Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Isra Mi’raj Dan Rahasia Keunggulan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Isra Mi’raj Dan Rahasia Keunggulan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

Manhajuna.com – Ada pertanyaan yang cukup menggelitik tentang keutamaan Abu Bakar Ash-Shidiq, mengapa dia menjadi sahabat yang paling utama. Sebab, jika ditanya keunggulan-keunggulan tertentu pada sahabat, biasanya nama Abu Bakar tidak tercantum di barisan terdepan; Tentang keunggulan ilmu, maka yang segera disebut adalah sahabat semacam Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit. Tentang keunggulan militer, maka yang segera disebut adalah Khalid bin Walid, Usamah. Tentang keunggulan manajemen pemerintahan, Umar bin Khattab biasanya lebih dahulu disebut. Tentang kedermawanan, Usman bin Affan lebih menonjol, dll.

Jika demikian halnya, mengapa Abu Bakar Ash-Shidiq menjadi sahabat yang paling mulia di antara sahabat lainnya?

Barangkali salah satu sisi dari peristiwa Isra Mi’raj dapat menjadi kunci jawabannya.

Sebagaimana diketahui dalam catatan sirah, bahwa kaum musyrikin Mekah ‘mentertawakan’ Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau menceritakan peristiwa Isra Mi’rajnya. Lalu mereka mendatangi Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu untuk mendengarkan langsung reaksi sahabat terdekatnya. Tentu mereka berharap sikap Abu Bakar akan sama dengan mereka mengingat peristiwa tersebut sangat sulit diterima akal.

Namun, harapan mereka sirna. Setelah mereka sampaikan kabar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang peristiwa Isra Mi’raj, Abu Bakar Ash-Shidiq balik bertanya, “Benarkah beliau menyatakan hal tesebut?” Mereka jawab, “Benar,” maka beliau berkata, “Jika dia yang mengatakan demikian, maka itu benar.” Mereka masih penasaran, lalu mendesak Abu Bakar dengan pertanyaan, “Apakah engkau akan membenarkan sahabatmu yang mengatakan bahwa dia diperjalankan di malam hari ke Baitul Maqdis lalu kembali sebelum subuh?”

Maka terucaplah dari mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq sebuah ungkapan keimanan sangat agung,

إِنِّي لَأَصُدِّقُهُ فِيمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ أُصَدِّقُهُ بِخَبَرِ السَّمَاءِ فِي غَدْوَةٍ أَوْ رَوْحَةٍ

“Jika dia berkata demikian, sungguh aku akan membenarkan apa yang dia sampaikan, bahkan walaupun lebih dari itu. Aku membenarkan berita langit baik di pagi atau sore hari.” (HR. Hakim, dinyatakan shahih dan disetujui oleh Imam Az-Zahabi)

Karena sikapnya itu, beliau diberi gelar “Ash-Shiddiq” (yang sangat membenarkan).

Ya, keunggulan Abu Bakar Ash-Shidiq ada pada keyakinan, kecintaan, ketulusan, kepatuhan dan kesungguhan dalam menerima ajaran Allah. Sesuatu yang umumnya tidak mudah dinilai secara kasat mata, tapi butuh ‘ainul bashirah’ (mata hati) untuk melihatnya.

Karena itu, seorang ulama salaf berkata,

مَا فَضَلَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ بِكَثْرَةِ صَلاةٍ ، وَلا بِكَثْرَةِ صِيَامٍ ، وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي صَدْرِهِ

“Abu Bakar tidak mengungguli manusia dengan banyaknya shalat dan puasa, akan tetapi dengan sesuatu yang tertanam dalam dadanya.” (Riwayat Hakim dan Tirmizi)

Inilah medan hati yang kerap kita lupakan, padahal sesungguhnya dia merupakan medan amal yang sangat besar dan paling besar, yang apabila hal ini digarap maksimal akan menjadi pondasi kokoh bagi tegak dan berdirinya nilai-nilai kebajikan pada diri kita. Sebaliknya, apabila medan ini tak dipedulikan atau bahkan cenderung diabaikan, medan amal semakin sempit dan lemah, bahkan yang ada dan tampak besar sekalipun, boleh jadi makna dan hakekatnya tidak sebesar yang tampak.

Di sisi lain, kebesaran seseorang di hadapan Allah, tidak selalu berbanding dengan nama besar dengan segala atributnya. Boleh jadi kebesaran itu ada para orang-orang kecil yang tidak tertangkap kamera atau yang namanya tidak menjadi berita, akan tetapi dia kokoh dalam keimanan, kuat dalam keyakinan, melangkah penuh cinta dan ketulusan serta patuh tak tergoyahkan.

طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ، مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ

“Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kendali kudanya di jalan Allah, rambutnya kumal, kedua kakinya dekil. Jika ditugaskan sebagai penjaga, dia laksanakan. Jika ditugaskan di barisan belakang, dia laksanakan. Jika dia minta izin, tidak diberi izin, jika dia minta tolong tidak ditolong (karena buka orang terkenal).” (HR. Bukhari)

Baca Juga: Hikmah dan Pelajaran Di Balik Peristiwa Isra Mi’raj

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.
(Visited 1.743 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *