Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 19)

Search Results for: abdullah haidir

Berita Mencerahkan Seputar Saudara Kita

Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.

Ashbahna wa ashbahal mulku lillah..
Alhamdulillah ala kulli hal..

Saudaraku,
Ada dua berita menarik pagi ini, yang seluruhnya terkait dengan sahabat-sahabat kita yang telah berjuang di Arab Saudi. Ungkapan yang lebih enak didengar daripada “pahlawan devisa”.

Pertama, Ust Abdullah Haidir, Lc.
Da’i di kantor dakwah Sulay, Riyadh. Sosok kyai yang selalu tampil muda dan tampak seperti 30 tahun. Merupakan penulis buku-buku Islami yang sangat produktif dan tema-tema yang diangkatnya pun sangat inspiratif. Di antara buku karyanya yang sangat spesial adalah ringkasan kisah nabi dan rasul, istri dan putri rasulullah.

Informasi akurat yang kami terima dari sumber yang valid, ust Abdullah Haidir, Lc masih akan mengabdikan diri untuk masyarakat Indonesia di Riyadh paling kurang tiga tahun ke depan. Walaupun ini bukan keputusan permanen. Artinya bisa berubah sesuai dengan tuntutan zaman dan masyarakat Riyadh.

Kabar menarik, dari ust idola masyarakat Riyadh dan al Wesal TV ini adalah puteri sulungnya; Rumaisha. Diterima di PT favorit; PNJ, Depok, dulu dikenal sebagai poltek UI. Hari ini ospek hari pertamanya.

Semoga keberkahan dan kebaikan menyelimuti ust Abdullah Haidir, Lc dan keluarganya. Orang tuanya semakin giat dan semangat berjuang di manapun mereka berada. Dan puteri sulungnya sukses menggapai cita dan asa. Amien.

Kedua, akh Henhen Suhendar.

Siapa sangka, yang dulu berjibaku dengan cat menge-cat di Riyadh. Dan bahkan sering beradu mulut dengan majikannya di sana.

Namun kini, setelah pulang exit ke Bandung sekitar tiga bulan lalu. Sekarang menjadi guru agama dan Bahasa Arab di SD favorit di kampung halamannya. Berbekal ijazah dan draf nilai dari jaliyat Rabwah Riyadh.

Masih basah dalam ingatan kita. Seperti apa sosok ust Henhen sewaktu pertama kali datang ke Riyadh. Al Qur’an yang masih terbata-bata. Bahasa Arab yang hanya tahu ‘naam’ dan ‘laa’. Kini lahir sosok yang standar tilawahnya. Hafalan yang melebihi kyai di kampungnya. Serta pemahaman dan pengamalan yang baik terhadap agama dan semangat dalam memperjuangkan nilai yang diyakininya.

Saudaraku,
Sekarang tergantung kita. Mau menjadi apa kita di masa mendatang? Menjadi pejuang agama-Nya atau menjadi pecundang.

Dua sosok di atas cukup menjadi rujukan bagi kita. Kita tak selamanya mengais rezki di negeri orang. Tak selamanya kita menjadi santri.

Kita harus merebak asa. Anak-anak kita harus lebih baik dari kita. Dari sisi pemahaman dan pengamalan agama. Perjuangannya dakwahnya. Ilmu dan semangatnya. Lebih tinggi kwalitas akademisinya. Dan setrusnya.

Sekarang kita boleh menjadi santri dan peserta didik. Tapi suatu saat kita laziam menjadi pendidik yang berkwalitas. Dan ust yang dibanggakan oleh semua. Dan terpenting mendapat kucuran rahmat, ridha dan barakah-Nya. Amien.

Alf mabruk tuk ust H. Abdullah Haidir, Lc dan akh H. Henhen Suhendar.

AS-Sisi

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Nyanyian imperialis, diktator dan kaum liberal..”Awas terorisme!.” Sementara mrk dg berbagai cara melakukn kezalimn yg dpt memantik aksi teroris…

Ketahuilah: Kelangsungan hidup AS cs. bergantung pada kekacauan dan ‘penghambaan’ negeri-negeri Islam kpd mereka…

Karenanya, yg paling ditakutkan barat adalah jika negeri2 Islam memerdekakan dirinya walau memprtaruhkn nyawa ketimbang tnduk pd titah mrk…

Maka, termasuk tauhid abad ini: Memerdekakan umat dr penyembahan terhadap AS dan zionis serta sekutu2nya….

Apa kalian kira AS-Sisi berani mengkudeta Mursi tanpa restu AS? nonsens!! Kalau AS kni tmpak marah, hanya kaget sj krn korban di luar kalkulasi

Tragedi Mesir sekarng bkn krn demokrasi. Tpi krn ada negeri Islam yg ingin berdemokrasi namun tdk mau tunduk thd titah AS & kacungnya dr kalngan liberal

Intinya bagi AS cs bkn apakah negara2 Islam berdemokrasi atau tidak….tapi apakah mrk mau tunduk dg keinginan AS atau tdk?

Beji, Depok, Syawwal 1434 H

Profil Ideal Paska Ramadhan

Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.

» يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ «

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan. Dan jangan kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).

Saudaraku,
Ramadhan, bulan sarat dengan ampunan, berkah, rahmat dan panen pahala telah berlalu meninggalkan kita. Di bulan itu, ada dia antara kita yang yang memanen pahala secara sempurna dan maksimal. Ada pula yang panennya hanya sekedarnya saja. Dan bahkan tidak sedikit yang gagal panen, sehingga hasil yang dicapai sangat jauh dari harapan.

Setelah ia berlalu, idealnya kita mengadakan evaluasi total. Sehingga jika kita telah berada di puncak ubudiyah. Maka kita banyak memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berupaya sekuat tenaga dan kemampuan agar dapat mempertahankan prestasi tersebut. Karena konsisten berada di puncak jauh lebih sulit daripada saat kita mendaki ke sana.

Dan jika kita belum maksimal mengisi hari-hari dan malam-malam Ramadhan, sudah saatnya kita berbenah dan menyadari kelalaian, keteledoran kita serta kita banyak beristighfar dan taubat kepada-Nya. Kita raba berbagai faktor dan penyebab keterpurukan kita. Kita bangun kembali mental dan semangat spiritual kita, sehingga keterlenaan kita tak terulang lagi di tahun-tahun berikutnya.

Saudaraku,
Ibnu Rajab dalam kitabnya ‘lathaif al ma’arif’ menceritakan bahwa ada salah seorang salafus shalih (Bisyr bin Harits al Hafi) pernah ditanya perihal orang yang hanya beramal shalih di bulan Ramadhan, maka ia menjawab: “Orang yang tak mengenal hak-hak Allah atasnya selain bulan Ramadhan, maka ia adalah seburuk-buruknya kaum. Orang shalih sejati adalah orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh mengukir prestasi ubudiyah selama satu tahun penuh.”

Oleh karena itu hari raya idul fitri sepatutnya kita jadikan sebagai agenda terakhir dari seluruh rangkaian ibadah Ramadhan. Idul fitri adalah saat awal memulai kehidupan baru dengan hati yang baru dan semangat yang baru pula.

Idul fitri bukan sekadar menampilkan keindahan wajah dan keelokan tampilan luar. Tapi, seharusnya kita lahir menjadi sosok anggun dengan ketampanan bathin dan kecantikan pekerti.

Saudaraku,
Jika kita cermati dengan kaca mata bathin, maka kita dapati dalam surat al Baqarah, ayat-ayat yang berbicara tentang shiyam (183-187), jihad dan perjuangan (190-195) serta haji dan umrah (197-203). Tiga madrasah terbesar itu, di mana shiyam menyimbolkan kekuatan ruhani. Jihad dan perjuangan perlambang kekuatan jasad dan iman. Serta haji dan umrah yang mengindikasikan kekuatan harta dan keyakinan.

Pada akhirnya, dari tiga madrasah Rabbani itu hanya akan melahirkan sosok pecundang (204-206) dan sosok pejuang (207). Sehingga ayat-ayat tersebut Allah tutup dengan seruan agar kita menjadi pribadi muslim yang utuh. Tidak terbelah dan terpecah-pecah (208). Itulah potret riil ketakwaan dalam kehidupan kita.

Saudaraku,
Ustadz H. Abdullah Haidir, penulis buku “Istri dan puteri Rasulullah” dan buku “Kisah Nabi dan Rasul” menyebutkan,

“Setidaknya ada 5 point yang dapat kita jadikan patokan atau parameter untuk menilai utuh tidaknya kepribadian kita sebagai seorang muslim.

• Pribadi yang pandai membersihkan hati dan meluruskan amal. Dan ini merupakan realisasi dari pemahaman yang benar dari dua kalimah syahadat yang selalu kita ikrarkan sewaktu shalat dan di luar shalat.

Termasuk dalam cakupan membersihkan hati adalah terpeliharanya niat yang ikhlas dalam mendaki puncak ubudiyah, mengukir prestasi ibadah dan rangkaian amal shalih lainnya. Demikian pula menjaga hati dari berbagai penyakit hati, seperti: sombong, riya, dengki, dendam, dan yang seirama dengan itu.

Berikutnya adalah ittiba, titik tekannya adalah amal yang lurus berdasarkan petunjuk dan pedoman yang dibawa Rasulullah saw. Jangan sampai kita merasa benar karena merasa ikhlas, namun amalnya tidak benar (sesuai tuntanan Nabi). Atau merasa benar karena perbuatan kita lurus, namun hati kita tidak bersih dari noda dan kotoran.

Kedua hal ini mesti seimbang. Ketiadaan salah satunya akan berakibat buruk bagi yang lain.

Tersebut dalam shahih Muslim bahwa ada tiga orang yang telah beramal puncak di dunia. Yakni orang yang berperang sampai terbunuh. Qari’ al Qur’an yang membacakan al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain dan seorang yang dermawan. Di pengadilan Allah, akhirnya ketiganya divonis merugi dan diseret ke dalam neraka dalam keadaan tertelungkup. Lantaran mereka tidak memurnikan amalannya hanya untuk Allah semata. Tapi dengan tujuan pamrih duniawi. Agar disebut pahlawan dan pemberani. Dipanggil qari’ dan alim. Serta mendamba gelar dermawan.

Sementara tersebut dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ash, ada orang yang dijamin Nabi masuk surga lantaran memiliki kebiasaan langka, dan unik. Dan dalam pandangan manusia, memiliki amalan yang sederhana. Yakni memaafkan kesalahan orang lain sebelum tidur.

Nam sekadar ikhlas karena Allah dalam beramal dan beribadah tanpa mengikuti tuntutan Nabi, juga tertolak amalannya seperti tersebut dalam hadits Aisyah.

• Pribadi yang memperhatikan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan. Sebesar itu seseorang memperhatikan kewajiban yang Allah berikan kepadanya, sebesar itupula perhatiannya untuk menjauhi larangan Allah. Jangan sampai kita semangat dalam mengukir ketaatan, tapi di sisi lain, kita tetap mudah bermaksiat, melakukan dosa, atau sebaliknya.

Perumpamaan orang yang gemar melakukan kebaikan, namun menerjang rambu-rambu-Nya dan rutin menuruni lembah dosa adalah seperti orang yang membangun istana nan megah, setelah itu ia merobohkan bangunan tersebut.

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada seorang laki-laki, “Wahai Fulan, sesungguhnya engkau membangun (sebuah istana) dan merobohkannya. Maksudnya, engkau melakukan kebaikan dan setelahnya engkau berbuat maksiat.” Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sekarang aku akan membangun (istana) dan tak akan merobohkannya lagi.”

• Pribadi Yang memperhatikan kebaikan agamanya juga kebaikan dunianya.

Puasa adalah ibadah di mana kita dapat melakukan aktifitas dunia tanpa meninggalkan ibadah. Tidak ada kontradiksi antara kehidupan dunia dan agama. Dunia kita butuhkan untuk mencapai derajat mulia dalam agama, sementara agama kita perlukan utk mengontrol kehidupan dunia.

Keliru orang yang mengejar kemuliaan dalam agama dan akherat, namun dia abaikan dunianya. Sebagaimana lebih keliru lagi orang yang mengabaikan aturan agama demi meraih derajat tinggi dalam dunianya.

Allah berfirman, “Dan carilah dari apa yang Allah karuniakan untukmu untuk meraih kebahagiaan hidup di akherat, tapi jangan kalian lupakan nasibmu di dunia.” Al Qashasah, 77.

• Pribadi yang menjaga hubungan baik dengan Allah (vertikal) dan memelihara keharmonisan hubungan dengan sesama manusia (horizontal).

Hubungan mesra dengan Allah salah satu barometernya adalah baiknya hubungan kita kepada manusia. Sedangkan baiknya hubungan kita kepada sesama manusia, tidak bernilai tanpa dibingkai dengan baiknya hubungan kita kepada Allah. Hablum minallah dan hablum minan nas berjalan seiring. Serasi dan saling melengkapi serta memperindahnya.

• Pribadi yang bersifat memudahkan namun tidak meremehkan. Agama tidak menyulitkan namun jangan sampai kita meremehkan agama apalagi memperolok-oloknya.

Dalam puasa kita boleh berbuka jika sakit,dalam perjalanan atau tidak mampu.Tapi kita jangan mudah berbuka kalau memang kuat untuk berpuasa.

Saudaraku,
Sudahkah kita menjadi pribadi yang utuh pasca Ramadhan?. Mari kita berupaya untuk membangun pribadi tersebut. Pribadi yang akan mendatangkan ridha Allah dan cinta dari manusia. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 14 Agustus 2013

(AFS/Manhajuna)

Renungan Kemerdekaan

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Kira2…saat dahulu mujahidin Indonesia berjuang mengusir penjajah, apakah teriakan takbir yg kerap mrk lantangkan ataukah teriakan merdeka..?

Kira2…nilai2 apakah yg paling ampuh menggelorakan semngat juang para mujahid saat mengusir pemjajah? nilai agama atau nasionalisme..?

Kira2 tokoh2 inspirator perjuangan mengusir penjajah di berbagai pelosok tanah air, ulama atau artis..?…

Kira2…negara2 mana yg sngat tulus menginginkn kemerdekaan bangsa kita saat itu…negeri2 Islam atau negeri2 imperialis salibis?

Kira2…jargon para mujahid kita saat mengusir penjajah dahulu… “merdeka ataoe mati” atau “hidup mulia atau mati syahid”…?

Kira2…inpirasi perjuangan para mujahid kita mengusir penjajah didapt sepulang mereka dari Mekah atau dari Washington dan London?

Kira2..basis2 perjuangan para mujahid kt saat mengusir penjajh, masjid atau night club? pesantren atau bioskop? surau atau discotic?

Kira2… yang paling cepat merespon seruan jihad mengusir penjajah saat itu santri apa anak band?

Kira2… yang kini paling diharapkan arwah para mujahid pengusir penjajah, lantunan doa tulus atau nyanyian di panggung dangdut…?

Status ini bkn utk mengungkit maslh SARA… hnya agar diketahui bhw tanpa Islam dan kaum muslimin…negeri ini bukan apa2

Maka.. menjadi ironis dan ahistoris, jk setelah merdeka, teriakan takbir menjadi asing dan nilai2 agama justru dicurigai..

Maka, menjadi ironis dn ahistoris, jk setelah merdeka bukannya membesarkan Allah, tapi justru menghamba dn jadi kacung imperialis…

Maka, adalah ironis & ahistoris jk setelah merdeka pr ulama yg menjadi inspirator jihad melwan penjajah diabaikan bahkn dilecehkan…

Catatan kelam Bani Israel, ingin merdeka dari Fir’aun, minta pertolongan Allah dan taat thd Nabi Musa, namun setelah merdeka, Allah diingkari Nabinya dimusuhi…

Selamat merdeka negeriku, moga kau makin sadar, darimana, apa, bagaimana dan untuk apa kemerdekaan itu….!!

Beji, Depok, Syawwal 1434 H

Ahlan Ya Ramadan, Seputar Masalah Berbuka Puasa

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Manhajuna – Kebahagiaan berbuka puasa adalah kegembiraan di antara dua kegembiraan yang dijanjikan bagi orang yang berpuasa. Ciptakan suasana gembira dan senang di sekitar kita, baik dalam ucapan dan tindakan. Jika tidak ada halangan, berbukalah bersama keluarga lengkap, ini adalah moment berharga untuk menciptakan kehangatan dan keakraban. Segeralah berbuka jika telah dipastikan atau kuat dugaan telah masuk waktu Maghrib. Demikian sunah yang diajarkan Rasulullah saw. Berbeda dengan kalangan Syiah yang menunda berbuka hingga malam telah gelap sebagai sunahnya.

Patokan waktu berbuka adalah terbenamnya matahari, atau masuknya waktu Maghrib. Jika azan maghrib berkumandang dan diketahu waktunya tepat, maka dapat berpatokan pada azan tersebut. Jika ada dua azan yang berlainan waktunya, namun diketahui mana yang lebih teliti dan sesuai waktu, dialah yang hendaknya diikuti. Namun jika azannya terlambat, atau di daerah sekitar tidak ada azan dan dia sudah yakin masuk waktu maghrib atau sudah kuat dugaannya, maka dia tetap boleh berbuka dan sunah menyegarakannya. Namun jangan berbuka ketika masih ragu.

Rasulullah saw berbuka sebelum shalat dengan beberapa butir ruthab (korma muda), kalau tidak ada, maka dengan  beberapa butir tamr (korma matang), kalau tidak ada, dia cukup meminum seteguk air putih (HR. Tirmizi)

Dzikir saat berbuka:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Haus telah hilang, urat telah basah, pahala telah ditetapkan insya Allah.”(HR. Abu Daud)

Ini lebih shahih dibanding zikir yang cukup dikenal dalam riwayat Abu Daud yang lainnya yang dihukumi dhaif sejumlah ulama hadits, yaitu;

اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka.” (HR.Abu Daud)

Selain zikir, disunahkan berdoa saat berbuka, karena itu pun termasuk waktu yang mustajabah, sebagaiman saat berpuasa juga saat yang mustajabah. Silakan berdoa apa saja dari kebaikan yang kita inginkan atau mohon keselamatan dari bencana yang tidak kita inginkan. Tidak ada doa khusus dalam masalah ini. Jalan-jalan sore menunggu waktu berbuka (ngabuburit), banyak memiliki dampak negatif. Lebih bermanfaat jika digunakan utk tilawah, zikir atau membantu keluarga menyiapkan berbuka.

Jika seorang muazin (orang yang azan) mengetahui bahwa azannya ditunggu-tunggu banyak orang, maka hendaknya dia azan dahulu sebelum berbuka, atau minum sedikit untuk membatalkan puasanya lalu langsung azan. Agar orang-orang tidak meninggalkan sunah menyegerakan berbuka.

Penumpang pesawat yang masih melihat matahari bersinar, tidak boleh berbuka, walau negeri di bawahnya sudah masuk waktu berbuka. Tunggu hingga matahari terbenam dari tempatnya di pesawat. Di negeri yang masih ada siang dan malam, maka patokannya berbuka dan mengawali puasanya tetap, berbuka saat terbenam matahari dan mulai puasa saat terbit fajar, walaupun menyebabkan puasanya sangat lama atau sangat singkat. Jika dia berpuasa dengan waktu sangat panjang dan tidak kuat menanggungnya, dibolehkan dia berbuka dan mengqadhanya di lain waktu. Tapi jika di negeri tersebut tidak terdapat malam, atau siang, maka dia sesuaikan dengan negeri terdekat yang memiliki waktu siang dan malam.

Berbuka hingga kenyang dibolehkan. Tapi yang dilarang dan masuk dalam israf yang dilarang dalam Al-Quran adalah terlalu kenyang atau yang membuatnya malas beribadah atau membahayakan dirinya. Bersikaplah wajar, pertengahan dan tidak terlalu berlebihan. Usahkan memilih makanan yang sehat, jangan turuti hawa nafsu saat berbuka dengan makanan yang mengundang selera, namun tidak baik bagi tubuh…
Saat buka puasa, pengendalian syahwat nampaknya harus tetap dijaga, khususnya terhadap makanan. Upayakan jangan ketinggalan shalat Maghrib berjamaah bagi laki-laki karena puasa. Hindari pula buka puasa di depan acara televisi. Biasanya akan membuat dirinya lama duduk sambil makan dan boleh jadi akan membuatnya terlambat shalat.

Selamat berbuka puasa…..semoga Allah berkahi…

Depok, 1434 H

Mengenal Syi’ah

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

ILC malam ini membahas kasus sampang Syiah. Ulama madura tegas menyatakan kesesatan syiah. Tapi pengurus PBNU malah mementahkannya.. piye toh..

Syiah sepanjang sejarahnya mahir memainkan peran dizalimi… makanya merrka hidupkan ritual bidah tragedi karbala; pembunuhan Husein…

Padahal peristiwa terbunuhnya Husein bukan konflik Syiah Sunni sama sekali… lebih kepada konflik politik yg meruncing…

Justru hubungan para shahabat dengan ahlul bait sangat mesra, tidak ada poros syiah sunni seperti yg dikesankan. Karena memang tidak ada syiah ketika itu

Hal itu tampak dari perkawinan dan perbesanan antar ahlul bait dengan para shahabat umum lainnya…

Ingat… 3 shahabat yg sering dicaci bahkan dilaknat kaum syiah: Abu Bakar Umar dan Utsman memiliki jalur kerabat dengan nabi melalui pernikahan..

Hal itu bukan hanya berlangsng ketika Nabi masih hidup… tapi terus berlangsung hingga masa tabiin..

Misalnya, puteri Ali bin Abi Thalib; Ummu Kultsum, dinikahi oleh Umar bin Khattab…

Fatimah puteri Husain bin Ali, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan….

Yang unik adalah, Muhammad Al Baqir bin Ali bin Zainal Abidin bin Abi Thalib menikah dengan Ummu Farwah binti Qasim bin Muhmmd bin Abu Bakar..

Cicit Ali bin Abi Thalib menikah dengan cicit Abu Bakar, dr pernikahan tersebut lahir Ja’far Ash-Shadiq, figur yg sering diklaim Syiah sbg tokoh mereka

Masih banyak contoh lainnya, ahlul bait menikah dengan keturunan shahabat. Kok bisa sekarang dikesankan ahlul bait bermusuhn dengan para shahabat..

Ja’far Shadiq yang dikultuskan Syiah itu, salah seorang idolanya, sebagaimana sirahnya, adalah sang kakeknya sendiri; Abu Bakar Assiddiq…

Mau nggak orang-orang Syiah itu mengikuti imamnya, Ja’far Shadiq yang mencintai Abu Bakar Ash-Shiddiq….?

Hal lain lagi yang menunjukkan dekatnya ahlul bait deng para shahabat… adalah soal pemberian nama anak-anak mereka…

Ada nggak anak-anak orang syiah sekarang yg diberi nama Abu Bakar, Umar atau Utsman? Nama favorit mereka adalah Ali, Husain, Hasan, Bagir, dll

Mungkin ada yang namanya Abu Bakar, itu karena orang tuanya sunni memberi namanya Abu Bakar… udah gede dia jadi Syi’i. Kontradiktif dah…

Tapi ahlul bait zaman salafushalih memberi nama dengan nama2 shahabat mulia spt Abu Bakar, Umar, Utsman atau Aisyah…

Sementra nama2 tersebut oleh syiah yg mengaku pengikut ahlul bait sangat dimusuhi… bahkan kabarnya di negeri2 syiah, nama2 tsb dilarang…

Seorang putera Ali bin Abi Thalib dari perkawinan dengan selain Fatimah bernama Abu Bakar. Dia ikut gugur bersama Husain dalam peristwa Karbala

Anak Hasan bin Ali bn Abi Thalib juga ada yang bernama Abu Bakar dan juga Umar, keduanya ikut gugur bersama Husain dalam perstiwa Karbala..

Musa Al-Kazim, puteri dari Ja’far Shadiq, bahkan memberi nama anak perempuan satu2nya dg nama Aisyah….

Lalu bagaimana kini syiah yg mengaku mengikuti Ahlul Bait membenci para shahabat secara umum? terutama shahabat2 utama seperti Abu Bakar, dll

Biasanya kalo sudah terdesak mereka mengelak, mengaku tetap menghormati semua shahabat… sementara kitab2 rujukan mrk bertabur cacian tsb…

Saya pernah mendapatkan kriman dari sumber syiah tulisan berbahasa Indonesia, 60 alasan utk memusuhi Abu Bakar dan Umar…

(AFS/Manhajuna)

Rukyatul Hilal Versus Hisab; Bukan Semata Soal Adu Argumentasi

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Rukyatul Hilal Versus Hisab

Penetapan awal dan akhir Ramadan selalu akan beriringan, setidaknya di negara kita, dengan perdebatan soal standar yang digunakan untuk menetapkannya. Dalam hal ini ada dua perkara yang selalu ‘diadu’ kekuatannya, yaitu metode ‘rukyatul hilal (melihat hilal, bulan tsabit yang muncul pada awal bulan sebagai pertanda awal masuknya bulan hijriah) versus metode hisab (penetapan berdasarkan perhitungan ilmu astronomi). Hasilnya adalah ‘tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang’. Akibatnya, setiap tahun kita akan selalu melihat penetapan yang berbeda dan pada gilirannya, mau tidak mau, masyarakat dibuat bingung olehnya.

Tulisan ini tidak bermaksud mengurai satu persatu argumentasi dari kedua metode yang digunakan dan menguatkan salah satu di antara keduanya. Karena masing-masing memang memiliki landasan dan logika, bahkan pengikut dan pendukungnya tersendiri. Terlebih saya tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, baik secara teoritis apalagi secara praktis, dalam kedua metode tersebut. Tapi, jika boleh saya simpulkan, ‘perdebatan sengit’ di antara kedua pendukung metode ini terletak pada hadaf (tujuan) dan wasa’il (sarana), antara tsawabit (perkara baku yang tidak berubah-ubah) dan mutaghayyiraat (perkara yang dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman).

Pendukung rukyatul hilal, dengan sejumlah hadits yang ada menjadikan masalah rukyat (melihat) sebagai ketentuan baku. Boleh dibilang dia sebagai ‘ibadah’ yang tidak dapat dialihkan kepada pendekatan lainnya. Sebab dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa awal dan akhir Ramadan hendaknya ditetapkan berdasarkan ‘terlihatnya (rukyat) hilal’, bukan ‘adanya (wujud) hilal’. Misalnya dalam hadits yang terkenal, ‘Puasalah kalian apabila hilal terlihat”. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Puasalah kalian apabila hilal muncul atau ada.” Jadi, ‘melihat’ (rukyat) menjadi acuan baku, bukan salah satu sarana yang terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu. Buktinya adalah, apabila terhalang dalam melihat hilal, apakah karena mendung atau lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengarahkan agar kita menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Padahal bisa jadi, ketika itu hilal muncul, hanya saja dia tidak terlihat. Maka, karena tidak terlihat, apapun alasannya, awal Ramadan tidak dapat ditetapkan ketika itu. Argumen mereka diperkuat dengan kenyataan bahwa ilmu falak yang menjadi dasar penetapan awal Ramadan berdasarkan hisab sudah dikenal ketika syariat ini diturunkan. Namun tetap saja masalah hisab tidak dijadikan acuan dalam perkara ini.

Sementara pendukung hisab melihat permasalahannya secara substansial. Intinya adalah bagaimana kedatangan bulan Ramadan dapat diketahui, apakah dengan rukyatul hilal atau dengan hisab. Jika munculnya hilal dijadikan sebagai patokan dalam menentukan awal bulan hijriah, maka, menurut versi ini, yang paling penting adalah mengetahui ‘kemunculannya’. Apakah dengan melihat langsung atau melalui pendekatan ilmiah dengan rumus-rumus yang dikenal dalam ilmu astronomi. Bagi mereka, ini hanya masalah cara atau sarana saja untuk mengetahui kedatangan Ramadan. Yang mana yang paling mungkin dan lebih valid, sesuai dengan waktu dan kondisinya serta kemampuan masyarakat, maka hendaknya itu yang lebih utama digunakan. Untuk masa sekarang, berpatokan dengan standar hisab, tampak lebih mudah dan lebih valid dibanding rukyatul hilal. Apalagi perkembangan ilmu astronomi sudah maju sedemikian rupa, sehingga faktor kekeliruannya semakin dapat diminimalisir sekecil mungkin. Di samping, mereka juga melihat bahwa celah untuk menggunakan hisab dapat ditangkap dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berbicara dalam masalah ini, yaitu bahwa (saat itu) kaumnya merupakan kaum ummy; Tidak dapat membaca dan menghitung (HR. Abu Daud, dll). Di samping, mereka juga berlandasan dengan salah satu riwayat yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa apabila hilal terhalang untuk dilihat maka beliau berkata, (فاقدروا له) hal ini dipahami oleh mereka sebagai perintah untuk merujuk kepada ‘perhitungan perjalanan bulan’ alias hisab. Kesimpulannya, saat itu, rukyatul hilal adalah metode yang paling mudah dan memungkinkan tingkat kemajuan dan kemampuan masyarakat ketika itu. Adapun sekarang, maka hisablah yang seharusnya dijadikan acuan. Karena zaman sudah maju dan komunikasi sudah canggih.

Mekanisme Seharusnya

Tentu saja perdebatan dan alasan-alasan yang disampaikan lebih dalam dan lebih beragam dan dalam dibanding kesimpulan yang saya berikan di atas. Hanya saja, permasalahan ini bukan sekedar adu argumentasi untuk mempertahankan pendapat mana yang paling kuat.
Sedalam apapun kajian tentang hal ini, semestinya ada perkara lain yang tidak dapat kita abaikan, yaitu soal mekanisme dan interaksi dengan perbedaan pendapat, khususnya terkait dengan upaya menjaga keutuhan umat. Sebab, masalah seperti ini bukan masalah yang terkait dengan keyakinan pribadi dan berdampak pribadi semata, tapi masalah yang dampaknya mencakup ketenangan dan keutuhan masyarakat muslim. Kalau boleh saya pinjam istilah yang sempat populer, perkara ini memiliki ‘dampak sistemik’ di tengah masyarakat. Dia tidak seperti  perbedaan pendapat ‘apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu atau tidak’ atau ‘apakah menyentuh mushaf Al-Quran harus berwudhu atau tidak’, yang memiliki ‘tingkat radiasi’ terbatas.

Terkait dengan mekanisme penetapan awal dan akhir Ramadan, jika kita merujuk kepada beberapa riwayat yang ada, akan tampak bagaimana proses penetapan awal Ramadan itu ditentukan. Sebagaimana, di antaranya, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang shahih, bahwa orang-orang berusaha melihat hilal, lalu Ibnu Umar memberitahu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia telah melihat hilal, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum muslimin berpuasa. Kemudian dalam hadits Ibnu Abbas, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima laporan seorang badui yang mengaku melihat hilal, setelah dipastikan keislamannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumumkan agar kaum muslimin mulai berpuasa esok.

Setidaknya, dari riwayat tersebut ada empat proses tahapan yang hendaknya dilalui untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan. Pertama adalah partisipasi aktif berbagai elemen masyarakat untuk ikut berkontribusi dan memantau penetapan awal Ramadan. Kedua adalah melapor kepada penguasa atau pemerintah apabila sudah melihat hilal (atau telah memiliki kesimpulan tentang awal Ramadan). Ketiga pihak pemerintah melakukan proses pengecekan tentang kebenaran informasi yang sampai kepada mereka. Terakhir, keempat, pemerintah bertugas mengumumkan kepada masyarakat tentang awal Ramadan.

Jadi semestinya, meskipun masyarakat punya hak untuk memantau dan mengontrol proses penetapan awal Ramadan, bukan berarti mereka dapat semaunya mengumumkan hasil kesimpulan mereka sebelum ada ketetapan resmi pihak berwenang. Sebagaimana Ibnu Umar, setelah melihat hilal, dia tidak langsung mengumumkan kepada masyarakat, tetapi dia melapor dahulu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selaku pemimpin kala itu, kemudian beliau memerintahkan untuk mengumumkan awal Ramadan. Dengan begini, maka alur informasi akan jelas dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di masyarakat serta menutup kemungkinan silang pendapat dan informasi yang berbeda-beda.

Masyarakat boleh saja memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang awal Ramadan, namun hak untuk menetapkan dan mengumumkan awal Ramadan berada di pihak yang berwenang dan berkuasa, apalagi jika pihak yang berwenang telah berupaya agar penetapan awal Ramadan memenuhi kaidah-kaidah syar’i. Jika ada pihak yang tetap meyakini kesimpulannya berbeda dengan apa yang ditetapkan pemerintah, dia boleh berpuasa sesuai keyakinannya, namun tidak boleh mengumumkan dan mengajak masyarakat berpuasa berbeda dari keputusan pemerintah!
Perbedaan Pendapat dan Kerukunan Masyarakat Muslim

Di sisi lain, perkara ini termasuk ujian bagi kita bagaimana berinteraksi dengan perbedaan pendapat dan kaitannya dalam menjaga kerukunan masyarakat. Para ulama umumnya mengatakan bahwa jika perbedaan pendapat hasil dari sebuah ijtihad yang memiliki standar ilmiah memadai dalam sudut pandang fiqih Islam, atau dalam istilah fiqih disebut sebagai Al-Masa’il Al-Ijtihadiah As-Saa’igah, maka seseorang dibolehkan mengikuti pendapat lain yang berbeda dengan pendapatnya, walaupun dia menganggap pendapat tersebut lemah, dengan harapan sikap tersebut dapat menghindarinya dari perpecahan dan pertikaian di tengah masyarakat.

Ketika Utsman bin Affan radhiallahu anhu (berdasarkan pandangan ijtihadnya) melakukan shalat di Mina sebanyak empat rakaat (pada shalat yang empat rakaat) Ibnu Masud mengingatkan bahwa dia pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu anhum di Mina sebanyak dua rakaat (shalat empat rakaat di qashar menjadi dua rakaat). Namun ketika suatu saat di Mina beliau shalat di belakang Utsman yang melakukan shalat empat rakaat, beliau mengikutinya shalat empat rakaat. Ketika ditanya tentang sikapnya, beliau mengatakan, “Perselisihan itu buruk.” (HR. Abu Daud).

Kitab Ar-Raudhul Murbi adalah salah satu kitab fiqih rujukan dalam Mazhab Hambali. Sebagaimana diketahui bahwa Mazhab Hambali tidak memandang disyariatkannya qunut secara khusus pada Shalat Subuh. Namun pengarang kitab ini, Al-Bahuti, mengatakan, apabila seorang makmum ikut shalat dengan imam yang qunut dalam shalat Fajar, hendaknya dia mengikutinya dan mengaminkannya. (Ar-Raudhul Murbi, 1/220)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, menguatkan pendapat, berdasarkan sejumlah dalil, bahwa bacaan basmalah pada shalat jahriah tidak dikeraskan, namun berikutnya beliau berkomentar, “Meskipun demikian, apa yang seharusnya tidak dikeraskan bacaannya, bisa jadi disyariatkan untuk dikeraskan bacaannya jika ada kemaslahatan yang kuat. Seorang imam, kadang-kadang, disyariatkan mengeraskannya untuk mengajarkan para makmum, bagi jamaah shalat boleh saja kadang-kadang mengeraskan sedikit bacaannya, boleh juga seseorang meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati dan mewujudkan persatuan serta menghindari penolakan yang tidak layak. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam urung membangun Ka’bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim, karena bangsa Quraisy ketika itu baru saja meninggalkan masa jahiliyahnya, beliau khawatir terjadi penolakan di kalangan mereka. Maka, beliau memandang bahwa maslahat kerukunan dan kesatuan hati lebih diutamakan ketimbang maslahat membangun Ka’bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim…..” (Majmu Fatawa, 22/436-437)

Beliau rahimahullah juga berkata, “Meninggalkan perkara yang lebih utama menurutnya adalah boleh agar tidak menimbulkan penolakan masyarakat. Demikian pula jika seseorang berpendapat bahwa bacaan basmalah dikeraskan, lalu dia menjadi imam di masyarakat yang tidak menganggapnya sunah, atau sebaliknya, lalu dia shalat sesuai dengan pendapat mereka, maka dia telah bersikap baik.”
(Majmu Fatawa, 22/268-269)

Prosedur Penetapan Resmi Di Negara Kita

Jika kita perhatikan kasus yang terjadi di negara kita, Departemen Agama yang dalam hal ini diberi wewenang secara formal untuk menetapkan dan mengumumkan awal dan akhir Ramadan, telah berupaya melakukan proses penetapan dengan upaya maksimal agar terpenuhi standar syar’i serta tidak mengabaikan kemajuan teknologi sebagai penopangnya, bahkan mereka juga telah menyertakan berbagai elemen dan ormas Islam di masyarakat. Yang saya nilai, Depag telah melalui mekanisme yang terkandung dalam hadits Nabi di atas.
Mereka menyebutnya sebagai metode rukyat dan hisab sekaligus. Maksudnya adalah bahwa mereka menggunakan standar perhitungan hisab untuk dapat melihat hilal. Jika berdasarkan hisab, hilal sudah berada di atas ufuk dan dapat dilihat, maka dilakukan upaya rukyat untuk memastikan apakah dia terlihat atau tidak. Jika terlihat (rukyat) lalu diproses kebenarannya dan kemudian diterima, maka dipastikan bahwa esok hari adalah awal Ramadan. Jika tidak, atau ada yang mengaku melihat namun tidak dapat diterima persaksiannya karena satu dan lain sebab, maka ditetapkan bahwa bilangan Sya’ban digenapkan tiga puluh hari, dan Ramadan jatuh pada hari lusanya.

Katakanlah pedoman Depag yang lebih condong kepada rukyatul hilal ini termasuk pendapat yang lemah. Namun setidaknya dia merupakan perkara ijtihad para ulama yang masih diakui memiliki standar ilmiah syar’i yang masih layak diikuti. Maka jika hal ini yang lebih mendatangkan keutuhan dan kebersamaan di tengah masyarakat, sebaiknya pihak-pihak yang menganggapnya lemah, dapat berlapang dada untuk tidak memaksakan pendapatnya dan menerima pendapat lain selagi di sana lebih mendatangkan kemaslahatan bersama. Apalagi jika ternyata pandangan ini (rukyatul hilal) justru merupakan pandangan yang dikuatkan jumhur ulama. Sejak sekian ribu tahun lamanya hingga kini, rukyatul hilal, baik secara teoritis maupun secara praktis, telah dipegang dan dipraktekkan oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Bahkan berbagai lembaga fatwa kontemporer sekalipun masih menjadikan perkara ini sebagai pedoman utama dalam menetapkan awal dan akhir Ramadan dengan berbagai macam argumentasi. Maka jika kemudian pedoman ini dijadikan sebagai pedoman resmi untuk menetapkan secara resmi oleh pihak yang resmi, yaitu penguasa, semestinya dia merupakan sesuatu yang sangat amat layak diikuti, walaupun oleh pihak yang menganggapnya lemah. Dan seharusnya tidak ada yang mengumumkan dan menetapkan secara terbuka yang berbeda dengan keputusan resmi!!

Para ulama juga sebenarnya telah menetapkan kaidah bahwa “Keputusan hakim (penguasa) dapat menyelesaikan perselisihan pendapat yang ada”. Dengan menyertakan kedua aspek ini (mekanisme dan cara pandang kita menyikapi perbedaan ijtihad terkait dengan keutuhan umat), penyatuan persepsi terkait penetapan awal dan akhir Ramadan akan lebih besar harapan untuk terwujud. Adapun kalau pedomannya hanya sebatas mana yang paling kuat argumentasinya, masing-masing pihak tentu merasa paling kuat argumentasinya. Hal ini bukan berarti kita tidak setuju diskusi tentang masalah ini terus dilanjutkan, biarlah dia menjadi bagian dari dinamika dan diskursus ilmiah yang memang didorong dan diberikan ruang dalam Islam, selagi dilakukan semangat mencari kebenaran berdasarkan dalil dan pemahamannya. Bahkan secara pribadi, walaupun hingga kini penulis masih condong dengan standar rukyatul hilal, namun penulis cukup respek terhadap argumentasi mereka yang hendak menjadikan hisab sebagai acuan penetapan awal dan akhir bulan.

Namun hendaknya masalahnya dibedakan antara perdebatan ilmiah dengan wewenang dalam memberikan keputusan, agar jangan sampai membuat suasana kehidupan beragama tidak kondusif. Toh, kalau memang pandangannya benar-benar kuat dan memiliki standar ilmiah yang cukup, lambat laun akan ada penerimaan terhadap sebuah pandangan seperti itu. Tidak sedikit pandangan fiqih yang pada awalnya tidak terlalu diapresiasi bahkan ditolak, lambat laut dapat diterima setelah perbincangan dan diskusi panjang seputar masalah tersebut. Sepanjang yang saya tahu, para ulama masa kini yang mengusung pendekatan hisab seperti DR. Yusuf Qaradhawi di Qatar, DR. Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ di Saudi, atau sebelumnya, pakar hadits, Syekh Ahmad Syakir, hanya membatasi pendapatnya dalam diskusi ilmiah. Apabila Ramadan tiba, mereka tidak sampai mengumumkan secara sepihak keputusan penetapan awal Ramadan berdasarkan pandangan hisab menurut pendapat yang mereka ambil di luar keputusan resmi pemerintah.

Ketegasan Pemerintah

Selain itu, dalam hal ini memang dibutuhkan ketegasan pihak berwenang untuk melarang keras pihak manapun mengumumkan penetapan awal Ramadan di luar keputusan resmi pemerintah. Hal ini yang berlaku di banyak negeri Islam. Sehingga dengan begitu, dapat diharapkan suasana kondusif akan terwujud dan masyarakat dapat mengawali Ramadan dengan tenang dan hati yang khusyu, tidak terombang ambing oleh berbagai info dan opini yang sedikit banyak dapat mempengaruhi suasana hati di bulan yang justru kita sedang sangat dianjurkan untuk membersihkan dan menata hati, baik kepada Sang Khaliq ataupun kepada sesama makhluk.
Dalam kapasitasnya, pemerintah tidak cukup menyikapi masalah ini dengan ungkapan yang sepintas manis dan menangkan, seperti ungkapan ‘masing-masing pihak agar menghormati pihak lain yang berbeda.’ Atau ‘kita sudah terlatih menghadapi perbedaan’, dan semacamnya. Ungkapan seperti itu layak bagi rakyat yang tidak berdaya apa-apa menghadapi kondisi seperti ini, adapun bagi pemerintah yang berwenang dan memiliki kapasitas untuk mengatur, ungkapan semacam itu lebih tepat disebut sebagai tameng untuk berlindung dari kelemahan menyelesaikan problem yang satu ini.

Wallahua’lam.

Rumah Ideal

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيء

“Empat faktor kebahagiaan; Wanita (isteri) shalihah, rumah yang lapang, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al-Arna’uth)

Hadits ini memberikan isyarat tentang 4 faktor rumah yang ideal;

1.  Penghuninya saleh

Penghuninya adalah orang-orang yang beriman kuat dan taat beribadah serta selalu tebar pesona dengan akhlak mulia. Rasulullah saw mengajarkan agar jangan menjadikan rumah kita seperti kuburan yang tidak dilaksanakan ibadah di dalamnya. Dianjurkan agar kita shalat sunnah di rumah dan membaca Al-Quran di dalamnya serta berbagai aktifitas ketaatan lainnya. Juga diajarkan agar setiap anggota keluarga memperlakukan anggota keluarga lainnya dengan baik, suami terhadap isteri dan isteri terhadap suami, orang tua terhadap anak-anak, dan anak terhadap orang tua.

2.   Desain rumahnya layak

Di sini Rasulullah saw memesankan agar rumah kita lapang. Menjadi ruang nyaman untuk berteduh dan kembali dari kepenatan di luar serta nyama untuk bercengkrama. Rumah sebaiknya dapat menjaga privacy dari pandangan luar. Juga ada ruang privacy di dalam, karenanya diajarkan agar ruang orang tua terpisah dengan ruang anak. Tempat tidur anak-anak terpisah satu sama lain. Jika berlainan jenis, ruangnya juga sebaiknya terpisah. Dll. Namun segala sesuatu disesuaikan dengan kemampuan.

3-   Lingkungannya baik

Rumah sebagus apapun, jika lingkungannya tidak sehat, tidak akan membuat penghuninya betah. Cari lingkungan yang baik bagi tempat tinggal kita. Atau kalau tidak, hendaknya berperan aktif menciptakan lingkungan yang baik dengan berdakwah dan berbagai agenda sosial yang positif. Disinilah hikmah ajaran Islam agar kita berbuat baik dengan tetangga dan berdakwah kepada lingkungan terdekat.

4-   Fasilitas memadai

Disini disimpulkan dengan kendaraan yang nyaman. Intinya adalah bagaimana agar berbagai fasilitas yang ada dapat membantu mobilitas dan aktifitas kita sehari-hari. Tidak ada masalah dengan berbagai fasilitas modern kalau semua itu dapat membantu mobilitas dan aktifitas positif kita. Di sini penting setiap anggota keluarga menyibukkan diri dengan berbagai agenda positif, dengan begitu maka berbagai fasilitas akan terbawa dan termanfaatkan untuk hal-hal yang positif dan semakin menambah nilai pahala. Berbeda jika berbagai fasilitas moderen tersedia, namun penghuninya minim dari agenda positif, akibatnya semua itu hanya menjadi sarana hura-hura dan leha-leha, bahkan bisa jadi menjadi sarana keburukan dan kemaksiatan…

Wallahua’lam.

Riyadh, Rajab 1433.

Menyikapi Karomah (Keramat) Secara Tepat

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengar atau bahkan kita saksikan adanya kemampuan luar biasa yang terdapat pada seseorang. Fenomena ini sering membingungkan bagaimana menyikapinya, khususnya jika hal tersebut dikaitkan dengan masalah agama. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang terkecoh.

Untuk memahami masalah ini dengan baik, penting bagi kita untuk memahami satu permasalahan dalam hal ini, yaitu: Karomah. Sebagian  masyarakat sering menyebutnya dengan istilah “Keramat”.

Pemahaman Karomah
Karomah adalah: Kejadian luar biasa yang Allah tampakkan kepada para wali-Nya selain para nabi.
Meskipun sama-sama kejadian luar biasa, namun karomah bukan mu’jizat. Sebab mu’jizat hanya terjadi pada Nabi dan Rasul, sedangkan karomah hanya terjadi pada orang saleh yang beriman dan bertakwa. Oleh karena itu tingkat karomah tidak sama dengan mu’jizat.

Apakah Karomah itu ada?
Ada sebagian orang yang menolak adanya karomah dalam kehidupan ini, karena menurutnya tidak dapat diterima akal.
Keyakinan orang muslim hendaknya merujuk kepada ajaran Islam yang dijelaskan dalam al-Quran dan Hadits atau yang disimpulkan oleh para ulama salafush-shaleh.

Kenyataannya, kejadian luar biasa yang terdapat pada seseorang yang bukan Nabi disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah saw serta dikuatkan oleh realita yang ada berdasarkan riwayat orang-orang yang terpercaya.

Beberapa Contoh Karomah
Dalam al-Quran (QS. Ali Imran: 37), kita dapatkan kisah Maryam yang selalu hadir di hadapannya buah-buahan segar yang bukan pada musimnya, atau juga kisah pengikut Nabi Sulaiman u yang mampu memindahkan singgasana Ratu Saba’ dalam sekejap mata (QS. An-Naml: 40).
Dalam hadits, kita juga mendapatkan riwayat shahih dari Rasulullah saw yang mengabarkan beberapa kejadian luar biasa yang dialami seseorang yang bukan Nabi.

Di antaranya, kisah tiga orang yang terkurung batu besar di dalam goa. Secara akal, kekuatan mereka tidak mampu menggeser batu tersebut. Namun setelah mereka masing-masing berdoa kepada Allah, maka batu tersebut sedikit demi sedikit bergeser sehingga mereka dapat keluar dari goa tersebut (Muttafaq alaih).
Demikian juga tentang kisah Juraij, seorang ahli ibadah yang dituduh berzina dengan seorang pelacur. Namun akhirnya dia bebas dari tuduhan itu setelah mohon kepada Allah, sehingga bayi pelacur terse-but dapat berbicara dan menyatakan bahwa ayahnya bukanlah Juraij (HR. Muslim).

Kemudian pada zaman Rasulullah saw, Allah memberikan karomah kepada beberapa orang shahabatnya.
Di antaranya adalah apa yang dialami oleh ‘Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr, ketika keduanya kembali setelah menemui Rasulullah saw, mereka melewati jalan yang sangat gelap, namun mereka diterangi oleh cahaya yang terdapat pada tongkatnya hingga mereka tiba di rumah masing-masing (HR Bukhari).
Dari kalangan tabi’in, diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah (terpercaya) bahwa Abu Muslim Al-Khaulani dapat berjalan di atas air, dan jika dia minta hujan, maka hujan diturunkan [1])
Maka berdasarkan hal-hal di atas, Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa karomah dapat terjadi pada orang-orang yang saleh dan bertakwa.

Apakah Setiap Kejadian Luar Biasa Dianggap Karomah?
Walaupun kita berkeyakinan bahwa karomah itu ada, namun yang harus kita pahami dengan baik adalah bahwa tidak semua kejadian luar biasa dapat dianggap karomah. Karena hal tersebut dapat juga terjadi sebagai tipu daya setan untuk menyesatkan manusia. Hal ini penting diketahui, karena banyak kaum muslimin yang terpedaya ketika melihat kejadian luar biasa pada orang-orang yang ingin menyesatkan manusia.

Perlu diketahui, bahwa kejadian luar biasa dapat juga bersumber dari perbuatan jin atau setan, baik terjadi pada orang kafir, atau pada orang yang telah menjadi budak setan dengan menggadaikan agamanya kepada setan dan mempersembahkan apa saja yang diminta setan untuk mendapatkan imbalan berupa kemampuan luar biasa. Atau bahkan dapat terjadi juga pada ahli ibadah sebagai tipu daya setan untuk menggelincirkannya dari jalan yang benar.
Hal tersebut bukan perkara mustahil, sebab Allah telah memberikan kemampuan terhadap jin atau setan di luar kemampuan manusia, seperti gerak yang cepat, tidak dapat dilihat manusia, berubah bentuk, dapat merasuk ke dalam tubuh manusia dll. Hal itu dapat mereka perlihatkan di hadapan manusia sebagai pemandangan luar biasa dan tentu saja sebagai upaya mereka yang tanpa henti untuk menyesatkan manusia.

Sikap Jika Melihat Atau Mendengar Sesuatu Yang Luar Biasa?
Ketika  kita melihat kejadian luar biasa pada diri seseorang atau mendengar berita tentang hal tersebut, maka hendaklah kita tidak tergesa-gesa memutuskannya sebagai karomah sebelum menilai beberapa hal:

1.  Dari sisi subyeknya. Yaitu orang yang mengalami kejadian luar biasa tersebut adalah orang yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala.

2.  Kejadian luar biasa itu sendiri bukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah Ta’ala atau menjadi sebab dilanggarnya ajaran Allah Ta’ala.

3.  Dari sisi pembawa berita, jika hal tersebut berupa berita. Yang menyampai-kan berita haruslah dikenal sebagai orang yang bertakwa dan telah teruji kejujuran-nya dalam ucapan dan perbuatan (tsiqah).

Jika ketiga hal tersebut menyertai kejadian luar biasa pada seseorang, maka layak disebut karomah. Namun jika tidak ada salah satunya apalagi ketiga-tiganya, maka kejadian tersebut tidak boleh dikatakan karomah.

Misal dari  point no. 1, jika pelakunya seorang kafir, atau seorang muslim namun suka melakukan syirik, bid’ah dan kemaksiatan atau orang yang suka meninggalkan perintah Allah dan melakukan larangan-Nya.
Kejadian luar biasa pada orang semacam ini bukanlah karomah. Tetapi dia merupakan perbuatan setan untuk menyesatkan hamba Allah Ta’ala. Dalam hal ini, hendaklah kita tidak terpaku pada simbol, atribut, julukan atau pengakuan-pengakuan yang dilontarkan.

Misal dari point no. 2, jika ternyata kejadian luar biasa tersebut merupakan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, seperti seseorang yang mengaku dapat melihat Allah Ta’ala, atau bermimpi bertemu malaikat dan menyatakan bahwa dirinya adalah nabi baru atau dirinya terbebas dari ketentuan syariat.

Demikian juga jika kejadian tersebut didapatkan dengan cara-cara yang diharamkan, seperti melakukan kesyirikan, menyembelih hewan tertentu untuk selain Allah, melakukan perkara bid’ah seperti membaca zikir atau wirid yang tidak diajarkan Rasulullah saw, dll.

Dikisahkan bahwa Abdul Qadir Al-Kailani suatu saat sangat kehausan. Tiba-tiba datang awan kepadanya dan menurunkan hujan gerimis, sehingga dia dapat minum dan hilang dahaganya, lalu dibalik awan itu muncul seruan:

“Wahai fulan, aku adalah Tuhanmu, dan Aku telah menghalalkan bagimu segala sesuatu yang diharamkan.”
Maka dia segera berucap:

“Enyahlah engkau wahai laknat!”, kemudian dengan serta merta awan itu sirna.

Ketika ditanya kepadanya dari mana dia tahu bahwa itu adalah Iblis?!, beliau menjawab: “Dari ucapannya: Telah aku halalkan apa yang diharamkan” [2])

Di tengah masyarakat banyak yang tergelincir dari sisi ini. Khususnya jika kejadian tersebut diselubungi dengan simbol dan atribut agama. Sehingga banyak di antara mereka yang menjadi pengikut ajaran sesat karena orang yang mereka ikuti dianggap memiliki karomah.

Faktor lain (point no. 3) yaitu masalah siapa yang menyampaikan khabar tersebut, jika hal itu bersifat berita.
Banyak terjadi informasi tentang karomah pada orang tertentu hanya bersifat cerita dari mulut ke mulut yang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Meskipun cerita tersebut terkait dengan orang yang dikenal keimanan dan ketakwaannya, dan kejadiannya tidak bertentangan dengan syariat, namun jika sumber cerita tersebut tidak berasal dari orang yang beriman, atau orang beriman namun  tidak dikenal kejujuran dan ketaqwaannya, maka hendaklah kita tidak tergesa-gesa mengatakannya sebagai karomah.

Dapat saja hal itu bersumber dari orang-orang yang memujanya secara berlebih-lebihan, atau dari orang yang ingin mengalihkan perhatian masyarakat dari perkara yang lebih penting, atau tujuan lainnya.

Jika diamati, sebagian besar cerita tentang karomah umumnya sulit dicari rujukannya, dan biasanya hanya bersumber dari “Katanya.…”

Bahkan yang sudah tercatat dalam kitab sekalipun dan diketahui dari mana sumber cerita tersebut, ternyata setelah diteliti ulang dari sisi bobot yang menyampaikannya, diketahui kemudian bahwa ternyata banyak riwayat yang lemah.

Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS. Al-Hujurat: 6)

Kesimpulan:
Karomah terjadi semata-mata karena pemberian Allah Ta’ala berkat keimanan dan ketakwaan seseorang dan bukan sesuatu yang terjadi karena direncanakan orang tersebut. Tidak ada ibadah atau wirid khusus untuk mendapatkannya, apalagi jika mengharuskan syarat-syarat tertentu, seperti menyembelih hewan, mendatangi ‘makam keramat’, membaca zikir yang tidak diajarkan Rasulullah saw atau cara-cara lainnya. Setiap karomah itu luar biasa, tapi tidak setiap yang luar biasa disebut karomah. Adanya karomah menunjukkan kewalian seseorang, tapi tidak setiap wali harus memiliki karomah…. Wallahua’lam

Semoga Allah Ta’ala selamatkan aqidah dan iman kita dari segala kesesatan. Amin.

[1]. Lihat: Karomatu Auliya’illah Ta’ala: Al-Laalikaa’i, hal. 208-209.

[2]. Lihat: Karomatu Auliya’illah Ta’ala, al-Laalikaa’i.

Mengengal Wali Allah Secara Proporsional

Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Wali Allah, adalah istilah yang tidak asing di kalangan kaum muslimin. Namun demikian, banyak kaum muslimin yang tidak memahami masalah ini secara tepat dari sudut pandang syari’ah. Padahal tidak jarang terjadi penyimpangan dalam aqidah yang bersumber dari rancunya pemahaman istilah tersebut pada diri seseorang.

Siapakah Wali Allah?

Menurut bahasa: Wali (ولي) berarti pembela dan pencinta.[1])

Sedangkan menurut istilah, pemahaman tentang wali secara lugas telah dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat Yunus: 62-63.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Al-Laalikai berkata:

“Wali adalah kedudukan tinggi dalam agama yang hanya dicapai oleh orang yang telah menegakkan agama, baik lahir maupun batin. [2])

Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya tentang ayat ini, setelah menyebutkan pendapat tentang siapa yang dimaksud wali Allah, berkata,

“Yang benar, ‘wali’ maksudnya wali Allah, adalah mereka yang memiliki sifat sebagaimana yang telah Allah sifati, yaitu; Beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [3])

Ibnu Katsir berkata:

“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya para wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa -sebagaimana yang telah Dia dijelaskan-. Maka siapa saja yang bertaqwa, dia adalah wali Allah Ta’ala” [4])

Istilah wali dapat dipahami dari dua sisi yang saling berkaitan satu sama lain:

Pertama, dari sisi seorang hamba. Seseorang dikatakan sebagai wali Allah (Waliyullah) jika dia adalah orang beriman kepada-Nya, mencintai dan membela ajaran-Nya dan menjalankan syariat-syariat-Nya.

Kedua, dari sisi Allah Ta’ala. Allah adalah Wali bagi orang beriman (Waliyullazina Aamanuu). Maka itu berarti Dia mencintai dan menolong hamba-Nya yang beriman dengan sebenar-benarnya.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Rasullah saw dalam riwayat Bukhari:

« إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ  بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ  حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ     وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ     الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ » [رواه البخاري]

“Sesungguhya Allah Ta’ala berfirman: Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Tidak ada ibadah seorang hamba yang lebih Aku cintai kecuali ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya. Jika hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara-perkara sunah (setelah melaksanakan yang fardhu) maka Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku (akan menjaga) pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, (menjaga) penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, (menjaga) tangannya yang digunakannya untuk memukul dan (menjaga) kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya Aku akan lindungi.” (HR Bukhari)

Berdasarkan pemahamaman yang bersumber Al-Quran dan Sunnah, kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang –siapapun dia- dikatakan sebagai wali Allah manakala dia telah mewujudkan keimanan dan ke-taqwaannya kepada Allah Ta’ala dengan sebenarnya, dan tingkat kewaliannya berbanding dengan tingkat keimanan dan ketakwaannya.
Wali Allah yang paling tinggi adalah pada para Nabi dan Rasul. Maka setiap Nabi dan Rasul pastilah dia wali Allah, tapi tidak setiap wali Allah dia seorang Nabi Rasul. Maka, kelirulah orang yang berpendapat bahwa wali Allah lebih tinggi sedikit tingkatannya di atas para Nabi dan dibawah tingkatan para Rasul.

Beberapa Pemahaman Keliru Tentang Wali Allah dan Jawabannya

Adanya keyakinan bahwa status wali adalah berdasarkan penunjukkan secara khusus dari Allah kepada seseorang sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul. Bahkan ada yang memahami bahwa di daerah-daerah tertentu telah ditunjuk wali-wali tertentu sebagai “Wakil Allah”.
Tidak ada ayat atau hadits yang menunjukkan adanya penetapan khusus dari Allah tentang status wali pada orang-orang tertentu (si fulan dan si fulan), sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul. Yang Allah khabarkan hanyalah sifat-sifat yang ada pada wali-Nya.

Jika orang tersebut beriman kepada Allah dengan benar, men-jalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya serta membela ajaran-Nya, maka dia adalah wali Allah, meskipun tidak ada orang yang memberinya gelar wali. Sebaliknya, jika dia pelaku maksiat, bid’ah dan kesyirikan, maka dia bukanlah wali Allah, meskipun orang-orang menjulukinya sebagai wali.

Adanya pemahaman bahwa wali Allah harus memiliki kemampuan luar biasa.

Adapun perkara kejadian luar biasa atau yang disebut karomah, hal tersebut bukan syarat bagi seseorang untuk dikatakan wali Allah, meskipun tidak mustahil jika hal itu terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya karomah, jika benar hal itu terjadi dan benar bahwa itu karomah, menunjukkan kewalian seseorang, sedangkan kewalian seseorang tidak harus ditunjukkan dengan adanya karomah. Tapi cukup dengan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala sesuai tingkatannya.

Perlu dipahami, bahwa setiap orang yang mengalami kejadian luar biasa tidak serta merta dia dikatakan wali Allah, bahkan mungkin juga terjadi pada wali setan jika ternyata pelakunya adalah orang kafir, atau pelaku maksiat, syirik dan bid’ah, sebab hal tersebut dapat juga bersumber dari setan.

Sekali lagi, Wali Allah tidak identik dengan  kejadian luar biasa, dan kejadian luar biasa tidak identik menunjukkan kewalian seseorang.

Adanya pemahaman bahwa para wali adalah makhluk yang mengetahui perkara gaib dan dapat menentukan nasib seseorang. Sehingga dengan keyakinan tersebut, banyak  yang mendatangi kuburannya jika dia telah meninggal dan memohon sesuatu kepadanya.
Tidak ada yang mengetahui perkara gaib, baik yang ada di langit maupun di bumi selain Allah Ta’ala.

“Katakanlah (hai Muhammad): Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)

Begitu pula di alam ini. Tidak ada yang dapat menentukan dan mengatur segala sesuatu kecuali Allah Ta’ala. Tidak satupun selain-Nya yang dapat melakukan hal tersebut, apakah itu wali, dewa, jin, setan, bahkan hingga Nabi dan Rasul.

Bahkan Allah memerintahkan Rasulullah J untuk menyatakan kepada umatnya:

“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.” (QS. Al-Jin: 21)

Karena itu, meyakini adanya seseorang yang dapat mengetahui perkara gaib atau dapat menentukan sesuatu di alam ini apalagi kemudian memohon atau berdoa kepadanya setelah dia meninggal, adalah termasuk perkara syirik.

Adapun mendatangi orang saleh semasa hidupnya dan memohon agar dia mendoakannya kepada Allah, hal tersebut termasuk tawassul yang dibolehkan dalam syariat.

Adanya pemahaman bahwa para wali adalah makhluk yang boleh keluar dari ketentuan syariat.
Pemahaman ini sering terjadi di tengah masyarakat. Sehingga tidak jarang terjadi, ada tindakan seseorang di depan publik yang nyata-nyata menyimpang dari syari’at, namun sebagian masyarakat masih mentolerirnya karena menganggap bahwa pelakunya termasuk wali yang derajatnya berbeda dengan masyarakat awam. Bahkan orang tersebut tetap diagung-agungkan dan disanjung-sanjung serta diterima setiap perkataannya.

Semua manusia –tanpa kecuali- tidak ada yang mendapat penge-sahan bahwa dirinya dapat keluar dari aturan syariat. Justru semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin takut dia meninggalkan ketentuan syariat, baik perkara kecil apalagi yang besar.

Hal itulah yang tercermin dalam kehidupan para nabi, para shahabat dan generasi pertama yang saleh.

Adanya pemahaman bahwa para wali dapat menjadi sumber pengamalan agama, selain Al-Quran dan Hadits. Baik dalam bentuk keyakinan, zikir, wirid, shalat, puasa dan sebagainya.
Sumber dasar pengamalan agama dalam Islam hanyalah Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah). Siapapun yang ingin menyampaikan ajaran Islam, tidak boleh keluar dari aturan dasar yang telah dite-tapkan kedua sumber tersebut. Bahkan jika ada perbedaan pendapat, kedua sumber itulah yang harus dijadikan rujukan.

Allah Ta’ala berfirman :

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59)

Maka sekalipun dia dijuluki masyarakat sebagai wali, tapi ajaran Islam yang dia sampaikan harus ditimbang sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Jika sesuai, maka harus kita ambil dan amalkan. Jika tidak, apalagi yang di dalamnya ada unsur dan keyakinan syirik, maka harus kita buang jauh-jauh dari kehidupan agama.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

وَإِذَا رَأَيْتُمْ قَوْلاً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَالِفُ قَولِي فَاضْرِبُوا بِقَولِي عُرْضَ الْحَائِطِ

“Jika kalian melihat sabda Rasulullah bertentangan dengan pendapatku, maka lemparlah pendapatku ke luar pagar.” [5])

Adanya pemahaman bahwa para wali harus diagungkan dan tidak boleh ditentang sama sekali. Kalau tidak, maka hidup kita akan sengsara (kualat).
Menghormati wali Allah –jika mereka orang yang iman dan ketak-waannya kepada Allah benar- memang diperintahkan dalam agama. Namun berlebih-lebihan menyanjungnya, dilarang dalam agama.
Rasulullah saw  bersabda :

« لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوا: أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ »  [رواه البخاري]

“Janganlah kalian memuji aku berlebih-lebihan sebagaimana orang-orang Nashrani memuji (Isa) anak Maryam secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka hendaklah kalian berkata: Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)

Adapun masalah menentang mereka, jika ternyata masalah yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang diajarkan syariat, maka kita memang dilarang untuk menentang sesuatu yang diajarkan dalam syari’at.

Namun jika hal tersebut ternyata bertentangan dengan ajaran syari’at, misalnya mereka mengajarkan kita wirid tertentu yang tidak ada sumbernya dalam Al-Quran dan Sunah, atau menyimpan jimat atau minta barokah dari kuburan-kuburan, dll. Maka pada masalah tersebut kita boleh tidak menaatinya dengan tetap menjaga adab yang berlaku.

Sikap tersebut tidak akan membuat hidup kita sengsara (kualat). Karena selain Allah, tidak ada yang dapat menentukan nasib kita. Kalaupun benar terjadi musibah, hal itu bukan semata-mata karena wali tersebut dapat menentukan nasib kita, tapi semata-mata dari Allah sebagai bentuk ujian kepada kita.

Wallahu ta’ala a’lam.

Riyadh, Shafar 1433H

[1].  Al-Mu’jam Al-Wasith, item (الولي), hal. 1058

[2].  Syarh I’tiqod Ahlussunnah…, Al-Laalika’i, IX/7

[3].  Tafsir Ath-Thabari, 15/123

[4]. Tafsir Ibnu Katsir, II/422

[5]. Lihat I’lamul Muwaqqi’in, oleh Ibnu Qayim Al-Jauziah II/361.