Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 14)

Search Results for: abdullah haidir

Penetapan Awal Dan Akhir Ramadan

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Syarah Bulughul Maram, Bab Puasa (4); Hadits 654

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَىاَلنَّاسُ اَلْهِلاَلَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّيرَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ  (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُحِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ)

Dari Ibnu Umar ra, diaberkata, “Orang-orangberusaha melihat hilal. Maka aku sampaikan kepada Rasulullah shallallahualaihi wa sallam, bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud.Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim)

Hadits 655

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّأَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ  صلىالله عليه وسلم  فَقَالَ: ” إِنِّيرَأَيْتُ اَلْهِلاَلَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اَللَّهُ?” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ?” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُواغَدًا (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ ، وَرَجَّحَالنَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ)

Dari Ibnu Abbas ra, “Seorang badui mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Sungguh aku telah melihat hilal.’ Maka beliau berkata, ‘Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah selain Allah?’ Dia berkata, ‘Ya’ Beliau bersabda,’Apakah engkau bersaksi bahwa Muhamad adalah utusan Allah?’ Beliau berkata,’Ya’. Beliau berkata, ‘Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang agar besok mereka berpuasa.” (HR. Perawi yang lima. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. An-Nasai menguatkan bahwahadits ini mursal)

Catatan: Hadits mursaladalah hadits yang diiriwayatkan oleh tabi’in dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tanpa menyebutkan sahabat sebagai rangkaian perawinya. Umumnya hadits mursal dikatagorikan sebagai hadits dha’if.

Pemahaman danKesimpulan:

–       Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa praktek yang telah dilakukan untuk menetapkan awal Ramadan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan cara melihat (rukyat) hilal.  Dan untuk itu hendaknya melibatkan anggota masyarakat.

–       Jika ada seorang yang dianggap ‘adil’  (beriman bertakwa dan dikenal lurus kepribadiannya) mengaku melihat  hilal, maka laporannya dapat diterima dan dijadikan patokan.

–       Ketentuan ‘adil’ sebagai syarat diterimanya rukyat seseorang disimpulkan dari prinsip bahwa  para shahabat secara umum dikatagorikan sebagai orang yang ‘adil’, maksudnya adalah orang yang dikenal baik ketakwaannya dan lurus kepribadiannya.

–       Diperdebatkan tentang jumlah minimal orang yang melihat hilal sehingga penglihatannya diterima. Berdasarkan zahir hadits di atas, satu orang yang melihat hilal, selama dia telah diketahuil keadilannya sudah cukup untuk menetapkan awal Ramadan.

–       Zahir hadits menunjukkan bahwa orang yang melihat hilal, hendaknya melapor kepada pemimpin.Berikutnya pemimpin mengecek kebenaran orang yang menyampaikan. Kemudian pemimpin mengumumkan awal puasa ke tengah masyarakat. Masing-masing tidak mengumumkan sendiri-sendiri hasil dari kesimpulannya.

–       Jika mekanisme ini dipegang dan dipatuhi, akan cukup membantu untuk mengatasi kesimpangsiuran informasi terkait awal dan akhir Ramadan yang sering membingungkan masyarakat.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc., lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan syari’ah di LIPIA Jakarta. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah mengisi taklim komunitas WNI, menulis buku dan kontributor artikel dakwah, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Point-point Ringkas Tentang Zakat Fitrah

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Manhajuna – Zakat fitrah adalah zakat badan, bukan zakat maal (harta), tujuannya mensucikan badan. Karenanya kewajibannya tidak terkait nisab dan haul. Cukup seseorang memiliki kelebihan persediaan makan untuk dirinya dan keluarganya hari itu, dia sudah wajib mengeluarkan zakat fitrah. Bahkan diwajibkan pula memberikan zakat kepada orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak kecil. Para ulama juga menyatakan sunnah mengeluarkan zakat fitrah bagi janin yang masih dalam kandungan, berdasarkan perbuatan Utsman bin Affan radhiallahu’anhu yang melakukan hal tersebut.

Ukuran yang wajib dikeluarkan adalah satu sha’. Satu Sha’ adalah empat mud, sedangkan satu mud adalah satu raupan dua telapak tangan orang dewasa. Berarti satu sha adalah empat raupan dua telapak tangan orang dewasa. Ukurannya kurang lebih 2,5 sampai 3 liter.

Mayoritas ulama (Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok, tidak boleh dengan qiimah (harga senilai makanan tersebut), berdasarkan zahir dan teks-teks hadits yang ada dalam masalah ini.

Sedangkan kalangan mazhab Hanafi berpendapat boleh mengeluarkannya dalam bentuk qiimah. Mereka lebih melihat pada maqhasidusy-syari’ah (tujuan syariat) dalam masalah ini yaitu mencukupkan dan dan membahagiakan fakir miskin di hari raya. Di antara kalangan salaf yang berpendapat demikian adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berpendapat dibolehkan membayar zakat dengan nilainya jika ada kebutuhan dan tampak jelas manfaatnya dibanding jika diberikan dalam bentuk  makanan (Majmu Fatawa, 25/82-83)

Pendapat mazhab Hanafi ini layak dipertimbangkan jika melihat perkembangan zaman terhadap kebutuhan seseorang di hari lebaran.

Waktu diwajibkannya penyaluran zakat fitrah adalah sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan (malam 1 Syawwal) hingga pelaksanaan shalat Idul Fitri. Karena itu disunnahkan pelaksanaan shalat Idul Fitri agak siang, agar pembagian zakat fitrah dapat terlaksana dengan baik. Namun seseorang boleh mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelumnya. Bahkan dalam mazhab Syafi’i dibolehkan mengeluarkannya sejak awal Ramadan.

Konsekwensi dari hal ini adalah, apabila seseorang meninggal dunia sebelum matahari terbenam di hari terakhir Ramadan, dia tidak terkena kewajiban zakat fitrah, sedangkan jika dia meninggal setelah matahari terbenam, sedangkan dia belum sempat mengeluarkan zakat fitrah, maka harus dikeluarkan zakat fitrah untuknya. Sebaliknya, jika ada bayi yang baru dilahirkan sesaat sebelum matahari terbenam pada hari terakhir Ramadan, orang tuanya wajib membayarkan zakat fitrah untuknya, sedang jika dilahirkan setelah matahari terbenam pada hari itu, tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya.

Karena zakat fitrah adalah zakat badan, maka hendaknya dia dikeluarkan di tempat seseorang berada dengan standar yang berlaku di negeri tersebut. Jika kemudian, berdasarkan pertimbangan manfaat sebaiknya disalurkan ke daerah lain, hal tersebut tidak mengapa, sebab dibolehkan menyalurkan zakat fitrah ke daerah/negeri lain, jika dipertimbangkan bahwa negeri lain sangat membutukkan dibanding negeri tempat dia berada.

Jika kita mengetahui langsung ada orang yang benar-benar berhak menerima zakat, lalu kita berikan secara langsung, itu tidak mengapa. Namun menyalurkan zakat fitrah ke lembaga-lembaga penyalur zakat terpercaya lebih baik, lebih terarah dan relative lebih merata, apalagi jika kita awam terhadap siapa yang berhak menerima zakat di sekitar kita. Secara umum dianjurkan untuk teliti menyalurkan zakat fitrah kepada orang yang benar-benar berhak.

Orang yang berhak menerima zakat fithrah, hanyalah fakir miskin, jika dia bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi. Termasuk dibolehkan memberikan zakat fitrah kepada kerabat, bahkant termasuk kepada saudara jika mereka tergolong fakir miskin. Adapun memberikan zakat kepada isteri, anak, orang tua, tidak dibolehkan, sebab mereka adalah orang-orang yang wajib dinafkahi.

Ada sebagian ulama yang membolehkan penyalurannya ke delapan ashnaf (golongan) yang dikenal dalam zakat maal (harta). Namun berdasarkan hadits-hadits yang ada, serta maqashid syari’ah (tujuan syari’ah) dalam ibadah ini, maka pendapat yang mengkhususkan penyalurannya kepada fakir miskin lebih kuat.

Karenanya tidak tepat jika menyalurkan zakat fitrah kepada selain mereka yang memiliki kriteria fakir dan miskin. Sebagian orang menyalurkan zakat fitrah untuk biaya pembangunan masjid, atau ada yang menyalurkannya kepada orang yang disebut sebagai amil, padahal dia kaya, hal ini tidak tepat. Wallahua’lam.

Mengeluarkan zakat fitrah, tidak menggugurkan kewajiban seseorang mengeluarkan zakat harta jika dia telah memiliki kriteria sebagai orang yang wajib zakat harta.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc., lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan syari’ah di LIPIA Jakarta. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah mengisi taklim komunitas WNI, menulis buku dan kontributor artikel dakwah, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Hukum dan Adab I’tikaf

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Definisi

I’tikaf (الاعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya; Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama. Seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu’ara: 71.

Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud i’tikaf adalah menetap di masjid dalam waktu tertentu dengan niat beribadah.

Landasan Hukum:

Syariat I’tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah saw serta para sahabat.

– Dalam surat Albaqarah ayat 125 Allah Ta’ala berfirman,

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (سورة البقرة: 135

“…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang I’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS. Albaqarah: 125)

Aisyah radhiallahu anha berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ (متفق عليه

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I’tikaf sesudahnya.” (Muttafaq alaih).

Para ulama sepakat bahwa I’tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk I’tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.

Lama i’tikaf dan Waktunya

Pendapat yang kuat bahwa lama I’tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dirinya di masa jahiliah pernah bernazar untuk I’tikaf di Masjidilharam selama satu malam, maka Rasulullah saw bersabda, ‘Tunaikan nazarmu.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa I’tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna I’tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama. Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa I’tikaf boleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I’tikaf dilakukan tidak kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah saw dan para shahabat bahwa mereka melakukan I’tikaf kurang dari sehari.

Sedangkan lama maksimal I’tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw di tahun wafatnya pernah melakukan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Adapun waktu I’tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah melakukan I’tikaf di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah I’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadan (HR. Muslim). Namun waktu I’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah saw lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Masjid Tempat I’tikaf

Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i’tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum’at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa I’tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009). Disamping, jika I’tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i’tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat I’tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.

Yang dimaksud masjid sebagai tempat I’tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid.

Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta I’tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur dan menyimpan barang bawaan.

Kapan mulai I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan dan kapan berakhir?

Jumhur ulama berpendapat bahwa I’tikaf dimulai sejak sebelum terbenam matahari malam 21 Ramadan. Berdasarkan kenyataan bahwa malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan termasuk malam ganjil yang diharapkan turun Lailatul Qadar. Ada juga yang berpendapat bahwa awal I’tikaf dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah ra bahwa Rasulullah saw jika hendak I’tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat I’tikafnya (HR. Muslim).

Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa I’tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu I’tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.

I’tikaf Bagi Wanita

Wanita dibolehkan melakukan I’tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah saw melakukan I’tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah saw mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I’tikaf (HR. Bukhari)

Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.

Keluar dari Masjid saat I’tikaf

Secara umum, orang yang sedang I’tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.

Aisyah radhillahu anha berkata,

وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا (متفق عليه)

“Adalah Rasulullah saw menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang I’tikaf.” (Muttafaq alaih)

Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang I’tikaf boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.

Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I’tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali I’tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i’tikaf.

Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka I’tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat I’tikaf lagi dari awal.

Bahkan, orang yang sedang i’tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud).

Pembatal I’tikaf

Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I’tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I’tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.

Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I’tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.

Seseorang dibolehkan membatalkan I’tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.

Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang

Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya, saat beliau I’tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah saw disisirkan Aisyah ra, saat beliau I’tikaf.

Dilarang saat I’tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya.

Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.

Wallahua’lam bishshaawab

Maraji;
– Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab, Imam Nawawi rahimahullah.
– Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah.
– Hiwar fil I’tikaf Ma’a Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin, rahimahullah.
– Fiqhul I’tikaf, Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc., lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan syari’ah di LIPIA Jakarta. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah mengisi taklim komunitas WNI, menulis buku dan kontributor artikel dakwah, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Pelajaran Dibalik Buka Puasa

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Berbuka puasa adalah saat yang istimewa bagi orang yang bepuasa. Namun sesungguhnya nila buka puasa bukan semata karena orang yang berpuasa akan menyantap makanan setelah sekian lama menahan lapar dan dahaga. Di dalamnya begitu banyak pelajaran berharga bagi mereka yang ingin mengambil pelajaran:

 

a. Kebahagiaan hakiki ada pada ketaatan kita kepada Allah. 

 

Dalam hadits yang cukup populer, Rasulullah saw bersabda, “Bagi orang yang berpuasa, ada dua kegembiraan; Gembira ketika berbuka puasa, dan gembira ketika berjumpa tuhhannya.” (HR. Muslim)

 

Setiap orang pasti mencari kebahagiaan. Namun sayang, banyak yang mencarinya dengan cara menerjang rambu-rambu ajaran Allah. Boleh jadi dia bahagia, namun bukan kebahagiaan hakiki, tapi kebahagiaan semu. Banyak kita dapati bukti, berbagai kemungkaran dan kemaksiatan yang dilakukan atas nama mencari kebahagiaan, justeru menjadi sumber bencana bagi pelakunya, itu baru di dunia, apalagi di akhirat.

 

Kebahagiaan hakiki ada pada ketaatan dan ketundukan kita terhadap ajaran Allah, manakala kita jalani dengan penuh ikhlas, diiringi rasa cinta, harap dan takut kepadaNya. Sebab keyakinan kita adalah, tidaklah ada yang Allah dan RasulNya perintahkan, kecuali didalamnya terdapat kebaikan, di dunia maupun akhirat. Dan tidaklah ada yang Allah dan RasulNya larang, kecuali di dalamnya mendatangkan celaka, baik di dunia maupun akhirat.

 

b. Dunia hanya sesaat, jangan pusatkan hidup kita untuknya.

 

Sesaat kita berbuka puasa, gambaran kenikmatan makanan-makanan yang lezat seketika sirna. Apalagi jika perut kita telah kenyang, selezat apapun makanan yang ada di hadapan tak terasa apa-apa di lidah.

 

Begitulah kurang lebih gambaran dunia, berbagai kesenangan dunia di kejar, ketika didapat, tak lama kemudian dia ternyata biasa saja. Karena itu, untuk yang sifatnya sementara, jangan kita tumpahkan dan pusatkan perhatian kita untuknya. Justeru kita harus pusatkan perhatian kita pada yang sifatnya abadi; Akhirat kita. Sebab rugilah hidup kita hanya untuk urusan dunia belaka, sebab dia hanya sesaat saja, dan pilihannya hanya dua, dia meninggalkan kita atau kita meninggalkannya.

Ini bukan seruan untuk mengabaikan kehidupan dunia, justeru kita harus mendapatkan kebaikan dunia sebesar-besarnya. Tapi persoalan intinya adalah bagaimana dunia kita dalam segala sisi dan dimensinya, kita jadikan alat dan sarana untuk kebaikan akhirat kita. Ilmu kita, harta kita, jabatan kita, tenaga kita, dan lainnya, kita manfaatkan untuk kebaikan akirat kita.

 

b. Letihnya taat dan lezatnya maksiat sama-sama akan hilanng, namun hasilnya berbeda

 

Saat kita berbuka, seketika itu juga kan hilang keletihan, lapar dan haus, di sisi lain, harapan kita besar untuk mendapatkan pahala dari Allah Taala. Itulah makna doa yang kita baca saat berdoa,

 

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

 

“Haus telah lenyap, nadi telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah.” (HR. Abu Daud)

Sebaliknya maksiat, kenikmatannya pun akan lenyap. Namun berbeda dengan ibadah yang menjanjikan pahala dan ridha Allah, maksiat menjanjikan dosa dan murka Allah. Karena itu, umumnya maksiat melahirkan galau dan perasaan tidak tenang dalam kehidupan.

 

Hal ini mengingatkan kita untuk bersabar menanggung keletihan-keletihan dalam rangka taat dan amal saleh, semuanya hanya sementara, tapi dibalik itu mengandung kebahagiaan dan ketenangan. Di sisi lain, jangan mudah terbujuk oleh kesenangan dan kelezatan maksiat yang sesaat. Itu hanya sementara, sementara kepedihan dan kesengsaraan yang akan ditanggung bersifat abadi. Adakah orang yang sehat akalnya rela menanggung penderitaan abadi demi meraih kesenangan sesaat? Tentu tidak!

 

c. Kelapangan yang didapat setelah penderitaaan lebih mudah disyukuri. 

 

Saat kita berbuka puasa, terasa sekali nikmatnya makanan yang kita santap dan minuman yang kita hirup, bahkan walau apa adanya sekalipun, dan berikutnya ucapan Alhamdulillah sebagai ungkapan syukur begitu mudah mengalir dari bibir kita. Padahal di waktu lain bukan pada saat berbuka, boleh jadi kita memakan makanan yang lebih lezat, namun rasa syukur kita tak hadir seketika. Padahal pada keduanya ada nikmat Allah yang wajib disyukuri.

 

Demikianlah di antara manfaat kesuitan, cobaan dan keterbatasan dalam kehidupan, manaka Allah berikan kelapangan dalam kehidupan, akan mendatangkan rasa syukur dengan mudah. Bahkan rasanya pun lebih nikmat dan mantap. Rasa nikmat seorang miskin papa saat tiba-tiba mendapatkan uang sejuta rupiah akan berbeda dengan mereka yang hidup berlimpah, jangankan sejuta, puluhan juta pun seperti tak ada sesuatu nikmat yang special jika tidak disadari.

 

Ujian dan kesulitan hidup bukan untuk diratapi, tapi kita hadapi dengan landasan iman dan takwa serta usaha keras seraya terus berdoa. Ketika Allah bukakan jalan keluarnya, akan sangat terasa nikmatnya.

 

Kita mungkin sering mengeluh dengan berbagai problem yang kita hadapi. Tapi sadarkan kita? di sisi lain kita memiliki kenikmatan yang sangat diimpi-impikan sebagian orang, seperti kesehatan, kelapangan, keamanan, dll

(Manhajuna/AFS)

Pembatal Pahala Puasa

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Syarah Bulughul Maram, Bab Puasa (8)

وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِوَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُوَشَرَابَهُ – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ

Darinya (Abu Hurairah radhiallahuanhu), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang tidakmeninggalkan ucapan dan perbuatan batil, serta prilaku bodoh, maka Allah tidakbutuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (Hadits riwayat Bukhari dan AbuDaud, redaksi berasal dari beliau)

Pemahaman Hadits dan Kesimpulan Hukum

–      (الزور) dari segi bahasa berarti menyimpang jalan yanglurus. Maka, makna (قول الزور) adalah ucapan yang menyimpang dari kebenaran atauucapan yang diharamkan, apakah dusta, gibah, namimah, dll. (الزور) sering diartikan dengan kata dusta, karena dustamerupakan bentuk penyimpangan yang paling nyata dari sebuah ucapan.

–      (العمل به) maksudnya adalah  (عمل الزور) yaitu semua perbuatan menyimpang yang diharamkan.-      Yang dimaksud’bodoh’ (الجهل) dalamhadits ini bukan lawan dari ilmu (ضد العلم) artinya tidak berilmu. Tapi bodoh yang dimaksuddisini adalah lawan dari  kesantunan danakhlak mulia (ضد الحلم). Artinya adalah perbuatan yang tidak bermoral dantidak terkendali, seperti marah, emosi, dll.

–      Hadits inimemberikan isyarat tentang pembatal puasa yang bersifat maknawi, yaitu pembatalyang mebatalkan nilai dan pahala puasa, apakah sebagiannya atau seluruhnya,tapi tidak membatalkan hukum puasa. Seseorang yang berpuasa, namun melakukanperbuatan yang diharaman, baik ucapan, perbuatan maupun tingkah laku, makapahala puasanya akan berkurang ataupun gugur, namun puasanya tetap sah dantidak diwajibkan mengqadhanya. Berbeda dengan pembatal puasa yang bersifathukum, jika dilakukan maka puasanya batal, dan dia harus mengqadha di kemudianhari.

–      Kaidah untukmembedakan antara pembatal puasa secara maknawi dan secara hukum adalah;Apabila sesuatu asalnya dilarang/haram (walau di luar puasa), maka dia adalahpembatal secara maknawi, melakukannya dapat mengurangi atau menggugurkan pahalapuasa, namun tidak membatalkan secara hukum. Adapun jika sesuatu tersebutdilarang karena puasa (seperti makan, minum dan jimak), maka melakukannya dapatmembatalkan puasa secara hukum.

–      Ibadah puasa bukansebatas menahan lapar dan dahaga, tapi juga harus menahan diri dari perbuatantercela serta diharamkan agama. Justeru itulah yang menjadi tujuandisyariatkannya ibadah puasa.

–      Hadits ini tidakdipahami sebaliknya, bahwa perbuatan haram terlarang saat beribadah puasa,sedangkan diluar itu dibolehkan. Pemahaman yang benar adalah bahwa perbuatanharam tetap terlarang, baik saat puasa atau tidak, hanya saja, penekanannyalebih kuat saat seorang berada dalam keadaan puasa, apalagi di bulanRamadan.  Sebagaimana haramnya zina bagiorang yang sudah tua atau haramnya berlaku sombong bagi orang fakir. Zinadiharamkan bagi siapapun, namun terhadap orang tua dan sudah menikah, keharamannyalebih berat. Begitupula sombong, diharamkan bagi siapapun, akan tetapi lebihberat keharamannya jika ada orang fakir yang sombong.

–      Mu’allif (pengarang Kitab Bulughul Maram) mencantumkan hadits ini sebelummenyebutkan hadits-hadits lainnya tentang pembatal puasa secara hukum. Kamimemperkirakan bahwa mu’allif ingin mengingatkan para pembaca agar tidakhanya memperhatikan pembatal-pembatal puasa yang bersifat hukum, tapi jugamemperhatikan ‘pembatal-pembatal’ puasa yang bersifat maknawi.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc., lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan syari’ah di LIPIA Jakarta. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah mengisi taklim komunitas WNI, menulis buku dan kontributor artikel dakwah, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Hukum Bercumbu Saat Berpuasa

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Syarah Bulughul Maram, Bab Puasa (9).

Hadits 664

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ  يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ,وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ ( مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ) وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: فِِي رَمَضَانَ 

Dari Aisyah radhiallahu anha,dia berkata, “Rasulullah mencium (isterinya) saat dia sedang berpuasa dan mencumbu (isterinya) saat dia sedang berpuasa. Akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya di antara kalian.” (Muttafaq alaih. Redaksi berasal dari riwayat Muslim). Terdapat tambahan dalam sebuah riwayat: “Di  (bulan) Ramadan.”

Pemahaman dan Kesimpulan Hadits;

–       Masalah jimak di siang hari Ramadan bagi orang yang terkena kewajiban puasa, sudah disepakati hukumnya haram dan membatalkan puasa dan terkena kafarat mughalazah (denda yang berat) dengan ketentuan khusus yang akan dibahas dalam hadits berikut.

–       Akan tetapi, terkait dengan hukum mencium isteri atau mencumbunya selain jimak. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh secara mutlak, ada pula yang mengatakan haram secara mutlak, adapula yang menyatakan mubah (boleh) secara mutlak. Akan tetapi, pendapat yang dikuatkan adalah merinci berdasarkan kondisi pelakunya, yaitu jika orang yang melakukannya memiliki hasrat yang tinggi dan mudah terangsang, maka makruh baginya mencium isterinya saat puasa, seperti pasangan muda atau orang yang baru menikah. Akan tetapi bagi yang tidak mudah terangsang, maka hal tersebut dibolehkan baginya.

Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah radhiallahu anha; وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ (akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya di antara kalian) yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahualaihi wa sallam adalah orang yang paling dapat menjaga hasratnya.

Sebagian ulama menganggap bahwa perkataan Aisyah radhiallahu anha menunjukkan kekhususan Rasulullah shallallahualaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena hanya beliaulah yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Yang lain berpendapat bahwa perkataan Aisyahmenunjukkan kebolehan bagi siapa saja yang dapat mengendalikan syahwatnya dan larangan bagi siapa saja yang tidak dapat mengendalikan syahwatnya.

Pendapat kedua ini lebih dikuatkan karena tidak ada petunjuk jelas yang menunjukkan hal tersebut sebagai kekhususan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Disamping,  pada kenyataannya memang ada orang yang dapat mengendalikan syahwatnya dan ada yang tidak. Juga berdasarkan riwayat bahwa Umar bin khattab yang pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa dia mencium isterinya saat berpuasa, maka beliau mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa, seperti orang yang berkumur saat berpuasa. (HR.Ahmad, dishahihkan oleh Al-Arna’uth)

Diluar perdebatan itu, tentu saja menghindari perbuatan ini, mencium dan mencumbu, lebih utama dan lebih terjaga dari hal-hal yang dapat merusak puasa.

–       Diperdebatkan pula terkait dengan hadits ini, apakah mencium atau mencumbu isteri dapat membatalkan puasa atau tidak. Sebagian berpendapat bahwa mencium isteri saat berpuasa membatalkan secara mutlak, dia harus mengqadha puasa hari itu setelah Ramadan. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa mencium dan mencumbu, selagi tidak keluar mani, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Pendapat terakhir ini yang dikuatkan sebagian ulama. Kurang lebih, landasan pendapat dan argumentasinya merujuk kepada hadits di atas.

–       Terkait dengan masalah keluar mani, para ulama membedakan masalahnya. Jika seseorang mengalami keluar mani karena perbuatan yang disengaja secara sadar seperti mencium, mencumbu, masturbasi, memandang terus menerus, dan sebagaimana, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan puasa. Dia harus mengqadha puasa hari itu. Namun tidak diwajibkan membayar kafarat  sebagaimana halnya orang yang berjimak.

–       Adapun jika akibat perbuatan tersebut keluar mazi, para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan batal puasanya, sebagian lainnya menyatakan tidak. Pendapat terakhir dikuatkan oleh sejumlah ulama termasuk di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Al-Lajnah Da’imah dalam fatwanya (9222) juga menyatakan demikian.

–       Di luar itu, dia harus bertaubat atas tindakannya yang dapat merusak atau mengurangi pahala puasanya . Juga hendaknya bertaubat jika pebuatan yang dilakukan termasuk perkara yang diharamkan sepertimasturbasi.

–       Adapun jika keluar mani tanpa perbuatan yang disengaja dan disadari, seperti mimpi junub di siang hari Ramadan, atau memandang sekilas tanpa diulangi lalu timbul syahwat hinggakeluar mani. Maka keluar mani seperti ini tidak membatalkan puasa. Hanya sajaorang tersebut wajib mandi junub untuk melakukan ibadah shalat dan lainnya.

Wallahua’lam.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc., lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan syari’ah di LIPIA Jakarta. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah mengisi taklim komunitas WNI, menulis buku dan kontributor artikel dakwah, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Islamku Bukan Islam Saudi Arabia, Juga Bukan Islam Nusantara

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Islamku bukan Islam Saudi Arabia, juga bukan Islam Nusantara. Islamku adalah Islam ajaran Rasulullah SAW yang secara berantai disampaikan ulama.

Perkara ada budaya lokal yang mempengaruhi cara keberagamaan kaum muslimin, itu sangat wajar. Apalagi pada hal-hal yang tidak ada ketentuan nashnya.

Yang tidak benar adalah jika budaya lokal diagungkan melebihi pengagungannya terhadap Islam. Anti sektarian, tetapi sebenarnya sangat sektarian.

Sejak dahulu pengaruh budaya lokal itu sudah ada, tetapi tidak ada yang membuat jargon, Islam Saudi, Islam Afrika, Islam Mesir, Islam Nusantara….

Heran, kok ada ulama menggiring Islam dengan pengkotak-kotakan seperti ini. Soal ada beda pandangan, dan adu argumen, itu tradisi ulama. Jangan sektarian!

Selagi dalam ruang lingkup ahlussunnah wal jama’ah, yakinilah, jauh lebih banyak titik temu daripada perbedaanya, terutama dalam perkara-perkara prinsip.

Titik-titik temunya dijadikan sebagai sarana untuk saling bekerjasama dan menguatkan. Perbedaannya dijadikan sebagai sarana untuk latihan lapang dada dan toleran.

Dua kosa kata yang sering menggangu komunikasi dan dialog dalam diskursus agama: “Wahabi” dan “Ahli bid’ah” sebaiknya disingkirkan.

Intinya hindari stigma atau ungkapan menyudutkan dalam diskusi keagamaan, selagi masih dalam ruang lingkup aswaja. Terlepas sepakat atau tidak.

Yang lebih penting dari itu, Islam untuk diamalkan, bukan sekedar diperdebatkan. Debat keras soal qunut subuh, subuhnya malah sering absen.

Hemat saya, orang yang gemar angkat istilah ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Saudi Arabia’ dialah salah satu aktor perusak kerukunan antar muslim yang bersaudara.

(Manhajuna/AFS)

Ustadz Abdullah Haidir, Lc. ,lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Perjanjian Hudaibiyah; Dakwah Butuh Terobosan Politik

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidir

Perjanjian Hudaibiyah menjadi bagian penting dalam perjalanan dakwah dan perjuangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.  Bahwa perjuangan beliau menghadapi lawan dan menyebarkan Islam, tidak melulu dilalui dengan penyampaian dakwah secara lisan, atau kontak senjata dan adu otot melawan musuh. Namun beliau juga mengambil langkah-langkah politis, sebagai bagian dari upaya menopang kekuatan dakwah.

Lebih jelasnya silakan disimak catatan sirah yang ditulis oleh Syekh Shafiyurrahman Mubarakfury dalam Kitabnya Ar-Rahiiqul Makhtuum, yang saya terjemahkan dengan judul “Sejarah Hidup Dan Perjuangan Rasulullah SAW”*)

————————————————————————————————————–

Perjanjian Hudaibiyah

Ketika kaum muslimin semakin lama semakin kuat di Jazirah Arabia, mereka mulai berpikir untuk mendapatkan hak mereka yang sangat mereka impikan, yaitu beribadah di Masjidil-Haram yang sejak enam tahun lamanya terhalang oleh kaum musyrikin. Hingga pada suatu saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bermimpi memasuki kota Mekkah serta menunaikan Umrah dan thawaf di sana. Maka esok harinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  beritakan hal tersebut kepada para sahabat, lalu beliau perintahkan mereka untuk bersiap-siap melakukan safar untuk umrah.

Maka pada hari senin bulan Dzul Qa’idah tahun ke-6 Hijriah berangkatlah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bersama 1400 orang sahabat tanpa senjata perang kecuali pedang di dalam sarungnya. Isteri yang ikut bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  saat itu adalah Ummu Salamah.  Setibanya di Dzulhulaifah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  mulai melakukan ihram untuk umrah.

Sementara itu, kaum kafir Quraisy yang mendengar kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  sepakat menghalangi kedatangan beliau apapun caranya. Mengetahui gelagat tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  mengubah rute perjalanannya, Sampai akhirnya beliau singgah di sebuah tempat bernama Hudaibiyah.

Di tempat tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  menyatakan dengan tegas kepada Badil bin Warqa’ al-Khuza’i –orang yang bersedia menjadi penengah antara kaum muslimin dan orang-orang kafir- bahwa

kedatangannya semata-mata ingin menunaikan umrah, bukan untuk berperang, namun jika orang-orang Quraisy

memerangi mereka, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  tanpa ragu akan memerangi mereka pula.

Mendengar hal tersebut kaum Quraisy mengirim utusannya untuk mengetahui hal sebenarnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  kembali menegaskan hal tersebut kepada utusan tadi. Utusan tersebut kembali ke kaumnya dan meyakinkan mereka bahwa kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  hanya ingin melaksanakan umrah. Begitu pula dengan utusan berikutnya, menyatakan hal yang sama.

Kali ini giliran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  yang ingin mengetahui sikap kaum kafir Quraisy. Maka diutuslah Utsman bin Affan  ra . Beliau shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya agar mengabarkan

kaum Quraisy bahwa kedatangan mereka semata-mata untuk umrah, bukan untuk berperang.

Setibanya di Mekkah, Utsman segera menyampaikan misinya kepada para pembesar Quraisy. Selesai itu, kaum Quraisy menawarkan kepada Utsman untuk melakukan thawaf, namun hal tersebut ditolaknya, karena dia tidak akan thawaf sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  thawaf.

Penahanan Utsman bin Affan ra

Kaum kafir Quraisy bermusyawarah untuk menetapkan jawaban yang akan disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu, mereka menahan Utsman bin Affan hingga ketetapannya berhasil diputuskan, lalu melalui beliau akan disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun karena penahanan tersebut berlarut-larut, tersiarlah berita di kalangan para shahabat yang menunggu di Hudaibiyah

bahwa Utsman bin Affan ra dibunuh.

Mendengar berita tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  segera meminta para sahabatnya melakukan ba’iat untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Maka mereka berbai’at di bawah sebuah pohon. Bai’at tersebut dikenal dalam sejarah sebagai Bai’atur-Ridwan.

Allah Ta’ala menyatakan hal tersebut :

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon”  (QS. al-Fath : 18)

Ketika kaum Quraisy mengetahui adanya ba’iat tersebut, mereka segera mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perjanjian dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

Setibanya sang utusan di Hudaibiyah, disepakatilah perjanjian yang di dalamnya terkandung empat hal:

1.      Tahun ini (6 H), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  harus kembali (tidak boleh melaksanakan umrah). Tahun depan beliau dan kaum muslimin boleh memasuki Mekkah dan tinggal di sana selama tiga hari. Mereka hanya boleh membawa persenjataan musafir sedangkan pedang-pedang mereka harus dimasukkan di dalam
sarung. Pada saat itu kaum Quraisy tidak boleh menghalanginya.

2.      Menghentikan peperangan dari kedua belah pihak selama 10 tahun dan mewujudkan keamanan di tengah masyarakat.

3.      Siapa yang menjalin persekutuan dengan Muhammad dan kaum Quraisy maka dia termasuk bagian dari kedua pihak tersebut. Maka penyerangan yang diarahkan kepada suku-suku tersebut, dianggap sebagai penyerangan kepada sekutunya.

4.      Siapa yang kabur dari kaum Quraisy (Mekkah) dan mendatangi Muhammad (ke Madinah) maka harus dikembalikan (ekstradisi), sedangkan yang kabur dari Muhammad (Madinah) kepada kaum Quraisy (ke Mekkah), tidak dikembalikan.

Pelajaran dan Hikmah dari Perjanjian Hudaibiyah

Perjanjian Hudaibiyah memiliki dampak yang sangat besar.

Secara umum perjanjian ini menunjukkan diakuinya keberadaan kaum muslimin di Madinah dan ini merupakan kemenangan tersendiri bagi kaum muslimin. Sebab sebelumnya kaum kafir Quraisy berupaya

memerangi dan menumpas mereka sampai ke akar-akarnya. Sekaligus dengan adanya perjanjian tersebut dapat menghalangi keangkuhan dan kezaliman kaum  musyrikin yang selalu berupaya menyerang kaum muslimin.

Di sisi lain, dengan adanya perjanjian tersebut, membuka peluang yang sangat besar bagi kaum muslimin untuk

melancarkan dakwahnya yang selama ini banyak disibukkan oleh peperangan-peperangan bersama kaum Quraisy. Nyatanya kemudian hal tesebut terbukti. Jumlah muslimin sebelum perjanjian tersebut tak lebih 3000 orang, namun dua tahun setelah perjanjian tersebut pada peristiwa Fathu Mekkah pasukan kaum muslimin sudah berjumlah 10.000 orang.

Adapun pasal yang menyatakan bahwa penduduk Mekkah yang kabur ke Madinah harus dikembalikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  ke Mekkah, sedangkan penduduk Madinah yang kabur ke Mekah tidak dikembalikan, sepintas perjanjian tersebut menguntungkan kaum musyrikin. Namun jika diamati dengan seksama, hal tersebut ternyata dapat dipahami. Karena orang yang beriman tidak mungkin akan kabur ke Mekkah untuk minta perlindungan, maka jika ada yang kabur, pastilah dia orang kafir yang telah nyata kekafirannya. Untuk orang seperti itu, tidak ada ruginya bagi kaum muslimin jika mereka kabur dari Madinah.

Sedangkan kaum muslimin di Mekkah jika dia hendak kabur, maka Madinah bukanlah satu-satunya tujuan untuk itu. Bumi Allah amatlah luasnya, maka dia dapat mencarinya selain Madinah.

Hal itu kemudian terbukti, ada seorang sahabat yang bernama Abu Bashir kabur dari Mekkah ke Madinah. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  berdasarkan perjanjian tersebut tidak menerimanya, maka beliau menyerahkannya kepada dua utusan Quraisy yang menjemputnya.

Namun di tengah perjalanan Abu Bashir berontak, tidak ber-sedia kembali ke Mekkah, dua orang utusan Quraisy tersebut dibu-nuh olehnya. Akhirnya dia mencari lokasi di tepi pantai sebagai tempat tinggalnya. Hal tersebut kemudian diikuti oleh Abu Jandal yang tinggal dan bergabung bersamanya.

Begitulah seterusnya satu demi satu kaum muslimin yang berada di Mekkah kabur ke tempat itu, dan lama kelamaan akhirnya membentuk komunitas tersendiri. Hal ini ternyata menyulitkan kaum Quraisy sendiri, karena kafilah dagang mereka sering diganggu oleh kaum muslimin yang berada di tempat tersebut sebagai pembalasan atas perlakuan aniaya yang mereka terima selama ini dari kaum musyrikin.

Di kalangan para sahabat sendiri, pada awalnya timbul keberatan dengan isi perjanjian tersebut. Karena secara lahir, perjanjian tersebut berpihak kepada kaum musyrikin. Namun akhirnya mereka menyadari bahwa keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  akan selalu mendatangkan kemaslahatan, karena semuanya berasal dari Allah Ta’ala. Apalagi tidak lama kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat-Nya :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”  (QS. al-Fath: 1)

Maka bergembiralah para sahabat dengan kabar gembira kemenangan yang gilang gemilang.

———————————————————————————————————

* Diterbitkan oleh Maktab Jaliyat Sulay

(Manhajuna/AFS)

Hikmah dan Pelajaran Di Balik Peristiwa Isra Mi’raj

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

abdullah-haidirIsra Mi’raj termasuk salah satu peristiwa besar yang terjadi dalam kehidupan Rasulullah SAW. Banyak makna yang terkandung dalam peristiwa ini besar ini. Namun sayang hal tersebut sering terhalangi oleh berbagai pemahaman dan pengamalan yang tidak berdasar.

Berikut ini, pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut.

1. Di antara hikmah perjalanan Isra Mi’raj sebagaimana dinyatakan para ulama adalah untuk menghibur Rasulullah SAW yang saat itu mengalami duka cita mendalam karena ditinggal orang-orang terdekatnya, yaitu Abu Thalib dan Khadijah ra.

Hal tersebut memberikan pelajaran bahwa dakwah di jalan Allah Ta’ala, meskipun sangat berat, penuh halangan dan rintangan, namun dibalik itu Allah sediakan balasan dan kebahagiaan yang langsung dapat dia rasakan dalam kehidupannya sebelum balasan di akhirat. Banyak hal yang didapatkan ketika seseorang ikhlash berada dalam ‘gerbong dakwah’. Hal yang mana tidak dia dapatkan pada selainnya. Dalam perjuangan di jalan Allah, akan terasa manisnya keimanan, indahnya persaudaraan, nikmatnya aktifitas dalam berbagai kegiatan, optimisme kehidupan dan dekatnya pertolongan.

2. Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat sebagai imam diikuti oleh para nabi sebelumnya.

Hal tersebut menunjukkan kepemimpinan Rasulullah SAW di hadapan para nabi. Sekaligus berisi pesan tentang misi dakwah Rasulullah SAW yang bersifat universal. Bukan hanya untuk satu suku dan golongan, tetapi untuk semua umat manusia. Semua ajarannya berlaku untuk semua bangsa dan golongan serta dapat direalisasikan.
Adalah keliru pandangan yang mengidentikkan Islam dengan Arab atau Arab dengan Islam. Meskipun tidak dipungkiri bahwa Rasulullah SAW diutus di negeri Arab dan Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sedangkan negeri-negeri Arab serta bangsa Arab menjadi pusat penyebaran Islam

Hal ini pada gilirannya menuntut kita untuk memiliki bekal yang mumpuni tentang ajaran Islam, sehingga dapat memilah mana yang sesungguhnya merupakan ajaran Islam dan mana yang sekedar adat atau budaya lokal saja. Agar jangan sampai lagi ada kaum muslimin yang mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab sedangkan ‘Irama Padang Pasir’ justru diperdengarkan sebagai pembuka pengajian (karena dianggap bagian dari Islam).

3. Isra Mi’raj merupakan merupakan isyarat bahwa faktor utama kemenangan kaum muslimin terhadap musuhnya adalah kuatnya hubungan dia kepada Allah Ta’ala (Quwwatushshilah billah). Kita tidak menafikan kebutuhan terhadap faktor-faktor yang bersifat materi, namun pangkal dari semua itu adalah kekuatan hubungan kepada Allah.

Pada peristiwa ini, tampak sekali dekatnya hubungan Rasulullah SAW kepada sang Khaliq, bahkan kedekatan tersebut diperjelas dengan diangkatnya beliau menemui-Nya dan kemudian menerima perintah langsung ibadah shalat sebagai media untuk menjaga hubungan kepada Allah. Sehingga seorang ulama mengatakan bahwa shalat adalah Mi’rajul Mu’min, naiknya ruh seorang mukmin untuk menghadap Allah Ta’ala.

Karena itu dalam sirah Rasulullah SAW, kita dapatkan bahwa setelah peristiwa Isra Mi’raj, terjadi peristiwa Bai’atul Aqabah pertama, beberapa pemuda Madinah berbai’at kepada Rasulullah saw untuk menerima Islam dan siap mendakwahkannya dengan berbagai resiko yang akan mereka tanggung. Peristiwa ini kemudian menjadi tonggak utama bagi eksisnya Islam di Madinah kemudian hari, dan berikutnya menjadi pintu bagi tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia.

4. Isra Mi’raj merupakan ujian keimanan setiap muslim untuk mempercayai apa yang dibawa Rasulullah SAW. Sebab peristiwa sebesar itu hanya dapat diterima dengan bahasa keimanan dan keyakinan. Itulah sesungguhnya inti dari aqidah; Meyakini tanpa keraguan. Bagi seorang muslim jika berita tersebut benar bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada peluang bagi dirinya kecuali menerimanya dengan penuh keyakinan, tidak ada yang mustahil dalam kekuasaan Allah Ta’ala.

Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra ketika tanpa ragu dia menyatakan keimanannya terhadap apa yang dialami Rasulullah SAW. Maka ketika orang-orang ingin mengetahui sikapnya tentang peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW, tanpa ragu beliau langsung menjawab, “Jika benar itu dari Rasulullah, lebih dari itu aku akan percaya!” Karena itu dia dijuluk Ash-Shiddiq (yang membenarkan).

Aqidah dan ajaran dalam Islam tidak bertentangan dengan akal sehat, namun bukan berarti keimanan kita terhadap aqidah Islam bergantung terhadap pemahaman logika.

5. Setelah menempuh perjalanan yang sangat fantastis, penuh keagungan dan kebesaran Allah, diperlihatkannya surga dan neraka, namun akhirnya Rasulullah SAW kembali ke bumi di tengah masyarakatnya.

Hal ini memberikan pelajaran bagi seorang muslim, bahwa siapapun yang ingin mengamalkan dan mendakwahkan ajaran Islam, hendaknya dia harus hidup di tengah masyarakatnya dengan segala problematika dan permasalahannya. Islam tidak hanya cukup ditampilkan kebesarannya di atas podium, mimbar, dan kitab-kitab, tetapi kebesarannya harus mampu ditampilkan dalam kehidupan nyata. Dan itu hanya dapat dilakukan ketika semua muslim hidup di tengah masyarakatnya dan bergelut dalam kesehariannya seraya tetap membawa nilai-nilai Islamnya dalam semua aspek kehidupannya.

Tampilan Rasulullah SAW dalam dakwahnya sungguh-sungguh merupakan tampilan manusia biasa yang berada di tengah-tengah masyarakatnya, beliau menahan lapar, terluka, bersembunyi, memakai baju perang, masuk ke pasar, jalan ke lorong-lorong, menyelesaikan pertikaian antar pribadi atau rumah tangga, dsb.

6. Isra Miraj memiliki pesan yang sangat dalam tentang ketekaitan erat Masjidil Aqsha dalam hati umat Islam. Singgahnya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha dalam perjalanan Isra Mi’raj tentu bukan peristiwa yang dapat dianggap sambil lalu, kecuali dia memiliki kedudukan istimewa di tengah kaum muslimin.

Masjid yang hingga kini masih saja berada dalam kekuasaan kaum Yahudi menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam untuk memiliki perhatian khusus terhadapnya. Karena jatuhnya salah satu tempat suci kaum muslimin di tangan Yahudi menjadi tanggung jawab tersendiri bagi kaum muslimin untuk membebaskannya.

Pihak Yahudi berupaya sekuat tenaga agar masalah Al-Aqsha disempitkan sebagai masalah Timur Tengah, kemudian dipersempit lagi menjadi masalah bangsa Arab, lalu dipersempit lagi menjadi masalah bangsa Palestina. Itu jelas menyesatkan, karena sesungguhnya masalah Al-Aqsha adalah masalah kaum muslimin secara keseluruhan apapun ras dan suku bangsanya.

Karena itu, walau sekecil apapun, harus ada kontribusi yang dapat diberikan seorang muslim untuk kebebasan Al-Aqsha dan bumi Palestina dari cengkraman tangan-tangan Yahudi yang dimurkai Allah. Walau sekedar untaian doa di sela-sela kekhusyuan ibadah kita kepada-Nya.

Wallahualam…

(Manhajuna/AFS)

LIVE STREAM kajian umum FORMATRA: Mengagungkan Nilai Shalat

Hari ini, Jumat, 8 Mei 2015. FORMATRA kembali mengadakan kajian umum dengan tema “Mengagungkan Nilai Shalat” dengan pemateri Ust. Hakimmudin Salim, Lc., MA.

Serta dalam kesempatan ini juga, FORMATRA akan melepas dan berpisah dengan salah satu pembina FORMATRA, Ust. Abdullah Haidir, Lc, yang akan pulang ke tanah air.

Kegiatan kali ini bertempat di Masjid Al-Rajhi lama, Riyadh.

https://youtu.be/c6xvlflmoWg

Untuk mendapatkan materi “Mengagungkan Nilai Shalat” silakan click: http://hikmatia.blogspot.com/2015/11/materi-tadhim-as-sholah-agar-sholat.html