Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 23)

Search Results for: abdullah haidir

Tafaqquh Fiddin

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Tanya:

Maaf ustazd, semoga tidak mengganggu…
Begini ustazd…ana mendapat sebuah pertanyaan dari salah satu jemaah ana..

“Kenapa dlm tafsir Al Qur’an,kata untuk Allah ada yang d terjemaahkan dengan ” AKU ” ada yang d terjemaahkan dengan ” KAMI “…bukankah AKU dan KAMI dlm ilmu bahasa mempunyai arti yg berbeda…”

Begitu ustazd…saya berharap kiranya ustad dapat mmbekali ilmu tentang ini dlm perjalanan dakwah ana…sukran jazakumullahu khoir barakallahufik.وَلسَّلاَمُ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُه

Jawab:

Kata ganti (dhomir) yang Allah sebutkan utk diri-Nya dalam Al-Quran, kadang memang menggunakan lafaz “أنا” (Aku), spt dlm surat Thaha: 14, dll. Kadang juga menggunakan kata ganti (نحن), seperti dalam surat Al-Hijr ayat 9. Mengenai masalah ini erat kaitannya dengan pemahaman tentang kaidah bahasa Arab dan juga maksud-maksud yang terkandung dalam sebuah kata.

Kata ganti “Kami” (نحن) dalam bahasa Arab memang umumnya digunakan untuk menunjukkan plural (jamak), akan tetapi dalam kaidah bahasa Arab juga, kata ganti “kami” (نحن) dapat digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tunggal, biasanya hal ini terjadi apabila ada maksud-maksud tertentu. Padanannya, kata tunjuk “itu” (ذلك) umumnya digunakan untuk menunjuk sesuatu yang jauh. Tapi juga untuk maksud tertentu dapat digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang dekat, sehingga maknanya menjadi (هذا) “ini”. Itu terdapat dalam surat Al-Baqarah:

ذلك الكتاب لا ريب فيه

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengutip ungkapan para salafusshaleh menyatakan bahwa kalimat (ذلك الكتاب) dalam ayat ini diartikan sebagai (هذا الكتاب).

Umumnya para ulama menyebutkan penggunaan kata ganti jamak (نحن) jika ditujukan untuk sesuatu yang bersifat tunggal maka dia mengandung makna “pengagungan” dan “kebesaran”. Maka Allah Ta’ala ketika menyebutkan diri-Nya dengan kata ganti ini, maknanya menunjukkan keagungan dan kebesaran-Nya. Adapula yang memaknai bahwa hal tersebut dinyatakan karena Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang banyak yang kesemuanya memiliki kemuliaan dan keagungan.

Jadi, kata ganti “kami” (نحن) dalam bab ini tidak dipahami bahwa Allah banyak dan lebih dari satu. Sebab Al-Quran tidak dapat dipisahkan ayatnya satu sama lain. Sedangkan dalam banyak ayat menunjukkan bahwa Allah menyatakan bahwa Dia adalah Esa seperti yang jelas terdapat dalam surat Al-Ikhlas serta melarang menyekutukan-Nya. Pengingkaran dalam hal ini mutlak menggugurkan keimanan seseorang.

Bahkan dalam obrolan kita sehari-haripun sering kita dengar atau bahkan kita sendiri menggunakannya, yaitu menggunakan kata “kami” ditujukkan untuk menunjukkan satu orang, bukan kepada banyak orang… .

Demikian jawaban yang dapat “kami” sampaikan…. Hadaanallahu wa iyyaakum ajma’iin…

Riyadh, Jumadal Ula 1434 H.

(AFS/Manhajuna)

Twit Tentang #Dukun

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Salah satu jenis manusia yang wajib dijauhi dalam kehidupan seorang muslim adalah #dukun

Tidak ada kamusnya orang mengaku muslim, beriman, tapi berdekat-dekatan dengan #dukun, apalagi cs-an..

Betapa tidak, sabda Rasulullah saw, sekedar bertanya saja sama #dukun, akan membuat shalatnya tidak diterima selama 40 hari.. (HR. Muslim)

Dan kalau bertanya kepada #dukun kemudian dia benarkan denga keyakinan bahwa dukun mengetahui perkara gaib, dia kafir… (HR. Abu Daud)

Siapa sih #dukun itu……? Di sini jangan terjebak dengan nama dan istilah. Sekarang nama dukun bisa dipoles macam-macam…

Kaidah tentang #dukun bukan terletak pada nama dan sebutannya, tapi pada praktek dan pengamalannya.

Sebab ada juga yg dinamakan #dukun tapi tdk masuk dlm katagori dukun yg dimaksud dalam hadits. Dukun politik atau dukun beranak misalnya..

Boleh jadi #dukun sekarang diberi nama yang keren; Ahli metafisik, tokoh supranatural, guru spiritual, orang alim, paranormal, sampai kyai…dll. Skali lagi, lihat substansi.

Dalam hadits, #dukun disebut dg istilah “Kahin” dan “Arraf”. Pedukunan atau klenik disebut “Kahanah” atau “Kahanuut”

Para ulama umumnya mendefinisikan #dukun sebagai orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib. Mereka berinteraksi dengan setan dlm kerjanya..

Karena itu #dukun juga dikenal dengan istilah “safiir iblis” duta setan. Merekalah yg menghubungkan masyarkat dengan setan…

Memang kadang-kadang sulit mengenali #dukun itu. Apalagi bagi orang awam yg sedang butuh pertolongan dan lemah iman serta pemahaman..

#Dukun bisa saja dg mudah merubah penampilan dan berbicara manis. Mungkin juga dia bilang “Jangan percaya saya, percaya sama Allah..”

Karena itu, para ulama menyebutkan beberapa indikasi bahwa seseorang melakukan praktek per#dukunan, terlepas dari pengakuan dan penampilannya..

Di antara indikasi #dukun adalah tdak memperlihatkan keimanan dan ibadah yg benar. Contoh sederhana misalnya, jarang ke masjid… tidak menutup aurat.. dll

Atau bicara tentang keimanannya ngelantur… misalnya menyatakan ada penunggu tempat tertent atau wali fulan yg dapat menentukan nasib seseorang… dll. #dukun

Indikasi #dukun lainnya adalah praktek atau terapinya mengandung perkara yg menyalahi ketentuan syariat…

Misalnya pasiennya disuruh minum darah, disuruh telanjang bulat di hadapannya, bertapa sekian hari, puasa bersambung hingga malam… dll #dukun

Indikasi #dukun lainnya, suka minta “mahar” yg aneh2; Mis. minta ayam hitam dimalam jumat kliwon, minta kain kafan mayat yg baru dikubur, dll

Indikasi #dukun lainnya, suka meminta barang-barang miliki pribadi, seperti rambut pasien, air liur, sapu tangan, dll.

Indikasi #dukun lainnya, suka memperlihatkan seakan-akan dia tahu perkara gaib, seperti memberitahu rumah atau pekerjaan pasien sebelum diberitahu,

Indikasi #dukun lainnya; Suka memberikan jimat atau jampi2 yg tidak syar’i.

Itu kurang lebih indikasi2 seseorang melakukan praktek #dukun… Ingat, jangan terjebak pada penampilan dan istilah…

Satu hal lagi juga yg patut diingat, jika apa yg mereka lakukan memang benar adanya, itu bukan standar kebenaran mereka.. #dukun..

Misalnya, #dukun melakukan pengobatan dg cara perdukunan, lalu sembuh. Atau sesuatu terjadi sesuai dengan ramalannya. Yg jadi standar bukan sembuhnya, tapi prakteknya yg sesat..

Bisa saja sekali waktu #dukun itu berhasil, tapi itu bukan standar. Namun umumnya mereka pendusta… sekali2 aja benernya atau berhasilnya…

Cuma orang-orang biasanya yang diingat adalah sekali yg benar terjadi itu…atau juga kadang2 itupun cuma omongan sana sini yg tdk berdasar.. #dukun

Sama spt Iblis yg pernah mengajari Abu Hurairah Ayat Kursi. Kata Rasulullah saw “Dia benar, tapi dia pendusta.”

Sampe sini dulu kultwit ttg #dukun…part 1. Nanti insya Allah kita lanjutkan lagi…

Sekali lagi, jauhi #dukun dalam kehidupan anda, jika ingin iman anda selamat…

Riyadh, Jumadal Ula 1434

(AFS/Manhajuna)

Keluarga Harmonis

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Keluarga akur itu sederhana saja; Jika isteri dengan mudah dapat mengetahui posisi suami di luar dan apa yang dia kerjakan tanpa suami merasa ‘dibuntuti’, sedangkan isteri merasa selalu perlu izin suami jika ingin pergi atau mengambil tindakan sesuatu, tanpa merasa dikuasai…

Keluarga damai itu sederhana saja; Kalau suami dapat memahami jika sewaktu-waktu sang isteri tidak dapat menunaikan kewajiban yang menjadi haknya, dan isteripun mau mengerti kalau sewaktu-waktu sang suami tidak dapat memenuhi kebutuhan yang menjadi hak dirinya..

Keluarga terbuka itu sederhana saja; Kalau isteri dgn mudah dapat mengetahui isi kantong dan saldo rekening suami tanpa bermaksud mengusai, sedangkan suami dengan mudah mengetahui dan memenuhi kebutuhan isteri untuk rumah tangga dan pribadi

Keluarga ilmiah itu sederhanya saja; “Ayo ngaji” “Ko sering tidak ngaji?” “Nih ada buku bagus, ayo dibaca” “bacaaan cakep neh, sok dilihat” “Jalan2 ke Jarir (toko buku terkenal di Saudi) yuk…..?”

Keluarga asyik itu sederhana saja; Kalau suami senang membantu keluarga isterinya dan isteri dengan suka hati membantu keluarga suaminya…

Keluarga akrab itu sederhana saja; Kalau suami senang berkunjung ke rumah ortu isteri dan isteri riang berkunjung ke rumah ortu suami.

Keluarga damai itu sederhana saja; kalau suami tulus memuji masakn isterinya yg sedap dan di lain wkt dpt bilang dg ringan “Kurang garam nih..” Semntara istri tdk khawatir masaknnya ditolak suaminya, atau bhkn suatu saat dg santai bilang “Pak, hari ini ibu ga masak, kita beli aja ya”

Keluarga hangat itu sederhana saja; Jika suami isteri dapat ngobrol panjang berdua-duaan tentang apa saja, yang serius, bercanda, kata-kataan hingga tonjok-tonjokan 🙂

Keluarga rukun itu sedehana saja; Kalau suami tanpa sembunyi-sembunyi dapat melihat akun FB, Twitter, atau HP istri tanpa bermaksud mencari-cari dan isteri tidak merasa dicurigai…. Sedangkan isteri tanpa mencuri-curi dapat melihat akun FB, Twitter dan HP suami tanpa suami merasa dimata-matai…

Keluarga mesra itu sederhana saja; Kalo suami tanpa beban dapat bilng ke isteri “Bu, pijitin dong, cape neh kerja seharian..”,
Sementara isteri di lain waktu juga tanpa beban dapat bilang ke suami “Pak, urutin dong, cape seharian beresin rumah..”..

Riyadh, Jumadal Ula, 1434 H.

(AFS/Manhajuna)

Bertetangga

Kultwit oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

#Tetangga pada hakekatnya adalah orang yang ada di sampingmu atau ada di sekitarmu…

Dia bisa ada di sekitar tempat tinggal, di sekitar tempat kerja, di sekitar pasar dan kios kita, atau di saat perjalanan kita, itula #tetangga

Meskipun yg umum dikenal sebagai #tetangga adalah org yang berada di sekitar tempat tinggal kita.

Bagaimana hubungan kita dengan #tetangga kita? Jangan sampai sudah melanglangbuana, ternyata urusan dg tetangga tidak rapih..

Rasulullah saw selalu dipesan malaikat Jibril agar berbaik2 dg #tetangga. Sampai beliau mengira tetangga itu akan mendapatkan waris… (Muttafaq alaih)

Masalah ber #tetangga juga masalah iman lho? “Siapa yang beriman kpd Allah dan hari akhir, hormatilah tetangganya.”(HR. Muslim)

Berbaik2 kpd #tetangga juga masuk dlm 10 pesan Allah dlm surat An-Nisa: 36

Apa sikap yg seharusnya thd #tetangga? 1- Berbuat baik kpdnya 2- Tdk menyakitinya. 3- Melindungi/menolongnya. 4- Sabar atas kekhilafannya..

Tentu semua itu dimensinya luas. Tapi paling tidak itu kisi-kisinya. Masing2 dpt dikembangkan dan diberikan batasan… #tetangga

Minimal, kt seharunya menjadi org terdepan dan tercepat dlm membantu, dan org terjauh dalam menyakiti dan mengganggu #tetangga

“Tidak beriman (dg sempurna), org yg kenyang sedang tetangganya kelaparan..” (HR. Thabrani)

“Demi Allah tidak beriman……….. org yg #tetangga nya tidak aman dari keburukannya..” (Muttafaq alaih)

#Tetangga itu ada tiga derajat: 1- Tetangga kerabat yg muslim. Dia memiliki hak kerabat, hak muslim dan hak tetangga…

Ini derajat #tetangga yg paling tinggi. Maka, hati2 lah jika tetangga kita adalah kerabat kita. Jg sampai kurang perhatian atau menyakiti

Meskipun praktek yg sering terjadi, katanya, sering terjadi gesekan kalau ber #tetangga dengan kerabat… berarti itu tantangan…!

Derajat ke-2 adalah #tetangga muslim yg bukan kerabat. Dia memiliki hak sebagai musliam dan hak sbg tetangga.

Derajat ke-3 adalah tetangga non muslim. Dia memiliki hak sebagai #tetangga. Jadi non muslim pun berhak mendapat perlakuan baik dari kita.

Jadilah #tetangga yg baik. Dia termasuk penentu keimananmu, dan dapat menjadi peluang besar bagi dakwahmu…

Riyadh, Jumada Tsaniah, 1434 H

(AFS/Manhajuna)

Pengusung Kebenaran VS Pendukung Kebatilan

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Jika suara kebenaran meredup… maka suara kebatilan kan meletup

Kalau pengusung aspirasi rakyat lesu, pengusung aspirasi penjahat kian menderu…

Kalau pencinta kebaikan cuma bisa ‘geregeten’, maka pencinta kebatilan kian ‘kebangeten’….

Kalau penegak kebenaran tidak mau maju kedepan, maka penegak kebatilan yang akan mengendalikan…

Kalau penabuh genderang keadilan malu-malu, maka tabuhan genderang kezaliman kian bertalu-talu…

Kalo pengusung kebenaran ragu-ragu, pengusung kebatilan tambah ‘belagu’…

Jika pengusung kebenaran tidak turun gelanggang, pengusung kebatilan kian sewenang-wenang…

Jika orang-orang mulia mundur teratur, orang-orang jahat akan kian maju bertempur….

Teruslah merangsek ke depan… maju Ke hadapan….

Riyadh, Jumada Tsaniah, 1434 H.

(AFS/Manhajuna)

Spasi Kehidupan

Kultwit oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Dulu, kita pernah diajarkan bahwa rel kereta itu harus diberi jarak/#spasi satu sama lain, agar tersedia ruang utk memuai.

#spasi dlm tulisan juga dibutuhkan, utk keindahan dan kemudahan memahami. Bayangkan kalau tulisan tdk ada spasinya…

Begitulah kurang lebih yg juga kita butuhkan dlm hidup ini: #spasi kehidupan. Ruang yg harus kita kosongkan utk diisi sesuai kebutuhan..

Hidup ini sangat beragam, berwarna, berkelindan, penuh konsideran. Beratlah kala dipahami mutlak2an, serba dikotomis dan hitam putih. #spasi

#spasi dlm kehidupan dapat kita maknai sbg ruang permakluman, toleransi, ruang diskusi, mencari konsideran, mencari hikmah, dll.

Ketika kita melihat anak istri tdk menurut, langsung kita vonis mereka durhaka, itu pertanda kita tdk punya #spasi kehidupan.

Tapi, jika di tengah kekecewaan menghadapi hal tsb, kita tetap memberi ruang untuk memahami alasan mereka bersikap spt itu, itulah #spasi kehidupan..

Ibnu Mubarak berkata, “Jika istri dan hewan tunggangan saya tdk menurut, saya melihatnya sbg indikasi ketakwaan yg sedang turun..” #spasi

Ketika kita memuji seseorang, jangan lupa sediakan #spasi dlm diri kita ttg sisi kemnusiaannya yg berpotensi salah dan khilaf…

Sehingga jika memang suatu saat ada kesalahan yg terbukti dia lakukan, kita tdk berapologi atau berbalik 180 derajat memusuhinya… #spasi

Pun sebaliknya, jika kita tdk menyukai sikap seseorng, hendaknya tetap memberikan #spasi utk memahami alsannya, latar belakangnya, atau lainnya.

Apalagi kalau masalahnya sangat terbuka utk membrikan ruang interpretasi dan yg menyampaiknnya memilki kapasitas ilmu dan pengalaman.. #spasi

Ketiadaan #spasi kehidupan inilah yg menjadikan setiap perbedaan berujung dg benturan, kata-kata keji atau bahkan kekerasan, dlm semua dimensi..

#spasi kehidupan ini bukn berarti tdk punya prinsip. Prinsip itu harus, tapi terukur, tdk membabi buta serta tetap menghormati pihak lain.

(AFS/Manhajuna)

 

Saat Perang Ahzab Usai, Agenda Tak Kenal Henti

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Selesai perang Ahzab, Rasulullah saw pulang ke rumahnya. Ketika hendak meletakkan pedangnya, Malaikat Jibril menegurnya…

“Para malaikat belum meletakkan pedangnya, pergilah ke Bani Quraizah (u/ membuat perhitungan dg Yahudi Quraizah yg khianat dlm perang Ahzab)

Maka Rasulullah saw perintahkan para shahabatnya utk segera menuju Bani Quraizah..

Bahkan saking segeranya beliau berpesan.. “Jangan shalat Ashar sebelum tiba di Bani Quraizah…”

Para shahabat yg belum hilang letihnya dari perang Ahzab, langsung berangkat…. taat…

Sehingga sempat terjadi ‘problem’ pemahaman… ketika pasukan belum tiba di Bani Quraizah sebelum waktu Ashar masuk…

Sebagian berpndapat, shalat Ashar dulu, sebab maksd pesannya adlh agar bersegera, sehingga ketika masuk Ashar, sdh sampe di Bani Quraizah

Kalo belum sampe sudah masuk waktu Ashar, ya shalat dulu.. begitu alasannya..

Sebagian lagi berpendapat, Jangan shalat Ashar di tempat tsb… sesuai pesan tekstual agar jangan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah…

Akhirnya ada sebagian shahabat yang shalat Ashar di tempat tsb, sebagian lagi tidak shalat Ashar….

Namun yang pasti, para shahabat yang berbeda pendapat itu, akhirnya sama2 berangkat menuju Bani Quraizah dan berikutnya terjadi perang tsb..

Pelajaran yg dpt diambil dari cuplikan sirah ini adalah betapa kehidupan seorang muslim penuh dengan agenda tugas dan perjuangan…

Selesainya sebuah tugas dan agenda, justeru akan melahirkan tugas2 berikutnya yg lebih luas dan beraneka…

Sebab tabiat dakwah memang begitu, ktk kau tiba di satu titik, justeru dr titik itu kan kau dapatkan titik2 yg lebih banyak utk kau jangkau.

Itu sesuai dg tabiat seorang muslim yg seharusnya, yaitu tawwaaqah..تواقة sebagaimana ucapan Umar bin Abdul Aziz…

إن لي نفسا تواقة ، كلما وصلت إلى أمر تاقت إلى ما هو أعلى

“Aku memiliki jiwa ‘ambisius’ setiap aku tiba pada satu perkara, aku ingin mencapai yang lebih tinggi lagi…”

Beruntunglah jika kita dilibatkan dengan berbagai agenda perjuangan. Meskipun tampak melelhkan, namun jiwa kan tercerahkan..

Bukankah Allah juga telah nyatakan,

فإذا فرغت فانصب

“Jika engkau selesai atas suatu perkara, maka mulailah (dengan perkara lainnya)..”

Pelajaran lain yg dpt diambil dr cuplikan sirat tersebut adalah, perbedaan pendpat itu mungkin sekali, apalagi jika speed dakwah begitu tinggi

Namun yg terpenting adalah, perbedaan tsb jangan mengganggu perjalanan dakwah, apalagi menghalang2inya…

Tidak perlu ‘mutung’ dalam dakwah hanya karena merasa pendapatnya tidak diterima… krn kalau semuanya diterima pun tidak mungkin…

Begitulah perjuangan ini jk kita pahami tujuan besarnya, maka kejadian-kejadian kecil hanya menjadi romantika yang memperkaya dan memperindah cerita

Bukan membesar-besarkan perkara samping, sehingga mengabaikan tujuan utama dan target terbesar kita. Salam perjuangan u/ semua ikhwah dimana saja

Riyadh, Jumadal Ula 1434 H

(AFS/Manhajuna)

Twit Tentang Teman…

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

#Siapa temanmu…. itulah kamu!

#Teman mu adalah yang jujur padamu, bukan yg selalu membenarkan apa saja tindakanmu.

#Teman sejati, bukan teman yg tidak pernah berpisah, tapi teman yg apabila bertemu karena Allah, dan jika berpisah, berpisah

Di antara bukti kesetiaanmu thd #teman mu, jika namanya kau hadirkan dalam doamu tanpa dia ketahui, agar harapan2nya terpenuhi.

Mengetahui dan memahami tabiat #teman, adalah setengah dari modal pertemanan yang baik…

Pd #teman yg lebih muda, katakan ‘Aku tlah mendahuluinya dlm dosa’. Pada yg lebih tua katakan, ‘Dia telah mendahuluiku dlm taat & kebaikan.’

Cari #teman yang dapat menerimamu “apa adanya”, bukan yang selalu mencari padamu “ada apanya”

#Teman yang baik, bukan hanya sekedar tahu dimana rumahmu, tapi dia tahu dimana hatimu?

#Teman yang baik, bukan orang yang dimuliakan temannya, tapi orang yang temannya merasa dimuliakan olehnya…

Kekayaan dan kedudukan dapat menundukkan #teman, tapi hanya perbuatan baik yang dapat menundukkan hatinya..

Mengalah dlm ber #teman belum tentu kalah. Bisa jadi hal itu menjadi sebab dia dpt “mengalahkannya”…

Adakalanya dlm ber #teman kita harus mengalah sepanjang tdk menjatuhkn harga diri dn menggadai prinsip..

Husnuzzan dalam ber #teman itu penting… tapi berhati2 juga perlu….

Saat pertemanan belum begitu intens, hindari memberikan kesimpulan akhir baik atau buruknya #teman mu…

Saat engkau merasa tdk ada beban utk mencurahkn perasaanmu pd #teman mu, dialah tan dekatmu…

Saat kau gembira dengan kegembiraan #teman mu dan sedih dg kesedihan temanmu, kau telah menjadi teman sejatinya…

Tundalah marahmu pada #teman mu beberapa saat. Boleh jd kau temukn hakekat yg tdk kau ketahui sebelmnya, atau marahmu sudh reda..

Jika sekian kali #teman mu marah kpdmu namun dia tdk mengeluarkan kata2 kasar, dia layak menjadi teman baikmu

Berhati2 lah dlm memilih #teman, lebih hati2 lagi jk ingin menggantinya….

Mendamaikan dua #teman yg bertikai lebih baik dibanding memihak salah satunya…

Jangan bantu #teman mu yg bermusuhan dgn temannya. Bisa jd mrk akan berdamai sedangkan engkau masih bermusuhan..

Jangan terlalu sering bertemu teman, jangan pula terlalu jarang….

Tegurlah #teman mu kala sepi dan pujilah dia kala ramai….

Jika engkau hanya ingin ber #teman dgn orang yg tdk ada kekurangannya, sama saja engkau tdk ingin berteman dgn dirimu sendiri…

Jika engkau hanya ingin ber #teman dgn orang yg tdk ada kekurangannya, sama saja engkau tdk ingin berteman…

Keinginan menjadi #teman yang baik, harus melebihi keinginan mendapatkan teman yg baik…

Kekyaan dapat mendatangkan banyak #teman, tapi jika musibah menimpa, akan menjadi ujian bagi merka.

Jika matamu mendapatkan kekurangan pd #teman mu, jangan serta merta lisanmu mengungkapkannya…

Kelau #teman mu lebih pintar, belajarlah darinya, kalau lebih bodoh, ajarilah, kalau sepadan, berdiskusilah…

#Teman mu adalah cerminmu. Kalau dia baik, maka sesuaikan dirimu seperti dia, kalau buruk, maka perbaikilah cerminnya.

Kalau ada #teman mu membicarakan keburukan temanmu yg lain, hati2, keburukanmu bisa jadi akan dia bicarakan kepada temanmu yg lain…

Teman baik #teman mu, layak menjadi temanmu, tapi musuh temanmu, tidak harus menjadi musuhmu.

Cepat atau lambat, kita kan berpisah dengan #teman2 kita. Hanya iman&takwa kpd Allah yang dpt memastikan pertemuan di surga-Nya.. aamiin..

(AFS/Manhajuna)

Seputar Qunut Nazilah

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Di masjid-masjid dalam Kerajaan Arab Saudi selama beberapa bulan terakhir ini kerap dibacakan do’a qunut nazilah pada shalat fardhu dalam rangka mendo’akan rakyat Suriah yang sedang mengalami penderitaan akibat kedhaliman penguasa. Apa dan bagaimana sebenarnya qunut nazilah itu? Berikut sedikit uraiannya, semoga bermanfaat bagi pembaca.

Definisi

Qunut (قنوت) memilik banyak makna, namun dalam hal ini, yang dimaksud adalah berdoa kala berdiri dalam shalat.

Nazilah (نازلة) artinya: Bencana yang sangat berat. Jamaknya adalah nawazil (نوازل)

Maka, yang dimaksud Qunut Nazilah secara umum adalah doa yang dipanjatkan saat berdiri dalam shalat apabila terjadi bencana bencana besar yang menimpa kaum muslimin secara masal. Seperti adanya pihak yang memerangi kaum muslimin, kelaparan masal, wabah penyakit atau sebagainya.

Qunut nazilah merupakan bentuk perhatian dan empati seorang muslim terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya walau di kejauhan. Yaitu dalam bentuk memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. Di dalamnya terdapat ketergantungan kepada Allah dan persaudaraan terhadap sesama muslim.

Landasan Hukum

Banyak riwayat yang menunjukkan pelaksanaan qunut nazilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antaranya diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu, dia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan qunut selama sebulan. Beliau melaknat (suku) Ri’l, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Muttafa ’alaih)

Latar belakangnya adalah karena suku-suku tersebut membunuh para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dikirim untuk mengajarkan Islam kepada mereka atas permintaan mereka sebelumnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau melakukan qunut ketika ada seorang shahabat ditawan kaum musyrikin.

Kedudukan

Qunut Nazilah sunah dilakukan apabila ada sebab-sebab yang melatabelakanginya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Qunut ini disunahkan ketika terjadi musibah besar. Pendapat ini merupakan pendapat ulama fiqih dari kalangan Ahli Hadits. Hal ini juga dinyatakan para Khulafa Rasyidin.” (Majmu Fatawa, 23/108)

Waktu Pelaksanaan

dilakukan atau tidak dilakukan qunut tergantung sebabnya. Jika ada sebabnya, maka qunut hendaknya dilakukan. Jika sebabnya telah hilang, maka qunut hendaknya dihentikan. Adapun qunut Rasulullah shallallahu shallallau alaihi wa sallam selama sebulan, itu terkait sebab yang melatarbelakanginya, bukan patokan masa atau waktu pelaksanannya.

Pelaksanaan qunut dilakukan setelah bangun dari ruku pada rakaat terakhir dalam semua shalat fardhu yang lima seraya mengangkat kedua tangan.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, dia berkata,

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan berturut-turut pada shalat Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh di penghujung shalat, jika selesai membaca ’sami’allahu liman hamidah’ di rakaat terakhir. Beliau mendoakan perkampungan Bani Sulaim, Ra’l, Zakwan, Ushayyah. Lalu (makmum) di belakangnya mengaminkannya.”

(HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim. An-Nawawi berkata, sanadnya hasan dan shahih. Ibnu Qayim berkata, ’Haditsnya shahih.’ Al-Albany mencantumkannya dalam Shahih Sunan Abu Daud, no. 1443)

Imam Nawawi berkata, “Pendapat yang shahih dan masyhur bahwa apabila terjadi bencana besar, seperti serbuan musuh, paceklik, wabah penyakit, kehausan, dan bahaya yang tampak di kalangan kaum muslimin atau semacamnya, mereka melakukan qunut dalam seluruh shalat fardhu. Jika tidak ada (sebab-sebab itu), maka tidak dilakukan qunut. (Syarah Muslim, Nawawi, 5/176)

Namun berdasarkan riwayat yang ada, qunut yang dilakukan Rasulullah shallallalhu alaihi wa sallam, lebih sering dilakukan pada shalat Shubuh, kemudian Maghrib, lalu Isya, kemudian Zuhur dan Ashar. (Majmu Fatawa, 22/269, Zadul Ma’ad, 1/273)

Adapun qunut pada shalat Jumat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan berdasarkan keumuman dalil. Sebagian melarangnya, karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, disamping dalam Khutbah Jumat sudah dipanjatkan doa untuk kaum muslimin.

Tata Cara Qunut

Dari segi kandungan, maka isi dari qunut nazilah adalah mendoakan kaum muslimin yang tertimpa bencana agar diberikan pertolongan, keselamatan dan kesabaran. Sementara yang wafat semoga diberikan rahmat dan diterima amalnya serta diampuni dosanya. Selain itu mendoakan kehancuran, turunnya azab dan laknat kepada musuh-musuh Islam. Tidak mengapa dalam hal ini menyebutkan nama-nama yang bersangkutan jika jelas dia telah berbuat jahat terhadap kaum muslimin.

· Tidak selayaknya berdoa untuk kebaikan diri sendiri dalam Qunut Nazilah. Sebab qunut ini memang dikhususkan untuk mendoakan kebaikan bagi saudara-saudara muslim dan kehancuran bagi musuh-musuh Islam. Berbeda dalam qunut shalat witir yang dibolehkan untuk berdoa bagi kebaikan diri sendiri.

· Dianjurkan tidak terlalu panjang dalam berdoa agar tidak memberatkan makmum yang memiliki berbagai keperluan. Ketika Anas bin Malik ditanya tentang apakah dalam shalat Shubuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut? Beliau berkata, “Ya, beliau qunut sebentar.” (HR. Muslim). Hal tersebut juga tampak dari contoh doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan redaksi yang pendek.

· Disunahkan bagi imam mengeraskan bacaan qunut dan diaminkan oleh makmum seraya mengangkat kedua tangan, bahkan termasuk dalam shalat-shalat sirriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya).

Ibnu Hajar berkata, “Yang tampak bagi saya tentang hikmah dijadikannya tempat qunut saat I’tidal, bukan saat sujud, padahal sujud adalah tempat terkabulnya doa dan terdapat dalil yang memerintahkan hal itu, karena yang diinginkan dari qunut nazilah adalah agar makmum ikut mengaminkan bersama imam. Karena itu, mereka (para ulama) sepakat (berpendapat) bahwa bacaannya dikeraskan.” (Fathul Bari, 2/570)

· Tidak ada redaksi khusus dalam qunut nazilah. Hendaknya disesuaikan dengan apa yang didoakan. Tidak membaca Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa aafinii fiiman aafaiit….sebagaimana biasa dibaca dalam qunut shalat Witir.

Contoh qunut nazilah yang disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin di Suriah sekarang ini:

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي سُورِيَا ، اللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ وانْصُرْهُمْ عَلَى أَعْدَائِهِمْ، اللَّهُمَّ أَفْرِغْ عَلَيهِمْ صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ . اللَّهُمَّ اشْفِ جَرْحَاهُمْ وَتَقَبَّلْ مَوْتَاهُمْ فِي الشُّهَدَاءِ . اللَّهُمَّ ارْحَمْ بُكَاءَ الأَطْفَالِ الْيَتَامَى وَالنِّسَاءِ الثَّكْلىَ

Ya Allah, selamatkan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin di Suriah. Ya Allah, bantulah mereka, menangkanlah mereka atas musuh-musuh mereka. Ya Allah, limpahkan kesabaran pada mereka dan kuatkan kaki-kaki mereka. Ya Allah, sembuhkan orang yang luka di antara mereka, terimalah yang wafat di antara mereka sebagai para syuhada. Ya Allah, kasihanilah tangisan anak-anak yatim, wanita-wanita yang kehilangan sanak saudara.

اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلىَ بَشَّار وُجُنُودَهُ ، وَمَنْ شَايَعَهُم وَأَعْانَهُمْ ، اللَّهُمَّ اَلْعِنْهُمْ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِينِ يُوسُف. اللَّهُمَّ لاَ تَرْفَعْ لَهُمْ رَايَة وَاجْعَلْهُمْ لِمَنْ خَلْفَهُمْ آيَة. اللَّهُمَّ أَرِنَا فِيهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي وَعَدْتَ ، اللَّهُمَّ إِنَّهُمْ بَغَوا وَعَتَوا فَأَرِنَا فِيهِمْ عَجَائِبَ قُدْرَتِكَ يَا عَزِيزُ يَا جَبَّارُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير . وَصَلىَّ اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ .

Ya Allah, keraskanlah injakan-Mu (azab-Mu) kepada Basyar dan tentara-Nya serta siapa yang berpihak dan membantu mereka. Ya Allah, turunkanlah azab kepada mereka seperti malapetaka yang menimpa bertahun-tahun pada zaman Nabi Yusuf. Ya Allah, jangan tegakkan panji mereka, jadikanlah mereka sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudah mereka. Ya Allah, perlihatkan kami pada mereka azab-Mu yang Engkau janjikan. Ya Allah, mereka telah melampaui batas dan berbuat kerusakan, perlihatkan kami dahsyatnya kekuasaan-Mu pada mereka, yaa rabbal aalamiin, wahai Yang Maha Perkasa, sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuat. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhamad, para keluarga dan seluruh shahabatnya.

(AFS/Manhajuna)

Berkelompok

Oleh: Ust. Abdullah Haidir

Tabiat manusia itu berkelompok. Orang yang mengaku tidak ingin berkelompok ada dua kemungkinan; Dia keluar dari tabiatnya, atau dia mendustakan kenyataan dirinya. Jangankan manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan bebatuan pun berkelompok….Perhatikan saja.

Jadi, berkelompok itu wajar-wajar saja. Yang tidak wajar adalah berantem semata-mata karena kelompoknya. Ini yang oleh masyarakat arab jahiliyah sering diistilahkan dengan ungkapan

أُنْصُر أَخَاكَ ظَالِماً أَو مَظْلُوماً

“Tolonglah saudaramu, baik dia zalim atau dizalimi.”

Namun kemudian istilah ini diluruskan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman yang benar. Yaitu kita harus menolong saudara kita yang zalim, maksudnya kalau dia berbuat zalim hendaknya dicegah atau dlarang.

Latar belakang kelompok itu macam-macam, ada yang karena kepentingan, suku, daerah, profesi, misi, hobi, afiliasi politik, dll.
Siapa sih orang yang tidak mau berkelompok? kalau normal, pasti ada kelompok yang dia ikuti.

Jadi kalau ada orang yang dengan mudah begitu saja menuduh saudaranya ‘hizbi’ karena suka berkelompok, saya dapat pastikan, tuduhan itu sedikit atau banyak, juga akan kembali kepada dirinya. Bahkan bisa jadi dia lebih inklusif (tertutup) dengan ‘kelompoknya’ dibanding orang-orang yang dia tuduh ‘hizbi’ itu; Sulit bergaul dengan pihak lain, tidak mau dengar pengajian ustaz dari ‘luar kelompoknya’, bahkan sapa dan senyumpun kadang berat dengan orang-orang di luar kelompoknya.

Pada zaman Rasulullah saw, para shahabat juga ada ‘pengelompokkannya’, ada shahabat Al’Asyrah Al-Mubassyiruuna bil jannah, ada shahabat yg disebut Ahlu Badr, ada shahabat yang di sebut Ahlu Bai’atirridwan, bahkan ‘pengelompokan’ shahabat menjadi Muhajirin dan Anshar tidak dihilangkan begitu saja, walau Nabi telah mempersaudarakan mereka satu sama lain.

Bahkan, setelah Rasulullah saw wafat, dari segi alur pemikiran dan interaksi dengan teks wahyu, ada shahabat yang dikelompokkan sebagai ”Madrasah Ahlul hadits’ yg dikenal dengan ‘Madrasah Hijaz’ yang terpusat di Mekah dan Madinah, dan berikutnya melahirkan tokoh tabiin yang menjadi tokoh dalam madrasah ini, dan turunan berikutnya melahirkan mazhab fiqih seperti mazhab Maliki, Syafii dan Hambali. Tokoh shahabat yg dikenal memiliki aliran ini adalah ‘Abdullah bin Umar, Aisyah binti Abu Bakar, dll. Sementara sebagian shahabat lain dikelompokkan sebagai ‘madrasah Ahlulra’yi’ atau dikenal sebagai ‘madrasah ahlul kuufah; berikutnya melahirkan tokoh tabiin dari dengan aliran ini dan berikutnya lagi melahirkan mazhab Hanafi.

Ini artinya, semakin luas dan beragam dinamika kehidupan, semakin besar kemungkinan lahir pengelompokan. Maka, berkelompok, adalah sunatullah yang menyertai perkembangan dan dinamika kehidupan itu sendiri. Apakah kelompokkan itu diberi nama atau tidak, dilegalkan atau tidak, diresmikan atau tidak… akhirnya setiap orang pasti akan bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Bahkan, ketika ada orang mengaku tidak berkelompok, saat itu juga dia telah berkelompok, yaitu kelompok orang-orang yang tidak berkelompok… 🙂

Maka, sesungguhnya yang jadi permasalahan adalah bukan apakah seseorang boleh berkelompok atau tidak, tapi masalahnya adalah, apa, bagaimana dan untuk apa dia berkelompok?

Riyadh, Rabiul Tsani, 1434 H.

(AFS/Manhajuna)