Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 6)

Search Results for: abdullah haidir

Menuntut Ilmu Tiada Henti

Sering kita dapatkan di tengah masyarakat, orang-orang yang membatasi aktifitas ilmiahnya dengan tembok-tembok sekolah atau dinding-dinding kampus. Bagi mereka, kelulusan dan terhentinya aktifitas ilmiah secara formal sama maknanya dengan berhentinya proses pembelajaran diri dalam kehidupannya, untuk seterusnya dia akan bergelut dengan dunianya sendiri.

Pendidikan formal boleh berhenti, tapi pembelajaran diri (baca: Menuntut ilmu) sebagaimana selalu kita dengar petuahnya, harus terus berlanjut. Bahkan sesungguhnya, dalam bidang apa saja, kajian-kajian ilmu yang kita gali di sekolah atau kampus, masih bersifat ‘barang mentah”. ‘Pematangan’ dari semua yang kita gali itu justeru ada pada proses pembelajaran diri kita dalam kehidupan langsung di tengah masyarakat. Karena itu tak jarang kita dapatkan orang-orang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas, mampu menampilkan sosok ilmiah yang diakui, baik dari idenya, pemikirannya, kemampuan menangkap masalah, kemampuan presentasinya dll. Karena semangat ilmiahnya terus dia pelihara dengan pembelajaran diri yang tak pernah henti di tengah-tengah kehidupannya.

Banyak orang yang  tadinya tidak mengerti sama sekali tentang komputer dan tidak sekolah khusus komputer, kini sudah mampu melayani panggilan service komputer layaknya seorang sarjana komputer. Adapula yang asalnya terbata-bata membaca Al-Quran, setelah lancar membaca dia bahkan sudah dapat mengajari temannya, atau lebih dari itu ada yang tidak memiliki latar pendidikan agama secara formal, namun lewat usaha pembelajaran intensif, dia dapat  memahami banyak permasalahan agama bahkan mampu menyampaikannya layaknya lulusan sebuah universitas Islam ternama.

Jadi, jangan sampai ada yang berkecil hati, hanya karena pendidikan formalnya yang tidak tinggi. Karena toh pembelajaran diri masih tetap dapat dilakukan sambil mematangkan pemahaman yang telah digali sebelumnya. Apalagi di abad informasi sekarang ini, sangat mudah kita mendapatkan sumber-sumber ilmu dan informasi yang sangat bermanfaat. Belum lagi fasilitas dan kesempatan yang kita dapatkan di sekeliling kita untuk terus menambah wawasan dan pengetahuan. Semuanya hanya membutuhkan kesungguhan dan dorongan kuat dari kita untuk meraihnya sebanyak-banyaknya.

Karena itu, jangan pernah berhenti belajar, siapkan sarana dan anggaran semampunya, cari orang-orang yang dianggap dapat membantu, banyaklah membaca, bertanya, berdiskusi, mengkaji dan jangan pernah bosan. Keseriusan usaha dan kontinyuitas dalam hal ini, pada gilirannya akan mampu menampilkan sosok ilmiah seseorang melebihi ‘gelar’ yang disandangnya. Selain derajat yang tinggi dari Allah dan jalan yang lebih mulus menuju surga.

Allah Ta’ala berfirman,

“Allah mengangat derajat orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Rasulullah ﷺ bersabda,

« مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يلتمس فيه عِلْمًا سهل الله به طريقا إلى الْجَنَّةِ » (رواه أبو داود)

“Siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan baginya ke surga.” (HR. Abu Daud)

Sumber: Pembelajaran Diri (red. Judul Asli) dikutip dari Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Ada Yang Lebih Dahsyat Dari Sekedar Terbelahnya Lautan

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

jejak_pasir

Tahukah anda peristiwa besar yang terekam di hari Asyuro?

Ya, dialah peristiwa fantastis yang menjadi mukjizat Nabi Musa as, saat beliau dan kaumnya ingin kabur dari kezaliman Fir’aun, namun akhirnya terhadang laut Merah sementara Fir’aun dan bala tentaranya kian mendekat di belakang siap melumatkan mereka. Di saat genting tersebut, Allah perintahkan Nabi Musa as memukulkan tongkatnya di laut Merah. Lalu lautan terbelah dua, maka Nabi Musa dan pengikutnya menyusuri dasar lautan hingga akhirnya mereka selamat hingga ke seberang. Sementara Fir’aun dan balatentaranya, saat mereka menempuh jalan yang sama, Allah satukan kembali lautan tersebut dan binasalah mereka. Peristiwa itu terjadi pada tanggal sepuluh Muharram yang kemudian dikenal dengan istilah hari Asyura. Nabi Musa as sebagai berpuasa di hari itu sebagai rasa syukurnya dan kemudian diabadikan dalam syariat Islam sebagai puasa Asyura.

Kita yang membaca kisah ini tentu akan takjub dan membayangkan betapa dahsyatnya pemandangan terbelahnya lautan sehingga dasarnya dapat dilalui.

Tapi tahukah anda yang lebih menakjubkan dari hal itu?

Dia adalah istiqamah; Keteguhan berada di jalan Allah serta keteguhan memperjuangkannya. Maka, sebesar ketakjuban kita dengan sebuah mukjizat, sebesar itu pula atau bahkan lebih besar lagi, ketakjuban kita terhadap istiqamah. Mengapa demikian? Karena mukjizat tidak akan lahir kecuali dari istiqamahnya seorang Nabi Allah Taala dalam menjalanka dan memperjuangkan syariatNya. Sementara, tidak semua Nabi dan tidak semua orang saleh mengalami kejadian luar biasa sehingga menyelamatkan dirinya. Nabi Zakaria as dibunuh di tengah dakwahnya, Ashhabul Ukhdud dibakar hidup bersama keimanannya, Hamzah bin AbdulMuthalib dibunuh dan dicabik-cabik di tubuhnya dalam jihadnya. Akan tetapi satu perkara yang menyatukan mereka sekaligus menjadi sebab kemuliaannya, yaitu istiqamah di jalan Allah Taala. Mukjizat mungkin ada mungkin tidak, karomah mungkin ada mungkin tidak, kejadian luar biasa mungkin ada mungkin tidak, tapi istiqamah, harus ada dan tidak boleh tidak!

Beginilah seharusnya kita memandang dan menilai, apalagi di tengah berbagai ragam tingkah polah manusia kini dan berbagai trik penipuan dan pengelabuan masa sekarang. Betapapun sepintas tampak hebat, luar biasa atau istimewa, tetap saja penilaian standar kita adalah apakah semua itu dibangun di atas landasan istiqmah di atas syariat Allah taala atau tidak.

Bahkan, Ibnu Katsir dalam tafsirnya saat menafsirkan surat Al-Baqarah: 34, mengutip ucapan Laits bin Saad dan Imam Syafii rahimahullah;

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ وَيَطِيرُ فِي الْهَوَاءِ فَلَا تَغْتَرُّوا بِهِ حَتَّى تَعْرِضُوا أَمْرَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ

“Jika kalian melihat seseorang dapat berjalan di atas air dan terbang di udara, janganlah kalian terpesona sebelum menilai perkaranya dengan Al-Quran dan Sunah.”

Dengan cara pandang seperti ini, maka tidak akan kita temukan seorang muslim yang terpedaya hanya karena sesuatu yang sepintas menggambarkan kehebatan, luar biasa atau mampu menampilkan sesuatu yang lain dari biasanya, jika tidak ada indikasi atau bukti bahwa semua itu paralel dengan istiqamahnya di jalan Allah Taala. Maka, jika demikian, apa yang dianggap luar biasa, bukanlah kebaikan, bukan pula karomah, apalagi mukjizat dari Allah Taala.

Sebaliknya, seorang muslim hendaknya menjunjung tinggi keistiqamahan di jalan Allah, walau sepintas tidak hebat, tidak luar biasa dan tidak ada yang fantastis. Cukuplah istiqamah itu sendiri menjadi sesuatu yang luar biasa baginya dan dia berusaha untuk mewujudkannya.

Dahulu para ulama mengatakan,

الاِسْتِقَامَةُ خَيرٌ مِنْ أَلْفِ كَرَامَةٍ

“Istiqamah lebih baik dari seribu karomah….” 

Maka, sembari kita hidupkan puasa Asyuro, hendaklah kita ambil ibrah (pelajaran) tentang benang merah sumber kemuliaan dari Allah Taala,  yaitu; Istiqamah atau keteguhan dalam menjalankan syariat Allah dan memperjuangkannya.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ (سورة فصلت:
30)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan surge yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30)

Wallahu A’lam

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Amanah dan Mas’uliah

Sesungguhnya kita -siapapun orangnya dan apapun kedudukannya- adalah pemilik amanah. Sebelum kita menuntut amanah mereka-mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan sosial, patut kita tanyakan diri kita sendiri, sudahkan amanah yang ada pada diri saya, telah ditunaikan.

Rizki yang ada pada kita adalah amanah, keluarga kita adalah amanah, ilmu kita adalah amanah, bahkan diri kita sendiri adalah amanah. Kesimpulannya, semua yang ada pada kita adalah amanah yang akan dimintakan pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah Ta’ala.

Kesadaran akan hal ini, akan melahirkan satu sikap yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam kehidupannya, yaitu mas’uliah (rasa tanggung jawab). Sikap inilah yang banyak hilang dalam kehidupan kita sekarang. Banyak orang yang merasa kalau sudah ‘miliknya’ dia bebas berbuat semaunya. Tidak jarang kita dengar ungkapan semacam : “Terserah saya, urusan apa kamu?”uang,… uang saya, mau saya apain saja terserah’” “Yang penting ngga nyusahin orang, mo ngapain ke’“, dst.

Mas’uliah, dalam bahasa arab berasal dari kata mas’ul, yang secara bahasa berarti ditanya, namun kemudian lebih akrab diartikan dengan pemimpin.

Jika arti dari asal kata tersebut yang selalu mengisi ruang kesadaran seseorang, maka dapat kita yakini bahwa kehidupannya akan terkontrol, tidak semaunya, walau terhadap harta atau tubuhnya yang dianggap miliknya pribadi. Jika hal tersebut telah dimulai, kita akan dapat berharap bahwa amanah yang lebih besar berikutnya juga akan dia tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Apalagi jika sudah terkait dengan kemaslahatan umat, yang kalau dirinya tidak mengontrolnya, tetap akan ada masyarakat yang mengontrolnya.

Di padang yang sepi, seorang bocah sedang menggembala. Umar bin Khatab datang menghampirinya. Beliau ingin mengujinya, ditawarkan kepada gembala itu untuk menjual satu hewan gembalanya tersebut, dengan alasan pemiliknya tidak akan tahu karena jumlahnya yang banyak… anak itu menolaknya karena karena dia merasa tidak berhak untuk itu… Umar terus mendesak dan mendesak dengan alasan majikannya tidak tahu….. Akhirnya sang anak menjawab dengan singkat… “Kalau begitu…. Di mana Allah?”

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Allah Ta’ala Hanya Menerima yang Baik

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم “إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا”، وَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ” ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟”

 رواه مسلم

Kosa kata

يقبل Menerima يطيل Panjang / jauh
أشعث Kumal أغبر Berdebu / dekil
يَمُدّ Memanjangkan/mengangkat فأَنَّى Maka dari mana/bagaimana

Terjemah Hadits

Dari Abu Hurairah t dia berkata, “Rasulullah bersabda,

‘Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul-Nya dengan berfirman (yang artinya), “Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah.” Dia juga berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian.”

Kemudian beliau (Rasulullah ﷺ) menyebutkan ada seseorang yang melakukan safar dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Robbku, Ya Robbku,” padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan perutnya kenyang dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.”  (Riwayat Muslim) [1]

Kedudukan Hadits

Hadits ini merupakan salah satu pilar Islam dan bangunan hukum-hukumnya. [2]

Pemahaman Hadits

Makna Thayyib (طيب) dalam ungkapan Innallaha Ta’ala Thayyibun pada hadits di atas adalah: bahwa Allah terhindar dari cacat dan keburukan. Kesimpulannya adalah bahwa Dia Maha Suci  (القدوس).

Laa yaqbalu illa thayyiban (Dia tidak menerima kecuali yang baik), maksudnya adalah: Allah tidak menerima sedekah dari harta yang haram. Ada juga yang mengartikan lebih umum, yaitu bahwa Dia hanya menerima amal yang baik dan murni dari berbagai kotoran riya, bangga dan sum’ah dan semacamnya. [3]

Thayyib dalam masalah harta adalah: Harta yang didapat dari cara yang halal. Thayyib dalam masalah amal adalah: perbuatan yang murni karena Allah dan sesuai ketentuan syariat. Thayyib dalam masalah makanan adalah apa saja yang dihalalkan oleh syariat, walaupun seseorang secara tabi’at tidak menyukainya. [4]

Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits

1- Allah Maha suci dari segala cacat dan aib, karena itu Dia hanya menerima harta dan perbuatan yang baik.

2- Berlarut-larut dalam perbuatan haram akan menghalangi seseorang dari terkabulnya doa, dapat merusak amal dan menjadi penghalang diterimanya amal perbuatan.

3- Pada dua ayat yang disebutkan dalam hadits di atas terdapat beberapa pelajaran:

  • Para Rasul adalah makhluk yang mendapatkan perintah dan larangan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang paling dekat kepada Allah adalah orang yang paling menaati seluruh ajaran-Nya, bukan mereka yang mengaku telah bebas dari aturan syariat.
  • Diperintahnya orang beriman sebagaimana para Rasul diperintahkan, mengisyaratkan dua hal: Pertama, beramal shaleh membutuhkan qudwah yang nyata dari para pemimpin umat. Kedua, dorongan dan motivasi dalam memberikan perintah, bahwa hal tersebut juga dilakukan oleh orang-orang yang mulia.
  • Realisasi yang paling riil dari rasa syukur atas rizki yang Allah berikan kepada kita adalah beramal saleh.

4- Anjuran berinfaq dari barang yang halal dan larangan untuk berinfaq dari sesuatu yang haram.

5- Dalam hadits terdapat sebagian dari sebab-sebab terkabulnya do’a, di antaranya; (a) Perjalanan jauh (safar), (b) Sederhana dalam berpakaian dan penampilan, (c) mengangkat kedua tangan ke langit, (d) meratap dalam berdoa, (e) mengulang-ulang permintaannya, (f) berkeinginan kuat da-lam permintaan, (g) mengkonsumsi barang yang halal.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Pentingnya membedakan yang halal dan haram dalam kehidupan : Al-A’raf (7): 157, Al-Ma’idah (5): 87
Mempersembahkan yang terbaik untuk Allah : Ali Imran (3): 102, Al-Baqarah (2): 195
Meratap dalam berdoa : Maryam (19): 3, As-Sajadah (32): 16
Bersyukur atas nikmat Allah : Al-Baqarah (2): 172, An-Nahl (16): 114, Al-Ankabut (29): 17, Saba’ (34): 15

Catatan Kaki:

  1. Shahih Muslim, Kitab Az-Zakah, Bab Qabuulusshadaqah minal kasbi ath-thayyib wa tarbiyatiha, no. 1015.
  2. Syarh Arbai’in An-Nawawiah, Ibnu Daqiq al-‘Ied, hal. 109.
  3. Syarh Muslim, An-Nawawi, Jami al-Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, hal. 176.
  4. Syarh Arba’in An-Nawawiyah, Syekh Ibnu Utsaimin, hal. 164, 171-172.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Talbiyah…Deklarasi Penghambaan dan Kepasrahan Seorang Muslim

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Dalam pelaksanaan haji, saat ihram khususnya, tidak ada untaian kalimat yang terasa amat menerbitkan keharuan dan getaran jiwa selain kalimat talbiyah. Bahkan yang belum berhaji sekalipun bisa jadi merasakan getaran tersebut sembari berharap dan menanti-kenanti kesempatan yang Allah berikan untuk melantunkannya di tempat dan waktu yang sesungguhnya.

Namun, yang sesungguhnya lebih penting dari itu adalah bagaimana makna yang terkandung dalam kalimat talbiyah meresap dalam jiwa, lalu berwujud dalam gerak nyata, dan kemudian menjadi sebuah keyakinan dan kepribadian mempesona. Karena dia mengandung hal yang sangat prisip sekali dalam akidah kita.

Secara garis besar, kalimat talbiyah dapat dibagi dua bagian.

Bagian pertama adalah;

لبيك اللهم لبيك ، لبيك لا شريك لك لبيك

Aku penuhhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanmu ya Allah.

Labbaika… adalah ungkapan penuh ketaatan saat mendengar panggilan yang diarahkan kepadanya . Dalam bahasa Arab, ungkapan ini diucapkan dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, seperti anak kepada orang tuanya atau murid kepada gurunya. Sebagaimana para shahabat radhiallahhu anhum, jika dipanggil Rasulullah saw, mereka akan berkata, “Labbaika yaa Rasulallah….” .

Dalam konteks ibadah haji, perjalanan yang panjang, ongkos dan beban berat yang harus dipikul serta berbagai kesulitan menghadang, takkan menghalangi kaum muslimin untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji, jika Dia telah izinkan.

Di luar itu, sejatinya, “labbaika..” bukan hanya sebatas ucapan yang dilantunkan, tapi seharusnya menjadi keyakinan tak terpisahkan, bahwa tidak ada jawaban dan sikap yang paling pantas dari diri seorang mukmin saat mendengarkan dan menerima seruan Allah kecuali dia menyatakan “Kami dengar dan kami taat”.

Inilah terjemahan yang paling lugas dari kata “labbaik” itu. Sehingga, bukan hanya terhadap seruan haji, tapi terhadap seruan lainnya yang bersumber dari Allah Ta’ala, seperti shalat, puasa, zakat, bakti kepada orang tua, menutup aurat, melaksanakan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, lisaanul haal (sikap) kita hendaknya menyatakan “Labbaika yaa Allah….”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ -سورة الأنفال 24

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfal: 24)

Inilah hakekat tauhid uluhiyah, tauhid ibadah dan penghambaan yang menuntut kita untuk selalu mewujudkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan inilah yang menjadi misi utama para rasul sejak awal hingga akhir. Bahkan pesan tauhid dipertegas lagi dengan kata “Laa syariika lak” (Tidak ada sekutu bagiMu), bahwa ibadah dan penghambaan harus murni kepada Allah Ta’ala semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada ibadah untuk selain-Nya, apapun dan siapapun wujudnya.

Bagian kedua dari kalimat talbiyah adalah:

إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك

Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanya milik-Mu, tiada setuju bagi-Mu.

Bagian kedua dari kalimat talbiyah ini berisi pengakuan dan keyakinan mutlak akan kekuasaan dan kerajaan Allah Ta’ala serta kebesaran dan keagunganNya yang tiada tanding. Maka segala puji hanya layak diberikan kepada-Nya. Lebih dari itu, nikmat Allah Ta’ala tiada terkira kepada setiap hamba.

Tidak ada satupun bagian hidup kita kecuali bergantung dengan nikmat dan kasih sayangNya. Dialah yang menentukan dan mengatur segala kehidupan ini. Maka segala puji hanya layak dikembalikan kepada-Nya.

Inilah Tauhid Rububiyah yang juga tidak boleh hilang dalam diri seorang muslim. Pernyataan ini pun diperkuat dengan nilai tauhid yang mutlak dan murni yang tidak menerima sikap mendua; “Laa syariika lak” (tidak ada sekutu bagiMu).

Tauhid Rububiyah mengajarkan kita untuk bersandar dan bergantung dengan kekuatan dan kekuasaan Allah semata.

Bahwa apapun kedudukan, kekuatan dan kebesaran yang kita miliki, atau yang dimiliki oleh makhluk apapun dan siapapun, semua itu tak ada apa-apanya dibanding kekuasaan dan kekuatan Allah yang sedikitpun kehidupan kita tidak dapat berpisah darinya.

Jangan sampai penyandaran dan kepasrahan kita dialihkan kepada diri sendiri atau makhluk lainnya dibanding kepada Allah.

Apalagi pada saat yang sama dan tempat yang sama, jamaah haji dari berbagai penjuru dunia dikumpulkan dengan berbagai latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi yang beraneka ragam. Semua kebesaran dan simbol-simbol duniawi hendaknya ditanggalkan.

Maka, ketika sesaat sebelum ihram seseorang melucuti pakaian biasanya untuk diganti dengan kain ihram, hendaknya diapun melucuti kesombongannya dan keangkuhannya untuk kemudian menjadi hamba yang bersandar, bergantung dan memohon hanya kepada Allah Ta’ala._ Sebuah sikap yang tidak hanya dituntut saat dia melaksanakan ibadah haji, tapi dalam semua aspek kehidupannya, sebelum haji, saat haji maupun sesudah haji.

Mengumandangkan kalimat talbiyah sambil meresapi makna yang terkandung di dalamnya, tentu akan lebih mampu mengetuk dinding-dinding hati dan lebih memberikan energi untuk semakin mempersembahkan ketundukan kepada Allah rabul izzati…

Wallahu A’lam

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Proporsional Dengan Istilah ‘Sunah’

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Kata-kata sunah sesungguhnya sangat agung. Dahulu para ulama menjadikan kata ini sebagai pedoman bagi umat untuk menentukan, mana keyakinan dan aqidah yang benar dan mana yang telah menyimpang. Yang benar disebut ahlussunah, yang sesat dan menyimpang disebut Ahlul bid’ah.

sunnah-bidah2

Sunah yang dimaksud disini adalah ajaran yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah-masalah pokok agama (Ushuluddin) atau juga disebut sebagai masalah aqidah. Yaitu perkara-perkara yang sudah jelas dan nyata, baik dari sisi dalil, kesimpulan terhadap dalil tersebut dan kesepakatan para ulama terhadap kesimpulan tersebut. Di sini tidak mengenal perbedaan pendapat. Adapun masalah-masalah furu’ (cabang) tidak termasuk dalam istilah sunah dalam masalah ini, karena di dalamnya terbuka luas peluang perbedaan pendapat.

Contohnya, rukun Iman dan rukun Islam secara global, atau masalah wajibnya shalat lima waktu, itu masalah prinsip, karena dalilnya jelas dan tegas, dan kesepakatan ulama juga jelas dan tegas dalam masalah ini, maka dia adalah masalah aqidah. Namun sejumlah kaifiyat-nya (tata caranya) masuk dalam masalah furu’ (cabang) yang diperselisihkan oleh para ulama. Misalnya soal talafuz (melafazkan) niat dalam shalat.

Jadi, kalau ada dua orang, yang yang satu berpendapat; Harus beriman kepada takdir Allah, yang baik maupun buruk, atau agama yang benar hanyalah Islam, atau bahwa shalat lima waktu itu wajib bagi setiap muslim, maka kita katakan dia ahlussunah. Adapun yang satu lagi berpendapat  bahwa dia  tidak beriman kepada takdir Allah, atau bahwa ada agama lain yang benar selain Islam, atau bahwa shalat lima waktu tidak wajib, maka dia bukan Ahlussunah, dia adalah ahlul bid’ah, karena sikapnya bertentangan dalam masalah ‘ushul’ (pokok).

Tapi kalau ada dua orang, yang satu mengatakan bahwa talafuz (melafazkan) niat tidak disyariatkan dalam shalat, yang satu lagi menyatakan bahwa melafazkan niat dalam shalat disyariatkan, dalam hal ini kita tidak dapat mengatakan bahwa yang satu adalah ahlussunah dan yang satu lagi adalah ahli bid’ah. Karena ini masalah cabang dalam fiqih yang telah diperdebatkan dalam kajian-kajian fikih oleh para ulama sejak dahulu.

Jadi jelaslah, masalah sunah dan bid’ah pada awalnya diterapkan dalam masalah-masalah ushul (pokok agama). Dua tokoh ulama Tabi’in, Yusuf bin Asbath dan Abdullah bin Mubarak mengatakan,

أُصُولُ الْبِدَعِ أَربَعَةٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّة، وَالْمُرْجِئَة

“Pokok-pokok bid’ah itu ada empat: Rafidhah (syiah), khawarij, qodariah dan murji’ah.”  (Majmu Fatawa, 1/283, berdasarkan penomoran Maktabah Syamilah)

Karena itu Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ

Bid’ah yang karenanya seseorang dapat dianggap sebagai ahlul ahwa (budak hawa nafsu/ahli bid’ah) adalah apa yang sangat dikenal oleh para ulama sunah bahwa perkara tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, seperti (bid’ah) khawarij, rafidhah (syiah), qadariah dan murji’ah.”  (Majmu Fatawa, 9/269, berdasarkan penomoran Maktabah Syamilah).

Adapun masalah ijtihad-ijtihad fiqih yang sering diperdebatkan, misalnya, apakah isbal haram atau tidak, pelihara jenggot wajib atau tidak, berpartai boleh atau tidak, demonstrasi boleh atau tidak, semestinya hal ini dibicarakan dalam ranah fiqih. Silakan berargumen dan cari pendapat yang lebih kuat. Tapi tidak kemudian mencap orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai bukan sunah atau ahli bid’ah.

Maka, jika boleh diibaratkan, dahulu para ulama menggunakan istilah sunah seperti halnya pentungan untuk mengusir atau menghalau para perampok yang jelas-jelas hendak  masuk ke kampung warga dan hendak merampoknya.  Namun, jika kini banyak  yang serampangan menyematkan istilah sunah dan bukan sunah; seperti ustaz sunah dan bukan ustaz sunah, kajian sunah dan bukan kajian sunah, pesantren sunah dan bukan pesantren sunah, padahal secara umum prinsip-prinsip dasar keIslamannya masih benar, ini tak ubahnya seperti  menggunakan pentungan yang asalnya untuk mengusir perampok, tapi justeru digunakan untuk mementung dan mengusir warga di kampungnya sendiri. Maka wajarlah kalau kemudian keributan demi keributan sering kita dengar…. Wallahul musta’an.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Taat Kepada Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ ؛ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ   [رواه البخاري ومسلم]

 

Kosa kata

نـَهَيْتُكم :  (Aku) larang kalian اجتنبوا : Hedaklah kalian  hindari
أَمَرْتُكُم : (Aku) perintahkan kalian أَهْلَكَ : Menghancurkan
كثرة : Sering/banyak اختلافهم : Perselisihan Mereka

Terjemah Hadits

Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

‘Apa yang Aku larang, hendaklah kalian hindari, dan apa yang aku perintahkan, hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [1]

Kedudukan Hadits

Imam Nawawi berkata, “Ini merupakan bagian dari prinsip Islam yang penting dan termasuk Al-Jawami’ul Kalim (Ungkapan sedikit namun maknanya dalam) yang dimiliki Rasulullah salallahu ‘alahi wa sallam. Sebab dari prinsip ini mencakup sekian banyak hukum yang tak  terhitung. [2]

Pemahaman Hadits

Maa Nahaitukum (apa yang aku larang dari kalian). An-Nahyu (Larangan) dapat berarti haram atau makruh. Namun asalnya setiap larangan adalah haram, kecuali jika ada petunjuk bahwa hal itu adalah makruh.

Maa Amartukum, (apa yang aku perintahkan kepada kalian). Al-Amr (perintah) dapat berarti wajib atau sunnah. Namun asalnya setiap perintah adalah wajib, kecuali ada petunjuk bahwa hal itu adalah sunnah.

Mastatha’tum (semampu kalian). Maksudnya adalah bahwa kalian harus menunaikan kewajiban sampai batas kemampuan, dan jangan sepelekan selama masih mampu. Atau pelaksanaan kewajiban disesuaikan dengan kemampuan melakukannya. [3]

Min qablikum (kaum sebelum kalian). Pemahamnnya dapat bersifat umum, yaitu siapa saja sebelum kaumnya Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam. Namun yang lebih dekat kepada permasalahan ini (banyak bertanya dan menentang para nabi) adalah kaum Yahudi dan Nashrani.

Katsratu Masa’ilihim (banyaknya pertanyaan mereka). Maksudnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak dibenarkan dalam syariat. Misalnya: Bertanya tentang hakekat sifat-sifat Allah Ta’ala, bertanya tentang perkara-perkara ghaib, bertanya tentang perkara yang tidak ada kenyataan-nya, bertanya untuk membantah dan menghindar dari perintah.  

Wakhtilafuhum ‘ala Anbiyaa’ihim. Maksudnya adalah penentangan terhadap perintah dan larangan nabi-nabinya, sebagaimana hal tersebut banyak dikisahkan dalam Al-Quran.

Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits

  • Terhadap hal yang diperintahkan, perintah melaksanakannya disertai kalimat: “Mastatha’tum” (semampu kalian), sedangkan terhadap larangan, perintah meninggalkannya tidak disertai kalimat tersebut. Hal ini menunjukkan dua hal:

– Pertama, perhatian terhadap upaya untuk meninggalkan larangan lebih besar ketimbang melaksanakan perintah. [4]

– Kedua, sebuah larangan harus ditinggalkan secara menyeluruh. Misalnya seseorang dilarang minum khamar, maka dia harus meninggalkannya sama sekali, baik banyak maupun sedikit.  Berbeda dengan perintah, jika tidak mampu melakukan seluruhnya, maka boleh dilakukan sebagiannya sebatas yang dibolehkan dan ditentukan syariat. Misalnya perintah shalat, jika tidak mampu berdiri maka dia duduk, atau perintah puasa, jika dia sakit maka boleh tidak berpuasa, dll.

  • Taat kepada ajaran Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam merupakan sumber keselamatan dan kesejahteraan dalam sebuah masyarakat, sebagaimana pembangkangan terhadap ajarannya akan mengakibatkan kehancurannya.
  • Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat manusiawi, di mana perintah-perintahnya dikaitkan dengan kemampuan manusia itu sendiri untuk menunaikannya. Maka termasuk yang dilarang dalam agama adalah memberatkan diri dengan sesuatu yang tidak kuat ditanggungnya.
  • Larangan untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
  • Bahayanya mengikuti hawa nafsu dan kehilangan kendali dari pedoman dan ajaran syariat.
  • Hadits ini merupakan salah satu dalil yang melandasi salah satu kaidah fiqh umum, yaitu Dar’ul mafaasid muqod-damun ala jalbil mashalih (Menolak keburukan didahulukan dari mendatangkan kebaikan). [5]

Tema hadits dan Ayat Al-Quran terkait

Patuh kepada Rasulullah ﷺ : Al-Hasyr (59): 7, Al-Anfal (8): 46
Bertakwa sebatas kemam-puan, karena agama tidak memberatkan : Al-Baqarah (2): 195,  At-Taghabun (64): 16,

Al-Ma’idah (5): 77

Larangan berdebat yang tak berguna dan bertikai : Al-Anfal (8): 46, Al-Mukmin (40): 5

 

Catatan Kaki:

  1. Shahih Bukhari, Kitab Al-I’tisham bil Kitab was-Sunnah, no. 6777, dan Muslim, Kitab Al-Fadha’il, no. 1337.
  2. Syarh Muslim: An-Nawawi, 9/102
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah: Syekh Al-Utsaimin, hal. 160
  4. Fathul Bari, 12/262
  5. Al-Wafie, hal. 64

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Musim Panas

Musim panas kembali kita rasakan. Terik matahari ditambah angin yang juga panas sering membuat kita “blingsatan” jika berada di siang hari. Sering tanpa sadar keluar keluhan kita atau bahkan umpatan terhadap udara yang tidak bersahabat ini. Padahal dilarang bagi seorang mu’min mencela sesuatu yang merupakan makhluk Allah ta’ala, sebab mereka tak lain adalah makhluk yang tunduk kepada Allah ta’ala.

Mengapa kita tidak berfikir positif sekalian dengan panasnya cuaca yang kita rasakan, sehinggap lahir sikap positif yang sangat bermanfaat buat kita. Tentu akan sangat terasa bedanya panas yang kita sikapi dengan negatif lewat umpatan dan keluhan dengan panas yang kita sikapi dengan positif lewat kesabaran dan mengambil pelajaran didalamnya.

Diantara pelajaran yang sangat bermanfaat dapat kita ambil dari panas terik yang sangat menyengat ini adalah semakin mendekatkan kita dengan pemahaman akan besar dan panasnya azab Allah di neraka. Tentu saja tidak layak membandingkan panas neraka dengan panas dunia, sebagaimana membandingkan nikmat syurga dengan nikmat dunia, akan tetapi paling tidak kita yang telah merasakan sengatan panas di sini (baca: Arab Saudi) yang sulit kita dapatkan di negri kita  akan dengan mudah mengatakan: “Jika panas di dunia saja sudah seperti ini, apalagi panas di neraka”. Kesimpulan tersebut akan semakin lengkap dan berbekas dalam kehidupan kita apabila kemudian melahirkan kesimpulan dan sikap berikutnya: “Ah biarlah merasakan panas di dunia, asal jangan terkena panas neraka di akhirat”. Kesimpulan ini jika dengan jujur diungkapkan maka orang tersebut akan langsung mendapatkan dua keuntungan.

Pertama: Sehatnya kondisi kejiwaan seseorang karena mentalnya telah siap menanggung beban yang ada.

Kedua: Menjaga diri dari perbuatan maksiat, karena khawatir dia terjerumus dalam siksa panas yang tidak tertahankan di akhirat atau sebaliknya mendorong untuk beramal lebih giat walau disaat udara yang sangat berat.

Ketika orang-orang munafik memprovokasi kaum muslimin untuk tidak berperang di jalan Allah dengan alasan terik panas matahari, maka dengan tegas Allah memberikan jawaban:

قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ

 “Katakanlah: “Api neraka jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah 81)

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Benarkah Tidak Boleh Mengucapkan “Minal Aidin Wal Faizin” Pada Hari Idul Fitri?

idul_fitri
Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Saya beberapa kali dikirimi pertanyaan tentang ucapan selamat pada hari Idul Fitri, benarkah ucapan seperti “Minal aidin wal fa’izin… mohon maaf lahir batin..” adalah ucapan yang tidak boleh diucapkan sebagai ucapan selamat pada hari Idul fitri. Dan yang benar adalah ucapan taqabbalallahu mina wa minkum.

Menyatakan bahwa ungkapan “taqabbalallahu minna wa minkum” sebagai tahni’ah (ucapan selamat) yang lebih utama saat Idul Fitri memang ada benarnya karena  terdapat riwayat bahwa para sahabat saling mengucapkan demikian pada hari Id. Meskipun para ulama juga sempat memperbincangkan derajat riwayat ini dan juga kesimpulannya. Akan tetapi menyatakan tidak boleh mengucapkan redaksi lainnya, apalagi yang sudah kadung akrab diucapkan dan didengar di tengah masyarakat seperti ucapan “Minal aidin wal fa’izin” atau “mohon maaf lahir batin” adalah sikap yang terlalu terburu-buru menghukumi sesuatu, bahkan cenderung tidak bijak menyikapi keragaman dan hanya akan menambah kebingungan sebagian awam, atau bahkan sedikit atau banyak dapat menimbulkan gesekan yang tidak perlu.

Idul Fitri, sebagaimana Idul Adha, adalah hari raya umat Islam. Selain memiliki nilai ibadah dengan ritual tertentu, hari Id, sebagaimana umumnya hari raya, juga sarat dengan muatan-muatan sosial, dan efeknya adalah pengaruh adat dan budaya setempat sedikit banyak akan mempengaruhi. Maka, disamping perkara-perkara ibadah yang sama disepakati, tak mengherankan jika Idul Fitri di berbagai belahan dunia Islam memiliki ciri khas, adat dan budaya tersendiri. Seperti dalam hal makanan, pakaian, hiasan dan ornamen dan symbol-simbol, hingga masalah kebiasaan di tengah masyarakat, seperti mudik, saling berkunjung, dll. Akan tetapi substansinya sama, kegembiraan, kebahagiaan, dan kesemarakan dalam naungan iman di antara kaum muslimin. Sejauh ini, tidak ada yang mengingkari adanya budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya.

Termasuk yang dapat dimasukkan dalam hal ini adalah masalah tahni’ah (ucapan selamat). Masing-masing negeri biasanya memiliki tahni’ah yang khas di hari raya ini. Maka memaknai masalah ini dari sudut pandang budaya dan adat istiadat, lebih ringan dan lebih luwes ketimbang dilihat dari sudut pandang ibadah semata, atau dinilai secara hitam putih, sehingga memberikan kesan agama ini terasa sempit dan anti adat istiadat.

Bahkan di negeri-negeri Arab pun, selain ucapan ‘taqabbalallahu minna wa minkum’ juga biasa diucapkan tahni’ah dengan redaksi beragam, seperti: ‘kullu aamin wa antum bikhairin’, ‘Iedun sa’iid’, ‘Id mubaarak’ plus doa-doa yang biasanya menyertai. Ucapan-ucapan tersebut tentu saja tidak ada riwayatnya dan sandaran dalilnya, namun tidak kita dengar pendapat ulama mu’tabar yang mengingkarinya. Karena memang ini hanyalah masalah adat istiadat yang semestinya disikapi dengan luwes dan hukum asalnya adalah boleh, sepanjang tidak menabrak kaidah-kaidah syariat secara prinsip.

Jadi, ucapan ‘minal aidin wal faizin’ atau ‘mohon maaf lahir batin’ dapat dipahami dari sisi ini, dan karenanya dia tidak terlarang diucapkan, anggaplah hal itu bagian dari keragamana budaya yang menjadi khazanah Islam, khususnya di negeri kita.. Wallahu a’lam.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Antara Beramal Karena Riya dan Tidak Beramal Karena Takut Riya

Penyakit riya (ingin dilihat dan dipuji) begitu halus dibisikkan oleh setan menyelinap di sela-sela amal ibadah kita. Tanpa muhasabah (evaluasi) dan muraqabatullah (merasa terus terpantau oleh Allah) terus menerus, boleh jadi dia telah sekian lama mengiringi dan menghiasi setiap langkah dan amal kita. Karenanya, Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam sangat mengkhawatirkan masalah ini di tengah umatnya.

Beliau bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ (رواه أحمد)

“Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Ketika beliau ditanya tentang apa itu syirik kecil, beliau bersabda, “Riya.” (HR. Ahmad)

Namun, kekhawatiran seseorang terhadap riya sehingga menghalanginya untuk beramal, juga merupakan bisikan setan dari sisi yang lain. Maka tidak sedikit orang yang enggan melakukan aktifitas kebaikan yang tampak dan terlihat karena takut riya, padahal di sana terdapat manfaat yang besar, baik bagi dirinya ataupun orang lain.

Maka dalam hal ini, upaya setan di antara dua; Seseorang beramal namun disertai riya, sehingga amalnya gugur di sisi Allah, atau dia tidak beramal sama sekali karena takut riya sehingga nilainya sama saja dengan orang yang pertama.

Singkirkan bisikan setan dengan terus beramal  dan selalu waspadai hati dari sikap riya; Itulah ikhlas….

Fudhail bin Iyadh berkata,

تَرْكُ الْعَمَلِ لأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ ، وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللهُ مِنْهُمَا

“Meninggalkan amal kerena orang lain adalah riya, beramal karena orang lain adalah syirik, dan ikhlash adalah apabila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)

Allahumma waffiqna bil amalishaalih, warzuqnal ikhlaasha fiihi (Ya Allah, berilah kami taufik untuk beramal saleh, dan karuniakan kami keihklasan di dalamnya)

Sumber: Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)