Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 25)

Search Results for: abdullah haidir

Fiqih Kurban (1): Kedudukan Kurban

  1. Ibadah qurban dalam teks-teks hadits disebut dengan istilah udhiyah أضحية  begitupula dalam catatan kitab-kitab fikih klasik.
  2. Para ulama sepakat (ijmak) bahwa ibadah qurban disyariatkan dalam Islam, berdasarkan Alquran, Hadits dan ijmak.
  3. Dalil tentang syariat qurban adalah surat Al Kautsar ayat 3 فصل لربك وانحر Shalatlah untuk tuhanmu dan berkurbanlah…
  4. Shalat yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah shalat Idul Adha. Sedang dari hadits, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam perintahkan dan beliau lakukan langsung.
  5. Karenanya syariat qurban ini sangat kuat landasannya. Bahkan dia termasuk syiar Islam, yaitu ibadah yang tampak dan terlihat.
  6. Namun, para ulama berbeda pendapat tetang “bobot” syariatnya. Ada yang mengatakan wajib ada yang mengatakan sunah mu’akkadah. Inilah fiqih.
  7. Jumhur (mayoritas) ulama; Mazhab Maliki, Hambali dn Syafii berpendapat qurban adalah sunnah mu’akkadah; yaitu sunah yang sangat ditekankan
  8. Adapun mazhab Hanafi berpendapat bahwa berkurban hukumnya adalah wajib. Tentu hal ini, apakah dia sunah atau wajib, terkait dengan mereka yang mampu
  9. Walau masing-masing pendapat ada dalilnya, namun pendapat jumhur ulama adalah pendapat dipegang ulama pada umumnya hingga sekarang.
  10. Namun, hal tersebut bukan berarti masalah qurban dianggap sepele. Karena yang menganggap sunah pun tidak sekedar sunah, tapi sunah mu’akkadah.
  11. Sunah mu’akkadah artinya, jika masih dapat melakukannya hendaknya jangan ditinggalkan. Sebagian ulama menyatakan meninggalkannya hukumnya makruh.
  12. Bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “Siapa yang mampu namun tidak berkurban, maka jangan dekati mushalla kami.” Semacam penegas agar kita tidak meremehkan berkurban
  13. Diriwayatkan bahwa sejak disyariatkan berkurban, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam selalu berkurban setiap tahun.
  14. Jadi memang perlu dipahami bahwa syariat berkurban ini berlaku setiap tahun, bukan seumur hidup sekali, selama seseorang mampu.
  15. Jadi selagi mampu, usahakanlah berkurban. Jangan diremehkan karena qurban sunah yang sangat ditekankan.Tapi jika tak mampu jangan dipaksakan karena dia tidak wajib.
  16. Satu lagi yang harus dipahami dalam masalah qurban, bahwa ibadah ini jangan hanya dilihat dari aspek sosialnya saja meskipun hal ini sangat tampak.
  17. Yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa substansi qurban adalah ibadah dan syiar Islam. Sedangkan aspek sosialnya bersifat ikutan.
  18. Artinya, jangan sampai ada yang berkesimpulan, ketimbang uangnya untuk beli kambing, lebih baik langsung disalurkan ke fakir miskin. Lebih nyata.
  19. Masing-masing sudah ada tempatnya dan alokasinya, shadaqah terhadap fakir miskin sangat dianjurkan, namun di hari raya qurban, berkurban lebih utama
  20. Dengan berkurban, pada waktunya, kita dapat beribadah dan bersadaqah. Tapi kalau hanya sadaqah, berarti kita tidak berkurban.
  21. Jadi sungguh tidak dibenarkan kalau ada anggapan tidak perlu berkurban tapi gunakan saja uangnya untuk sadaqah, masing-masing ada waktu dan tempatnya.
  22. Di sisi lain, jika tidak mampu beli hewan qurban, mestinya seorang mukmin tidak merasa santai begitu saja, setidaknya ada niat berkurban.
  23. Dia harus kuatkan niat, jika tahun ini saya tidak dapat berkurban tahun depan atau berikutnya saya harus bisa berkurban.
  24. Apakah dengan menguatkan azzam dan usahanya agar nanti kuat beli jewan qurban atau kah dengan menabung dan mencicil sendiri.
  25. Misal dia beli celengan khusus qurban, setiap ada pemasukan/gaji dia sisihkan 50-100 ribu. InsyaAllah setahun dua tahun dia dapat berkurban.
  26. Disamping hal tersebut dapat dikatagorikan sebagai niat shaleh yang sudah tercatat sebagai pahala amal walau blm terlaksana.

(bersambung)

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Kultwit Seputar Puasa Qadha, Puasa Syawal, Fidyah dan Kafarat

Idhul Fitri sudah berlalu beberapa hari, suasana lebaran masih tersisa. Tapi jangan lupa, ada beberapa perkara terkait puasa yang penting kita pahami dan amalkan.

Pertama adalah qadha puasa. Ini ibarat hutang yg harus kita bayar. Qadha puasa berlaku bagi mereka yg tidak dapat berpuasa karena uzur namun dapat berada dalam kondisi normal kembali. Seperti sakit yg ada harapan sembuh, safar, haidh atau nifas.

Waktu pelaksanaan qadha puasa membentang sejak pasca Ramadan hingga Ramadan berikutnya. Namun lebih cepat lebih baik. Lebih baik lagi jika dilakukan sebelum puasa sunah syawal.

Qadha puasa dapat dilakukan di hari apa saja. Yg penting niat sejak malam hari sebelum fajar, krn qadha dianggap sebagai puasa wajib yg tertunda. Jadi tdk boleh seseorang berpuasa sunah biasa, lalu ketika siang dia baru niatkan puasanya utk qadha.

Soal niat ini, para ulama menyatakan, kalau puasanya puasa wajib, seperti puasa Ramadan, baik yang langsung atau qadha, puasa nazar atau puasa kafarat, maka niatnya harus di malam hari sebelum terbit fajar. Kalau puasa sunah, maka tidak mengapa niatnya setelah terbit fajar.

Begitupun kalau sudah niat puasa qadha, maka seseorang tidak boleh membatalkan puasanya begitu saja, kecuali ada uzur syar’i spt sakit, safar, dll. Beda dengan puasa sunah biasa yang dapat dibatalkan karena alasan2 tertentu, seperti menghormati tamu dll.

Berikutnya puasa syawal. Ini memang sunah. Tapi sangat dianjurkan kita amalkan, rugi jika terlewatkan. Sebab sebagaimana hadits shahih, berpuasa Ramadan yang dilanjutkan dengan puasa 6 hari bulan syawal dinilai sebagai puasa setahun.

Puasa enam hari bulan Syawal dapat dilakukan di hari apa saja di bulan syawal, berturut2 atau terpisah2. Namun semakin cepat semakin baik. Walaupun layak dipertimbangkan jika kita bertamu ke rumah kerabat sementara mereka ingin agar kita menyantap hidangannya.

Mana yang hendaknya didahulukan, puasa qadha atau puasa syawal? Para ulama mengatakan, jika mudah baginya puasa qadha sebelum puasa syawal, maka lebih utama puasa qadha dahulu, baru kemudian puasa syawal. Tapi jika terasa berat, tidak mengapa lakukan puasa syawal sebelum puasa qadha

Karena puasa qadha sifatnya terbuka dilakukan kapan saja hingga setahun kedepan, sedangkan puasa syawal hanya terdapat di bulan Syawal. Namun tetap harus diingatkan, jangan mudah menunda2 puasa qadha, jika tidak ada kendala berarti.

Bahkan ada sebagian ulama yang membolehkan berpuasa qadha sekaligus niat puasa syawal. Artinya dalam satu puasa ada dua niat; qadha dan puasa syawal. Pendapat ini cukup kuat dan meringankan. Dia ibarat orang yang masuk masjid lalu shalat rawatib sekaligus sebagai tahiyatul masjid.

Namun wallahu a’lam, lebih hati-hati jika dipisah antara qadha dan puasa syawal. Sebab puasa syawal adalah ibadah yang berdiri sendiri dan dikaitkan dengan pelaksanaan puasa Ramadan sehingga memberi nilai puasa setahun.

Para ulama berpendapat, dikatakan fadhilahnya seperti puasa setahun karena setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh lipat kebaikan, puasa sebulan plus 6 hari syawal dikali sepuluh jadi 360, kurang lebih setahun. Jika qadha Ramadan digabung dengan puasa Syawal, maka tidak dikatakan sebulan plus enam hari. Wallahu a’lam.

Lalu bagaimana dengan kafarat? Kafarat dapat diumpamakan sebagai ganjaran atau sangsi atas sebuah pelanggaran. Kafarat terkait puasa berlaku bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam puasa, dalam hal ini karena melakukan jimak di siang hari puasa dengan sengaja.

Maka kafaratnya adalah seperti disebutkan dalam hadits shahih, yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin, masing-masing setengah sha’ bahan makanan pokok (kurang lebih 1,5 kg)

Kalau fidyah bagaimana? Fidyah ini ibarat tebusan, sesuatu yang harus dilakukan karena tidak mampu lagi berpuasa, baik di bulan Ramadan atau di luar Ramadan. Jadi bedanya dengan kafarat adalah kalau kafarat karena pelanggaran, sedangkan fidyah adalah karena ketidakmampuan permanen.

Fidyah puasa berlaku bagi dua golongan; Orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dan orang sakit permanen yang sudah tidak ada harapan sembuh. Sebagaimana hal ini merupakan penafsiran para ulama dengan surat Al-Baqarah 184.

Maka jika ada orang seperti itu, dihitung berapa hari dia tidak puasa, lalu keluarkan untuk setiap harinya setengah sha’ makanan pokok, kurang lebih 1,5 kg, beras misalnya. Sebaiknya dikeluarkan dalam bentuk makanan, tidak diuangkan. Sebagian ulama berpendapat boleh diuangkan.

Yang jadi bahan perdebatan cukup hangat adalah; Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, apakah dia mengqadha puasanya atau membayar fidyah? Atau qadha dan kafarah?

Hal tersebut karena wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Quran atau hadits apa yang seharusnya mereka lakukan. Maka para ulama berijtihad untuk menetapkan ketentuan yang berlaku baginya.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit biasa yang dapat sembuh dan pulih kembali, karenanya mereka berpendapat puasa yang ditinggalkan harus diqadha. Tidak cukup diganti dengan fidyah berupa makanan.

Bahkan ulama dalam mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, jika wanita hamil dan menyusui tersebut tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya, bukan terhadap dirinya, maka selain qadha puasa, dia pun harus bayar kafarat dengan beri makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Tapi ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, cukup baginya membayar fidyah berupa makanan saja, tanpa harus qadha. Pendapat ini merujuk kpd pendapat Ibnu Abas dan Ibnu Umar yg menganggap wanita hamil seperti orang tua renta.

Jika mudah baginya mengqadha puasa, maka lakukanlah qadha puasa. Jika terasa berat dia dapat mencicilnya setiap bulan sekian hari. Tapi jika terasa berat sekali, misalnya jika kehamilan terus menerus sekian tahun, maka wallahu a’lam, dapat beralih dengan bayar fidyah.

Ada lagi satu pembahasan soal fidyah dan qadha ini. Yaitu jika seseorang keburu meninggal dunia sementara dia masih memiliki hutang puasa. Misal, seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadan beberapa hari karena sakit. Lalu setelah Ramadan dia sembuh, namun sebelum sempat qadha dia wafat

Dalam kondisi demikian, maka hendaknya ada kerabatnya yang berpuasa untuknya, apakah suami atau isterinya, anak2nya atau saudara2nya. Sesuai jumlah hari yang dia tinggalkan puasanya. Hal ini berdasarkan hadits muttafaq alaih.

Nabi saw bersabda, “Siapa yang meninggal sementara dia meninggalkan (hutang) puasa, maka hendaknya wali (keluarga)nya berpuasa untuknya.” Dalam hadits riwayat Muslim, seorang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ibunya yang punya hutang puasa, apakah harus dia qadha?

Maka Rasulullah saw balik bertanya, “Jika ibunya punya hutang, apakah anaknya yang membayarnya…. maka ‘hutang’ kepada Allah lebih layak dibayar. Di sisi lain, penting bagi seseorang untuk beritahu keluarga, berapa hari utang puasanya… agar jika wafat dapat diketahui berapa ‘utang’nya

Selain berpuasa, opsi lainnya juga dapat diganti dengan fidyah makanan seukuran setengah sha, atau sekilo setengah beras. Maka dihitung jumlah harinya, lalu dikalikan 1,5 kg beras dan diberikan kepada fakir miskin. Wallahu a’lam. Sampai disini kajiannya, semoga bermanfaat.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

KH Arifin Ilham; Zikir, Syariat, Jihad dan Ukhuwah

Kaum muslimin baru saja ditinggal oleh salah seorang ulama karismatik; KH. Arifin Ilham rahimahullah. Kemuliaannya sangat layak disebut-sebut untuk  dijadikan teladan, selain bahwa hal ini merupakan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

اذْكرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِمْ

“Sebutkan kebaikan-kebaikan orang-orang mati di antara kalian dan  tahan (dengan tidak menyebut) keburukan-keburukannya.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Tak diragukan lagi, Ust Arifin Ilham adalah salah satu ulama icon majelis zikir di negeri ini. Seruannya untuk memperbanyak zikir plus zikirnya yang khas cukup memberi warna di tengah masyarakat. Namun demikian, dan inilah yang membuatnya menjadi sosok yang istimewa, seruannya untuk berzikir tidak membuatnya menarik diri dari perjuangan membela kepentingan umat. Hal mana menjadi gambaran yang tidak jarang kita dapati pada sebagian pihak yang menjadikan zikrullah sebagai sikap menarik diri dari medan perjuangan umat.

Karenanya selain narasi zikir, beliau juga akrab dengan narasi jihad yang selalu peduli dengan perjuangan umat. Maka tidak heran jika kita menyaksikan beliau sangat concern ikut langsung dalam aksi-aksi umat bahkan ikut juga merasakan gas airmata dalam sebuah aksinya.

Zikir dan jihad selama ini dikesankan merupakan dua hal terpisah. Padahal semestinya merupakan perpaduan yang menjadi kepribadian seorang mukmin.

Bahkan Ibnu Qoyim mengatakan;

أَفْضَلُ الذَّاكِرِينَ الْمُجَاهِدُون ، وَأَفْضَلُ الْمجَاهِدِين الذَّاكِرُون

“Sebaik-baik orang yang suka berzikir adalah para mujahid dan sebaik-baik mujahid adalah orang yang suka berzikir.”

Selain itu, beliaupun sangat concern dengan penerapan syariat. Inipun perkara yang kadang dikesankan terpisah dari dunia zikir, karena penerapan syariat saat ini sudah kadung dipandang sebagai masalah politik sedangkan berzikir tidak boleh ditarik ke ruang politik. Padahal sebelum itu, masalah ini adalah masalah keimanan dan aqidah. Nah orang yang berzikir hakekatnya adalah orang yang ingat Allah, syariat Allah adalah sarana kita untuk mengingat Allah dalam bentuk pengamalan ajaran-ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, disinilah lagi-lagi keistimewaan Allahu yarham KH Arifin Ilham, beliau tetap mampu menjaga hubungan baik kepada berbagai kalangan, termasuk kalangan pemerintah. Tak kurang Presiden Jokowi dan Kapolri menjenguknya ketika beliau sakit. Beliaupun kerap mengisi taushiah di hadapan aparat keamanan. Itu artinya beliau selalu berusaha agar perjuangannya tidak keluar dari koridor sebagai rakyat yang mentaati pemerintah.

Beliau pun tampak sangat intens membangun hubungan dengan berbagai elemen umat, tidak kita dapati pernyataan-pernyataan beliau yang membuat umat menjadi gaduh, yang ada adalah upayanya untuk merangkul berbagai elemen umat Islam.

Artinya, dibalik kelembutannya melalui zikrullah, tidak mengurangi ketegasannya untuk membela kepentingan umat, namun dibalik ketegasannya beliau tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan berbagai kalangan, tidak keluar aturan dan ketentuan yang berlaku.

Beliau bukan type ulama yang mudah berubah-ubah sikap apalagi menjilat, namun juga beliau bukan golongan khawarij  yang mudah mengkafirkan sesama muslim dan membangkang kepada pemerintah seperti dituduhkan oleh kaum yang lisannya bengkok dan pengikut neo murjiah ahad ini.

Pada  beliau, saya dapati sebuah kepribadian seperti yang terkandung dalam ayat berikut;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

(سورة الأنفال: 45-46)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 45-46)

Semoga Allah merahmmati KH. Arifin Ilham, menerima semua amalnya dan mengampuni dosa-dosanya.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Lihat Perkataannya, Lihat Pula Siapa Yang Berkata

Sebuah pandangan, ketika masih bersifat umum atau global jangan keburu diambil sebagai patokan. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya diperhatikan pemikiran dan sepak terjang orang yang mengusungnya. Karena pada hakekatnya sebuah pandangan tak dapat dilepaskan dari konstruksi pemikiran dan sikap seseorang secara utuh terhadap sebuah perkara. Dari sinilah sebuah pandangan dapat dinilai, setidaknya dinilai kemana arah tujuannya.

Boleh jadi sebuah pandangan terkesan benar dan bagus, namun jika ternyata penggagas dan pengusungnya adalah orang-orang yang memiliki paham sesat, maka pandangan tersebut layak diwaspadai, boleh jadi di dalamnya mengandung kebatilan yang dibungkus dengan nilai-nilai kebaikan. Hal mana dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib dengan ungkapan;

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهِ الْبَاطِلُ

Kalimat yang hak, namun yang dinginkan adalah kebatilan.”

Dalam hal ini, kredo yang sering dinyatakan; ‘Lihatlah perkataannya, jangan lihat siapa yang berkata’, tidak selamanya benar. Yang lebih menjamin adalah; ‘Lihatlah perkataannya, lihat pula siapa yang berkata’.

Beberapa kasus dapat dijadikan contoh. Misalnya, ajaran ‘Cinta Ahlul Bait’ tentu saja baik, tapi akan lain ceritanya jika ajaran ini digembargemborkan oleh kalangan syiah. Bagi orang yang paham, tentu akan dapat menangkap, apa maksud ‘cinta ahlul bait’ versi mereka dan kemana arahnya.

Atau misalnya ajaran ‘anti takfir (mudah mengkafirkan) dan tindakan esktrim radikal’. Sebenarnya ajaran Islam sudah peringatkan umatnya dari prilaku tercela ini dengan argumen yang jelas baik dalam Al-Quran maupun hadits lengkap dengan batasan dan ruang lingkupnya. Namun hal ini akan berbeda cita rasanya jika yang menyampaikannya adalah kalangan liberal dan sekuler. Ditangan mereka, pandangan ‘anti takfir dan anti radikalisme’ dapat dilacak, kemana arah yang mereka inginkan. Yang jelas muaranya akan sangat berbeda dari apa yang telah diajarkan para ulama. Meskipun dalam kacamata awam, terkadang hal ini sulit dilacak.

Draft RUU P-KS (Pelarangan Kekerasan Seksual) yang mengusung anti kekerasan seksual, khususnya terhadap kaum wanita, sepintas tampak bagus karena memberi kesan perlindungan kepada kaum lemah dalam masalah seksual. Tidak mudah bagi setiap orang untuk menelitinya lebih dalam. Namun setidaknya hal ini dapat dinilai dari sisi siapa yang paling bersemangat mengusung dan mendukung RUU ini agar disahkan; Disana ada kalangan feminis, liberalis, dan kaum LGBT yang tentu saja secara umum sikap dan pandangannya sering kontradiksi dengan nilai-nilai Islam. Hal ini setidaknya sudah cukup dijadikan sebagai salah satu indikasi kemana arah draft RUU ini hendak diarahkan.

Wallahu a’lam.

Sumber gambar: jurnalsumatera.com

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Jangan Ikut Campur Dalam Segala Urusan

Ketika Umar bin Khattab gusar mendengar sikap Hafshah yang mengundang kemarahan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan terdengar berita bahwa beliau menceraikannya. Maka dengan emosi beliau mendatangi puterinya, lalu memberinya nasehat dalam bersikap kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Kemudian, masih dalam suasana emosi, Umar bin Khattab menemui Ummu Salamah yang juga masih kerabatnya. Lalu dia mengeluhkan permasalahan puterinya kepada Ummu Salamah.

Ummu Salamah justeru mengkritisi sikap Umar yang terlalu jauh masuk ke dalam urusan rumah tangga puterinya, dia berkata,

“Engkau ini mengherankan wahai Ibnu Khattab, engkau ingin ikut campur dalam segala urusan, bahkan engkau ingin ikut campur terhadap urusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan para isterinya.”

Umar berkomentar tentang nasehat Ummu Salamah, “Demi Allah, ucapannya menghalangi aku dan mengurangi sebagian kemarahanku.” (Mutttafaq alaih)

=====

Pelajaran:

* Rasululllah saw dengan segala kemuliaannya, rumah tangganya tak sunyi dari masalah.

* Umar bin Khattab dengan segala kemuliaannya tak menghalanginya untuk menerima masukan dari Ummu Salamah.

* Ummu Salamah dengan segala penghormatannya kepada Umar, tak menghalanginya untuk memberi nasehat.

* Ummu Salamah, walau dalam catatan sirah diriwayatkan ‘berseteru’ dengan Hafshah bersama Aisyah, tidak membuatnya melampiaskan perasaannya ketika ada orang lain yang ingin membicarakannya, tapi tetap bersikap objektif.

* Kecuali perkara yang sangat mendesak, orang tua jangan terlalu ikut campur urusan rumah tangga anaknya, apalagi urusan rumah tangga orang lain.

Wallahu a’lam.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Kepemimpinan Juga Merupakan Tugas Kenabian

Hari-hari ini kita sering mendengar tema tentang tentang keteladanan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara teladan beliau yang barangkali kurang mendapatkan porsi semestinya adalah soal kepemimpinan.

Yap, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang pemimpin dengan maknanya yang utuh. Bukan hanya kultural, tapi juga struktural. Khususnya setelah beliau hijrah ke Madinah. Karenanya, beliau bukan sekedar jadi imam shalat dan ‘ngajar ngaji’, tapi juga memutuskan perang sekaligus menjadi panglimanya, menjatuhkan hukum, menyepakati perjanjian-perjanjian dan mengatasi berbagai urusan sosial lainnya.

Bahkan para nabi pun juga memiliki posisi yang sama, menjadi pemimpin bagi umatnya. Nanti di hari kiamat setiap umat akan dipanggil berdasarkan pemimpinnya masing-masing yang tak lain adalah para nabi mereka.

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” (QS. Al-Isra: 71)

Karenanya jumhur ulama, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Qashashul Anbiya, menguatkan pendapat bahwa para nabi semuanya laki-laki. Di antara alasannya adalah bahwa para nabi memiliki posisi sebagai pemimpin umat tertinggi yang tidak boleh dilimpahkan kepada wanita.

Teladan kepemimpinan Rasulullah shallallahu alaihi tentu sangat banyak, namun satu hal yang menarik adalah bagaimana sebagai pemimpin beliau menanamkan kesadaran di tengah para shahabatnya bahwa kepemimpinan itu perkara yang sangat mendasar di tengah masyarakat muslim. Maka, setiap kali mengutus pasukan, baik besar maupun kecil, beliau selalu menentukan siapa pemimpinnya, setiap kali meninggalkan kota Madinah untuk tugas tertentu, tak pernah lupa beliau tetapkan siapa pemimpin sementara di Madinah sepeninggalnya. Bahkan beliau berpesan, jika kaum muslimin bepergian minimal bertiga hendaknya menunjuk salah seorang sebagai pemimpinnya (HR. Abu Daud).

Kesadaran ini tertanam kuat dalam benak para sahabat. Karena itu dapat dipahami bagaimana kemudian para sahabat, ketika Rasulullah shallallahu wafat, bahkan sebelum Rasulullah dimakamkan, mereka segera melakukan syura untuk segera menetapkan siapa pemimpin mereka. Sebuah gambaran betapa mereka sangat memandang urgen soal kepemimpinan dan siapa sosok yang layak menjadi pemimpinnya, sehingga mereka tidak sudi ada kekosongan kepemimpinan pasca wafatnya baginda shallallahu alaihi wa sallam.

Demikianlah sekelumit gambaran betapa kepemimpinan bagi seorang muslim mestinya merupakan perkara yang menjadi salah satu fokus perhatiannya. Tidak semestinya dia hanya asyik menonton dan mengamati. Tapi sedapat yang dia lakukan, ikut berperan bagi lahirnya kepemimpinan yang terbaik di tengah masyarakatnya, tentu dalam perspektif dirinya sebagai seorang muslim. Maka, jangan lemah berusaha dan berjuang untuk menghadirkan sosok-sosok terbaik yang akan menjadi pemimpin kita di tengah masyarakat.

Karena, kepemimpinan, selain dakwah, sesungguhnya juga merupakan tugas kenabian. Al Mawardi dalam kitabnya Al –Ahkam As-Sulthaniyah mengatakan;

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Kepemimpinan ditetapkan untuk melanjutkan tugas kenabian untuk mengawal agama dan mengelola urusan dunia.”

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Hormati dan Support Dai dan Aktifis Dakwah yang Menjadi Caleg

Melihat foto teman-teman dai dan aktifis dakwah yang terpampang sebagai caleg, yang segera muncul di hati saya adalah perasaan salut dan hormat.

Terjun di dunia politik, jika semata untuk meraih jabatan atau memperjuangkan berbagai kepentingan adalah perkara lumrah. Tapi terjun di dunia politik dengan semangat dan visi dakwah, bukanlah perkara sederhana. Sepintas visi dakwah dan politik sering bersebarangan. Dakwah menyerukan untuk mencari ridha Allah, politik sering mengarahkan kita untuk mencari ridha manusia. Dakwah sering mengingatkan kita dari bahaya kekuasaan, politik malah mendorong kita untuk meraihnya, dakwah sering mengingatkan kita agar hati-hati dari pamer dan menonjolkan diri, sedang politik justeru menuntut agar kita tampil dan terlihat, dst. Belum lagi, hingga kini sebagian masyarakat, bahkan masyarakat muslim, masih melihat dunia politik dengan pandangan ‘benci tapi rindu’. Benci perbincangan dan gerakan politik, tapi ingin agar dunia politik dan kekuasaan dipegang oleh orang-orang baik.

Dari sinilah penghormatan saya kepada para aktifis dan dai yang menjadi caleg itu muncul. Disaat banyak pihak yang menarik diri dari dari panggung politik dengan berbagai macam alibi dan alasan, mereka justeru tampil menghadapi arus. Seakan mereka ingin mengatakan, mencari ridha Allah tidak harus dibenturkan dengan ridha manusia, keduanya dapat saling beriringan bahkan menguatkan, sebagaimana mengejar jabatan tidak selalu identik dengan haus kekuasaan, tapi bagaimana dapat memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya dengan wewenang yang dimilikinya.

Hari-hari ini tentu menjadi hari-hari yang berat buat mereka, bukan saja secara fisik dan materi, tapi juga secara psikis dan sosial. Karenanya, mereka adalah orang-orang yang sangat layak disupport dan didoakan semoga berhasil dalam perjuangannya. Jangan sampai prasangka dan asumsi negatif kita terhadap mereka mendahului rasa hormat yang seharusnya diberikan kepada mereka. Sadar atau tidak, aspirasi kita sebagai masyarakat umumnya dan sebagai muslim khususnya, sesungguhnya sedang mereka usahakan dengan tampilnya mereka sebagai CAD di daerahnya masing-masing.

Salam hormat saya buat teman dan rekan-rekan yang menjadi caleg. Ikhlashkan hati, patutkan diri, insyaAllah setiap langkah dan usaha tidak ada yang sia-sia di sisi Allah.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Nasehat Kepada Pimpinan, Antara Ibnu Dzil Khuwaishirah dan Habab bin Munzir

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahihnya, setelah selesai suatu peperangan, seperti biasa beliau membagi-bagikan ghanimah (rampasan perang). Tiba-tiba ada seseorang dengan ketus berucap, “Adillah wahai Rasulullah!” Maka dengan tegas Rasulullah ﷺ menjawab,

وَيْلَكَ ! وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ ؟! قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ

“Celaka engkau, siapa yang adil jika aku tidak adil?! Sungguh engkau akan kecewa dan rugi jika aku tidak adil.”

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa orang tersebut bernama Ibnu Dzil Khuwaishirah At-Tamimi.

Di bagian lain, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam sirahnya, Rasulullah ﷺ menentukan sebuah tempat dekat mata air di daerah Badar sebagai markas pasukan kaum muslimin saat bersiap-siap menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Badar. Ada seorang Sahabat yang bernama Habab bin Munzir mendekati beliau seraya bertanya,

“Wahai Rasulullah, apakah tempat ini merupakan ketetapan yang telah Allah tetapkan untukmu, tidak dapat dimajukan atau dimundurkan, ataukah ini termasuk bagian yang masih boleh berpendapat dan strategi perang?”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Ini termasuk bagian yang boleh berpendapat dan strategi perang.”

Maka Habab bin Munzir mengusulkan agar pasukan Rasulullah bermarkas di mata air yang lebih dekat dengan musuh, lalu mata air mata air yang ada ditimbun agar musuh tidak mendapatkan air sedangkan mereka mendapatkan air. Rasulullah ﷺ pun menerima keputusan tersebut dan memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk berpindah ke tempat yang diusulkan oleh Habab.

Dari dua riwayat di atas kita dapat tarik kesimpulan bahwa bukan masalah memberikan masukan bahkan kritikan sekalipun kepada pimpinan. Namun, dia harus memenuhi adab yang baik, memiliki argumen yang jelas serta tetap memberikan cinta dan loyalitas kepada pimpinan. Adapun nasehat atau kritik yang bersifat serampangan, mengabaikan berbagai alasan dan latar belakang dari sebuah keputusan serta dilandasi sikap benci dan bertujuan menggoyahkan loyalitas kepada pimpinan, maka dia lebih dekat disebut sebagai hujatan ketimbang nasehat atau kritik.

Dari sinilah kita dapat melihat perbedaan sikap Rasulullah ﷺ terhadap apa yang dilakukan oleh Ibnu Dzil Khuwaishirah dan Habab bin Munzir dalam riwayat di atas. Wallahu a’lam.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Jika Hari Id Berbarengan Dengan Hari Jumat

Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, maka tidak dibolehkan bagi mereka yang shalat Id untuk meninggalkan shalat Jumat. Ad-Dusuqi berkata, “Sama saja, apakah dia shalat Id di perkampungannya atau di luar kampungnya (dia tetap wajib shalat Jumat).”

Sedangkan ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, lalu mereka shalat Id dan shalat zuhur maka hal itu dibolehkan dan gugur baginya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang shalat Id. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat Id, lalu beliau bersabda,

مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ

“Siapa yang mau melakukan shalat Jumat, silakan shalat Jumat.” 1)

Mereka mengatakan bahwa gugurnya shalat Jumat adalah gugur kewajiban menghadirinya, bukan gugur kewajiban shalatnya itu sendiri. Maka hukumnya seperti orang sakit dan semacamnya yang memiliki uzur atau kesibukan yang membolehkannya meninggalkan shalat Jumat. Maka tidak gugur kewajibannya sehingga shalat Jumat tetap sah dilakukan dan sah menjadi imam padanya. Tapi yang lebih utama adalah menghadiri shalat Jumat agar keluar dari perselisihan pendapat. Dikecualikan dalam hal ini seorang imam, maka tidak gugur baginya kewajiban hadir untuk shalat Jumat, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata,

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Telah berkumpul pada hari ini dua id (Idul Fitri dan Hari Jumat). Siapa yang mau maka shalat Idnya dapat menggantikan shalat Jumat, adapun kami tetap melakukan shalat Jumat.” 2)

Karena, jika imam meninggalkan shalat Jumat, maka akan terhalang melakukannya bagi orang yang wajib melakukannya atau orang yang ingin tetap melakukannya walaupun gugur baginya kewajibannya. Mereka juga berkata, ‘Jika shalat Jumat didahulukan dan dilakukan pada waktu shalat Id, maka diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia berkata, ‘Yang dianggap sah adalah yang lebih pertama dari keduanya’ maka dengan demikian shalat Jumat yang dia lakukan itu dapat menggantikan shalat Id dan Zuhur dan tidak ada yang wajib dia lakukan hingga masuk waktu Ashar. Pendapat ini bagi siapa yang membolehkan mempercepat shalat Jumat pada waktu shalat Id.

Adapun ulama dalam mazhab Syafii berpendapat bahwa apabila hari Id berbarengan dengan hari Jumat, maka dibolehkan bagi penduduk kampung yang mendengar panggilan untuk shalat Id untuk pulang ke perkampungannya dan tidak shalat Jumat.

Maksudnya hal tersebut karena jika mereka hadir untuk shalat Id, seandainya mereka kembali ke perkampungannnya, maka mereka tidak sempat lagi untuk kembali shalat Jumat, maka mereka diberi rukhshah (keringanan) meninggalkan shalat Jumat untuk meringankan mereka. Pemahaman kebalikannya, jika mereka tidak datang shalat Id, maka mereka wajib hadir untuk shalat Jumat. Disyaratkan pula, dalam kebolehan meninggalkan shalat Jumat, untuk segera pulang ke perkampungannya sebelu masuk waktu shalat Jumat.

• Diterjemahkan dari kitab: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, jilid 27, hal. 209.

Kesimpulan:

Ada perbedaan pendapat para ulama jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, apakah boleh meninggalkan shalat Jumat atau tidak. Yang lebih hati-hati adalah tetap shalat Jumat, apalagi kalau dia seorang imam (juga khatib dan siapa saja yang memiliki tanggungjawab terkait terlaksananya shalat Jumat). Namun jika ada yang tidak shalat Jumat, juga tidak perlu diingkari dengan catatan dia telah shalat Id dan dia harus melakukan shalat Zuhur. Wallahu a’lam.

—————————————-
1- HR. Ahmad, 4/372, cet. Al-Maimaniah, dari hadits Zaid bin Arqam. Ibnu Hajar mengutipnya dalam kitab Talkhishul Habir, 2/88, cet. Syarikah Thiba’ah Al-Fanniya. Ibnu Munzir menyatakan bahwa hadits ini memiliki illat (cacat) karena para perawinya tidak mengetahuinya dari Zaid bin Arqam, namun dia menyebutkan riwayat-riwayat yang menguatkannya, di antaranya adalah hadits yang akan disebutkan kemudian.

2- HR. Abu Daud, 1/647, tahqiq Izzat Ubaid Da’as, Daruquthni menyatakan bahwa haditsnya mursal sebagaimana disebutkan dalam kitab Talkhisul Habir oleh Ibnu Hajar, 2/88, akan tetapi beliau menyebutkan beberapa riwayat yang menguatkannya

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Tersinggung

Tersinggung acap menghampiri diri kita, beragam penyebab dan latar belakangnya, beragam pula ekspresi dan pelampiasannya. Namun, ada yang nyaris tidak berbeda, tersinggung dapat membuat suasana hati menjadi keruh, bahkan kadang terluka.

Di sisi lain, tersinggung adalah merupakan kekhasan kita sebagai manusia yang Allah berikan perasaan lembut. Maka, jangan merasa bangga kalau ada orang yang mengaku dirinya tidak pernah tersinggung. Justeru tersinggung merupakan penegasan dari eksistensi kepribadian seseorang. Apalagi ketika radius pergaulannya semakin luas, variatif dan beragam.

Jadi, yang dibutuhkan adalah bukan mematikan sifat ketersinggungan itu, akan tetapi bagaimana kita meminimalisir atau memperkecil tingkat ketersinggungan dalam diri kita, apalagi kalau urusannya hanya bersifat pribadi belaka. Sebab, kalau hal itu kita biarkan tumbuh membesar dan menjalar dalam diri kita, akan banyak pintu-pintu kebaikan yang akan terhalang.

Bahkan, justeru dalam kondisi tertentu, ketersinggungan dapat dikelola dengan sikap positif untuk meraih hal-hal yang positif, di antaranya:

Tersinggung dapat menjadi kesempatan melatih diri untuk berlapang dada. Ketika ada hujatan, kritik, kata-kata yang memojokkan –terlepas itu benar atau tidak-, di sinilah sebenarnya kita diuji untuk mempraktekkan sikap lapang dada ini. Bukankah Rasulullah ﷺ pernah memberikan jaminan surga kepada seseorang yang ketika menjelang tidur, dia melepaskan segala sangkutan dalam hatinya kepada semua orang.

Tersinggung, jika diarahkan dengan benar, akan melatih seseorang menjadi public relation bagi dirinya sendiri terhadap sikap yang dia ambil. Munculnya sindiran dan prasangka seringkali merupakan buah dari ketidaktahuan terhadap latar belakang sebuah masalah. Nah, berlatihlah agar anda mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas, urut, tidak apologi dan emosi sambil tetap mengakui kekurangan kalau memang ada. Setelah itu, rapikan kembali kondisi hati.

Tersinggung akan membuat seseorang dapat membedakan karakter setiap orang yang pastinya berbeda-beda. Sehingga berikutnya setiap orang disikapi sesuai karakternya masing-masing, tanpa kesan dibuat-buat atau pura-pura. Karena tidak mungkin setiap orang dengan berbagai karakternya disikapi dengan sikap yang sama.

Terakhir, tersinggung akan menyadarkan kita untuk tidak mudah melakukan tindakan dan perkataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Sebab kita telah merasakan sendiri, bagaimana ‘enaknya’ tersinggung itu.  Berlatihlah untuk peka membaca perasaan orang lain, jangan menunggu ‘disemprot’ untuk menyadari bahwa ada ucapan dan tindakan kita yang dapat menyinggung perasaan seseorang.

Kesimpulannya… minimalisir rasa ketersinggungan, jangan mudah tersinggung dan jangan suka menyinggung.

“Ya Rabb Kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.