Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 24)

Search Results for: abdullah haidir

Dakwah Itu……

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Dakwah itu, membina, bukan menghina…
Dakwah itu, mendidik, bukan ‘mendelik’…
Dakwah itu, mengobati, bukan melukai
Dakwah itu, mengukuhkan, bukan meruntuhkan…
Dakwah itu, menguatkan, bukan melemahkan…
Dakwah itu, mengajak, bukan mengejek…
Dakwah itu, menyejukkan, bukan memojokkan..
Dakwah itu, mengajar, bukan menghajar….
Dakwah itu, belajar, bukan kurang ajar ..
Dakwah itu, menasehati, bukan mencaci maki…
Dakwah itu, merengkuh, bukan menuduh…
Dakwah itu, bersabar, bukan gusar…
Dakwah itu, argumentative, bukan provokatif..
Dakwah itu, bergerak cepat, bukan sibuk berdebat…
Dakwah itu, realistis, bukan fantastis
Dakwah itu, adu konsep di dunia nyata, bukan adu mulut dan olah kata.
Dakwah itu, mencerdaskan, bukan mencemarkan…
Dakwah itu, menawarkan solusi, bukan mengumbar janji…
Dakwah itu, berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan..
Dakwah itu, menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat…
Dakwah itu, memperbarui masyarakat, bukan membuat masyarakat baru..
Dakwah itu, mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan…
Dakwah itu, pandai memikat, bukan mahir mengumpat
Dakwah itu, menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan…
Dakwah itu, menutup aib dan memperbaikinya, bukan mengumpat aib dan menyebarkannya..
Dakwah itu, menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran..
Dakwah itu, apresiasi terhadap langkah positif, bukan mencari-cari motif….
Dakwah itu, mendukung semua proyek kebaikan, bukan memunculkan keraguan..
Dakwah itu, memberi senyum manis , bukan menjatuhkan vonis…
Dakwah itu, berletih-letih menanggung problema umat, bukan meletihkan umat…
Dakwah itu, menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan..
Dakwah itu, kompak dalam perbedaan, bukan ribut atas nama persatuan…
Dakwah itu, menghadapi musuh, bukan mencari musuh…
Dakwah itu, mencari teman, bukan memusuhi teman…
Dakwah itu, melawan kesesatan, bukan berbicara menyesatkan…
Dakwah itu, menjulurkan tangan, bukan menjulurkan lidah…
Dakwah itu, asyik dengan kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian…
Dakwah itu, menampung semua lapisan, bukan mengkotak-kotakkan…
Dakwah itu, kita mengatakan.. ‘aku cinta kamu’… bukan… ‘aku benci kamu..’
Dakwah itu, kita mengatakan, ‘Mari bersama kami…’ bukan.. ‘Kamu harus ikut kami…’
Dakwah itu, dapat di masjid, di sekolah, di pasar, di kantor, di parlemen, di jalanan, hingga di tempat kebanjiran…. Dakwah bukan hanya di pengajian….!

Dakwah itu, ……asyik dah ……… Mau ikutan?… Hayuu lah..!

Riyadh, 1434 H

(AFS/Manhajuna)

Taushiah Perjuangan

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Ketika simpati demi simpati kau terima, tundukkan kepalamu, juga hatimu… hati-hati dengan kesombongan…

Ketika kemenangan demi kemenangan kau raih, tundukkan kepalamu, juga hatimu…. hati-hati dengan kelalaian…

Ketika harapan demi harapan dibebankan ke pundakmu, tundukkan kepalamu, juga hatimu…. hati-hati dengan kelengahan…

Ketika apresiasi demi apresiasi dialamatkan kepadamu,tunddukkan kepalamu, juga hatimu… hati-hati dengan ketergelinciran…

Ketika ujian demi ujian dapat kau lalui, tundukkan kepalamu, juga hatimu, ……….. jangan abaikan evaluasi terhadap berbagai kekurangan dan kekeliruan….

Ketika tugas-tugas berat semakin mendekatimu, hendaknya engkau semakin dekat dengan Tuhanmu…

Ketika tanggung jawab di pundakmu semakin besar, hendaknya engkau semakin serahkan kekuatanmu kepada Tuhanmu..

Ketika semua pandangan mulai tertuju kepadamu, ingatlah pandangan Tuhanmu yang tak putus kepadamu…

Betapa banyak orang yang tabah dengan kekalahan, namun jatuh dalam kemenangan…

Betapa banyak orang yang bertahan dalam kesempitan, namun tergelincir dalam kelapangan…

Betapa banyak orang yang ikhlas mengawali perjuangan, namun penuh perhitungan saat menggapai kejayaan…

Selamat untuk sebuah kemenangan, terus rapatkan barisan, ayomi semua kalangan, dengan Allah sebagai tujuan….

Riyadh, Rabiul Tsani, 1434 H.

(AFS/Manhajuna.com)

Hukum Ziarah Kubur Bagi Wanita

Hukum berziarah kubur bagi wanita cukup menjadi perdebatan cukup kuat di kalangan para ulama, sejak dulu hingga sekarang. Hal tersebut tak lain karena adanya beragam dalil yang dan beragam pula sudut pandang dalam memahaminya. 

Setidaknya ada dua arus utama pendapat dalam masalah ini, yaitu kelompok yang melarangnya dan kelompok yang tetap membolehkannya dan menganggapnya sebagai sunah. 

Yang berpendapat bahwa ziarah kubur dilarang bagi wanita adalah jumhur ulama dalam mazhab Maliki, Syaifii dan Hambali. Al-Lajnah Ad-Daimah, dalam kumpulan fatwanya berfatwa dengan pendapat jumhur ulama, begitu pula umumnya para ulama di Arab Saudi. 

Sedangkan kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ziarah kubur termasuk disunahkan bagi wanita. Namun, ada juga sebagian ulama dari kalangan mazhab Syafii dan Ahmad yang berpendapat seperti pendapat mazhab Hanafi. 

Pihak yang melarang kaum wanita berziarah kubur berpedoman dengan dua hadits sering dikutip dalam masalah ini, di antaranya;

أَن ّ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ (رواه الترمذي وغيره)

“Sesungguhnya Rasulullah saw melaknat para wanita yang (suka) berziarah kubur.” (HR. Tirmizi dan lainnya)

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ (رواه أبو داود وغيره)

“Rasulullah saw melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur dan mereka yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan meletakkan lampu.” (HR. Abu Daud dan lainnya)

Kedua hadits ini secara jelas menunjukkan kecaman Rasululllah saw terhadap kaum wanita yang berziarah kubur. 

Adapun pihak yang tetap menganjurkan ziarah kubur bagi wanita berpedoman pada sejumlah riwayat pula, di antaranya;

• Sabda Rasulullah saw:

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا (رواه مسلم) 

“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Hendaklah (sekarang) kalian berziarah kubur,” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Ahmad dan lainnya terdapat tambahan, “Sesungguhnya hal tersebut mengingatkan akhirat.” 

Hadits ini dipahami bersifat umum untuk laki-laki dan perempuan.

• Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang bacaan yang diucapkan ketika seseorang berziarah kubur? Maka Rasulullah saw mengajarkannya untuk membaca, 

السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ

Riwayat ini oleh Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim dikatakan sebagai menguatkan bagi orang yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur. 

• Dalam shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menasehati seorang wanita yang menangis di kuburan agar bertakwa kepada Allah dan bersabar. Namun (karena tidak tahu siapa yang menegurnya) wanita tersebut justeru menolak nasehat Rasulullah saw dengan alasan bahwa beliau tidak mendapatkan musibah seperti musibah yang menimpa dirinya… (HR. Bukhari)
Dalam riwayat ini Rasulullah saw hanya menegur sikap wanita tersebut yang keliru saat berziarah kubur. Tapi beliau tidak menegur dia sebagai wanita yang berziarah kubur. Ini dipahami sebagai taqrir (persetujuan) Rasulullah saw bagi wanita untuk berziarah kubur. 

• Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa suatu hari didapatinya Aisyah baru datang dari arah pekuburan. Maka aku katakan kepadanya, “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau datang?” Dia berkata, “Dari kuburan saudaraku, Abdurrahman bin Abu Bakar.” Maka aku berkata kepadanya, “Bukankah Rasulullah saw telah melarang ziarah kubur?” Dia berkata, 

نَعَمْ كَانَ نَهَى ، ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

“Ya, dahulunya beliau melarang, kemudian beliau memerintahkan untuk menziarahinya.” (HR. Baihaqi) 

Terjadi diskusi yang cukup hangat di antara para ulama untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Bagi pihak yang melarang mengatakan bahwa dalil larangan bersumber dari ucapan Rasulullah saw yang jelas dan tegas, bahkan menggunakan kata ‘laknat’. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang membolehkan mereka anggap masih berupa ucapan atau tindakan yang dapat mengandung interpretasi (penafsiran) beragam. Maka dalam hal ini, kesimpulan larangan lebih kuat daripada membolehkan. 

Sementara pihak yang membolehkan berpendapat dengan sejumlah kesimpulan;

– Hikmah berziarah kubur seperti mengingat kematian dan akhirat adalah sesuatu yang dibutuhkan laki-laki dan wanita, maka perintah Rasulullah saw untuk berziarah kubur semesetinya juga berlaku untuk laki-laki dan wanita. 

– Disamping riwayat Aisyah yang bertanya tentang doa ziarah kubur, kemudian dia sendiri yang pulang dari ziarah kubur, serta Rasulullah saw yang menegur wanita yang menangis saat berziarah kubur, menunjukkan sebuah pengamalan dari pemahaman tentang bolehnya berziarah kubur bagi wanita. 

– Adapun terhadap dalil yang dipakai oleh mereka yang melarang ziarah kubur bagi wanita dipahami sebagai batasan berziarah kubur bagi wanita. Yaitu bahwa hadits-hadits larangan itu berlaku apabila wanita yang berziarah kubur mengundang fitnah, misalnya dengan bersolek atau membuka aurat dll, atau dia melakukan perbuatan yang terlarang seperti membangkitkan kesedihan dan menangis tersedu-sedu, sebagaiman umumnya terjadi pada wanita. Atau juga dipahami bahwa larangan tersebut berlaku bagi wanita yang terlalu sering berziarah kubur.

– Riwayat-riwayat yang disimpulkan sebagai pembolehan ziarah kubur bagi wanita, di anggap sebagai rukhshah (keringanan) atas larangan yang sebelumnya Rasulullah saw berlakukan bagi kaum wanita. 

– Ada juga yang mengkritisi hadits larangan tersebut sebagai hadits yang lemah. Al-Albany memasukkan hadits kedua tentang larangan wanita yang berziarah kubur di atas sebagai hadits lemah dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 225. 

Wallahua’lam, kami lebih memilih pendapat ulama yang pertengahan dalam masalah ini, yaitu bahwa ziarah kubur tidak terlarang bagi wanita, dengan syarat;

– Tidak menjadi sebab fitnah atau terkena fitnah. 
– tidak melakukan perbuatan-perbutan yang dilarang. 
– Tidak terlalu sering. 

Catatan: 

Menurut hemat kami, yang menarik bukan hanya kesimpulan hukumnya. Tapi bagaimana para ulama berupaya keras mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada dan kemudian mendiskusikannya secara ilmiah. Tidak tampak adanya kecaman terhadap pihak lain yang tidak sama terhadap pendapatnya selama pendapatnya didukung oleh dalil dan pandangan yang lurus. Bahkan dalam Mazhab Syafii, seperti dinyatakan oleh Imam Nawawi, para ulamanya berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat, antara yang menganggapnya haram, makruh dan mubah. 

Mempelajari perbedaan pendapat dan diskusi di antara para ulama dan bagaimana mereka mengambil kesimpulan dari nash-nash yang ada, akan sangat membantu kita untuk toleran terhadap berbagai perbedaan selama hal tersebut tidak terkait dengan masalah-masalah prinsip dan mendasar. Sehingga ada yang mengatakan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan lezatnya kajian fiqih sebelum dia mengetahui perbedaan-perbedaan di antara mazhab. 

Bagi yang bisa berbahasa Arab, silahkan baca kutipan seorang ulama besar dalam bidang hadits, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari tentang ragam pendapat dalam masalah ziarah kubur bagi kaum wanita. Perhatikan bagaimana keluasan ilmunya, kelapangan dadanya dan bahkan pilihan kata-katanya dalam mengetengahkan perbedaan seperti ini. 

Berikut kutipannya;

وَاخْتُلِفَ فِي النِّسَاء فَقِيلَ : دَخَلْنَ فِي عُمُوم الْإِذْن وَهُوَ قَوْل الْأَكْثَر ، وَمَحَلّه مَا إِذَا أُمِنَتْ الْفِتْنَة وَيُؤَيِّد الْجَوَاز حَدِيث الْبَاب ، وَمَوْضِع الدَّلَالَة مِنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُنْكِر عَلَى الْمَرْأَة قُعُودهَا عِنْد الْقَبْر ، وَتَقْرِيره حُجَّة . وَمِمَّنْ حَمَلَ الْإِذْن عَلَى عُمُومه لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاء عَائِشَة فَرَوَى الْحَاكِم مِنْ طَرِيق اِبْن أَبِي مُلَيْكَة أَنَّهُ رَآهَا زَارَتْ قَبْر أَخِيهَا عَبْد الرَّحْمَن ” فَقِيلَ لَهَا : أَلَيْسَ قَدْ نَهَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ ؟ قَالَتْ نَعَمْ ، كَانَ نَهَى ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا ” وَقِيلَ الْإِذْن خَاصّ بِالرِّجَالِ وَلَا يَجُوز لِلنِّسَاءِ زِيَارَة الْقُبُور ، وَبِهِ جَزَمَ الشَّيْخ أَبُو إِسْحَاق فِي ” الْمُهَذَّب ” وَاسْتَدَلَّ لَهُ بِحَدِيثِ عَبْد اللَّه بْن عَمْرو الَّذِي تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَة إِلَيْهِ فِي ” بَاب اِتِّبَاع النِّسَاء الْجَنَائِز ” وَبِحَدِيثِ ” لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور ” أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيّ وَصَحَّحَهُ مِنْ حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة ، وَلَهُ شَاهِد مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاس وَمِنْ حَدِيث حَسَّان بْن ثَابِت . وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِالْكَرَاهَةِ فِي حَقّهنَّ هَلْ هِيَ كَرَاهَة تَحْرِيم أَوْ تَنْزِيه ؟ قَالَ الْقُرْطُبِيّ : هَذَا اللَّعْن إِنَّمَا هُوَ لِلْمُكْثِرَاتِ مِنْ الزِّيَارَة لِمَا تَقْتَضِيه الصِّفَة مِنْ الْمُبَالَغَة ، وَلَعَلَّ السَّبَب مَا يُفْضِي إِلَيْهِ ذَلِكَ مِنْ تَضْيِيع حَقّ الزَّوْج وَالتَّبَرُّج وَمَا يَنْشَأ مِنْهُنَّ مِنْ الصِّيَاح وَنَحْو ذَلِكَ ، فَقَدْ يُقَال : إِذَا أُمِنَ جَمِيع ذَلِكَ فَلَا مَانِع مِنْ الْإِذْن لِأَنَّ تَذَكُّر الْمَوْت يَحْتَاج إِلَيْهِ الرِّجَال وَالنِّسَاء .

Abdullah Haidir, Lc.

Riyadh, Rabiul Tsani 1434 H.

Nikmat Perjuangan

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Nikmatilah Pahit-Manis Perjuangan…
Tak ada yg paling dpt menikmati manisnya kemenangan, kecuali merka yg pernah meraskan pahitnya kekalahan..
Tidak ada yg paling dpt merasa indahnya keberhasilan, kecuali merka yg tlah melalui beratnya perjuangan…
Tidak ada yg paling dapt mensyukuri kesuksesan kecuali mereka yang pernah merasakn derita perjalanan…
Nikmatilah perjuangan ini dengan suka dan dukanya, kemenangan dan kekalahannya, kejayaan dan keterpurukannya….
Perjuangan hanya bersedia menerima mereka yang siap menanggung segala resikonya tanpa pilih-pilih. Bersama, atau tdk sama sekali!

Riyadh, Rabiul Tsani 1434 H

(AFS/Manhajuna)

 

Makna Kemenangan Di Jalan Perjuangan

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.


Qabasaat Qur’aaniah…

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

“Jika telah sempurna bagimu wahai Rasul kemenangan atas kaum kafir Quraisy dan sempurna bagimu penundukan kota Mekah.” (QS. An-Nashr: 1)

(Sumber: At-Tafsir Al-Muyassar)

Ayat ini berbicara tentang apabila kemenangan itu tiba. Sebuah ‘impian’ yang selayaknya selalu terbayang di benak pejuang. Seberapapun pahit dan beratnya jalan juang, kemenangan tak boleh hapus dari ingatan. Sebab, demikianlah adanya janji yang Allah Ta’ala nyatakan dalam Al-Quran, juga yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampaikan bagi setiap muslim yang teguh berjuang; Gemilang kemenangan, bukan pedih kekalahan.

Bahkan dalam perang Ahzab, saat kondisi sangat genting, musuh di depan berkolaborasi dan orang dekat siap menikam penuh benci, justeru Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bahwa dirinya ‘Diperlihatkan singgasana Romawi dan Persia’ sebagai isyarat bahwa kedua kekuatan raksasa ketika itu akan mereka tundukkan. Betapa Rasulullah saw selalu menghembuskan aura kemenangan, bukan bayang-bayang kekalahan yang menghantui pikiran.

Hal ini tentu bukan utopia, atau sekedar pelipur lara. Tapi keyakinan kuat tentang tabiat perjuangan, bahwa benarnya jalan yang dijalani, kerja keras yang tak pernah henti, sabar dan tabah menghadapi cobaan silih berganti dan penyandaran pada Kuasa Allah yang tak tertandingi, kan berujung pada kemenangan yang sudah pasti.

Terlebih, kemenangan yang disebutkan dalam ayat di atas langsung disandingkan kepada Allah Ta’ala sebagai “kemenangan Allah” (نصر الله). Setidaknya ada 3 makna yang dapat disimpulkan dari ungkapan tersebut;

1- Kemenangan ini bersifat pasti. Karena dia milik Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa. Siapakah yang mampu menghalangi jika Dia sudah tetapkan kemenangan-Nya? Hal ini memberi arti bahwa kemenangan itu sesungguhnya telah Allah setting sedemikian rupa. Sebagaimana ungkapan Sayid Qutub tentang kemenangan dalam Tafsir Dzilal-nya terkait ayat ini;

فَهُوَ نَصْرُ اللهِ يَجِيءُ بِهِ اللهُ : فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُقَدِّرُهُ . فِي الصُّورَةِ الَّتِي يُرِيدُهَا . لِلْغَايَةِ الَّتِي يَرْسُمُهَا

“Dia adalah kemenangan Allah yang Dia hadirkan; Pada waktu yang Dia tetapkan, dalam bentuk yang Dia inginkan, dan dengan tujuan yang Dia gariskan.”

Ibarat sebuah skenario yang sudah lengkap, dia hanya membutuhkan pemeran yang siap memainkannya dengan prima. Maka tugas seorang dai, mujahid, aktifis dakwah dan siapa saja yang berjuang di jalan Allah, hanyalah bagaimana mereka menjadi pemeran terbaik dalam lakon ini.

2- Tertutup segala celah kesombongan dan tindakan sewenang-wenang dalam menyikapi kemenangan. Sebuah kesadaran yang sangat halus dibangun dalam jalan perjuangan, bahwa walaupun kita diwajibkan berjuang keras, dan sebesar apapun kekuatan dan potensi yang dikerahkan, tetaplah kemenangan milik Allah, karena memang di tangan-Nyalah segala ketentuan itu berlaku. Rasa syukur, tunduk, dan memuliakan Allah, hendaknya merupakan suasana yang mendominasi jiwa saat sang pejuang meraih kemenangan. Itu sebabnya di akhir surat ini, kemenangan gemilang hendaknya disambut dengan tasbih, tahmid dan istighfar.

Jika kesadaran ini tidak dimiliki, kemenangan lambat laun hanya akan menggiring orang-orang yang dahulunya berjuang menentang kezaliman dan kesombongan, justeru akan menjadikannya sebagai aktor kezaliman dan kesombongan itu sendiri pada giliran berikutnya. Ironis memang! Tapi memang demikian nyatakan, tidak sedikit mereka yang diperangi karena kezalimannya dan kediktatorannya, dahulunya adalah pejuang anti kezaliman dan kediktatoran itu sendiri!

3- Karena kemenangan adalah milik Allah, Dialah yang paling berhak menentukan untuk apa kemenangan itu digunakan. Pada hakekatnya, kemenangan adalah sarana untuk meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu ketundukan seorang hamba di hadapan kekuasaan Allah Ta’ala. Kemenangan bukanlah arena balas dendam, menumpuk kekayaan, melampiaskan keangkuhan dan mempertontonkan kekuasaan. Tapi kemenangan adalah untuk menciptakan suasana kondusif agar masyarakat dapat mengekspresikan ketundukan dan penghambaannya kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang mengusik dan agar dakwah Islam tidak menemukan penghalang dan ancaman untuk disampaikan kepada segenap lapisan.

Maka sebenarnya, dalam konteks ini, selagi seorang muslim komitmen di jalan Allah, apalagi jika dia berjuang untuknya, sesungguhnya dia sudah meraih kemenangan pribadi di hadapan Allah Ta’ala, apapun kondisi yang menimpa dirinya, bahkan walau ketika nyawa menjadi taruhannya. Hal inilah yang dipahami oleh seorang sahabat bernama Harom bin Milhan, paman Anas bin Malik radhiallahu’anhuma, pada detik-detik terakhir kehidupannya, ketika dirinya berlumuran darah akibat tikaman musuh saat beliau menunaikan tugas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dengan lugas dia berkata,

فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ

“Aku telah menang, demi Tuhan Ka’bah.” (Muttafaq alaih)

Riyadh, Rabi’ul Tsani, 1434 H.

(AFS/Manhajuna)

Ucapan-Ucapan Yang Tidak Benar Terhadap Rasulullah

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, memuliakannya dan mengagungkannya, merupakan aqidah setiap muslim yang tidak diragukan lagi keutamaannya. Namun demikian, hal tersebut tidak menghalangi kita untuk menjaga rambu-rambunya agar jangan sampai diwujudkan melampaui batas ketentuan syariat.

Ada beberapa contoh yang kerap kita dengar dari ucapan-ucapan yang semestinya dihindari, walau berdasarkan tujuan kecintaan dan pemuliaan terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

– “Demi Allah, demi Rasulullah.”

Biasanya ucapan ini disampaikan dengan tujuan bersumpah. Bersumpah yang dibenarkan hanya boleh kepada Allah. Sedangkan kepada selain Allah dapat dikatagorikan sebagai perbuatan syirik. Meskipun para ulama menghukuminya sebagai syirik kecil, tetap saja dia harus dihindari.

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Siapa yang bersumpah kepada selain Allah, sungguh dia telah syirik.” (HR. Abu Daud)

– “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.”

Ungkapan ini memang kerap diungkapkan para shahabat radhiallahu anhum apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka tentang suatu masalah agama. Karena Allah jelas Maha Tahu, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, pastinya telah Allah beritahu tentang apa yang beliau tanyakan kepada para shahabat.

Akan tetapi, ungkapan tersebut menjadi tidak tepat jika diungkapkan sekarang sebagai jawaban atas pertanyaan yang ditujukan kepada seseorang, apalagi terkait dengan kejadian-kejadian tertentu,. Sebab seakan dia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengetahui segala kejadian yang terjadi di alam ini selain Allah Ta’ala, sesuatu yang hanya dimiliki Allah Ta’ala sebagai Dzat yang Maha Tahu.

Di riwayatkan dalam hadits Bukhari dan Muslim, bahwa di hari kiamat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki telaga. Umatnya berdatangan untuk meminumnya. Kemudian ada beberapa orang yang hendaknya minum, namun dicegah oleh para malaikat. Lalu Rasulullah shallalahu alaih wa sallam berkata, “Tuhan, dia adalah umatku,” Maka Dia menjawab, “Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sesudahmu (dari berbagai maksiat yang membuat mereka terhalang minum air dari telaganya).” (Muttafaq alaih)

– “Ya Rasulullah, berilah kami syafaatmu..”

Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Allah berikan hak syafaat di hari kiamat itu memang benar adanya dengan landasan Al-Quran dan hadits. Akan tetapi Hak untuk menetapkan siapa yang dapat memberi syafaat dan siapa yang berhak menerima syafaat sepenuhnya ada pada Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah nyatakan dalam Ayat Kursy,

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tiada yang memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizinnya.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Karenanya, memohon syafaat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidaklah benar. Maka, apabila kita memohon syafaat, mohonlah kepada Allah, agar kita mendapatkan syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di hari kiamat. Itupun harus diikuti dengan keyakinan dan pengamalan yang benar terkait dengan keimanan kita dan menjauhi segala hal yang dapat menghalangi kita mendapatkan syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Selain bahwa memohon syafaat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dapat dikatagorikan sebagai bentuk berdoa kepada selain Allah Ta’ala yang sudah jelas larangannya dalam Islam.

Wallahua’lam.

(AFS/Manhajuna.com)

Sejuta Kenangan Bersama Ustadz Abu Ja’far

Jumat Pagi, 21 Desemeber 2012 adalah hari yang sangat bersejarah bagi Forum Majlis Ta’lim Riyadh (FORMATRA), Arab Saudi. Pasalnya, di hari tersebut FORMATRA mengadakan haflah pelepasan sosok guru pembina dan penasehat FORMATRA, pendidik dan pengajar di berbagai Majlis Ta’lim di dalam dan diluar kota Riyadh. Acara yang sangat spesial dan penuh haru ini, dihadiri oleh sekitar 400 lebih peserta laki laki dan perempuan. Padahal undangan dan ekspektasi panitia berkisar dalam jumlah 300 peserta. Ust. Abu Ja’far, atau yang juga dikenal Ust. Fir’adi meninggalkan Riyadh pada 10 Safar 1434 H, bertepatan dengan 23 Desember 2012. Sosok kharismatik yang sudah sepuluh tahun mengabdi untuk masyarakat Indonesia di Riyadh ini, akan pulang untuk mengisi dakwah di kampung halaman, di Metro, Lampung.

Acara pelepasan yang penuh khidmat itu diawali dengan pembukaan yang dipandu oleh MC, Mohammad Kamiluddin. Dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci AlQuran oleh Ust. Fars Jihady, Lc. Kemudian Sambutan Ketua Panitia oleh Ust. Abdul Muid dan Sambutan Ketua FORMATRA Ust. Lutfi Firdaus, Lc. Dalam sambutannnya Ust. Luthfi menyampaikan: “orang yang harus kita hormati setelah ayah dan ibu kita, harusnya adalah guru guru kita. Karena guru kita yang memperkenalkan kita dengan ilmu agama, memperkenalkan kepada kita bahwa ada kehidupan setelah kehidupan dunia. Oleh karena itu, acara pelepasan guru kita yang sangat kita cintai ini sudah menjadikan tradisi baik kita untuk menghormatinya”. Hadir memberikan kesan dan pesan untuk Ust. Abu Ja’far antara lain Bapak Agus Santoso sebagai perwakilan Jamaah Pengajian, Bapak Tejo sebagai perwakilan masyarakat.

Penyampaian kesan dan pesan semakin seru ketika sesi tersebut disampaikan oleh para asatidz. Asatidz yang mengisi sesi ini antara lain dimulai dari, Ust. Iqbal, Lc., Ust. Sholahuddin, Lc., Ust. Eko Hariyanto, MA., Ust. Thariq, Lc., Ust. Muhammad Latif, Lc., Ust. Hidayat Mustafid, Lc., dan diakhiri oleh Ust. Abdullah Haidir. Sangat banyak kesan tentang Ust.. Abu Ja’far, itu karena beliau sendiri adalah orang yang sangat supel, dan bisa berceramah di semua kalangan. Kesan lainnya adalah ceramah beliau yang khas, yang sangat menarik, dan tidak membosankan, selalu membawa dengan semangat baru. sehingga dalam salah satu pesan asatidz disampaikan “maka beliau layak mendapatkan predikat Mumtaz sebagai da’i”. Ada juga yang menyampaikan kesan 17 tahun yang lalu saat sekolah di Universitas Islam Madinah, ada yang menyampaikan kesan dan pesan saat di Indonesia, saat berceramah, saat main bola, dst. Adapun Pesan yang disampaikan hampir sama, yaitu tetap membina dakwah dan ukhuwwah. Penampilan pantun oleh duet Bang Boim dan Sdr. Gunawan serta puisi oleh Sdr. Akram yang sangat menyentuh dan sangat terkesan tentang ustadz Abu Ja’far membuat para peserta khidmat menyimaknya.

Sesi selanjutnya adalah penyampain kilas balik oleh Ust. Abu Ja’far. Sebagaimana biasa, beliau menyampaikan apapun selalu memukai dengan pembukaannya yang dahsyat. Diawali dengan shiroh Nabawiyyah dan kisah kisah para sahabat. Lalu beliau menyampikan kesan dan pesannya selama ada di Riyadh, selama berinteraksi dengan Jamaah. Kemudian beliau menyampikan “Manusia itu tidak akan pernah luput dari ucapan dan prilaku yang salah, apabila sebuah ucapan yang salah, akan memberikan luka yang dalam, lalu luka itu berserabut, maka kami sekeluarga mohon maaf atas semua kesalahan kami. Sehingga perjalanan kami ke Bandar Lampung berjalan dengan lancar dan tanpa beban apapun”, begitu paparnya. Ust. Abu Ja’far bukan hanya pribadi yang dikelal oleh orang Indonesia, melaikna juga dari orang Saudi, salah satunya dari Pengurus Masjid AlRajihi yang diakili oleh Syeich Abu Abdullah Amir AlKatiri. Abu Abdullah juga mengisi kesan dan pesan yang sangat menyentuh tetang sosok Abu Ja’far dihadapan meraka, khususnya selama mengisi pengajian di Masjid AlRajihi.

Sesi terakhir diisi dengan pemberikan kenang-kenangan kepada Ust. Abu Ja’far oleh Masjid AlRajihi, FORMATRA, Majlis Ta’lim Rabwah, dan Mahasiswa. Acara ditutup dengan doa lalu dilanjutkan dengan ramah tamah satu persatu dengan Ust. Abu Ja’far dan dilanjutkan dengan Makan Siang. Semoga rangkain acara ini meningkatkan ukhuwwah antara guru dan murid, serta semakin memperarat hubungan silaturrahiem dan arti ukhuwwah yang sebanarnya, ukhuwwah yang tidak terbatas dengan waktu dan tempat. (Kamil)

Seminar Pendidikan Karakter untuk Kemandirian Bangsa

Sambutan sebagai ketua FORMATRA, Ust. Luthfi Firdaus Munawwar
FORMATRA in Action!!

Jumat pagi, 23 Maret 2012, Forum Majlis Ta’lim Riyadh Kerajaan Arab Saudi yang biasa kita kenal dengan FORMATRA lagi lagi mengadakan acara yang sungguh luar biasa. Acara seminar yang telah diselenggarakan ini bertemakan: “Pendidikan Karakter dalam Sudut Pandang Islam untuk Menyongsong Kemandirian Bangsa Indonesia”. Kalau acara FORMATRA biasa dilaksanakan di Istirohah, Kali ini tampil beda, dengan kepiawaian anggotanya yang bekerja di sebuah hotel, maka acara seminar ini mendapat kesempatan untuk dilaksanakan di hotel Khuzamah Al-Faisholiyyah, hotel yang sangat ternama di kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Acara yang disponsori oleh KBRI Riyadh ini dihadiri oleh kurang lebih 450 peserta laki-laki yang terdiri dari anggota majlis ta’lim se-Riyadh, perwakilan pihak KBRI, civitas akademik Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), mahasiswa, para pekerja, dan masyarakat indonesia yang ada di Riyadh. Kalau saja tersedia tempat untuk akhwat, maka jumlah peserta diperkirakan akan lebih membludak lagi. Selengkapnya »

Fiqih Kurban (3): Penyembelihan, Pemanfaatan dan Distribusi Daging Kurban

  1. Pada kajian kali ini kita akan mebahas tentang perkara yang terkait dengan penyembelihan hewan kurban, pemanfaatan dan distribusinya.
  2. Sebelum itu perlu diketahui, ada sunah khusus bagi mereka yang sudah niat berkurban apabila masuk awal Dzulhijah hingga hewan kurban disembelih
  3. Yaitu dilarang memotong rambut dan kukunya. Hal ini berdasarkan hadits shahih “Jika masuk 10 hari pertama Dzulhijah, sedangkan….
  4. … ada di antara kalian yang hendak berkurban, maka jangalah dia memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
  5. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan ini, sebagian berpendapat sebagai perkara haram, sebagian lagi nyatakan makruh dan makruh lit tanzih
  6. Makruh lit tanzih adalah makruh tapi lebih dekat kepada kebolehan daripada keharaman. Namun demikian, ditinggalkan lebih baik dan lebih hati-hati.
  7. Jika sudah masuk waktu penyembelihan, bagi pekurban yang mampu menyembelih, sebaiknya dia menyembelih sendiri hewan kurbannya.
  8. Dalam riwayat shahih Rasulullah salallaahu ‘alaihi wa sallam berkurban dan beliau menyembelih langsung hewan kurbannya, beliau letakkan kakinya di atas hewan tersebut.
  9. Lalu menyembelihnya seraya mmbaca tasmiyah dan takbir; Bismillah Allahu Akbar. Namun jika tidak mampu menyembelih dapat diwakilkan orang yang mampu
  10. Jika pekurban tidak dapat menyembelihnya para ulama menyatakan tetap disunahkan ikut menghadiri penyembelihan dan makan daging kurban bersama-sama.
  11. Dalam proses penyembelihan hendaknya dipakai adab-adab yang disyariatkan. Pisau harus tajam, dilakukan secepat mungkin pada bagiannya.
  12. Jika hewannya banyak, hendaknya hewan yang lain yang belum disembelih tidak ditempatkan di tempat yang sama, atau setidaknya tidak melihatnya.
  13. Perlakukan hewan dengan sebaik mungkin, jangan berlaku kasar kepadanya, jangan menyakitinya. Pelajari teknik terbaik dalam masalah ini.
  14. Setelah hewan disembelih, hendaknya biarkan dia sampai benar-benar jelas kematiannya dan darahnya telah keluar sebanyak-banyaknya.
  15. Tindakan yang kurang baik adalah jika hewan langsung dikuliti tanpa menunggu kematian sempurna dari hewan tersebut. Tunggu hingga mati sempurna.
  16. Bahkan ada juga yang langsung memotong kakinya atau memotong kulit kakinya dengan alasan tidak kabur, ini keliru.
  17. Setelah hewan kurban disembelih, dikuliti dan dipotong-potong, maka daging kurban siap dibagikan. Tidak ada aturan baku dalam masalah ini.
  18. Kami ingatkan lagi, inti kurban adalah ibadah dan penghambaan kepada Allah dalam bentuk menyembelih hewan karena Allah, dia bukan seperti zakat.
  19. Maksudnya bagian dari hewan kurban, dapat dimakan sendiri, dapat disimpan, dapat juga dibagikan, baik dalam bentuk sadaqah atau hadiah.
  20. Bahkan para ulama membolehkan memberikan bagian dari daging kurban kepada orang kafir, selama dia tidak memusuhi kaum muslimin.
  21. Para ulama, berdasarkan sejumlah riwayat yang ada, menganjurkan membagi daging kurban menjadi tiga bagian; Sepertiga untuk dimakan,
  22. Sepertiga lagi untuk disedekahkan dan sepertiga lagi untuk dihadiahkan. Ada juga yang mengatakan sepertiga untuk disimpan sebagai ganti dihadiahkan.
  23. Namun hal ini tidak baku sifatnya. Jika pekurban menyerahkan seluruh kurbannya untuk disedekahkan, atau mengambil sedikit saja, itu baik.
  24. Karenanya jika ada pengelola hewan kurban ada yang mengolahnya sebagai produk kalengan, hal tersebut tidak mengapa, selama tidak dikomersilkan.
  25. Mengenai teknis pembagian dapat diatur sedemikin rupa oleh pekurban atau panitia yang mengelolanya, upayakan diatur sebaik mungkin.
  26. yang harus dihindari dalam masalah distribusi hewan kurban adalah tidak boleh ada bagian dari hewan kurban sebagai upah untuk pemotong atau dijual.
  27. Hal tersebut jelas-jelas dinyatakan terlarang dalam sebuah hadits yang shahih riwayat Bukhari Muslim, apalagi jika tujuannya bersifat komersialisasi
  28. Maka memang sebaiknya disiapkan anggaran khusus di luar kurban untuk biaya pemotongan atau pengelolaannya, tentu yang sewajarnya.
  29. Jika setelah diberikan upahnya lalu tukang potongnya dibagi bagian dari kurban, sebagaimana dibagikan kepada yang lainnya; Tidak mengapa.
  30. Adapun masalah menjualnya, yang paling besar kemungkinan adalah kulitnya, yang lebih hati-hati adalah tetap membagikannya seperti bagian lainnya.
  31. Perkara setelah itu orang yang dibagikan tersebut menjualnya ke pihak pengolah atau tengkulak, hal itu tidaklah mengapa, karena sudah jadi miliknya.
  32. Ada memang sebagian ulama yang membolehkan menjual kulitnya lalu uangnya disadaqahkan. Namun mayoritas ulama tetap menolaknya.
  33. Pendapat yang membolehkan ini dapat diambil jika ternyata tidak ada yang bersedia menerima kulit. Maka panitia dapat menjualnya dan uangnya disadaqahkan

Wallahu a’lam, sampai di sini  bahasan kita tentang kurban, semoga bermanfaat. Kalau ada yang keliru mohon dikoreksi. Baarokallahu fiikum.

Baca Juga:

1- Fiqih Kurban (1): Kedudukan Kurban

2- Fiqih Kurban (2): Apa dan Bagaimana Kurban

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Fiqih Kurban (2): Apa dan Bagaimana Kurban

  1. Setelah kita bahas apa kedudukan ibadah qurban dan bagaimana seharusnya sikap kita, kini akan kita bahas apa dan bagaimana kita berkurban.
  2. Pertama tentu saja adalah merapihkan niat kita untuk berkurban, ikhlas semata-mata karena Allah. Ini berlaku untuk semua ibadah.
  3. Berikutnya siapkan uang halal untuk beli hewan qurban yang kita inginkan. Jangan sampai uang untuk membeli hewan qurban berasal dari harta haram..
  4. Bagaimana jika uangnya tidak cukup? Jangan dipaksakan. Bagaimana jika berhutang untuk qurban? Lihat-lihat kemampuan dan komitmen.
  5. Asalnya boleh saja berhutang untuk qurban. Namun, jika kemampuan atau komitmen melunasinya lemah, maka lebih baik jangan berhutang.
  6. Berikutnya, mengenai hewan qurban, hewan yang boleh dikurban adalah yang disebut bahimatul an’am بهيمة الأنعام yaitu onta, sapi dan kambing
  7. Adapun kriteria usia hewan qurban adalah yang tergolong musinnah مسنة Kalau onta min. 5 tahun, sapi min. 2 tahun, dan kambing min. 1 tahun.
  8. Adapun untuk usia kambing, min. 1 tahun itu untuk kambing jawa, tetapi jika domba min. setengah tahun.
  9. Jadi, masalah usia hewan kurban ini memang cukup mendasar, tidak dapat dikurang-kurangi, walaupun hewannya tampak sangat gemuk.
  10. Sebab memang haditsnya cukup tegas menyatakan demikian, “Jangan sembelih kurban kecuali yang usia ‘musinnah‘…” (Muslim, dll)
  11. Musinnah itu hewan yang sudah berganti gigi susunyya, usianya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, atau dianggap sudah tua.
  12. Dikecualikan untuk domba, dibolehkan dibawah musinah, dalam hadits disebut ‘jaza’ah‘, yaitu yang kurang dari setahun, di atas enam bulan.
  13. Maka penting sekali, baik anda pekurban atau panitia kurban untuk memperhatikan usia hewan kurban yang hendak dibeli.
  14. Bahkan walaupun hewan tersebut tampak gemuk, tapi usianya dibawah standar; tidak sah untuk kurban. Sebaliknya, usianya standar, walau kurus; Sah.
  15. Hal ini kembali kepada masalah bahwa substansi dasar kurban adalah ibadah. Bukan sekedar bagi-bagi daging. Maka kriteria syar’i sangat penting
  16. Kepada para penjual hewan kurban pun hendaknya bertakwa kepada Allah, jangan jual hewan kurban yang masih dibawah umur, agar konsumen terjamin.
  17. Berikutnya, setelah memperhatikan faktor usia, hendaknya memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan hewan kurban, tidak ada cacat.
  18. Ada 4 cacat yang disebutkan dalam hadits yang membuat kurban menjadi tidak sah; 1- Buta sebelah 2- Pincang 3- Sakit 4- Sangat kurus.
  19. Selain itu usahakan hewannya benar-benar mulus, tidak ada luka, pecah atau indikasi kurang sehat. Dapat diperhatikan matanya, hidung dan mulutnya
  20. Berikutnya, diutamakan agar hewannya gemuk dan berbulu bagus, diutamakan bulunya dominan warta putih, jantan bertanduk.
  21. Demikianlah ciri-ciri hewan kurban Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, dalam riwayat shahih beliau berkurban dengan 2 ekor domba putih, bertanduk, gemuk dan mahal.
  22. Dalam riwayat lain disebutkan tidak putih total, tapi ada bagian yang berbulu hitam, sehingga dapat dibayangkan hewannya sangat bagus.
  23. Ini tentu bukan berarti yang lain tidak boleh. Boleh betina, tidak bertanduk, warna bulu selain putih, kurus asal tidak terlalu kurus.
  24. Kemudian terkait pekurbannya, kurban berlaku untuk satu orang untuk seekor kambing. Untuk onta dan sapi dapat patungan tujuh pekurban.
  25. Jadi, untuk kambing tidak dapat lebih dari satu orang. Apa yang sering dilakukan di sekolah, para siswa patungan beli seekor kambing.
  26. Lalu disembelih pada hari raya kurban, itu tidak dapat dianggap sebagai kurban, bolehlah dianggap sebagai latihan dan pembelajaran mereka.
  27. Kepala keluarga dapat menyertakan keluarganya dalam niat kurbannya; ini kurban saya dan keluarga saya. Tapi kurban tersebut tapi atas namanya.
  28. Itulah yang Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan saat berkurban, beliau katakan, ‘ini (kurban) untukku dan untuk keluargaku.
  29. Bagaimana kurban untuk orang sudah wafat? Jumhur ulama menyatakan bahwa hal tersebut boleh dan sampai (pahalanya) kepada mayat.
  30. Sebagian ulama lainnya nyatakan tidak disyariatkan. Uniknya, di antara yang menyatakan demikian adalah ulama Syafii, Imam Nawawi di antaranya
  31. Ini masalah ikhtilaf, tak perlu dibesar-besarkan, masing-masing ada dalil argumentasinya, yang ingin melakukannya, silahkan, tidak setuju pun tidak apa-apa.
  32. Sering ditanyakan, kalau belum aqiqah, apa boleh berkurban? Pada dasarnya boleh saja, karena bukan syarat sahnya berkurban harus sudah aqiqah.
  33. Disamping, baik aqiqah maupun berkurban, para ulama menguatkan hukum keduanya sebagai sunah. Bukan perkara wajib.
  34. Akan tetapi, jika masalahnya lebih baik aqiqah dahulu atau qurban dahulu, tidak ada dalil detail dalam masalah ini, akan tetapi dapat disimpulkan
  35. Dapat dilihat masanya. Jika kelahiran jauh dari hari qurban, sebaiknya aqiqah dahulu. Tapi jika sudah datang hari qurban, maka qurban dahulu
  36. Bagaimana jika sudah besar belum diaqiqahkan, sedang dia mau qurban, qurban dulu apa aqiqah dulu? Saran saya qurban saja dahulu.
  37. Adapun aqiqah, dapat dia lakukan di lain waktu. Disamping inipun diperdebatkan para ulama, apakah disyariatkan baginya aqiqah atau tidak?
  38. Bagaimana dengan menggabungkan antara kurban dengan aqiqah dalam satu niat? Ulama berbeda pendapat antara yang memboleh dan melarang.
  39. Lebih hati-hati dan keluar dari khilaf sebaiknya tidak digabungkn, karena kurban dan aqiqah walau ada kesamaan di sebagian, tapi masing-masing berdiri sendiri.

Semoga bermanfaat, insyaAllah nanti akan kita lanjuntukan lagi. Wasssalam.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.