Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Search Results for: abdullah haidir (page 2)

Search Results for: abdullah haidir

13 Keutamaan Bulan Ramadan dan Puasa

1# Al-Quran diturunkan di bulan Ramadan

Firman Allah Taala:

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran.” (QS. Al-Baqarah : 185)

2# Di dalamnya terdapat Lailatul Qadar

Lailatul Qadar adalah malam yang nilainya lebih utama di sisi Allah Ta’ala dari seribu bulan.

Allah Ta’ala befirman, Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 1-3)

3# Doa orang yang puasa mustajabah (terkabul)

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Ada tiga doa yang dikabulkan: Doa orang yang puasa, doa orang yang safar, dan doa orang yang dizalimi. (HR. Baihaqi)

4# Setan diikat, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Jika datang Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat. (Muttafaq alaih)

5# Puasa melindungi kesucian diri (Iffah)

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Wahai para pemuda; siapa di antara kalian yang sudah mampu, maka menikahlah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu (menikah), maka hendaklah dia puasa, karena puasa merupakan pelindung. (Muttafaq alaih)

6# Puasa sebagai tameng dari Neraka

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Puasa adalah tameng, orang yang sedang puasa berlindung dengannya dari api neraka. (HR. Ahmad)

7# Puasa Tidak Ada Tandingannya

Dari Umamah radiallahu anhu dia berkata, “Aku berkata,

‘Ya Rasulullah tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.’ Maka beliau bersabda,Hendaklah kamu puasa, tidak ada yang sebanding dengannya”  (HR. Ahmad dan Nasa’i)

8# Puasa dan Al-Quran Memberi syafaat

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Puasa dan Al-Quran menjadi syafaat kepada seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata, ‘Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwat, jadikanlah aku syafaat baginya.’ Dan Al-Quran berkata, Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari tidur di waktu malam, jadikanlah aku syafaat baginya. Dia berkata: Keduanya dapat memberi syafaat.” (HR. Ahmad)

9# Pintu Ar-Rayyan bagi yang puasa

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Sungguh, di surga terdapat pintu bernama: Ar-Rayyan. Mereka yang puasa akan memasukinya pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang masuk melaluinya selain mereka. Jika mereka telah masuk, maka pintu itu pun ditutup dan tidak ada seorang pun yang memasukinya. (Muttafaq alaih)

10# Ganjaran yang tidak terbatas

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, “Setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya.” (HR. Tirmizi)

Karena puasa sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Dan orang sabar, Allah nyatakan dalam Al-Quran akan dibalas tanpa batas.

“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

11# Puasa khusus untuk Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman (hadits qudsi):

Puasa untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makan-minumnya karena-Ku. (HR. Muslim)

12# Bau mulut orang puasa lebih harum dari wangi minyak kesturi

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari wangi minyak kesturi. (HR. Bukhari)

13# Ampunan atas dosa yang telah lalu

Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

“Siapa yang puasa pada bulan Ramadhan dengan iman dan harapan mendapatkan pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq alaih)

Sumber: Panduan Ramadhan, Abdullah Haidir, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA. Cetakan keempat, Rajab 1433H (Juni 2012)

(Manhajuna/IAN)

Isra Mi’raj Dan Rahasia Keunggulan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

Manhajuna.com – Ada pertanyaan yang cukup menggelitik tentang keutamaan Abu Bakar Ash-Shidiq, mengapa dia menjadi sahabat yang paling utama. Sebab, jika ditanya keunggulan-keunggulan tertentu pada sahabat, biasanya nama Abu Bakar tidak tercantum di barisan terdepan; Tentang keunggulan ilmu, maka yang segera disebut adalah sahabat semacam Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit. Tentang keunggulan militer, maka yang segera disebut adalah Khalid bin Walid, Usamah. Tentang keunggulan manajemen pemerintahan, Umar bin Khattab biasanya lebih dahulu disebut. Tentang kedermawanan, Usman bin Affan lebih menonjol, dll.

Jika demikian halnya, mengapa Abu Bakar Ash-Shidiq menjadi sahabat yang paling mulia di antara sahabat lainnya?

Barangkali salah satu sisi dari peristiwa Isra Mi’raj dapat menjadi kunci jawabannya.

Sebagaimana diketahui dalam catatan sirah, bahwa kaum musyrikin Mekah ‘mentertawakan’ Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau menceritakan peristiwa Isra Mi’rajnya. Lalu mereka mendatangi Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu untuk mendengarkan langsung reaksi sahabat terdekatnya. Tentu mereka berharap sikap Abu Bakar akan sama dengan mereka mengingat peristiwa tersebut sangat sulit diterima akal.

Namun, harapan mereka sirna. Setelah mereka sampaikan kabar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang peristiwa Isra Mi’raj, Abu Bakar Ash-Shidiq balik bertanya, “Benarkah beliau menyatakan hal tesebut?” Mereka jawab, “Benar,” maka beliau berkata, “Jika dia yang mengatakan demikian, maka itu benar.” Mereka masih penasaran, lalu mendesak Abu Bakar dengan pertanyaan, “Apakah engkau akan membenarkan sahabatmu yang mengatakan bahwa dia diperjalankan di malam hari ke Baitul Maqdis lalu kembali sebelum subuh?”

Maka terucaplah dari mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq sebuah ungkapan keimanan sangat agung,

إِنِّي لَأَصُدِّقُهُ فِيمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ أُصَدِّقُهُ بِخَبَرِ السَّمَاءِ فِي غَدْوَةٍ أَوْ رَوْحَةٍ

“Jika dia berkata demikian, sungguh aku akan membenarkan apa yang dia sampaikan, bahkan walaupun lebih dari itu. Aku membenarkan berita langit baik di pagi atau sore hari.” (HR. Hakim, dinyatakan shahih dan disetujui oleh Imam Az-Zahabi)

Karena sikapnya itu, beliau diberi gelar “Ash-Shiddiq” (yang sangat membenarkan).

Ya, keunggulan Abu Bakar Ash-Shidiq ada pada keyakinan, kecintaan, ketulusan, kepatuhan dan kesungguhan dalam menerima ajaran Allah. Sesuatu yang umumnya tidak mudah dinilai secara kasat mata, tapi butuh ‘ainul bashirah’ (mata hati) untuk melihatnya.

Karena itu, seorang ulama salaf berkata,

مَا فَضَلَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ بِكَثْرَةِ صَلاةٍ ، وَلا بِكَثْرَةِ صِيَامٍ ، وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي صَدْرِهِ

“Abu Bakar tidak mengungguli manusia dengan banyaknya shalat dan puasa, akan tetapi dengan sesuatu yang tertanam dalam dadanya.” (Riwayat Hakim dan Tirmizi)

Inilah medan hati yang kerap kita lupakan, padahal sesungguhnya dia merupakan medan amal yang sangat besar dan paling besar, yang apabila hal ini digarap maksimal akan menjadi pondasi kokoh bagi tegak dan berdirinya nilai-nilai kebajikan pada diri kita. Sebaliknya, apabila medan ini tak dipedulikan atau bahkan cenderung diabaikan, medan amal semakin sempit dan lemah, bahkan yang ada dan tampak besar sekalipun, boleh jadi makna dan hakekatnya tidak sebesar yang tampak.

Di sisi lain, kebesaran seseorang di hadapan Allah, tidak selalu berbanding dengan nama besar dengan segala atributnya. Boleh jadi kebesaran itu ada para orang-orang kecil yang tidak tertangkap kamera atau yang namanya tidak menjadi berita, akan tetapi dia kokoh dalam keimanan, kuat dalam keyakinan, melangkah penuh cinta dan ketulusan serta patuh tak tergoyahkan.

طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ، مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ

“Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kendali kudanya di jalan Allah, rambutnya kumal, kedua kakinya dekil. Jika ditugaskan sebagai penjaga, dia laksanakan. Jika ditugaskan di barisan belakang, dia laksanakan. Jika dia minta izin, tidak diberi izin, jika dia minta tolong tidak ditolong (karena buka orang terkenal).” (HR. Bukhari)

Baca Juga: Hikmah dan Pelajaran Di Balik Peristiwa Isra Mi’raj

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Khutbah Jumat: Jangan Sombong

Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

36947_1213442476436_1840032396_397289_3161238_n

Di antara sifat tercela yang harus kita jauhi dari diri kita adalah sifat sombong. Inilah sifat yang menjadi sumber petaka dalam kehidupan, sebab mudah mengundang kebencian manusia, dan yang lebih berat adalah mudah mengundang murka Allah Taala.

Inilah sifat yang pertama kali menyebabkan  pembangkangan dan kemaksiatan yang dipertontonkan oleh Iblis di hadapan Allah swt…. Saat Allah perintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam, Iblis menolak karena menganggap dirinya yang terbuat dari api lebih mulia dari Adam yang terbuat dari tanah. Dalam surat Al-A’raf ayat 12 dikisahkan, ketika Allah bertanya kepada Iblis,

مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ

“Apa yang mencegahmu untuk  untuk sujud ketika Aku perintahkan?”

Iblis menjawab,

أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

“Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Maka Allah cap Iblis sebagai makhluk yang sombong sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 34;

أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Ia enggan dan sombong dan dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

 

Sombong umumnya lahir ketika seseorang memiliki kelebihan atau keistimewaan namun dia tidak menyadari bahwa itu semua sebenarnya  adalah pemberian Allah sebagai ujian kepadanya, bukan sesuatu yang serta merta menunjukkan kemuliaannya.

Karena itu, kesombongan akan bermuara pada dua perkara; Menentang kebenaran yang bersumber dari Allah dan merendahkan atau melecehkan manusia yang dia anggap lebih rendah darinya.

Rasulullah saw bersabda,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

Sombong adalah menolak kebenaran dan melecehkan manusia.” (HR. Muslim)

Kelanjutannya dari akibat sombong ini mudah diperkirakan, yaitu lahirnya berbagai kemunkaran, kemaksiatan, kekufuran dan kesyirikan, dilanggarnya aturan-aturan yang telah disepakati.  Akibatnya… tatanan sosial menjadi rusak,  ketenangan dan keamanan terganggu karena berbagai bentuk kezaliman terhadap manusia dan berbagai pelanggaran atas nama kesombongan.

Inilah yang menyebabkan lahirnya manusia-manusia model fir’aun yang merasa besar dengan kekuasaan yang dia miliki, lalu dia menindas bangsa, sementara di lain waktu dengan sombongnya dia berkata sebagaimana Allah kisahkan dalam surat An-Naziat ayat 24;

أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

“Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”

Atau manusia model Qarun yang bergelimang harta, lalu dengan sombongnya dia berkata sebagaiman dikisahkan dalam surat Al-Qashash ayat 78

إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

“Sesungguhnya aku mendapatkan harta ini, semata karena ilmu yang ada padaku.”

Bahkan kesombongan mereka hingga pada taraf menantang disegerakan azab Allah kepada mereka sebagai bentuk penentangan mereka terhadap ajakan para nabinya yang menyerukan mereka agar beriman kepada Allah,

وَإِذْ قالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنا حِجارَةً مِنَ السَّماءِ أَوِ ائْتِنا بِعَذابٍ أَلِيمٍ [سورة الْأَنْفَالِ: 32]

“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.”  (QS. Al-Anfal: 32)

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kesombongan adalah perkara yang paling cepat mengundang kebencian di tengah masyarakat, dan yang lebih berat lagi, paling cepat mengundang marah dan murka Allah Taala.

Karena fitrah manusia tidak suka melihat orang-orang yang sombong walaupun scara langsung dia tidak dirugikan olehnya. Apalagi jika ternyata dia melecehkan orang lain. Karena manusia, siapapun dia, walaupun dia orang yang paling lemah dan rendah sekalipun , tidak ada seorang pun yang rela dihinakan dan direndahkan.

Adapun Allah yang Maha Perkasa dan berkuasa sangat membenci sifat sombong jika ada pada diri manusia. Jika sifat-sifat Allah lainnya pada umumnya dianjurkan untuk diteladani manusia, seperti sifat kasih sayang, sabar, pemaaf, dll, namun tidak demikian halnya dengan sifat sombong ini. Sifat ini hanya boleh dimiliki Allah, tidak boleh dimiliki makhluk… Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya, Allah Taala berfirman,

الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

“Kesombongan adalah selendang-Ku, kebesaran adalah sarung-Ku, barangsiapa yang merebut salah satu dari keduaNya dari-Ku, maka dia akan aku lemparkan ke dalam neraka.” (HR. Abu Daud)

Maka sepanjang sejarahnya kesombongan hanya akan melahirkan kekacauan, permusuhan, dan hilangnya keamanan di tengah masyarakat. Dan berikutnya…. hilangnya keberkahan dari Allah Taala dalam kehidupannya. Boleh jadi harta berlimpah….. karir menanjak…… kedudukan tinggi……. namun dengan kesombongan, semua itu tidak mendatangkan kebaikan baginya. Bahkan, tidak jarang malapetakan akibat kesombongan sudah diturunkan dalam kehidupan dunia ini sebelum di akhirat kelak.

Semoga Allah bersihkan hati kita dari sifat sombong dan jauhkan kita dari orang-orang sombong serta selamatkan  kita dari bahaya-bahaya kesombongan.

Allah ingatkan kita dalam ayatnya surat Luqman ayat 18

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)

Lalu bagaimana caranya agar kesombongan tidak menghinggapi diri kita?

Sadarilah, bahwa kita ini asalnya datang tidak membawa apa-apa dan nantinya pun kita pergi tidak membawa apa-apa selain amal kita. Maka jika kemudian Allah berikan kita berbagai kelebihan dan keistimewaan, itu semua semata datang dari Allah dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Dan Allah berikan semua itu bukan lantas menunjukkan kita mulia, tapi untuk menjadi ujian bagi kita, apakah kita bersyukur atau kufur.

Apalah yang mau kita sombongkan, jika Allah berkehendak, sesaat saja apa yang kita bangga-banggakan dapat hilang sirna tak berbekas dan kita tak berdaya sama sekali.

Teladanilah Nabi Sulaiman alaihissalam, yang dengan segala kelebihannya yang luar biasa dia tetap menyadari bahwa semua itu semata karunia Allah dan ujian darinya…

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (سورة النمل 40)

“Ini adalah karunia Tuhanku untuk menguji aku, apakah aku bersyukur atau kufur.”

Mensyukuri karunia Allah adalah dengan melaksanakan ibadah dan ketaatan kepadaNya dan menggunakan nikmatNya di jalan yang Dia cintai dan ridhai. Kemudian sedapat mungkin membantu dan menolong mereka yang lemah dan membutuhkan sesuai kelebihan yang dimiliki.

Kemudian dekatilah orang-orang lemah dan masyarakat bawah, dengarlah keluh kesah mereka, pandanglah mereka dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan. Ketahuilah ada hak-hak mereka yang Allah titipkan pada siapa saja yang Allah berikan kelebihan. Bahkan sangat mungkin sekali, kesuksesan dan kebesaran yang ada pada seseorang, di dalamnya, langsung atau tidak langsung ada saham orang-orang kecil di sekelilingnya,

Rasulullah saw bersabda dalam hadits riwayat Bukhari,

هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلا بِضُعَفَائِكُمْ

“Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki tak lain karena orang-orang lemah di antara kalian.”

Terakhir, hindarilah bergaul dengan orang-orang sombong, apalagi jika sampai mengidolakannya atau bahkan mendukungnya, karena lambat laun watak tersebut akan menular kepada orang-orang yang bergaul dengannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw  dalam hadits riwayat Ahmad, dll,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang tergantung tabiat teman dekatnya. Hendaknya kalian memperhatikan siapa teman dekatnya.”

(Manhajuna/AFS)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Haji dan Perubahan

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Watak dasar kehidupan adalah adanya perubahan. Tidak ada perubahan, berarti tidak ada kehidupan. Namun, karena kehidupan yang kita harapkan bukan sekedar hidup, tetapi kehidupan yang bermakna, yang memberi nilai positif bagi diri kita dan orang lain, maka perubahan yang kita inginkan pun bukan sekedar perubahan, akan tetapi perubahan  yang juga memberikan nilai positif.

Di antara momentum yang paling berpengaruh bagi adanya perubahan ke arah yang lebih positif dalam kacamata Islam adalah ibadah haji.  Ini bukan semata banyaknya bukti empiris yang menunjukkan adanya orang-orang yang berubah setelah menunaikan ibadah haji, baik dengan bertobat atau semakin dekat dengan ajaran Islam, tetapi karena ibadah ini sendiri telah disetting sedemikian rupa agar menjadi sarana yang tepat untuk itu.

Mari kita perhatikan!

Dari segi kandungannya, ibadah ini mengandung semua unsur pokok yang terdapat dalam berbagai bentuk ibadah yang Allah ajarkan kepada kita. Disana sangat dituntut keikhlasan, gerak anggota badan, baik ucapan maupun perbuatan, keterkaitan dengan waktu dan tempat tertentu serta kemampuan fisik dan harta.

Maka, wajar kalau kemudian ibadah ini ditempatkan di urutan ‘pamungkas’ rukun Islam yang kita yakini tersebut. Seakan ini merupakan isyarat, bahwa semua faktor perubahan telah anda penuhi, maka tunggu apa lagi? Segeralah menunjukkan perubahan yang berarti, dengan semakin tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala.

Di sisi lain, dari segi semangat dan orientasi ibadah, haji –jika dilakukan dengan penuh penghayatan- memberikan inspirasi yang kuat bagi setiap muslim untuk menyadari bahwa ketergantungan dan ketundukannya kepada Allah adalah perkara mutlak yang tidak dapat ditawar, sekaligus itu merupakan fitrah kemanusiaannya. Kalau tidak, mengapa seorang muslim dapat dengan sukarela mengeluarkan uang berjuta-juta untuk sebuah ibadah yang penuh resiko dan tingkat keletihan yang sangat berat. Bahkan pada zaman sekarang, walaupun semua syarat harus dipenuhi dia harus sabar menunggu kalau belum masuk daftar sesuai kuota suatu daerah.

Ini juga memberi pesan bahwa jika hal-hal yang selama ini menghalangi seseorang untuk berubah menjadi lebih baik, banyak dipengaruhi oleh tuntutan duniawinya, Ibadah haji akan menyadarkannya bahwa tuntutan duniawinya tidak ada ‘apa-apanya’ dibanding tuntutan Allah Ta’ala. Maka dengan begitu, langkah-langkahnya menuju perubahan akan lebih ringan dan pasti.

Ada satu hal yang menarik dari para salafushshaleh, bagaimana mereka melihat ibadah haji dari sisi semangat yang terkandung di dalamnya, tidak semata sebagai ritual tahunan saja, tetapi sebagai momentum perubahan yang sangat agung.

Ketika di zaman Khalifah Umar bin Khattab hendak digagas penanggalan hijriah, sang Khalifah mengajak kalangan cerdik pandainya untuk bermusyawarah. Ketika hendak menentukan bulan apa yang akan dijadikan sebagai bulan pertama penanggalan hijriah, terjadi silang pendapat di antara mereka. Namun, akhirnya diambil kesepakatan untuk menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam penanggalan hijriah.

Apa alasannya? Alasannya karena bulan sebelumnya adalah bulan Dzulhijjah, saat dimana kaum muslimin melaksanakan ibadah haji, sehingga pesannya adalah bahwa rangkaian ibadah pada tahun sebelumnya telah diselesaikan dengan ibadah haji sebagai puncaknya. Maka pada bulan berikutnya kaum muslimin seakan memulai lembaran baru, semangat baru dan energi baru untuk mengemban tugas-tugas penghambaan dari Allah Ta’ala. Tentu dengan semangat perubahan ke arah yang lebih baik.

Maka, seorang jamaah haji, hendaknya mampu menangkap semangat perubahan yang terkandung dalam ibadah haji. Aqidahnya berubah semakin mantap dan jauh dari nilai-nilai syirik, ibadahnya berubah semakin tertib dan berkualitas, akhlaknya berubah semakin terjaga dan terarah. Begitupula dengan semua aspek kehidupan yang  lain. Sekaligus hal tersebut sebagai indikasi paling nyata atas mabrur-nya haji seseorang.

Allahummaj’al hajjanaa hajjan mabruuran, wa sa’yan masykuuran, wa tijaaratan lan tabuur….

Wallahua’lam.

(Manhajuna/IAN)

Ust. Abdullah Haidir, Lc.

Pembina at Manhajuna.com
Alumni Syariah LIPIA ini adalah pengasuh utama manhajuna.com. Setelah 15 tahun menjadi Penerjemah dan Penyuluh Agama (Da'i) di Kantor Jaliyat Sulay, Riyadh, beliau memutuskan pulang mengabdikan diri di tanah air. Kini selain tetap aktif menulis dan ceramah di berbagai kesempatan, ustadz humoris asal Depok ini juga tergabung dalam mengelola Sharia Cunsulting Center.

Larangan Berbuat Zalim

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، أَنَّهُ قَالَ

 يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا

يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ  ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ

يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُوْنِي أُطْعِمْكُمْ

يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ

يَا عِبَادِي، إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ

يَا عِبَادِي، إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي

 

يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً

يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً

يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ

يَا عِبَادِي، إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

[رواه مسلم]

Kosa kata

تَظَالَمُوا : saling menzalimi ضَالٍّ : sesat
هَدَيْـتُـ(ـهُ) : (aku) berikan hidayah (kepadanya) اسْتَهْدُوْنِي : mintalah hidayah dariku
أَطْعَمْـتُـ(ـهُ) : (Aku) berikan makan (padanya) جَائِعٌ : Lapar
اسْتَطْعِمُوْنِي : Mintalah makan kepada-Ku عَارٍ : Telanjang
كَسَوْتُـ(ـهُ) : (Aku) beri pakaian   (kepadanya) اسْتَكْسُوْنِي : Mintalah pakaian kepada-Ku.
تُخْطِئُوْنَ : (kalian) melakukan   Kesalahan تَبْلُغُوا : (kalian) sampai, dapat
أَتْقَى : Yang paling Bertaqwa زَادَ : Menambah
أَفْجَرَ : Orang yang paling durhaka نَقَصَ : Mengurangi
صَعِيْدٍ : Tempat, bukit. المِخْيَطُ : Jarum
أُحْصِيْـ(هَا) : Aku menghitung(nya) أُوَفِّيْـ(كُمْ) : Aku  sempurnakan (balasannya kepada kalian)

Terjemah hadits

Dari Abu Dzar Al-Ghifari رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dari Rasulullah sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wa Jalla bahwa Dia berfirman,

Wahai hamba-Ku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) di antara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim.

Wahai hamba-Ku, kalian semua (asalnya) adalah sesat kecuali orang yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya kalian akan Aku berikan hidayah.

Wahai hamba-Ku, kalian semua (asalnya) kelaparan kecuali orang yang aku beri makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya kalian akan Aku berikan makan.

Wahai hamba-Ku, kalian semua (asalnya) adalah telanjang kecuali orang yang aku berikan pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya kalian akan Aku berikan pakaian.

Wahai hamba-Ku, kalian semua berbuat dosa diwaktu malam dan siang, dan Aku adalah pengampun dosa bagi semua, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni.

Wahai hamba-Ku, sungguh tidak ada bahaya yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada manfaat yang dapat kalian berikan kepada-Ku.

Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian hingga orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin, lalu hati dari semuanya bagaikan hati orang yang paling bertakwa di antara kalian, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun.

Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang pertama di antara kalian hingga orang terakhir, dari golongan manusia maupun jin, hati dari semuanya seperti orang yang hatinya paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun.

Wahai hamba-Ku, seandainya  sejak orang pertama di antara kalian hingga orang terakhir  semuanya berdiri di sebuah tanah lapang, lalu kalian memohon kepada-Ku, maka jika setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelup-kan di tengah lautan.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan dan kemudian kalian akan dibalas, siapa yang mendapatkan kebaikan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu, jangan ada yang dicela kecuali dirinya.”   (HR. Muslim) [1]

Kedudukan Hadits

Kedudukan hadits ini sangat agung, karena mengandung prinsip-prinsip utama dalam Islam, baik pokok, cabang dan adab-adabnya. Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya; Al-Azkar, bahwa Abu Idris Al-Khaulani –yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Dzar- jika meriwayatkan hadits ini beliau tersimpuh karena penghormatannya kepadanya. Para perawi hadits ini adalah orang-orang Syam, karena itu Imam Ahmad berkata, ‘Tidak ada hadits yang paling mulia bagi penduduk Syam selain hadits ini.” [2]

Pemahaman Hadits

Ungkapan, ‘sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wa Jalla bahwa Dia berfirman’ menunjukkan bahwa hadits ini adalah hadits Qudsi, yaitu hadits yang maknanya dari Allah, namun redaksinya dari Rasulullah ﷺ. Tetap digolongkan sebagai hadits, bukan Al-Quran.

Maksud ‘Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku’ Adalah bahwa Allah melarang diri-Nya berbuat zalim kepada hamba-Nya.

Yang dimaksud zalim adalah: Meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Kezaliman ada dua macam; Pertama, Kezaliman terhadap diri sendiri, yang paling besar adalah perbuatan syirik. Kedua, Kezaliman terhadap orang lain dan inilah yang dimaksud dalam hadits ini. [3]

Yang dimaksud ‘sesat’ (ضال) dalam hadits ini adalah tidak mengetahui apa-apa, lihat perbandingannya dalam surat An-Nahl: 78 dan Adh-Dhuha: 7  Adapun hidayah yang Allah perintahkan kepada orang beriman untuk selalu memohonnya kepada-Nya dapat bermakna dua macam, pertama, adalah hidayah yang bersifat global, yaitu Iman dan Islam, kedua, adalah hidayah secara terperinci, yaitu pemahaman tentang rincian dari bagian Iman dan Islam serta pertolongan dalam pengamalannya. Karena kedua macam hidayah ini selalu dibutuhkan, maka seorang muslim dituntut untuk selalu memohonnya kepada Allah Ta’ala sebagaimana selalu dibaca dalam shalat pada surat Al-Fatihah ayat 6.  [4]

Ungkapan, ‘Bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan’ hanya untuk mendekatkan pemahaman bahwa pemberian Allah kepada hamba-Nya tidak mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun. [5]

Pelajaran yang Terdapat Dalam Hadits

  • Menegakkan keadilan di antara manusia serta haramnya kezaliman di antara mereka merupakan tujuan dari ajaran Islam yang paling penting.
  • Wajib bagi setiap orang untuk mendapatkan petunjuk dan memintanya kepada Allah Ta’ala.
  • Semua makhluk sangat tergantung kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan terhadap dirinya baik dalam perkara dunia maupun akhirat. [6]
  • Hadits ini juga menjadi dalil bahwa Allah menyukai hamba-Nya yang suka memohon kepada-Nya dalam semua urusan yang mendatangkan kebaikan kepadanya, baik dunia maupun agama. [7]
  • Pentingnya istighfar dari perbuatan dosa dan sesung-guhnya Allah Ta’ala akan mengampuninya.
  • Lemahnya makhluk dan ketidakmampuan mereka dalam mendatangkan kecelakaan dan kemanfaatan.
  • Wajib bagi setiap mukmin untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-Nya dan taufiq-Nya.
  • Sesungguhnya Allah ta’ala menghitung semua per-buatan seorang hamba dan membalasnya.
  • Dalam hadits terdapat petunjuk untuk mengevaluasi diri (muhasabah) serta penyesalan atas dosa-dosa
  • Hadits ini menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah yang tidak berpengaruh dengan ketakwaan dan kemaksiatan hamba-Nya.
  • Doa orang yang sedang berkumpul di sebuah tempat, lebih dekat untuk dikabulkan. [8]

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Besarnya bahaya kezaliman : Al-A’raf (7): 44, Yunus (10): 13
Allah sumber hidayah dan Rezeki : Al-Kahfi (18): 17
Kemurahan dan ampunan Allah ta’ala : Az-Zumar (39): 53, Al-A’raf (7): 156
Kebaikan dan keburukan kembali kepada manusia : Al-Isra’ (17): 7, Muhammad (47): 38, Al-A’raf (7): 160

Catatan Kaki:

  1. Shahih Muslim, Kitab Al-Birr wash-Silah wal Adab, no. 2577
  2. Al-Wafie’, hal. 184
  3. Jam’iul Ulum wal Hikam, hal. 413-414.
  4. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 416-417
  5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu Daqiq, hal. 172
  6. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 415, Al-Wafi, hal. 187
  7. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 416
  8. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 274

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Pintu-pintu Kebaikan

   عَنْ أَبِيْ مَالِكْ الْحَارِثِي؛ ابْنِ عَاصِمْ اْلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ﷺ

الطُّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ للهِ تَمْلأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ تَمْلآنِ (أَوْ تَمْلأُ)    مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَباَيِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا

[رواه مسلم]

Kosa Kata

الطُّهُورُ : Bersuci شَطْرٌ : Setengah, sebagian
تَمْلأُ (َتمْلآنِ) : Memenuhi بُرْهَانٌ : Bukti
يَغْدُو : Berangkat (pagi hari) بَائِعٌ : menjual
مُوْبِقٌ : Menghancurkan مُعْتِقٌ : Memerdekakan

Terjemah Hadits

Dari Abu Malik Al Haritsy bin ‘Ashim Al-‘Asy’ary radhiallahu anhu dia berkata,  “Rasulullah ﷺ bersabda,

‘Bersuci sebagian dari iman, Al-Hamdulillah dapat memenuhi timbangan[1]), Subhanallah dan Al-Hamdulillah dapat memenuhi antara langit dan bumi, Sholat adalah cahaya, shadaqah adalah bukti,  sabar adalah sinar. Al-Quran dapat menjadi saksi yang membelamu atau yang memberatkanmu. Semua manusia berangkat untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya (dari kehinaan dan azab) ada juga yang menghancurkan dirinya.”  (HR. Muslim)[2]  

Pemahaman Hadits

Kata (الطهور) jika huruf tha’ dibaca dhommah (thuhur) maknanya adalah perbuatan bersuci, sedangkan jika dibaca fathah (thahur) maksudnya alat untuk bersuci (air).

Yang dimaksud ‘bersuci’ (الطهور) dalam hadits ini dapat berarti mensucikan jiwa dengan meninggalkan dosa dan maksiat. Karena iman secara umum terbagi dua, melakukan dan meninggalkan, maka sebagiannya adalah melakukan perintah dan sebagiannya lagi meninggalkan larangan.

Namun pemahaman yang lebih dekat bahwa yang dimaksud bersuci di sini adalah berwudhu, karena ada riwayat lain yang lebih tegas dari sabda Rasulullah , yaitu, “Menyempurnakan wudhu sebagian dari iman.” [3]

Adapun wudhu dikatakan sebagian dari iman, karena iman terbagi dua, yaitu membersihkan hati (batin) dan membersihkan fisik (lahir), maka wudu termasuk perbuatan yang dapat membersihkan fisik (lahir) [4]

Nur, burhan dan dhiya’ yang menjadi sifat bagi shalat, shadaqah dan sabar, semuanya berarti cahaya. Nuur adalah cahaya yang bersumber dari sumber sinar lain dan tidak membakar, sedangkan dhiya adalah sinar yang memiliki sumber panas dan membakar, karena itu  di dalam Al-Quran, nur dinisbatkan kepada bulan sedangkan dhiya’ dinisbatkan kepada matahari (SQ. Al-Qomar: Yunus: 5).

Shalat dikatakan cahaya karena dapat menerangi seseorang ke jalan yang benar dan mencegahnya dari kemak-siatan. Shabar dikatakan dhiya’ karena berat menanggungnya. Sedangkan burhan adalah pancaran sinarnya, namun burhan juga diartikan sebagai bukti yang sangat kuat. Shadaqah dikatakan burhan karena dia merupakan bukti yang sangat kuat tentang benarnya keimanan seseorang. [5]

Maksud ungkapan ‘menjual dirinya’ baik kepada Allah ta’ala dengan menta’ati-Nya sehingga dirinya akan bebas dari api neraka, atau kepada syetan dengan bermaksiat kepada-Nya sehingga dirinya akan binasa.

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Iman merupakan ucapan dan perbuatan, bertambah dengan amal saleh dan berkurang dengan maksiat.
  • Hadits ini mengandung keimanan terhadap adanya mizan (timbangan) di akhirat dan bahwa amal perbuatan memiliki berat yang dapat ditimbang pada hari kiamat. [6]
  • Pada hadits ini terdapat anjuran untuk selalu mensucikan diri, baik lahir maupun batin, banyak berzikir kepada Allah, berinfaq di jalan-Nya, selalu dekat dengan Al-Quran, baik dalam hal membaca, memahami dan meng-amalkannya, juga anjuran untuk bersabar.
  • Setiap orang di dunia ini pasti sedang berusaha. Tetapi ada yang usahnya membuat dirinya selamat dari azab Allah apabila selalu dia isi dengan ketaatan, dan adapula yang usahanya justru mengantarkannya kepada kebina-saan, apabila selalu bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karenanya seorang muslim harus menggunakan waktunya dan umurnya dalam keta’atan kepada Allah ta’ala.
  • Kebaikan Al-Quran bagi seseorang tergantung pada tindakannya terhadap Al-Quran, apabila dia dekat dengan-nya, membacanya, memahaminya dan mengamalkannya, maka Al-Quran akan menjadi pembelanya, tetapi sebalik-nya, dia meninggalkannya, justru Al-Quran yang akan menggiringnya ke neraka.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Keutamaan bersuci : At-Taubah (9): 108,

Al-Baqarah (2): 222

Keutamaan berzikir : Al-Anfal (8): 45,

Ar-Ra’d (13) : 28

Anjuran Shadaqah : Al-Baqarah (2): 261,

Al-Hadid (57): 18,

Al-Ahzab (33): 35

Interaksi dengan Al-Quran : An-Nisa (4): 82,

Al-A’raf (7): 204,

Al-Furqon (25): 30

Perbuatan manusia kem-bali kepada dirinya : Al-Isra (17): 7
    Catatan Kaki
  1. Maksudnya adalah timbangan kebaikan seorang hamba pada hari kiamat.
  2. Shahih Muslim, Kitab At-Thaharah, no. 223
  3. Riwayat Ahmad dan Nasa’i, lihat Shahih al-Jami’, no. 925. Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 391
  4. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 396.
  5. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 401-403, Al-Wafie, hal. 176
  6. Qawa’id wa Fawa’id minal-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 198

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Jalan Menuju Surga

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ؛ جَابِرْ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ 

فَقَالَ: « أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ: نَعَمْ »   [رواه مسلم]

وَمَعْنَى حَرَّمْتُ الْحَرَامَ، اِجْتَنَبْتُهُ، وَمَعْنَى أَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، فَعَلْتُهُ مُعْتَقِداً حِلَّهُ

Kosa Kata

الْمَكْتُوبَات : Shalat-shalat fardu أَحْلَلْـ(تُ) : (Aku)  menghalalkan
حَرَّمْـ(تُ) : (Aku) mengharamkan أ / هَلْ : Apakah

Terjemah Hadits

Dari Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah al-Anshary radhiallahu anhuma,

Seseorang bertanya kepada Rasulullah , “Beritahukan aku, jika Aku melaksanakan shalat wajib, berpuasa Ramadhan, Menghalalkan yang halal dan mengharam-kan  yang haram dan Aku tidak tambah sedikit pun dari hal tersebut, apakah Aku akan masuk surga?’ Beliau bersabda, ‘Ya.”  (HR. Muslim)[1]

(Imam Nawawi berkata), “Yang dimaksud, ‘Aku haramkan yang haram’ adalah, Aku  menjauhinya, dan ‘Aku halalkan yang halal’ adalah, Aku melakukannya dengan keyakinan bahwa perkara itu halal.”

Kedudukan Hadits

Hadits ini termasuk inti dari ajaran Islam, karena perbuatan dalam syariat terbagi dua; fisik dan hati. Pada setiap keduanya ada yang dibolehkan, yaitu yang dihalalkan, dan ada yang dilarang yaitu yang haram. Jika seseorang menghalalkan sesuatu yang halal dan mengharamkan sesuatu yang haram, maka dia telah melakukan semua sisi agama. [2]

Pemahaman Hadits

Penanya dalam hadits ini adalah seorang sahabat mulia yang bernamaa, Nu’man bin Qauqal Al-Khuza’i. Dia pernah ikut perang Badar dan terbunuh pada perang Uhud. Keinginannya untuk masuk surga dan meraih segala kenikmatan yang ada di dalamnya mendorong dia menanyakan hal tersebut. [3]

Ungkapan وحرمت الحرام (Aku haramkan yang haram), ada dua konsekwensi, pertama, dia meyakini bahwa perkara tersebut diharamkan. Kedua, dia tidak melakukannya. Berbeda dengan ungkapan ‘menghalalkan yang halal’, cukup baginya meyakini kehalalannya saja (meskipun tidak melakukannya).[4]

Ada satu permasalahan dalam hadits ini, yaitu bahwa sang penanya berkata, aku tidak akan menambah sedikit pun dari hal itu, dan kemudian Nabi mengatakan kepadanya bahwa hal itu akan menyebabkan dia masuk surga. Padahal masih ada rukun Islam yang belum disebutkan, yaitu zakat dan haji yang merupakan bagian rukun Islam.

Jawabannya adalah, kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa penanya adalah orang miskin, seandainya dia orang berpunya, tentu dia akan mengeluarkan zakat. Adapun haji, kemungkinannya adalah bahwa saat itu kewajiban haji belum ditetapkan, karena haji baru diwajibkan pada tahun sembilan atau sepuluh Hijriah. [5]

Pelajaran Yang Terdapat Dalam Hadits

  • Hadits ini secara umum menunjukkan bahwa siapa yang menunaikan kewajiban dan tidak melakukan perbuatan yang diharamkan, dia akan masuk surga, banyak hadits-hadits senada tentang hal ini.[6]
  • Tidak dituntutnya perkara sunnah dalam hadits ini, menunjukkan bahwa meninggalkan perbuatan-perbuatan sunnah hukumnya dibolehkan. Di samping, jawaban Rasulullah yang memberi nilai positif kepada penanya tanpa Beliau memerintahkan perbuatan sunnah atau fadhilah menunjukkan kemudahan yang Beliau berikan, mengingat penanya adalah orang yang baru masuk Islam,
  • Namun demikian bukan berarti seorang muslim meremehkan perkara sunnah, karena hal itu akan menyebabkan dirinya kehilangan kebaikan yang banyak.
  • Setiap muslim dituntut untuk bertanya kepada ulama tentang syariat Islam, tentang kewajibannya dan apa yang dihalalkan dan diharamkan baginya jika hal tersebut tidak diketahuinya.
  • Penghalalan dan pengharaman merupakan aturan syariat, tidak ada yang berhak menentukannya kecuali Allah Ta’ala.
  • Amal saleh merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
  • Keinginan dan perhatian yang besar dari para shahabat serta kerinduan mereka terhadap surga serta upaya mereka dalam mencari jalan untuk sampai kesana.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

– Rindu surga : Ali Imran (3): 133, At-Tahrim (66): 11
– Memperhatikan halal haram dalam kehidupan : At-Taubah (9): 29, At-Tahrim (66) : 1,

Al-A’raf (7): 157

Catatan Kaki:

  1. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, no. 15
  2. Al-Wafie, hal. 159
  3. Al-Qawa’id wal Fawa’id min al-Arbain An-Nawawiyah, hal. 189
  4. Syarah Muslim.
  5. Syarah al-Arbai’in an-Nawawiyah: Ibnu Utsaimin, hal. 241
  6. Jami al-Ulum wal-Hikam, hal. 380

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Asas Manfaat

Hidup ini cuma sekali, dan tak terulang lagi. Maka sangat rugilah kita manakala kesempatan yang sekali tersebut terbuang percuma, walau sesaat saja. Karena itu Islam sangat besar memberikan anjuran agar kita berupaya sedapat mungkin mengisi setiap saat dari waktu yang kita miliki dengan sesuatu yang bermanfaat.

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِز

“Berupayalah atas sesuatu yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah”.

Begitu pesan Rasulullah ﷺ

Perhatikanlah, berapa banyak waktu kita yang terbuang untuk ngobrol berjam-jam “ngalor ngidul” tak karuan, mendengarkan musik dan lagu, menonton sinetron atau film action dan yang semacamnya..? Dari sekian tahun hal tersebut dilakoni, seberapakah manfaat yang dapat kita ambil ?, dapat kita katakan bahwa semua itu menguap tanpa makna berarti dalam kehidupan kita, kecuali memuas-muaskan nafsu santai kita plus pengaruh buruk yang ditimbulkannya. Lalu bandingkan jika waktu-waktu tersebut kita gunakan untuk; membaca buku,  mengasah ketrampilan dan bakat atau meningkatkan peran sosial kita dan aktifitas bermanfaat lainnya, niscaya akan terasa sekali manfaat yang akan kita raih setelah berlangsung sekian lama kemudian.

Membiarkan waktu “lowong” begitu saja tanpa aktifitas nyata dan program kehidupan yang terarah, jelas sangat besar potensinya untuk diisi oleh perbuatan sia-sia, ditambah lagi jika berbagai fasilitas mudah didapat, dan dari sanalah pada umumnya, perbuatan-perbuatan maksiat dan kemungkaran bermula, bahkan juga tindakan kriminalitas. Pecandu ganja bisa saja berawal dari kegiatan ‘nongkrong di pinggir jalan untuk menghabiskan waktu, sebagaimana perampok ulung mungkin sekali berawal dari tindakan iseng “mengutil” barang di warung tetangga.

Karena itu jika kita menyibukkan diri dengan apa saja yang dapat mendatangkan manfaat untuk kehidupan kita, kemudian terus diiringi dengan kedekatan kepada Allah ta’ala dan didorong oleh tekad kuat, tahan banting dan tidak mudah kendor, hal tersebut sangat besar sekali artinya dalam kehidupan kita, sekarang atau masa yang akan datang. Dan sesungguhnya pintu dan jalan kebaikan begitu terbentang luas di hadapan kita, dari yang bersifat ibadah pribadi sampai aktifitas sosial…yang jika kita optimalkan, niscaya kita “tidak punya waktu” untuk melakukan perbuatan sia-sia, apalagi yang bersifat maksiat dan kemungkaran.

Dahulu orang bijak berkata:

“Jika tidak kamu sibukkan dirimu dengan ketaatan, maka dia akan menyibukkanmu dengan kemaksiatan”

Dan di antara sabda Rasulullah ﷺ:

“Indikasi baiknya Islam seseorang, manakala dia meninggalkan perbuatan yang tak berguna” (Riwayat Turmuzi)

Sumber: Buku Pesan-pesan di Jalan Kehidupan, Abdullah Haidir, Murajaah Thariq Abdulaziz At-Tamimi, MA, Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh, KSA

(Manhajuna/IAN)

Darah Seorang Muslim Dilindungi

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: « لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ، إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ؛ الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ » [رواه البخاري ومسلم]

Kosa kata

الثيب       : Orang yang sudah menikah الزاني     :  orang yang berzina
التارك     : orang yang meninggal-kan المفارق   : memisahkandirinya

Terjemah hadits

Dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه dia berkata, “Rasulullah  bersabda,

“Tidak halal (ditumpahkan) darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah (ilah) selain Allah dan bahwa aku (Rasulullah ﷺ) adalah utusan Allah, kecuali dengan tiga sebab: (1) Orang yang sudah menikah namun berzina, (2) orang yang membunuh orang lain (dengan sengaja), dan (3) orang yang meninggalkan agamanya, (dan karenanya) dia terpisah dari jamaah (kaum muslimin).“ (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Pemahaman Hadits

Maksud tidak halal darah seorang muslim adalah tidak boleh membunuhnya. [2]

Maksud an-nafsu bin-nafsi adalah membunuh orang lain dengan sengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan syariat.

Kedudukan Hadits

Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata, “Hadits ini sangat penting karena berkaitan langsung dengan perkara yang sangat penting, yaitu darah (baca: nyawa).” [3]

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

  • Nyawa seorang muslim pada dasarnya dihormati dan dilindungi, tidak boleh dilenyapkan tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan syariat.
  • Hadits ini menunjukkan adanya hudud (Hukum pidana Islam) yang harus diyakini sebagai bagian dari hukum Islam.
  • Islam sangat menjaga kehormatan, nyawa dan agama dengan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang mengganggunya seperti dengan melakukan zina, pembu-nuhan dan murtad.
  • Kerasnya hukum pidana dalam Islam lebih bertujuan mencegah (preventif) dan melindungi, karena jika tindakan-tindakan tersebut dibiarkan akan menyebabkan kerusakan yang lebih besar.
  • Hadits di atas menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan, kesucian dan keutuhan kaum muslimin.

Tema Hadits dan Ayat Al-Quran Terkait

Nyawa seorang muslim dilindungi : An-Nisa (4): 93
Hukuman dalam Islam sebagai bagian dari perlindungan : Al-Baqarah (2): 179
Catatan Kaki:
  1. Shahih Bukhari, Kitab Ad-Diyaat, no. 6878, Shahih Muslim, Kitab Al-Qasamah, 1676
  2. Fathul Bari, 12/201
  3. Dikutip oleh Nazim Muhammad Sulthon dalam Kitabnya Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyah dari kitab Fathul Mubin Lisyarhil Ar-ba’in, hal. 150.

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)

Iman dan Istiqamah

عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ، أَبِي عَمْرَةَ؛ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رضي الله عنه

 قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً، لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ، قَالَ:  قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

 [رواه مسلم]

Kosa kata

أَسْأَلُ : (saya) bertanya اِسْتَقِم   : istiqomahlah, berpegang teguhlah.
غَيْرَكَ : Selainmu آمَنْتُ   : Aku beriman

Terjemah hadits

Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan-, Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqofi t dia berkata,

“Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah salallaahu ‘alaihi wa sallam, katakan kepada-ku tentang Islam, sebuah perkataan yang  tidak  aku  tanyakan kepada seorang pun selainmu.’ Beliau bersabda, ‘Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian berpegang teguhlah.” (HR.  Muslim)[1]

Kedudukan Hadits

Hadits ini sangat tinggi nilainya karena mengandung dua hal yang merangkum kandungan Islam seluruhnya. Pertama adalah Iman kepada Allah yang di dalamnya terkandung makna ikhlash dalam beribadah kepada-Nya. Yang kedua adalah, Istiqomah yang di dalamnya terkandung ketetapan untuk selalu berpedoman kepada ajaran Allah Azza wa Jalla.

Kedua perkara di atas dikenal sebagai syarat diterimanya ibadah, yaitu; Ikhlas dan ittiba’.

Hadits ini juga termasuk Jawami’ul Kalim yang Allah berikan kepada Rasulullah salallaahu ‘alaihi wa sallam. [2]

Pemahaman Hadits

Kalimat قل لي في الإسلام (katakan kepadaku tentang Islam),  maksudnya adalah ajarkan kepadaku pemahaman yang tegas, jelas, dan menyeluruh tentang Islam, baik dari segi aqidah maupun syariat.

Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, bahwa makna hadits ini sepadan dengan firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.”(QS. Fushshilat: 30)

Maknanya adalah, mereka mengesakan Allah, beriman kepada-Nya kemudian mereka istiqomah dan tidak menyim-pang dari keyakinan Tauhid, juga mereka komitmen dalam ketaatan kepada-Nya hingga akhir hayatnya. [3]

Pelajaran Yang Terdapat Dalam Hadits

  • Hadits ini menunjukkan keinginan kuat para shahabat dalam menjaga agama dan merawat keimanannya.
  • Penjelasan tentang Islam sebaiknya dimulai dari perkara-perkara global yang menyeluruh.
  • Hubungan iman dan istiqamah tak terpisahkan satu sama lain saling menguatkan. Iman kepada Allah harus menjadi landasan ketaatan, tanpa itu ketaatan jadi tidak berguna. Sedangkan ketaatan dapat merawat keimanan, tanpa ketaatan keimanan seseorang akan berkurang atau bahkan lenyap.
  • Istiqomah merupakan perkara yang sangat berat setelah seseorang menyatakan keimanannya. Karena hal itu berarti kita harus menjaga agar selalu berada di jalan Allah dalam semua aspek kehidupan kita hingga ajal menjemput.
  • Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah salallaahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ada riwayat engkau berkata bahwa surat Hud telah membuatmu beruban,” Beliau menjawab, “Ya”. “Apa yang membuatmu beruban? Beliau bersabda, “Karena di dalamnya ada ayat, فاستقم كما أمرت (Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu). (QS. Huud: 112) [4]

Tema hadits  dan Ayat Terkait  

Bertanya untuk men-dapatkan kebaikan : Al-Baqarah (2): 189, 215, 217, 219, 220

 

Iman dan istiqomah : Fushshilat (41): 30, Al-Ahqaf: (46): 13, Al-Jin (72): 16, Al-Hijr (15): 99
Catatan Kaki:
  1. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, no. 38
  2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu Utsaimin, hal. 236
  3. Syarah Muslim,
  4. Syu’abul Iman, 2/472

Sumber: Kajian Hadits Arba’in Nawawiyah, Imam An-Nawawi, Penyusun Abdullah Haidir, di Muraja’ah DR. Muinudinillah Basri, MA Fir’adi Nashruddin, Lc. Penerbit Kantor Dakwah Sulay Riyadh

(Manhajuna/IAN)