Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 21)

Search Results for: abdullah haidir

Beberapa Point Dalam Masalah Shalat Bagi Musafir

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
• Jika jarak tempuh perjalanan mencapai enam belas farsakh (kurang lebih 80 km), maka seseorang dibolehkan melakukan qashar dan jama’ dalam shalat.

• Qashar shalat artinya meringkas bilangan rakaat dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Berarti hanya berlaku untuk shalat yang jumlahnya empat, yaitu Zuhur, Ashar dan Isya. Maka shalat Maghrib dan Shubuh tidak ada qashar padanya.

• Sedangkan jama’ shalat artinya menggabungkan pelaksanaan dua shalat dalam satu waktu shalat. Berlaku hanya untuk shalat Zuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya. Baik dilakukan pada waktu pertama (jama’ taqdim) atau pada waktu kedua (jama’ ta’khir).

• Shalat Ashar tidak dapat dijama’ dengan shalat Maghrib, atau shalat Isya’ tidak dapat dijama’ dengan Shubuh.

• Di tengah perjalanan, disunahkan melakukan shalat fardhu dengan cara qashar dan jama’, dengan satu kali azan dan dua kali iqamah. Misalnya jika singgah di tengah perjalanan waktu Zuhur. Hendaklah dia shalat Zuhur dua rakaat, lalu salam, setelah itu lakukan iqamah, kemudian shalat Ashar dua rakaat hingga salam.

• Shalat berjama’ah tetap diperintahkan bagi orang laki selama di perjalanan, selagi dia mampu melakukannya.

• Jika seseorang masuk masjid di tengah perjalanan, lalu dia mendapatkan jama’ah shalat, janganlah dia membuat jama’ah baru, tetapi bergabunglah dengan jama’ah yang telah ada, maka hendaklah dia shalat ikut berjama’ah bersama imam.

• Imam ditetapkan untuk diikuti. Jika imamnya ketika itu shalat dengan sempurna maka sebagai ma’mum dia ikut shalat dengan sempurna, dan jika imamnya shalat qashar, maka sebagai makmum, jika dia musafir, dia shalat qashar.

• Jika seseorang mendapatkan shalat jamaah sedang ditunaikan, tidak perlu dia bertanya-tanya shalat apa yang sedang dilakukan. Dia dapat langsung bergabung dengan jamaah tersebut sebagai makmum dan niat shalat sesuai urutannya. Misalnya dia hendak shalat jama’ Maghrib dan Isya. Maka ketika dia masuk masjid dan mendapatkan jama’ah shalat sedang dilakukan, dia dapat langsung bergabung dengan jama’ah tersebut dengan niat shalat Maghrib. Jika imam telah salam dan rakaat shalat Maghribnya masih kurang, tinggal dia teruskan sisanya.

• Adapun jika ternyata imam shalat Isya dengan sempurna dan dia (yang shalat Maghrib) ikut sejak rakaat pertama, maka ketika imam bangun dari rakaat ketiga, dia tetap duduk untuk tasyahhud akhir, lalu jika selesai dia dapat langsung salam tanpa menunggu imam, atau menunggu imam menyem-purnakan shalatnya dan dia salam setelah imam salam.

• Kadang sering terjadi di tengah perjalanan, setelah selesai shalat Maghrib, jamaah berikutnya langsung iqamah dan memulai shalat Maghrib pula, maka dia boleh langsung bergabung dengan jamaah tersebut dengan niat shalat Isya’.
Ketika itu ada dua cara yang dapat dilakukan; Dia dapat melakukan shalat Isya dengan sempurna, dengan pertim-bangan imam shalat Maghrib dengan sempurna. Atau dia dapat melakukan qashar shalat dengan pertimbangan bahwa jamaah tersebut sedang melakukan Shafar.

Jika pilihan kedua yang dia ambil, maka ketika imam (yang shalat Maghrib) tersebut bangun setelah rakaat ketiga, hendaknya dia tetap duduk untuk tasyahhud akhir dan menunggu imam menyelesaikan shalatnya, lalu dia salam setelah imam salam. Atau, dia langsung salam setelah tasyahhud akhir tanpa menunggu imam.

• Jika seseorang menetap di suatu tempat selama empat hari kurang, maka dia tetap boleh melakukan qashar dan jama’. Namun lebih utama dia melakukan qashar saja tanpa jama’. Akan tetapi jika dia ikut bersama imam yang shalat dengan sempurna, maka dia harus ikut shalat dengan sempurna bersama imam. Walaupun –misalnya shalat Zuhur- dia ikut imam yang shalat sempurna pada rakaat ketiga, ketika imam salam, dia tidak boleh salam dengan pertimbangan dia melakukan shalat qashar, akan tetapi dia harus menyempurnakan shalat dan menambah dua rakaat sisanya.

• Adapun jika dia telah niat menetap lebih dari empat hari, maka dia tidak boleh melakukan shalat qashar dan jama’ dengan alasan Shafar.

• Tidak ada shalat rawatib (qabliah dan ba’diah) jika kita melakukan shalat qashar atau jama’ dalam perjalanan. Kecuali shalat rawatib sebelum Fajar, dia tetap sunah dilakukan meskipun dalam perjalanan sebagaimana contoh Rasulullah SAW.

• Seorang musafir boleh menjadi imam dengan shalat qashar dengan makmum mukim yang shalat sempurna. Jika sang imam telah selesai salam, maka makmum mukim melanjutkan sisa rakaatnya.

• Jika keberangkatan setelah masuk waktu, sedangkan di waktu kedua kendaraan tidak berhenti, maka lebih baik jamak takdim. Adapun jika keberangkatan sebelum masuk waktu, dan akan berhenti di waktu kedua, maka lebih baik dilakukan jamak ta’khir.

• Jika seseorang hendak melakukan jamak ta’khir, ternyata pada waktu kedua tersebut dia sudah sampai di kampung halamannya, maka dia hanya boleh melakukan shalat jamak saja, tidak boleh diqashar. Karena shalat qashar hanya boleh dilakukan saat safar.

Riyadh, Rajab 1434 H

(AFS/Manhajuna)

Akhlak Berbuat Baik Pada Keluarga

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

 

Manhajuna – Jika terhadap sahabat karib, apakah di tempat belajar, di tempat kerja, atau tempat aktifitas, emosi kita dapat menjadi begitu dekat dan kuat kepadanya, padahal biasanya tidak ada hubungan kekeluargaan dengannya selain pertemanan saja. Kita gembira dengan kegembiraannya, sedih dengan kesedihannya, menampung segala curahan hatinya atau siap menumpahkan perasaan di hadapannya, sangat menjaga untuk tidak menyakitinya dan berupaya untuk membuatnya ridha, dst.

Jika demikian halnya, seharusnya hubungan antara suami dan isteri lebih dari itu. Bukankah dia pendamping yang lebih hakiki? Orang yang paling dekat dengan kita dan paling tahu apa dan siapa kita? Bukankah dia yang paling siap berada di sisi kita dalam suka dan duka? Bukankah dia yang paling tulus dan penuh cinta dalam memberikan masukan, nasehat dan doa-doa? Lebih dari itu, kedekatan tersebut telah diikat oleh janji dan ikatan agama, disaksikan keluarga dan tetangga, kenalan dan kolega, dan yang pasti, disaksikan Allah Al-Hayyul Qayyuum…yang Maha Hidup dan Terjaga. Maka, kitalah orang yang seharusnya paling bergembira dengan kegembiraan keluarga kita, paling sedih dengan kesedihan keluarga kita, paling jauh dari tindakan menyakiti mereka dan paling terdepan menghadirkan kesenangan dan ridha mereka. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang bisa melakukan itu untuk mereka?Apapun prestasi yang kita raih di luaran, namun jika kita biarkan keluarga terbengkalai tanpa perhatian, itu adalah nonsen. Apapun dalih dan dalil yang kita andalkan, hendaknya kita camkan hal ini, sebelum semuanya kita sesali, saat sesal tak lagi berarti.Sabda Raslullah shallallahu alaihi wa sallam…

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian, adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan Aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmizi)

*Yang sedang gundah, mendengar berbagai pengaduan dari orang-orang yang merasa diabaikan dalam kehidupan berumah tangga.

Riyadh, 1433H

(AFS/Manhajuna)

Berpuasa Di Musim Panas

Oleh Ust. Abdullah Haidir , Lc.


Manhajuna – Berpuasa di musim panas di kalangan salaf dikenal dengan istilah Zama’ul Hawajir. Artinya rasa haus setelah pertengahan siang.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Kitab Syu’abul Iman (3933) dari Qatadah, bahwa Amir bin Qais menangis saat menghadapi sakratul maut. Lalu ditanyakan kepadanya tentang sebab hal itu. Maka dia berkata,

مَا أَبْكِي جَزَعاً مِنَ الْمَوْتِ وَ لاَ حِرْصاً عَلَى الدُّنْيَا وَ لَكِنْ أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ عَلىَ قِيَامِ الَّليْلِ فِي الشِّتَاءِ

“Aku menangis bukan karena takut kematian atau khawatir kehilangan dunia. Tapi aku menangisi zama’ul hawajir (berpuasa di musim panas) dan qiyamullail di musim dingin (yang akan aku tinggalkan).”

·      Dalam Mushanaf Abu Syaibah (57) diriwayatkan bahwa saat Ibnu Umar menderita sakit, dia berkata,

مَا تَرَكْتُ خَلْفِي شَيْئاً مِنَ الدُّنْيَا آسَى عَلَيْهِ غَيْرَ ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَغَيْرَ مَشْيٍ إِلَى الصَّلاَةِ

“Tidak ada sesuatu yang sangat aku sayangkan untuk aku tinggalkan di dunia ini selain zama’ul hawajir (berpuasa di musim panas) dan berjalan menuju tempat shalat.”

·      Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu biasanya berpuasa di musim panas dan berbuka di musim dingin.

·       Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu saat menjelang kematiannya berpesan kepada puteranya; Abdullah. Dia berkata, “Hendaknya engkau mewujudkan sifat-sifat keimanan.” Lalu beliau menyebutkan yang paling pertama; “Berpuasa saat panas sangat terik di musim panas.”

·      Diriwayatkan bahwa sejumlah wanita shalihat menunggu-nunggu datangnya musim panas untuk melakukan puasa. Ketika ditanyakan latar belakangnya, mereka berkata, “Sesungguhnya sebuah barang, jika harganya murah, semua orang dapat membelinya.” Mereka ingin memberi isyarat bahwa mereka ingin bersungguh-sungguh melakukan suatu amal yang hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang karena beratnya amal tersebut sebagai wujud tingginya cita-cita mereka.

·      Suatu saat Abu Musa Al-Asy’ari berada dalam sebuah perahu. Tiba-tiba ada seseorang yang berseru kepadanya, ‘Wahai penumpang perahu, berhentilah. Maukah aku beritahu kalian dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan atas diri-Nya?’ Abu Musa berkata, ‘Ya, beritahukan kami.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri-Nya bahwa siapa yang membuat jiwanya kehausan (untuk berpuasa) karena Allah pada hari yang panas, maka wajib bagi Allah memberinya minum pada hari kiamat.”
Maka sejak saat itu, Abu Musa selalu menunggu-nunggu datangnya musim panas untuk berpuasa.

·         Suatu ketika Al-Hajjaj melakukan safar, lalu dia singgah di sebuah perkampungan antara Mekah dan Madinah. Kemudian dia mengundang orang-orang untuk makan siang bersamanya. Tiba-tiba dilihatnya seorang badui, maka diundangnya orang tersebut untuk makan siang bersamanya. Namun badui tersebut berkata,
“Aku sudah diundang oleh yang lebih mulia darimu, dan aku sudah terima undangannya.’
“Siapa dia?” kata Al-Hajjaj
“Allah Ta’ala. Dia mengundangku untuk berpuasa, maka aku berpuasa.”
“Di hari yang sangat panas seperti ini?” Kata Al-Hajjaj tercengang.
“Ya, aku berpuasa untuk menghadapi hari yang lebih panas dari hari ini…”

·      Abu Darda berkata,

صُومُوا يَوْمًا شَدِيدًا حَرَّهُ لِحَرِّ يَوْمِ النُّشُورِ وَ صَلُّوا رَكْعَتَيْنِ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ لِظُلْمَةِ الْقُبُورِ

 “Berpuasalah pada hari yang sangat panas, untuk menghadapi hari kebangkitan, dan shalatlah dua rakaat di kegelapan malam, untuk menghadapi gelapnya kubur.”

·      Abu Darda berkata, “Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadan pada hari yang sangat panas, sehingga setiap kami meletakkan tangannya di atas kepalanya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa selain Rasulullah SAW dan Abdullah bin Rawahah.” (Muttafaq alaih).

Allahumma waffiqna bithaa’atika ….

Sumber:
–          Lathaiful Ma’arif; Ibnu Rajab Al-Hambali
–          Hilyatul Auliya; Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
–          Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

(AFS/Manhajuna)

( شماتة ) Akhlak Tercela Pemecah Belah Ummat

Kultwit Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Di antara akhlak tercela adalah syamatah (شماتة).. tahukah kamu.. apa syamatah..?

Syamatah adalah org yg merasa senang dengan ujian dan musibah yang menimpa saudaranya, baik urusan dunia maupun agama.

Ketika ada saudara kita, baik kerabat atau saudara seagama sedg mederita, jangan merasa senang karenanya.

Ada saudara yg sakit, kecelakaan, usaha rugi, atau ada yg terjerumus dosa, berzina, dll.. jgan senang karenanya.

Justeru seharusnya kita sedih karenanya, dan membantunya atau minimal mendoakannya agar dijauhkan dari berbagai musibah.

Rasulullah saw bersabda, “Siapa yg menampakkan kegembiraan atas ujian yg menimpa saudaranya….

…maka bisa jadi, Allah merahmati saudaranya, dan Dia akan mengujimu.” (Tirmizi)

Maksudnya, jk ada yg senang dg musibah saudaranya, bisa jd musibah saudaranya itu Allah angkat dan Allah uji dia dg musibah tsb.

Hal lain lagi yang terkait syamatah adalah agar kondisi kita sbagai muslim jg sampai membuat musuh senang.

Musuh Islam senang kalau muslim itu lemah dan kalah, suka gontok2an, dn yg paling mereka suka adlh jika muslim jauh dari agamanya.

Itu artinya, sebagai muslim kita harus kuat, meyakinkan, bersatu, komitmen terhadap agamanya, dll.

Inilah maka doa Nabi saw, bhw beliau berlindung kpd Allah dari syamatah A’daa’, yaitu kegembiraan musuh krn kondisi kaum muslim.

Tercatat dlm sejarah…, seorg tentara muslim tertawan pasukan kafir. Dlm tahanan dia dibuat lapar, tidak disediakan makanan.

sampai akhirnya disediakan daging babi yg siap dimakan… namun dia tidak mau dimakan..diperintah, tetap tdk mau.

sampai akhirnya disediakan daging babi yg siap dimakan… namun dia tidak mau dimakan..diperintah, tetap tdk mau.

Dia katakan kpd mereka, sy tahu bhw kini babi itu halal (kondisi dhorurat –red), tapi saya tdk mau membuat kalian bergembira krn saya makan daging babi.

Begitu pula dlm kisah Nabi Harun dan Nabi Musa… disana terdapt pelajran agar kt terhindar syamatah a’daa.

Ketika Nabi Musa kembali menemui kaumnya, Bani Israil, setelah pergi untuk menerima perintah Tuhannya.

dia mendapatkan kaumnya telah menyembah anak sapi…Tentunya saja, dia sangat marah…kaumnya yg telah dibina menjadi sesat.

sasaran kemarahannya tak ayal diarahkan kepada Nabi Harun. Sebab dialah yang diamanahi menjaga kaumnya.

Rambutnya sempat dijambak oleh Nabi Musa alaihissalam, saking marahnya, “Kenapa tdk kau beritahu aku ttg keadaan mereka.” Katanya.

Nabi Harun sendiri memiliki alasan bhw posisinya sangat dilematis. jk memberitahu Nabi Musa, maka dia harus meninggalkan kaumnya.

padahal pesan Nabi Musa agar dia menjaga kaumnya. Nanti kalau ditinggalkan, dikira tdk menunaikan tugas.

Sementara oleh kaumnya dia tdk dianggap, tidak sebagaimana sikap mereka thd nabi Musa. Bhkn dia hampir dibunuh (QS. Thaha: 92-94).

Maka ketika Nabi Musa murka kepadanya dan akan menghukumnya, Nabi Harun berkata…

Wa laa tusymit biyal a’daa…. Jangan jadikan kondisi aku membuat musuh2ku senang (QS. Al-A’raf: 50).

Maksudnya, kalau engkau menghukumku dan menghinakan aku, hal itu membuat musuh2ku senang.

Sebuah sikap yg sangat penting dalam dunia dakwah. Bahwa apapun yang terjadi pada kaum muslimin, walaupun ada perbedaan.

Apakah berbeda pandangan politik, pendekatan dakwah dan praktik dlm perkara cabang, hendaknya sikap kita hati2.

Saat melihat saudaranya kt anggap salah langkah, terobosannya keliru, atau bahkan ada yg tergelincir.

Maka, cara mengatasinya tidak harus dg menampakkan permusuhan secra terbuka, atau memojokkan atau membuatnya merasa tersudut.

Sebab hal tsb membuat musuh2 Islam senang, karna mereka akan mendapatkan celah untuk memojokkan Islam atau dakwah Islam.

Atau jg sampai berakibat buruk lebih besar. Krn pr ulama tlah meletakkan kaidah dar’ul mafsadah muqaddamun ala jalbil mashalih..

.. menolak keburukan, didahulukan dari mendatangkan kemaslahatan.

Nasehati secara proporsional, tunjukkan apresiasi, tampakkan kecintaan thd saudara dan doakan.

Sebab.. menciptakan situasi agar kaum muslim saling gontok2an kini menjadi andalan Iblis thd kaum muslimin.

Nabi saw bersabda saw, “Iblis sudah putus asa menggoda org2 saleh agar Allah tidak disembah, ..

…Tapi yang masih dapat mereka lakukan adalah menciptakan pertikaian di antara mereka.” (HR. Muslim)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ وَمِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ وَمِنْ شَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dr takdir buruk, jurang kehinaan, musibah memberatkan dan kegembiraan musuh..” (Muttafaq alaih)

Semoga kita dijauhkan dari syamatah thd saudara, dan dari syamatah musuh thd kita… aamiin.

(AFS/Manhajuna)

Beberapa Perkara Terkait Bulan Sya’ban

Oleh Ust.  Abdullah Haidir, Lc.
Tentang Bulan Sya’ban
Bulan Sya’ban adalah bulan ke 8 dalam penanggalan Hijriah. Terletak antara dua bulan yang mulia, yaitu Rajab dan Ramadan.
Karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang bulan Sya’ban,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ

“Inilah bulan yang sering disepelekan orang, terdapat antara Rajab dan Ramadan.”

(HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)

Keistimewaan Bulan Sya’ban dan Puasa Di Dalamnya

Keistimewaan bulan Sya’ban, dinyatakan dalam kelanjutan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas;

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Dia adalah bulan diangkatnya amal-amal (manusia) kepada Tuhan semesta Alam. Maka aku ingin ketika amalku sedang diangkat, aku sedang berpuasa.”

(HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)

Karena itu, berdasarkan riwayat shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya’ban. Sebagaiman perkataan Aiysha radhiallahu anha,

… فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ (متفق عليه

“Aku belum pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasanya dalam sebulan selain bulan Ramadan, dan tidak aku lihat bulan yang di dalamnya beliau paling banyak berpuasa selain bulan Sya’ban.”

Dalam riwayat Bukhari (1970) dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata, “Tidak ada bulan yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih banyak berpuasa di dalamnya, selain bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya.”

Maksud hadits ini adalah bahwa beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari di bulan Sya’ban, berdasarkan perbandingan riwayat-riwayat lainnya yang menyatakan demikian. Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang boleh mengatakan ‘berpuasa sebulan penuh’ padahal yang dimaksud adalah ‘berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu’. Ada juga yang memahami bahwa kadang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban, tapi kadang (di tahun lain) beliau berpuasa sebagian besarnya. Ada pula yang mengatakan bahwa pada awalnya beliau berpuasa pada sebagian besar bulan Sya’ban, namun pada akhir hidupnya beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.

Penafsiran pertama lebih kuat, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering berpuasa di bulan Sya’ban melebihi puasa di bulan lainnya, dan bahwa Beliau belum pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadan. Wallahua’lam.

(Lihat: Fathul Bari, 4/213)

Berdasarkan hadits di atas, keutamaan puasa di bulan Sya’ban memiliki dua alasan;

–  Karena di bulan ini amal manusia diangkat untuk dilaporkan.

–  Karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang banyak disepelekan orang, karena terletak di antara dua bulan utama. Beribadah di saat orang lalai (kurang memperhatikan), memiliki keutamaan lebih dibanding beribadah disaat yang lainnya semangat beribadah. Meskipun kedua-duanya adalah kebaikan.

Puasa di bulan Sya’ban, selain hikmah yang disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas, oleh para ulama juga dimaknai sebagai penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan. Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya diawali oleh pembuka yang mengawalinya. Seperti ibadah haji diawali dengan persiapan ihram di miqat, atau ibadah shalat yang diawali dengan bersuci dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat. Di samping hal ini akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk menyambut ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.

Di sisi lain, Para ulama menyebutkan bahwa ibadah puasa di bulan Sya’ban, ibarat shalat Rawatib (sebelum dan sesudah) shalat Fardhu. Sebab sebelum Ramadan disunnahkan banyak berpuasa di bulan Sya’ban, dan sesudah Ramadan, disunnahkan berpuasa enam hari bulan Syawwal.

(Lihat: Tahzib Sunan Abu Daud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244)

Malam Nishfu Sya’ban (pertengahan  Sya’ban)

Terkenal di tengah masyarakat keutamaan malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Hadits-hadits terkait dalam masalah ini sebagian dikatagorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi dikatagorikanmaudhu (palsu) oleh para ulama hadits. Khususnya hadits-hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu pada malam tersebut atau hadits-hadits yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu bagi yang beribadah di dalamnya.

Akan tetapi, ada sebuah hadits yang berisi tentang keutamaan malam Nisfhu Sya’ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu. Yaitu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya’ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali orang musyrik atau orang yang sedang bertengkar (dengan saudaranya).”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa’id Ibnu Majah, riwayat ini dinyatakan dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah.

Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari shahabat Mu’az bin Jabal (215). Ibnu Hibban juga mencantumkan dalam shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna’uth dalam ta’liq (komentar)nya pada dua kitab terakhir tentang hadits tersebut, berkata, “Shahih dengan adanya syawahid (riwayat-riwayat semakna lainnya yang mendukung).”

Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits shahih dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), juga dalam kitabnya Shahih Targhib wa Tarhib (1026).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 291)

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi’in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir  yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu. Dari merekalah kemudian kaum muslimin membudayakan berkumpul di masjid-masjid pada malam Nisfhu Sya’ban dengan melakukan ibadah tertentu untuk berdoa dan berzikir.  Ishaq bin Rahawaih menyetujui hal ini dengan berkata, “Ini bukan bid’ah”

Akan tetapi, sebagian ulama Syam lainnya, di antaranya Al-Auza’i yang dikenal sebagai Imam ulama Syam, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid-masjid untuk shalat dan berdoa bersama pada malam ini, namun mereka membenarkan seseorang yang shalat khusus pada malam itu secara pribadi (tidak bersama-sama).

Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Lebih keras dari itu adalah pandangan mayoritas ulama Hijaz, sepeti Atha, Ibnu Mulaikah, juga ulama Madinah dan pengikut Mazhab Maliki, mereka menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah.

(Lihat: Latha’iful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 151, Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 292)

Namun, jika seseorang qiyamullail pada malam itu sebagaimana qiyamullail disunnahkan pada umumnya malam, atau berpuasa di siang harinya karena termasuk puasa  Ayyamul Bidh (pertengahan bulan) yang disunnahkan, maka hal tersebut jelas tidak mengapa.

Qadha puasa Ramadan

Apa kaitannya qadha puasa Ramadan dengan bulan Sya’ban?

Aisyah radhiallahu anha berkata,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ ، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

“Aku dahulu memliki hutang puasa Ramadan, aku tidak dapat mengqadanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Muttafaq alaih)

Berdasarkan hadits ini, umumnya para ulama berpendapat bahwa kesempatan melakukan qadha puasa Ramadan terbuka hingga bulan Sya’ban sebelum masuk bulan Ramadan berikutnya. Namun, jika tidak ada alasan khusus, seseorang  dianjurkan segera mengqadhanya. Bahkan sebagian ulama menyatakan agar mendahulukan qadha Ramadan sebelum puasa Syawal atau puasa sunah lainnya. Sebab berdasarkan hadits Aisyah di atas, dia baru sempat melakukan qadha di bulan Sya’ban, karena ada alasan, yaitu melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka pemahamannya, jika seseorang tidak memiliki alasan atau uzur syar’i, hendaknya dia menyegerakan membayar qadha puasanya.

(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 8/21, Fathul Bari, 4/189)

Apabila hutang puasa itu belum juga terbayar hingga bertemu Ramadan berikutnya karena ada  alasan tertentu yang membuatnya tidak dapat mengqadha puasa Ramadan sebelumnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya selain mengqadha puasanya setelah Ramadan berikutnya.

Jika tidak ada halangan bagi seseorang untuk mengqadha puasanya, namun tidak juga dia lakukan hingga datang Ramadan berikutnya, maka hendaknya dia bertaubat  dan istighfar atas kelalaiannya menunda-nunda kewajiban. Disamping itu, dia tetap harus mengqadhanya setelah bulan Ramadan berikutnya.

Sebagian ulama mengharuskan orang seperti itu untuk memberikan setengah sha’ makanan  pokok (sekitar  1,5 kg) kepada seorang miskin untuk setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan sebagai peringatan atas kelalaiannya, disamping kewajiban mengqadha puasanya. Berdasarkan ijtihad para shahabat dalam masalah ini. Namun sebagian lain berpendapat tidak ada kewajiban akan hal tersebut, karena tidak ada nash yang dengan tegas menetapkannya. Akan tetapi ijtihad tersebut dianggap baik.

(Fathul Bari, 4/189, Al-Ilmam Bisyai’in min Ahkam Ash-Shiyam, Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi, 30)

Jika telah masuk bulan Sya’ban, hendaknya setiap muslim mengingatkan dirinya atau orang-orang terdekat (khususnya kaum wanita yang umumnya suka memiliki hutang puasa) apabila memiliki hutang puasa Ramadan sebelumnya, agar segera ditunaikan sebelum datang Ramadan berikutnya.

Puasa Di Akhir Sya’ban

Sehari atau dua hari terakhir bulan Sya’ban sebelum Ramadan, dinamakan sebagai Yaumusy-Syak (hari keraguan). Dikatakan demikian, karena pada hari tersebut tidak jelas apakah sudah masuk bulan Ramadan atau belum. Pada hari tersebut, seseorang dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar ingin hati-hati agar tidak ada hari yang tertinggal dari bulan Ramadan. Yang diperintahkan adalah memastikan datangnya bulan Ramadan dengan terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan riwayat shahih dalam masalah ini.

Namun dibolehkan berpuasa pada hari tersebut (sehari atau dua hari sebelum Ramadan) apabila pada hari itu bertepatan dengan hari-hari sunnah berpuasa yang biasa dia lakukan (seperti Senen dan Kamis), atau dia berpuasa karena hendak membayar qadha puasanya, atau nazar atau kaffarat.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ (متفق عليه

“Jangan kalian mendahulukan Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya). Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa.” (Muttafaq alaih).

Di antara hikmah pelarangan ini adalah agar ada pemisah antara puasa Ramadan yang fardhu dengan puasa-puasa sunah sebelum dan sesudahnya. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan dilarang pula puasa sehari sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri.

(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 7/194, Latha’iful Ma’arif, hal. 151, Syarh Umdatul Ahkam, Syekh Jibrin, 30/2)

Wallahu ta’ala a’lam.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Yaa Allah, berilah kami barokah dan taufiq di bulan Sya’ban,

dan pertemukan kami dengan Bulan Ramadan..”

Riyadh, Sya’ban 1432 H

(AFS/Manhajuna)

Ini Politik Bung!

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Manhajuna – Ungkapan di atas yang cukup dikenal di dunia politik, sering ditangkap dengan kesan negatif. Kesan yang mudah ditangkap adalah bahwa ungkapan tersebut merupakan justifikasi (pembenaran) bagi praktek kotor yang sering dijumpai di dunia ini. Menghalalkan segala cara, menohok teman seiring, menjilat, ingkar janji, menggadaikan harga diri, KKN dan semacamnya seakan menjadi sah adanya, atau minimal harap dimaklumi, jika hal tersebut terjadi di dunia politik.

Sebenarnya kita dapat melihat ungkapan tersebut dalam sudut pandang berbeda yang lebih mendatangkan pencerahan dan penilaian positif. Yaitu sudut pandang yang melihat suatu permasalahan berdasarkan karakteristiknya dan wilayah pembahasan yang menjadi ruang lingkupnya.

Bagaimanapun setiap medan kehidupan ada karakteristik dan cara pendekatannya masing-masing, tidak terkecuali politik. Namun sayangnya, dalam kontek politik (praktis) karakteristik tersebut sering dipandang dari sisi negatifnya saja, seperti stigma-stigma di atas. Padahal ada karakteristik dalam medan politik yang apabila kita pahami dengan baik dapat membantu kita memberi penilaian obyektif tentang dunia ini serta menghindarkan kita dari sikap apriori dan apatisme berlebihan terhadap ‘makhluk’ yang satu ini.

Di antara karakteristik dunia ini yang perlu dipahami dengan baik adalah besarnya porsi pembicaraan tentang kekuasaan dan bagaimana meraihnya untuk mencapai kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Secara psikologis, kita sering terpenjara dengan ungkapan ‘Jangan mengejar jabatan’ sehingga abai dengan dahsyatnya dampak positif sebuah kekuasaan yang digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat dan sebaliknya dahsyatnya kerusakan dari penggunaan kekuasaan yang tidak benar.

Padahal, kalaupun ungkapan tersebut bersumber dari peringatan Rasulullah saw tentang bahaya sebuah jabatan, hal itu lebih kepada peringatan agar jangan menyelewengkan jabatan, atau peringatan bagi mereka yang bermental lemah untuk menduduki sebuah jabatan. Adapun mengusahakan agar sebuah jabatan dipegang oleh orang yang kita pandang kompeten, apalagi disaat ada kekhawatiran jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab, justeru di sinilah setiap muslim dituntut kontribusi dan perannya. Dan bisa jadi dia merupakan kewajiban.

Hal inilah yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf as, sehingga dia menyodorkan tawarannya kepada pejabata Mesir… “Jadikanlah aku bendahara Negara…” (QS. Yusuf: 55) dan dampaknya adalah sebuah kerja prestisius yang dapat menyelamatkan penduduk Mesir dari bahaya kelaparan. Dan beberapa hari yang lalu, Presiden Mursi baru saja melakukan panen raya di Mesir yang menghasilkan produk gandum berlipat-lipat di banding penguasa diktator sebelumnya, dan akan melakukan swasembada daging dengan membuka jalur langsung dengan Sudan yang memiliki potensi peternakan berlimpah, untuk meninggalkan ketergantungan dengan negara-negara eksportir pangan dan daging dari barat…

Bahwa ada orang yang mengeksploitir masalah kekuasaan untuk kepentingan pribadi, mestinya tidak membuat kita terjebak dalam beban psikologis seperti itu. Sebab, jika itu langkah yang kita ambil, sama artinya kita menyerah menghadapi kondisi buruk untuk seterusnya kita serahkan urusan kita kepada orang lain yang tidak dapat kita harapkan.

Ini bukan masalah pertandingan Barca lawan Real Madrid, yang kita peduli atau masa bodoh, tidak berbanding lurus dengan realita dalam kehidupan nyata di tengah kita. Tapi ini adalah masalah yang kita suka atau tidak suka ‘menang kalahnya’ akan berdampak langsung bagi kondisi sebuah masyarakat yang kita berada di dalamnya.

Di sisi lain, tindakan tersebut (abai terhadap masalah politik) merupakan sebentuk sikap yang mengesankan lari dari tanggungjawab. Karena setelah sikap itu diambil, tidak ada lagi konsekwensi yang akan dia tanggung. Lain halnya jika dia mengambil sikap untuk terjun dan ‘berjibaku’ di dalamnya, penuh dengan berbagai konsekwensi yang akan dia tanggung (termasuk berbagai tuduhan dan kecaman) dan pada gilirannya akan mengantarkannya pada sebuah kerja besar yang membutuhkan stamina besar dengan agenda besar.

Bukankah hal ini yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,

“Seorang mu’min yang berbaur dengan masyarakat dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik dari seorang mu’min yang tidak berbaur dan tidak sabar dengan gangguan mereka.” (HR. Tirmizi).

Maka, dalam kontek perpolitikan, apalagi menjelang pemilu tahun depan, menjadi amat mendesak untuk membicarakan arti sebuah kekuasaan bagi kemaslahatan umat dan bagaimana kita meraihnya secara konstitusional. Tentu dengan bingkai dan orientasi yang lurus serta monitor dan evaluasi yang spartan.

Setelah itu, jika ada orang yang masih mengusik-usik kerja anda dengan tuduhan ‘haus kekuasaan’ cukup anda katakan, ‘Ini politik, bung!”

Riyadh, Rajab 1434 H

(AFS/Manhajuna)

 

Jangan Biarkan “Kuncup” Kemaksiatan “Berbunga”

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Imam Ghazali, rahimahullah, berkata,

الْخُطْوَةُ اْلأُولَى فِي الْبَاطِلِ إِنْ لَمْ تَدْفَعْ أَوْرَثَتْ الرَّغْبَةَ ، وَالرَّغْبَةُ تُورِثُ الْهَمَّ ، وَالْهَمُّ يُورِثُ الْقَصْدَ ، وَالْقَصْدُ يُورِثُ الْفِعْلَ ، وَالْفِعْلُ يُورِثُ البَوَارَ وَالْمَقْتَ ، فَيَنْبَغِي حَسْمَ مَادَّةِ الشَّرِّ مِنْ مَنْبَعِهِ اْلأَوَّلِ وَهُوَ الْخَاطِرُ ، فَإِنَّ جَمِيعَ مَا وَرَاءَهُ يَتْبَعُهُ

إحياء علوم الدين، 4/401

“Langkah pertama kebatilan, jika tidak engkau cegah, akan menjadi keinginan. Keinginan akan melahirkan kemauan, kemauan akan melahirkan tujuan, tujuan akan melahirkan perbuatan. Pebuatan (batil) akan melahirkan kesengsaraan dan kemurkaan. Hendaknya potensi keburukan sudah dituntaskan sejak sumber pertama, yaitu lintasan pikiran, karena seluruh langkah berikutnya hanyalah kelanjutannya.” (Ihya Ulumuddin, 4/401)

Ibnu Qayim, rahimahullah, berkata,

دَافِعْ الْخَطْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ فِكْرَةً ، فَدَافِعْ الْفِكْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ شَهْوَةً ، فَحَارِبْهَا، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ عَزِيْمَةً وَهِمَّةً ، فَإِنْ لَمْ تُدَافِعْهَا صَارَتْ فِعْلاً ، فَإِنْ لَمْ تَتَدَارَكْهُ بِضِدِّهِ صَارَ عَادَةً فَيَصْعُبُ عَلَيْكَ الاِنْتِقَالُ عَنْهَا

الفوائد، ص 31

“Usirlah lintasan pikiran (maksiat), sebab jika tidak engkau cegah, dia berubah menjadi pemikiran. Cegahlah pemikiran (maksiat), jika tidak engkau halau, dia akan berubah menjadi syahwat. Perangilah (syahwat maksiat), sebab jika hal itu tidak engkau lakukan, dia akan berubah menjadi tekad kuat (azimah) dan keinginan besar (himmah). Jika tidak juga engkau cegah, maka dia akan berubah menjadi sebuah perbuatan. Lalu jika engkau tidak lakukan langkah penangkalnya, dia akan menjadi kebiasaan. Dan ketika itu, sulit bagimu meninggalkannya.” (Al-Fawaid: 31)

(AFS/Manhajuna)

Bagaimana Kitab Memperlakukan Kuburan

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Setelah kita bicarakan ttg #ziarahkubur, sedikit saya ingin bicarakan ttg bagaimana seharusnya kita memperlakukan kuburan…

Secara garis besar, Islam melarang kita untuk melecehkan kuburan dan mengagung-agungkannya sedemikian rupa…

Artinya, kuburan tetaplah dihormati. Karenanya, dlm Islam tidak boleh kuburan diinjak, duduki, atau dibongkar begitu saja…

(Masih ingat waktu kecil, disamping rumah nenek di Kampung Melayu ada pekuburan; ada yg main layang2, angon kambing, pacaran bahkan main gaple’.. 🙂 )

Bahkan disunahkan dalam Islam, jika memasuki area pekuburan agar kita melepaskan alas kaki . Tentu jika tidak khawatir tertusuk duri atau semacamnya

Di sisi lain, kuburan hendaknya tidak boleh diperlakukan berlebihan. Islam menghendaki kuburan sebagai pengingat manusia akan akhirat dn kematian

Karenanya dia dilarang dibangun, diplester, diberi lampu, atau bahkan dilarang didirikan masjid di atasnya…

Ajaran spt ini, bukan ajaran Wahabi, tapi ajaran Rasulullah saw. Bahkan dalam kitab2 fiqih Syafii akan sering kita dptkan hal spt ini…

Misalnya dlm kitab Al-Muhazzab karangan Imam Asy-Syaerazi yg menjadi salah satu rujukan Mazhab Syafii, bab Janaiz. Pengarang dengan jelas mengtakan hal tsb terhadap kuburan

Ini teksnya dari kitab Al-Muhazzab, Kitab Al-Janaiz, bab Fi Taswiyatil Qabr:

ويكره أن يجصص القبر وأن يبنى عليه أو يعقد أو يكتب عليه لما روى جابر قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه أو يعقد وأن يكتب عليه ولان ذلك من الزينة

Disamping, bagi ahli kubur, yang mrk butuhkan kini bukan bangunan mewah, atau perkara dunia, tapi doa dan ampunan yg dipanjatkan orang yg hidup

Orang mati seperti kt Abu Bakar Ash-Shiddiq, spt org tenggelam. Dia tak akan bahagia jika dilemparkan sekilo emas. Yg dibutuhkan hanyalah seutas tambang..

Begitulah… keinginan kita utk membahagiakan yg telah dikubur, jgn diukur dengan ukuran dunia. Tapi hendaknya diketahui apa yang mrk butuhkan…

Demikianlah Islam memperlakukan kuburan. Meskipun tidak boleh dilecehkan, namun tidak diperlakukan berlebihan.

Kuburan cukup ditimbun dgn tanah galiannya, bagus kalau ditutup dengan kerikil, lalu disiram air. Dan letakkan tanda di bagian kepala..

Memperbagus kuburan, apalagi membangunnya secara permanen, lalu meneranginya, akan menjadi celah pelanggaran, dr yg ringan hingga berat..

Begitu memang alurnya, jika yang satu dilanggar, maka pelanggaran berikutnya akan menyusul, dan hakekat pesan yg pertama akan hilang..

Kenyataannya, sejak dulu hingga sekarang, kuburan sering menjadi sumber penyimpangan. Tentu bukn krn kuburannya, tp pengmlan yg keliru..

Karena itu Rasulullah saw sejak awal wanti2 agar perlakun kita thd kuburan tidak melebih batas dr batas yg telah bliau tetapkan..

Maka beliau marah sekali dan melaknat ketika mendengar Org Yahudi menjadikan kuburan nabinya sebagai masjid… (Muttafaq alaih)

Di sisi lain, hal ini menguatkan sebuah kesimpulan bahwa kuburan bukanlah tempat yang dikhususkan utk beribadah…

Sebab, kecaman Rasulullah saw thd org Yahudi yg menjadi kuburan para nabinya sebagi masjid, ada dua pemahaman…

Pemahaman pertama, mereka mendirikan masjid di atas kuburan para nabinya…

Pemahaman kedua, mereka menjadikan kuburan nabinya sebagai tempat khusus untuk beribadah…

Masih ingatkan ttg hadits 5 keutamaan Rasulullah saw dibanding nabi2 sebelumnya?; Di antaranya beliau mengatakan….

“Dijadikan bumi bagiku sbg masjid dan alat bersuci.” Maksudnya adalah bhw pd masa Rasulullah saw beribadah dpt dimana saja di atas bumi.

Jadi masjid dlm hadits itu tidak dimaknai sebagai bangunan, akan tetapi sebagai tempat ibadah….

Kesimpulan bahwa kuburan bukan tempat yang dikhususkan utk beribadah diperkuat dg beberapa hadits lain…

Di antaranya Nabi saw bersabda, “Bumi itu seluruhnya masjid, kecuali kuburan dan WC.” (HR. Abu Daud, dll)

Juga hadits Rasulullah saw, “Jangan duduk di atas kuburan dan jangan shalat kepadanya..” (HR. Muslim)

Atau hadits ini, “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Karena setan akan lari dari rumah yg di dalmnya dibacakan surat AlBaqarah” (Muslim)

Hadits ini memberikan isyarat bhw rumah yg di dalamnya tidak dibacakan Al-Quran (dlm riwayat lain tdk dilakukan shalat), maka dia spt kuburan.

Maka kesimpulan kebalikannya adalah, bahwa kuburan asalnya bukan tempat untuk ibadah semacam shalat dan baca Al-Quran…

Langkah terbaik thd kuburan adalah, dibiarkan apa adanya lalu diziarahi untuk mengingat kematian, menyampaikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan yg dikubur… sederhana saja…. wallahua’lam…

Riyadh, 1434 H.

(AFS/Manhajuna)

Tentang Ziarah Kubur

Oleh: Ust. abdullah Haidir, Lc.

Lagi rame soal ziarah kubur yaa…? saya mau twit tentang #ziarahkubur, dan bagaiamana sikap yg sebenarnya thd kuburan…

#Ziarahkubur tidak diragukan lagi sbg perbuatan masyru’ (disyariatkan), bahkan di anjurkan…

Nabi saw bersabda, “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, krn dia mengingatkan akhirat.” (HR. Muslim, Tirmizi, dll)

Rasulullah saw sendiri juga orang yang senang berziarah kubur. Suatu malam Aisyah kehilangan Rasulullah saw di tempat tidurnya…

Maka sifat cemburu Aisyah, membuatnya menduga2, lalu dia cari jejak Rasulullah saw.. ternyata beliau berada di pekuburan Baqi sedang berdoa.

Beliau juga sering ber #ziarahkubur ke pemakaman Syuhada Uhud… (Catatn bagi yg berziarah ke Uhud, hendaknya ziarah kuburnya diutamakan)

Berdasarkan hadits2 yang ada, manfaat ber #ziarahkubur dpt kembali kpd peziarah dan kepada yg ahli kubur..

Manfaat bagi peziarah, dia termasuk amal saleh, krn Nabi saw anjurkan. Disamping ber #ziarahkubur dpt mengingatkan akhirat dn kematian..

Sedangkan bagi yang diziarahi, atau ahli kubur akan mendapatkan manfaat dr salam dan doa2 yang dibacakan utk mrk dari para pe #ziarahkubur

Jadi gimana sih baiknya #ziarahkubur? Yg penting dalam masalah ini adalah motivasi dan amalannya… juga tentu adab2nya…

Dari sisi motivasi, selain diniatkan sbg pengamalan thd sunah nabi, jg diingatkan, bhw #ziarahkubur utk mengingat akhirat atau kematian..

Ber #ziarahkubur juga hendaknya diniatkan utk memberikan salam dan mendoakan ahli kubur…

Pada zaman sekarang motivasi ini sering tenggelam oleh keinginan2 duniawi saat ber #ziarahkubur. Khususnya jika berziarah kubur ke org2 mulia.

Motivasi atau harapan mendapatkan keberuntungan dunia atau apa yg dikenal dg istilah berkah, lebih besar dari ingat thd akhirat dan kematian

Padahal yg jelas2 Rasulullah saw katakan ttg tujuan ber #ziarahkubur adalah: Agar ingat mati dan ingat akhirat..

Selain itu, tujuan yg jelas2 dinyatakan dari ber #ziarahkubur adalah menyampaikan salam dan doa kpd ahli kubur… dg catatan jika dia muslim

Dua motivasi ini yg hendaknya dipertegas dulu ketika seseorng hendak ber#ziarahkubur…

Kemudian teknis ber #ziarahkubur bagaimana? Sederhana saja sebenarnya, datang ke kuburan, ucapkan salam, lalu doakan… selesai..

Mengenai waktu, tdk ada waktu2 yang dikhususkan utk ber #ziarahkubur. Dpt pagi, siang atau malam.

Hari2nya pun, tidak ada dalil shahih ttg hari2 utama untuk ber #ziarahkubur. Jadi dpt hari apa saja..

Wallahua’lam…

(AFS/Manhajuna)

Seminar-Pelatihan-Bazar FORMATRA 2013

Oase Menyejukkan di Awal Musim Panas

 

Kota Riyadh beberapa kali diguyur hujan tepat malam sebelum Jum’at, 19 April 2013. Alhamdulillah rahmat Allah membasahi gurun-gurun panas di ibukota Saudi Arabia tersebut. Bertepatan pada hari Jum’at yang penuh berkah itulah FORMATRA (Forum Majelis Ta’lim Riyadh) kembali mengadakan agenda besar berupa Seminar, Pelatihan dan Bazar. Sebuah kegiatan yang diharapkan dapat menyejukkan dan menambah khasanah wawasan warga Indonesia yang tergabung dalam berbagai majelis ta’lim di Riyadh. Panitia kegiatan yang dikomandoi oleh salah seorang mahasiswa S-2 KSU, yang baru saja dianugrahi gelar Master of Science, Mohammad Kamiluddin, dengan penuh semangat merencanakan dan bahu-membahu mempersiapkan segala sesuatunya demi terselenggaranya agenda tersebut. Tema yang diangkat FORMATRA pada kesempatan ini adalah “Peran Media dan Komunikasi dalam Pembinaan Ummat”.

Sejak Jumat pagi,  warga Indonesia sudah mulai berdatangan dan terlihat sangat antusias untuk bisa mengikuti rangkaian acara yang telah disosialisasikan melalui sekitar 1200 Eks. pamflet-pamflet FORMATRA dan media online di manhajuna.com serta facebook.com/formatra.riyadh. Berdasarkan perhitungan kupon makan siang, diperkirakan kurang lebih 800 peserta termasuk anak-anak hadir meramaikan acara tersebut. Jamaah ikhwan menempati sisi depan istirohah, sedangkan jamaah akhwat dan anak-anak terpisah disisi belakang istirohah. Spanduk kegiatan FORMATRA pun dibentangkan sehingga memberikan warna tersendiri dalam Istirohah Uyun al-Maha, Exit 8, Riyadh.

Acara di mulai dengan pembukaan oleh MC sekaligus juga merupakan Guru di Sekolah Indonesia Riyadh, bapak Drs. Hartono dan dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al-Quran serta dilanjutkan dengan kata sambutan oleh ketua panitia. Sambutan selanjutnya dari ketua FORMATRA, ustadz Lutfi Firdaus, Lc. Dan dilanjutkan sambutan oleh Kepala Perwakilan  RI untuk Arab Saudi, Bapak Eddy Basuki yang menyampaikan sepatah dua kata pada peserta yang hadir. Acara selanjutnya diisi dengan seminar yang diisi oleh ustadz Hidayat Mustafid, MA (da’i maktab jaliyat ar-Raudah) dan bapak Tommy Firmansyah, M.Sc. (lead scientist SABIC). Keduanya bersinergi membawakan materi dengan tema yang telah disiapkan panitia.

 

Tidak terasa peserta seminar larut mendengarkan dengan serius paparan kedua pembicara hingga usai, sambil menikmati snack ringan khas jajanan pasar Indonesia. Setelah acara inti, ada acara spesial yang sudah disiapkan panitia yaitu dalam rangka perpisahan dengan ust. Hidayat. Beliau akan selesai masa tugasnya di Jaliyat ar-Raudah dan akan kembali ke tanah air. Kesan dan pesan mengalir dari perwakilan jamaah binaan beliau serta dari rekan asatidz, ust. Abdullah Haidir, Lc. dan ust. Muhammad Iqbal, MA. yang terlihat berat melepas kepulangan beliau. Seluruh jamaah mendoakan beliau agar diberi kekuatan dan istiqomah saat nanti menjadi da’i di negeri sendiri yang lebih besar tantangan dakwahnya. Sebagai tanda terima kasih atas kontribusi dakwah beliau selama ini, ust. Hidayat mendapat kenang-kenangan dari MT. ar-Raudah, FORMATRA, mahasiswa KSU dan sponsor BNI Smart Remittance.

 

Sebelum berakhir sesi pagi yang disambung dengan sesi sore setelah solat jum’at, panitia mendaulat ustadz Shollahudin Abdurahman, Lc. untuk membawakan acara doorprize bagi-bagi hadiah menarik untuk jamaah. Terdengar riuh tawa jamaah yang penuh semangat menjawab pertanyaan dan tantangan dari ust. Shollahudin yang memang terkenal pembawaan humorisnya. Belum habis hadiah doorprize yang disediakan, panitia harus menutup sesi pagi karena waktu sudah menunjukkan 11.15 siang. Sebagian jamaah mulai memasuki ke area bazar untuk menukarkan kupon makan gratis yang dibagikan saat registrasi. Lebih dari sembilan macam makanan khas Indonesia yang sulit didapat di Riyadh tersedia di stand-stand bazar FORMATRA, seperti Nasi Tongseng, Nasi Bakar Khas Sunda, Sate/Soto Sokaraja, Nasi Ayam / Iga Bakar, Soto Betawi, Sate, Nasi Rames, Sate Ayam. Masakan tersebut asli racikan ibu-ibu FORMATRA ummahat yang sangat antusias mengikuti bazar kali ini. Minuman dingin seperti es teh, es campur dan sebagainya habis dibeli oleh jamaah yang memang merindukan cita rasa kampung halaman. Tepat sepuluh menit sebelum azan solat jum’at dimulai, bazar dibuka khusus untuk jamaah akhwat saja. Mereka juga tidak ingin ketinggalan menikmati masakan rekan-rekannya di FORMATRA ummahat.

Setelah solat jum’at, jamaah ikhwan bersegera kembali ke istirohah karena tidak ingin ketinggalan untuk mengikuti pelatihan bekam dan praktik langsung, yang diisi oleh saudara Arif (praktisi bekam berpengalaman di Riyadh). Sebagian doorprize pun kembali dibagikan hingga menambah ramai jalannya acara. Di ruangan lain istirohah, beberapa jamaah juga terlihat antri untuk pemeriksaan kesehatan gratis berupa cek tensi, gula darah dan asam urat. Akhirnya, karena waktu jugalah panitia harus mengakhiri sekitar pukul 15.30 sore waktu Saudi Arabia. Alhamdulillah rasa lelah panitia tergantikan dengan jamaah yang terlihat pulang dengan wajah berseri-berseri membawa oleh-oleh wawasan, bermacam makanan bazar dan juga mungkin doorprize yang ia dapatkan. Kegiatan ini dapat terselenggara atas pendanaan dari KBRI Riyadh, Maktab Jaliat Rabwah, BNI Smart Remittance, BRI Fast Remittance dan Indomie serta donasi jamaah-jamaah majelis ta’lim di Riyadh. (Fajri K.)