bahwa dirinya akan terbebas dari kecaman syariat dan terbebas dari kecaman manusia.

“Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan.” Ada dua kemungkinan; Pertama, jika seseorang sering melakukan perkara syubhat, akan tersangkut perkara yang diharamkan tanpa disengaja. Kedua, jika seseorang biasa melakukan perkara syubhat, hal itu akan menjembataninya pada perbuatan yang lebih besar hingga dia sengaja melakukan perbuatan haram. [4]

Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits

  1. Perkara syubhat pada umumnya tidak diketahui hukum yang sesungguhnya, hanya sedikit saja yang dapat mengetahuinya, yaitu para ulama, maka menghindari perkara syubhat adalah jalan yang selamat.
  2. Terbiasa melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
  3. Jika terhadap perbuatan syubhat seseorang dianjurkan untuk meninggalkannya, apalagi yang nyata dosanya, walaupun dosa kecil. Hal inilah yang disebut wara’.
  4. Hati bagaikan raja bagi perbuatan anggota badan, bagaimana kondisi hati seseorang akan berdampak pada perbuatan anggota badannya. Karena itu upaya membersihkan hati dari berbagai penyakit, seperti: syirik, dengki, riya, sombong, bangga diri, dsb, haruslah diutamakan. [5]
  5. Baiknya amal perbuatan merupakan pertanda baiknya hati, sedangkan baiknya hati akan menyebabkan baiknya amal perbuatan. Maka tidak boleh ada orang yang berbuat maksiat, kemudian berkata, “Yang penting hatinya baik.”
  6. Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
  7. Semua celah yang dapat mengantarkan seseorang pada perbuatan yang diharamkan, harus ditutup agar semakin menghindarkan seseorang dari yang haram. Hal ini dalam ka’idah Ushul Fiqh disebut Sadduzzarai’.
  8. Berhati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Penetapan halal dan haram : Al-Baqarah (2): 275, An-Nahl (16): 115, Al-Ma’idah (5): 87
Menghindari syubhat : Al-Hujurat (49): 12
Kedudukan hati : Asy-Syu’ara (26): 89, An-Nahl (16): 106, Al-Haj (22): 46
Allah adalah Raja Yang Maha Berkuasa : Al-Ma’idah (5): 40, An-Nas (114): 2
Tidak mendekati yang haram : Al-An’am (6): 151, Al-Isra’ (17): 32, 34

Catatan Kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-Iman, no. 52, Shahih Muslim, Kitab Al-Musaaqaat, no. 1599.
  2. Fathul Bari, 1/129, Syarh Arba’in Nawawiyah: Ibnu Daqiq al-‘Ied, hal. 79
  3. Fathul Bari, 4/291, Faidhul Qadhir, 3/423
  4. Syarh Muslim: An-Nawawi, 4/190
  5. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 134

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)